ALQUR"AN DAN EDUKASI MUZAKKIRAN



وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَىٰ تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِينَ

Artinya, “Dan tetaplah memberi peringatan, karena Sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman”. (QS. Adz-Dzariyaat : 55)                                                
Alquran adalah wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dipahami sebagai akal universal. Sementara daya tangkap yang diserap berupa pengetahuan dengan akal budi dipahami sebagai akal particular. Agama berdimensi wahyu sementara manusia berdimensi akal. Keduanya saling mempengaruhi di saat agama menekankan, jika manusia keberadaannya adalah untuk saling memperingati antara satu dengan yang lainnya.
Tugas dan fungsi manusia untuk memahami hakikat dari penciptaannya adalah untuk saling memberi peringatan kepada sesama. Fungsinya orang 'alim hannya memberi peringatan suapaya daya ingat fitrah kemanusian aktif dan terus menerus berkembang. Melalui proses penanaman akal dalam diri manusia akan menjadikan hakikat kemanusiaan menuju kesempurnaan. Membatasi pengetahuan seseorang melanggar kedudukan dan fungsi manusia sebagai makhlukh yang diberi beban sebagai muzakkir. Anta mudzakkir merupakan dalil dakwah yang mesti diamalkan secara utuh dan menyambung misi kenabian.
Nabi merupakan akal aktual partikular pertama di mana wahyu sebagai akal universal disampaikan ke bumi setelah bersemayam di alam Lauh Mahfudh. Wahyu membentuk sebuah petunjuk bagi manusia. Sebagai akal universal wahyu membimbing manusia menjadi baik dalam segala hal aspek kehidupan. Tidak satu sisipun dari kehidupan ini tanpa dibicarakan dalam wahyu. Mulai dari perkara sederhana hingga mencapai perkara yang jauh lebih sempurna. Tersesat dan meraba-rabalah jiwa manusia jika pikiran yang dibangun tidak berdasarkan akal universal yang direspon dengan akal partikular disa'at potensi menjadi aksi.
Aksi di sini adalah hasil dari sebuah renungan yang matang. Berdasrakan perenungan yang matang, maka manusia menjadi baik, bermoral, penuh kesantunan, cerdas dalam memahami setiap perkara, baik perkara yang menyangkut dengan dunia dan perkara yang menyangkut dengan keagamaan.
Awal mula radikalisasi dalam Islam dibangun berdasarkan proses politik kekuasaan. Suksesi kepemimpinan dimasa khalifah Ali bin Abi Thalib dengan pemberontakan yang dilakulan oleh Muawiyah. Proses suksesi kekuasaan yang berakhir dengan peristiwa tahkim (arbitrase) telah melahirkan kelompok yang kemudian menjadi aliran dalam ilmu kalam. Lahirnya aliran khawarij sebagai tanda jika Umat Islam saat itu keliru memahami hakikat pendidikan berbasis nilai atas dasar gagasan yang dibangun menurut Alquran oleh Nabi Muhammad saw.
Mafhum yang harus dipahami ketika awal munculnya debut ilmu kalam dalam sejarah adalah persoalan politik, dan bukan sama sekali menyangkut dengan persoalan agama. Ada tiga kelompok yang menjadi objek kajian awal munculnya sejarah kalam dalam perkembangan pemikiran islam.
Pertama, kelompok Sunni yang mengatakan semua yang terlibat antara kelompok Sayyidina Ali dan Mu'awiyah adalah sahabat yang baik dan mendapat kemulian, keduanya tidak saling mencela dan tidak saling memusuhi antar sesama bahkan kedua kelompok tersebut saling memuliakan diantara satu dengan yang lain.
Kedua, kelompok Syi'ah sebagai pengikut setia Ali yang mengatakan bahwa Mu'wiyah adalah orang terlaknat bersama pengikutnya sebab sudah melakukan kudeta kekuasaan kepada khalifah Yang dipimpin oleh Ali bin Abi Thalib diketika itu.
Ketiga, kelompok yang mengatakan bahwa keduanya antara Ali bin Abi Thalib dan Mu'awiyah adalah kafir dan berdosa besar, keduanya harus diperangi dan dibunuh, sebab sudah melakukan pengkhiatan terhadap peristiwa tahkim (arbitrase). Kelompok yang mengatakan keduanya telah melakukan kekufuran bernama Khawarij. Namun terdapat perbedaan pendapat ketika konteks bertukar zaman tentang ketegangan politik yang terjadi antara Amerika Serikat dengan Iran hari ini. Ketegangan kedua negara tersebut tidaklah menyangkut masalah politik saja, melainkan terlibat di dalamnya persoalan agama yakni Islam.
Negara-negara barat berkeinginan untuk mengacaukan keadaan politik di negeri-negeri Islam. Komflik politik yang selalu muncul antara Iran dan Amerika sangat dominan menyangkut dengan kebangkitan Umat Islam. Negara-negara barat berkeinginan menghancurkan kekuatan Umat Islam yang sudah menjadi negara berdaulat seperti Iraq, Libia, Suriah, libanon, Afganistan, Somalia, dan pada akhirnya beliau menyebutkan termasuk Negara Indonesia akan menjadi target pembumi hangusan Islam jika negara ini tidak hati-hati berperan dalam memainkan sirkulasi politik, baik dalam dan luar negeri.
Pernyataan tentang ketegangan yang menimpa negeri para mullah tersebut memancing libido berfikir rasional saya, mengingat akan kerja sama yang dibangun oleh Presiden Jokowi Widodo begitu mesra dengan negara yang notabene musuh bebuyutan Amerika dan Barat seperti negara Rusia dan China. Disini Jokowi seperti sudah memahami kondisi peta politik yang akan terjadi disa'at beberapa aset Amerika yang ada di Indonesia sudah mulai dipreteli satu persatu menjadi milik kuasa penuh negara Indonesia.
Memahami Islam dalam konteks nilai untuk saat ini tentunya harus dibangun atas dasar gagasan Alqur’an.”rabbi” merupakan sebutan untuk Tuhan dengan narasi pendidikan. Tuhan sebagai maha pendidik bagi setiap hamba. Kata “rabbi” ini diadopsi oleh lembaga pendidikkan perguruan tinggi Islam dengan naman Tarbiyyah. Fakultas yang sudah mewadahi beberapa jurusan ini telah melahirkan banyak sarjana-sarjana Pendidikan Islam.
Pendidikan agama tidaklah ditanam dengan dokrin. Dokrinasi pendidikan tidak akan melahirkan pemeluknya merasai nilai-nilai agama yang meresap dalam diri sebagai intrumen pemahaman yang mempengaruhi prilaku kehidupannya dalam berbagai hal. Kurikulum yang berbasis dokrin hannya mendidik semangat beragama saja, tanpa merasa memiliki terhadap eksistensi agamanya. Akibatnya sifat inklusif dalam memahami agama kehilangan ruang dan terabaikan.
Agama Islam hadir kemuka bumi sebagai par excelen. Islam sebagai ideologi religius mampu mengubah prilaku masyarakat jahiliyah menjadi masyarakat yang beradab. Transformasi keismalaman yang disampaikan dari satu generasi kepada generasi berikutnya tidaklah disampaikan oleh orangorang yang kosong akan sebuah nilai. Bahkan adab menjadi gerbong masuknya Islam dalam masyarakat jahiliyah saat itu mampu merubah pola pikir utopis masyarakatnya terhadap Islam menjadi pandangan mendasar mendasar jika Islam merupakan agama yang hadir dan turun dari tempat yang suci dan berasal dari zat yang maha sempurna.
Nabi Muhammad saw. adalah sosok yang mempunyai adab yang sangat tinggi. Jika sebuah ungkapan yang berbunyi dengan narasi "al adabu fawqa 'ilmu" artinya, adab itu berada di atas ilmu, maka pelaku utamanya adalah Nabi Muhammad sendiri. Sosok yang tidak luput dengan memperhatikan sebuah kesalahan walaupun dalam bentuk kesalahan yang paling kecil. Sosok nabi seperti inilah yang pertama sekali mengajarkan akal universal yang diterima dari jibril lalu menjadi akal partikular yang sudah dipahami oleh pikiran yang mulia, suci, paham, cerdas, dan bervisi. Lalu nabi yang sudah paham dengan apa yang sudah didapatkan lewat pewahyuan menyampaikannya kepada umat. Umat pertama disebut dengan shahabat. Sebagaimana yang pernah saya jelaskan kata shahabat adalah narasi komunikatif kenabian dalam membentuk cikal bakal masyarakat madaniayah. Dengan kata shahabat derajat manusia tersambangi dengan nilai-nilai keadaban.
Generasi shahabat adalah generasi yang mampu memahami akal partikular tanpa dokrinasi. Paham keagamaan yang ditanamkan kepada mereka oleh nabi adalah paham yang membentuk nilai dan karakter kemanusiaan. Jauh sebelum teori pendidikan yang dirumuskan oleh barat saat ini tentang teori taksonomi bloom meliputi kognitif, afektif, dan psikomotorik, Nabi Muhammad SAW. Sudah mengajarkannya kepada generasi Islam pertama semenjak Nabi Muhammad saw hadir. Generasi shahabat sebagai estafet pertama sehingga munculnya generasi thabi'in, dan generasi seterusnya, sehingga melahirkan maha karya keilmuan dalam berbagai bidang.
Hadirnya berbagai ranah keilmuan ini bukan karena terjadinya persentuhan pemikiran dalam bentuk kerja sama antar lembaga pendidikan sa'at itu, melainkan sebab generasi yang sudah ditanamkan sifat nilai dari Ajaran Islam, bukan sikap dokrinasi kurikukulum pendidikan. Hadirnya pemikiran radikal hari ini tidak terlepas dari sistem pendidikan yang mana dokrin menjadi tujuan utama bagi anak didik. Dokrin berbasis kurikulum sudah mampu merubah padigma nilai menjadi sistem berfikir radikal. Kurikulum yang sudah merubah pembentukan ideologi menjadi perang informasi. Lalu kemudian melahirkan generasi yang tidak mampu berfikir rasional. Sikap brutal dalam menyelesaikan masalahnya menjadi sesuatu yang dipahami baik untuk dilaksanakan. Sekelompok orang hannya mampu berperan sebagai perongrong, sekelompok yang lain sudah didik menjadi pelaku eksekusi kebrutalan.
Oleh karena pendidikan menjadi dokrin, agama menjadi alat untuk dikomersilkan dengan kepentingan masing-masing kelompok. Menyulut amarah dengan dokrinasi keagamaan merupakan pekerjaan yang sangat mudah dan berbiyaya murah. Cukup menanamkan semangat beragama saja bagi pemeluknya dan menjauhi untuk menanmkan rasa memiliki terhadap agama tersebut sebagai way of life bagi kehidupan manusia yang harmonis dan berkemajuan.
Pendidikan tanpa nilai akan membentuk potensi jiwa tanpa rasa. Dokrinasi yang berbasis kurikulum akan membentuk karakter manusia yang jauh dari nilai-nilai adab-adab keagamaan. Peradaban manusia tidaklah dibentuk berdasarkan sebuah dokrin, melainkan peradaban itu akan dibentuk oleh pendidikan kurikulum berbasis nilai yang dibangun Atas dasar gagasan filosofi Alquran.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Meraih Gelar Doktor; Muchlinarwati Disabilitas yang Menginspirasi

Melihat Masalah dengan Masalah

SURAT TERBUKA: KEPADA YANG TERHORMAT BAPAK BUPATI ACEH BARAT DAYA