'ALIMUL GHAIB DAN AKAL POTENSIAL KEKHILAFAHAN

'Alimul Ghaib adalah pengetahuan Tuhan yang tidak mungkin mampu di pelajari oleh manusia. Bukan hannya sekedar tidak mampu dipelajari, juga tidak mampu di praktekkan oleh makhluk-Nya. Mengetahui sesuatu yang diluar kemampuan indra bukanlah kapasitas manusia. Walaupun demikian Tuhan akan menimpakan secuil pengetahuan dengan sifat rahmannya. Sifat yang mewadahi sebuah sistem untuk mengetahui dan menakar keadaan dimasa yang akan datang.
Kosmos yang beragam memungkinkan manusia mencapai dan menakarnya dengan sistem yang lahir dari proses berfikir secara terus menerus. Proses berfikir ini sering disebut dengan akal yang berjalan. Tentunya akal yang dibangun atas dasar wahyu. Akal tanpa pendampingan wahyu, maka pasti akal tersebut bakal ngawur. Sementara wahyu tanpa pencerdasan akal, akan stagnan menuju proses 'Alimul Ghaib.
Plato dan kawan-kawannya, yang hidup dimasa di mana pendampingan wahyu tidak ada. Maka dimasa tersebut melahirkan ide-ide yang liar, walaupun berhikmah namun terkesan meraba-raba. Ide-ide mereka lahir sebab dipaksa secara fitrah harus berfikir untuk memahami sesuatu yang transenden dibalik gerakaan alam yang dalam ilmu fisika sangat beraturan. Proses berfikir ini para failosof harus masuk pada wilayah 'Alimul Ghaib.
Munculnya sebutan alam “ide” bagi Plato untuk sa‘at itu bukan karena sudah direncanakan. Melainkan sebab ketiadaan bimbingan wahyu bagi para pemikir untuk mengungkapkan wilayah kegaiban yang berperan aktif dalam mengurus alam jagat raya. Plato berfikir dengan segenap kemapuannya untuk mengajarkan manusia berfikir saat itu, bagaimana alam pikiran bisa menemukan kekuatan absolut sebagai pencipta, pengatur dan penjaga dibalik alam jagad raya yang sudah begitu komplek penciptaannya. Penelusuran tentang wilayah transenden tersebut yang mana dalam pembimbingan wahyu menjelaskannya lewat ilmu ketauhidan yang membahas tuntas persoalan yang terkait dengan keilahian.
Thales mengatakan, asal muasal dari segala sesuatu berasal dari air. Sementara Plato memahami asal dari segala yang ada adalah bermuara dari “ide”. Antara Sokrates dan Plato adalah failosuf Yunani yang telah berusaha memahami tentang wilayah transenden. Namun keduanya melewati masa berfikir di mana akal tidak tersentuh dengan pembimbingan wahyu, sebab keduanya membangun pikirannya dalam menangkap fenomena di antara masa kekosongan. Ketiadaan wahyu menjadikan akal manusia akan merabab-raba dalam menentukan nilai-nilai absolutisme dalam agama.
 Di mana, ketika akal mendapatkan bimbingan wahyu manusia menemukan sebuah petunjuk. Di sa‘at akal meraba wilayah ketuhanan lalu wahyu membimbingnya. Akal yang sebelumnya kosong identitas dalam menangkap wujud Tuhan, kemudian wahyu menjelaskan dengan sangat rinci tentang Tuhan. Penjelasan ini bermula dari keberadaan Tuhan yang tidak adalagi keraguan di dalamnya. Kemudian wahyu menyebutkan nama. Allah adalah Tuhan dengan zat dari segala sifat yang melekat pada-Nya.
Apa sebenarnya tujuan para failosof berusaha memahami wilayah yang absolut dengan menggunakan sepenuh akal di dalamnya. Tujuannya hannya satu, yakni membebaskan manusia yang sa‘at itu sudah larut dalam pemahaman mitos. Lalu muncullah para pemikir untuk mengajarkan cara berfikir masyarakat sa‘at itu bagaimana memahami agama dengan keyakinan spritual monoteisme.
Allah swt. adalah Tuhan yang dengan sifat Al-Wali, bertajalli dalam diri hamba-Nya. Ketika sifat ketuhanan terakumulasi dalam diri hamba tidak semata pula hamba itu menjadi Tuhan. Ibnu ‘Arabi mengajrakan konsep al-wahdah al-wujud kepada manusia bukan menginginkan manusia menjadi Tuhan, melainkan, Ibnu ‘Arabi mencoba untuk membangkitkan sifat ketuhanan terjewantahkan dalam diri manusia sehingga prilaku keilahian menjadikan manusia memahami konsep dan nilai-nilai Islam secara utuh dan sempurna. Prilaku nilai yang didasarkan atas tindakan yang bermoral, penuh dengan etika, dan akhlak yang agung sebagaimana Nabi Muhammad saw. telah mempraktekkan dalam misi kenabiannya.
Beragam makna dari kata  waliwali yang bermakna sebagai penolong, wali yang bermakna sebagai penjaga, dan wali juga bermakna sebagai pembela. Kata wali dalam asmaul husna berada pada urutan ke tujuh puluh tujuh. Wali juga bermakna memerintah. Memerintah kepada manusia untuk mengatur sistem kehidupan sosial yang bertujuan untuk menciptakaan kemashlahatan terhadap umat manusia.
Sistem Politik Islam yang dibangun hari ini dengan berbagai konsep kekuasaan menjadi sebuah bukti jika Tuhan adalah puncak tertinggi kepeminpinan yang ada di muka bumi. Kekuasaan yang berdasarkan pada konsep kedaulatan Tuhan dalam sistem politik sering disebut dengan teokrasi. Hadirnya tokoh-tokoh pemikir Politik Islam membicarakan hal ini dengan sangat detil. Wali dalam pengertian memerintah mengejentawankan misinya dengan menjadikan bayang-bayang-Nya menjelma menjadi kata pemimpin sebagai khalifah dimuka bumi. “The shadow of god in the earth para ahli menyebutkannya.
Berbicara wali sebagai pemimpin mempersempit kosa kata. sebab pemimpin dalam bahasa ketatanegaraan Islam disebut dengan khalifah atau amir. Sebagaimana Abu Bakar dijuluki dengan khalifah sementara umar bin khattab lebih memilih sebutan untuk dirinya sebagai Amirul Mukminin, dan bukan Waliyul Mukminin Pada kenyataan ini menyangkut dengan ‘alimul ghaib, pertanyaan yang muncul adalah, sudahkah para pemimpin di bumi sebagai bayang-bayang Tuhan mengikuti proses berfikir dengan menggunakan kaca mata ilmu penerangan membaca masa depan Umat Manusia yang dipimpinnya dengan sistem-sistem mutakhir dengan berbagai macam konsep penataan kehidupan bermasyarakat untuk memperjuangkan hak-hak makhluk. Tentunya manivestasi wali hadir pada diri pemimpin sebagai penolong, penjaga dan pembela dimuka bumi.
Pada sa'at Adam diciptakan Tuhan, Semua makhluk di Syurga Sa'at itu tidak ada yang melakukan pembangkangan terhadap keberadaan Adam, sebagai makhlik baru yang diciptkan Tuhan untuk mengisi alam jagad raya. Malaikat cuma ingin menklasifikasi kepada Tuhan. Klasifikasi malikat akan keberadaan Adam di abadikan dalam Alqura sebagaimana tercantum dalam surat Al-Baqarah ayat 30.  
Artinya, “ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
Ayat di atas menjelaskan dialog antara Tuhan dan malikat. Ketika malaikat merasa tidak memahami kenapa Tuhan akan menciptakan makhluk yang bernama manusia. Di mana malaikat mengatakan, kenapa Tuhan menciptan makhluk yang melakukan pertumpahan darah di muka bumi akan engkau ciptakan. Lalu Tuhan menjawab "Aku lebih tahu atas apa yang tidak engkau ketahui". Mendengar Tuhan berfirman malaikat tidak melakukan lagi memberi pernyataan.
Muncul pertentangan atas keberadaan Adam di syurga dikala Tuhan ingin mengangkat Adam menjadi khalifah di muka bumi. Pertentangan ini dimulai dari pembangkangan syetan yang tidak mau mengakui eksistensi kekhalifan Adam. Dengan tidak mau bersujud kepada Adam. Dan mulai sa'at itu juga syaithan dikutuk oleh Tuhan dan diusir dari syurga. Sejarah pertama pertentangan yang terjadi di alam ini setelah Adam diciptakan Tuhan ketika pelantikan Adam sebagai pemimpin di muka bumi. Pemimpin di sini bukanlah sebagai wakil Tuhan. Melainkan makna khalifah keberadaannya sebagai pengganti dalam menjalankan misi ketuhanan untuk memimpin alam semesta serta menjaga keseimbangannya.
Sudah menjadi tabi'at bagi manusia yang mengikuti langkah syaithan, di mana selalu memperebutkan kekuasaan dengan cara apapun, walaupun dengan merampas secara bathil. Bathil dalam memperoleh kekuasaan tentu juga bathil dalam mempergunakan kekuasaan tersebut. Kekuasaan yang diperoleh dengan cara yang tidak lazim sesuai dengan aturan yang berlaku, akan membuat pelakunya bakal bingung dalam menjalankan kekuasaan tersebut. Apalagi sudah direncanakan dari awal, jika kepemimpinan yang sekarang ada dalam genggamannya akan disalah gunakan. Penguasa seperti ini tentunya akan dibuat bingung oleh kekuasaannya sendiri. Bingung dalam menjalankan setiap program. Bingung karena ketidakmampuannya dala memimpin. Bingung karena dimusuhi banyak orang. Bingung karena mewanti-wanti rasa takut sebab telah melakukan kecurangan. Serta bingung sebab setiap apa yang diprogramkan tidak berjalan seperti yang diharapkan oleh rakyat yang dipimpinnya.
Pemimpin itu, paham ilmu 'alimul ghaib. Dalam artian paham dan mampu membaca visi misi yang jauh akan pembangunan yang diinginkan oleh rakyatnya. Tentunya keinginan yang sesuai dengan kebutuhan rakyat. Bukan yang diinginkan sesuai dengan kebutuhan penguasa. Program pembangunan yang menguntungkan penguasa saja. Seperti membangun fasilitas tertentu di mana ada usahanya di situ. Jika tidak ada yang terkait dengan usaha pribadinya, maka dia akan berfikir ulang untuk melanjutkan program tersebut. Pemimpin yang mampu membaca bagaimana menciptakan kesejahteraan sesuai kebutuhan rakyatnya. Bukan cuma pandai dan sekedar paham membaca visi misi kedepan sekedar memenuhi kebutuhan sendiri. Sehingga kekuasaan yang ada hannya untuk memperkaya dirinya, keluarganya, dan kelompoknya saja.
Kekuasaan tertinggi adalah milik Tuhan. Apa yang tidak dimiliki Tuhan didunia ini. Kekuasaan-Nya meliputi langit dan bumi. Bahkan hidup dan mati setiap makhluk pun dalam genggaman-Nya. Maha kaya dan maha memperkaya hamba-Nya. Yang maha kuat, maha agung, maha tinggi, maha tahu atas segala sesuatu baik pengetahuannya atas kejadian masa lalu dan masa yang akan datang.
Pertanyaannya, adakah sekali-kali saja Tuhan menampakkan wujud nyata-Nya didunia ini, untuk mengambil dan mempraktekkan hak kesombongan-Nya, terhadap apa yang Tuhan miliki di Alam ini. Seperti manusia menampakkan dirinya terhadap apa yang dia miliki, baik kekayaan, kekuasaan, kecantikan, kecerdasan dengan menggunakan media sosial dan media-media lainnya yang mempermudah dirinya menampakkan apa yang sudah dia miliki. Jawabannya tentu Tuhan tidak pernah melakukannya prilaku memamerkan dirinya.  Pada kenyataannya, Tuhanlah yang berhak menampakkan diri_Nya atas kepemilikan-Nya yang Tuhan kuasai di alam ini.
Berbanding terbalik dan sangat berbeda dengan manusia sedikit nikmat yang diberikan tuhan lalu petantang-petenteng menampakkan keangkuhannya kemana-mana berteriak, inilah saya, inilah kekuasaan saya, inilah kekayaan saya. Padahal kepemilikan atas semua itu hannya kepemilikan yang sifatnya sementara semata. Jangankan untuk menguasai materi yang dimilikinya untuk menguasai dirinya sendiri manusia tidak mampu, dalam artian manusia tidak punya kuasa atas dirinya sendiri.
Hannya Allah swt. yang tahu siapa orang-orang yang tersesat dijalannya dan siapa pula orang yang mendapatkan petunjuk-Nya. Hakikat petunjuk itu adalah Alquran. Alquran merupakan pedoman dasar bagi kehidupan manusia dalam berbagai konteks. Petunjuk Alquran itu bersifat umum sekali dan lugas. Untuk memahami petunjuk Quran perlu mempelajari beberapa ilmu dan ini tugas guru mengajarkan dan kita berusaha mempelajarinya.
Dalam menjalankan pesan pesan Alquran negara menerjemahkannya melalui undang undang sebagai bentuk spesifik transformative normativ sehingga lahirlah berbagai macam aturan-aturan yang berlaku dalam suatu negara. Jabarannya berkembang menjadi undang undang, perpres, permen, pergub, perbub, diskresi, qanun, adat, resam.  Di mana dalam berbagai bentuk turunan aturan tersebut bertujuan untuk menciptakan jalan keluar dalam menyelesaikan persoalan secar sistematis dan terstruktur.
Tuhan telah menciptakan petunjuk jalan dalam berbagai levelnya. Baik jalan yang dinamakan dengan sabilisyariahthariqat, dan sirath. Atas semua penurunan ini, element utama penujuannya adalah jalan yang lurus, atau juga disebut dengan sirathal mustaqim. Sirathal mustaqim ini begiitu sering kita membacanya dalam surat alfatehah terletak pada ayat yang kelima.
Eksekutor utama  tentang jalan yang lurus terkait dengan urusan kewalian (kepemimpinan) hari ini adalah pemimpin dalam berbagai level, baik presiden, gubernur, bupati dan kepala kampung. Keempat posisi ini mesti dipegang oleh orang-orang yang jujur yang memiliki dan mengejewantahkan sifat al-wali dalam dirinya. Sebagaimana Ibnu ‘Arabi mengajarkan kepada manusia, bahwa sifat-sifat ketuhanan itu mesti bertajalli dalam diri pemimpin dimuka bumi.   
Jika ayat Alqur‘an sudah didustakan maka undang-undangaturanperprespergubperbubdiskresiadat, resam, dan berbagain macam istilah lainnya sebagai turunannya akan dikelabui. Lalu kemudian aturan dan program yang sudah dibuat hannya digunakan untuk kepentingan pribadinya saja atau kelompoknya saja.
Setiap adalah pemimpin, dan setiap kita adalah al-wali dalam berbagai level kepemimpinan. Dalam hal ini keberadaan setiap kita bukanlah penggelabui hukum, perusak undang undang, pendusta aturan, yang dipraktekkan hannya untuk kepentingan nafsu pribadi semata. Selamat berjuang dengan Alquran wahai para mujahid yang sedang berada didepan yang kita menyebutnya adalah pemimpin dari setiap skala temperatur kekuasaan.
Pemimpin yang mampu membaca sesuatu yang tidak diketahui banyak orang dalam menciptakan kemashlatan umat. Potensi kepemimpinan sebagaimana dijelaskan pada awal penjelasan di atas, pemimpin yang paham akan ilmu keghaiban yang mampu membaca keadaan dari berbagai kemungkinan, atau pemimpin yang mampu memahami konsep ‘Alimul Ghaib.
Mari menanamkan dengan benar apa yang sudah terpatri dengan kuat dalam diri seorang pemimpin. Sebagaimana yang diucapkan oleh seorang failosof politik zaman klasik Italia yang bernama Niccolo Machiavelli. "J Love My Country Than More My Soul" (aku mencintai negeriku melebihi cintaku terhadap diriku sendiri).

             Amfat Es Dot Fil.....
Jakarta, 10 November 2019

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Meraih Gelar Doktor; Muchlinarwati Disabilitas yang Menginspirasi

Melihat Masalah dengan Masalah

SURAT TERBUKA: KEPADA YANG TERHORMAT BAPAK BUPATI ACEH BARAT DAYA