Born to Winn Bersama Dato Majo Nan Sati Uda Herman
Menenangkan
diri dengan menikmati sebuah perjalanan kecil di Ibu Kota. Perjalanan ini
berharap dapat membawa perasaan yang sebelumnya penat jadi terhibur. Hari libur
menjadi momen bagi masyarakat kosmopolitan refresh sejenak dari berbagai macam
aktifitas. Sebagai orang yang merasa penat dengan aktifitas pribadi, saya
merasa menikmati hari libur itu penting, dengan berjalan keliling Ibu Kota.
Memasuki cafe dengan bajat termurah hingga masuk ke cafe dengan bayaran yang
mahal. Semua tersaji dengan sangat lengkap. Dari minuman non alkohol
sampai pada minuman beralkohol.
Benar kata
orang-orang, hidup ini adalah pilihan. Mau memilih apa saja tersaji dengan baik
di disetiap sudut kota. Memilih tentunya menentukan pilihan. Pilihan setiap
orang berbeda. Ada yang nyaman dengan pilihan kirinya, dan ada yang bahagia
dengan pilihan kanannya. Setiap pilihan ada konsekuensinya. Jika memilih dengan
pilihan yang baik, tentunya pilihan tersebut bersinergi dengan Ajaran Agama.
Setiap objek yang dipilih ada konsekuensinya. Memilih yang kiri mendapatkan
resikonya, memilih yang kanan memperoleh imbalannya.
The Gunawarman, bukanlah cafe
sebagaimana bentuk lazimnya cafe di negeri seribu warung kopi. Cafe dengan
bentuk bangunan pertokoan biasa. Berjejer beberapa pintu toko, lalu dijadikan
satu, sehingga luasnya mencapai sekian persegi panjang. Atau bukan juga cafe
yang di depannya berjejernya rak penjual beberapa jenis makanan. Seperti, Mie
Aceh, Martabak Telur, Nasi, dan berbagai sajian makanan lainnya. Berbeda dengan
The Gunawarman cafe, gedung mewah dengan arsitektur modern, dengan
perabotan mewah ala mutakhir. Tempat nongkrong di malam hari ini sangat padat
pengunjungnya. Sehingga tamu malam hari harus memesan terlebih dahulu tiga
malam sebelumnya. Cafe yang dilengkapi dengan hotel dan yang lainnya.
Cafe dengan
toliet termahal ini menarik perhatian saya, ketika mencoba masuk untuk sekedar
menitip hajat. Apalacur, sangking mewahnya kamar kecil yang disediakan kepada
pengunjung, jangankan perasaan saya, kotoran malu ketika tahu dia hendak
dibuang di sana. The Gunawarman cafe di dalamnya tersaji dengan
berbaggai bagai jenis minuman dan makanan mewah lainnya. Minuman berbagai macam
jenis. Dari minuman jenis mineral sampai berjenis alkohol tersedia. Semuanya
tinggal dipilih sesuai selera. Begitu dengan makanan, tersedia apa yang
diinginkan, tanpa ada rak penjual makanan siap saji didepannya. Semua tersedia
dengan sangat berbagai macam makanan elit lainnya.
Buku panduan
makanan disodorkan oleh pekerja cafe. Masing-masing melihatbdaftar menu
minuman. Terdata semua makanan mengandung alkohol. Saya yang berasal dari
negeri yang terlanjur diberi nama Serambi Mekkah, bertanya dalam hati. Negeriku
adalah negeri di mana sebuah tujuan tentang kebaikan Islam sedang
diperjuangkan. Tentunya minuman yang saya pilih sebuah cerminan, jika saya
adalah orang yang berkomitmen mendukung Syari ‘at Islam, tentu saja komitmen
dengan nila-nilai syari’at tersebut terlihat dari pilihan minuman yang saya
pesan ketika berada di kota yang terpisah secara geografis negeri bersyari’at.
Tentunya sangat berlebihan jika saya menyebutnya diluar negeri bersyari’at,
sebab negeri tersebut masih berada dalam negara kesatuan Republik Indonesia.
Kopi Ekspreso
double, menjadi pilihan saya. Kopi di mana proses penetrasinya sangatlah rinci.
Di mana perasan sari kopinya begitu diperhitungkan. Satu tetesan kopi terserap
dari saripati kopi aslinya. Tidak heran perasannya menghasilkan warna dan aroma
kopinya sangatlah kental, dan pahitnya sangatlah terasa. Jangan ditanyak
harganya berapa, sebab sudah dihitung dengan kurs dolar Amerika negeri koboi
taik kuda. Seduhan ekpreso dengan kentang goreng ala perancis. Padahal kentang
tersebut ditanam di Indonesia bahan mentahnya. Namun menjadi kentang goreng
perancis ketika dijual di cafe The Gunawarman. Hal ini
mengingatkan saya, tentang cerita kopi yang ditanam didaerah bagian tengah
Negeri Aceh,. “Kopi Gayo punya biji, Kopi Ulhe Kareng punya nama”.
Seduhan kopi
berakhir tepat pukul dua belas siang. Setelah selesai shalat dhuhur kamipun
berangkan ke Subang Jawa Barat. Dengan kecepatan yang sudah diperhitungkan
lambat, sebab perjalanan ini adalah wisata akhir pekan. Perjalanan ditempuh
dengan durasi menenangkan diri dengan menikmati sebuah perjalanan kecil di Ibu
Kota. Perjalanan ini berharap dapat membawa perasaan yang sebelumnya penat jadi
terhibur. Hari libur menjadi momen bagi masyarakat kosmopolitan refresh sejenak
dari berbagai macam aktifitas. Sebagai orang yang merasa penat dengan aktifitas
pribadi, saya merasa menikmati hari libur itu penting, dengan berjalan keliling
Ibu Kota. Memasuki cafe dengan bajat termurah hingga masuk ke cafe dengan
bayaran yang mahal. Semua tersaji dengan sangat lengkap. Dari minuman non
alkohol sampai pada minuman yang tidak mengandung alkohol.
Seduhan kopi
berakhir tepat pukul dua belas siang. Setelah selesai shalat dhuhur kamipun
berangkan ke Subang Jawa Barat. Dengan kecepatan yang sudah diperhitungkan
lambat, sebab perjalanan ini adalah wisata akhir pekan. Perjalanan ditempuh
dengan durasi tempuh yang tidak seperti biasa. Lambatnya laju kenderaan roda
empat yang kami tumpangi, memperkuat keadaan, jika kami sedang dalam perjalanan
wisata. Berjalan dari sudut Ibu Kota menuju pinggir kota Jakarta. Jawa Barat
adalah sebuah kabupaten yang penduduknya mayariitas bersuku sunda.
Suku yang
dikenal sangat lembut perangai orangnya. Tuturnya sangat bersahaja, tingkahnya
sangat manja, gerak tubuh masyarakatnya sangatlah genit (genit dalam pengertian
menyambut ramah tamunya, penuh dengan kegembiraan), Sunda adalah negeri di mana
kata yang terdengar aneh di sa’at mereka mengatakan kepada tamu yang sudah
berada di meja makan dengan berbagai macam hidangan teraaji di atasnya “mangga”
akang dimakan makanannya. Sebanyak itu makanan yang dihidang hannya buah mangga
yang disebut dan ditunjuk dengan menggunakan tangan kanannya, pertanda makanan
tersebut sudah dipersilakan untuk dimakan.
Menempuh
perjalanan dalam beberapa jam menuju Negeri Subang. Tiba dimalam hari.
Diperjalan menuju ketempat tujuan kamipun mendengar suara azan magrib. Segera
menuju mesjid terdekat, tentunya dipinggir jalan terdekat. Kami dengan jumlah
empat orang berjenis kelamin yang sama, menunaikan shalat magrib ples jamak
isya. Istirahat sejenak, tepat jarum jam menunjukkan pada angka sembilan belas
waktu Indonesia barat, kamipun melaju kembali menuju tempat kejadian perkara.
Ternyata di
sana sudah ditunggu oleh masyarakat Subang. Sajian makan malam sudah
terhidangkan. Kamipun memakannya dengan sangat bersahaja, mengingat keadaan
sudah berubah, kami disambut bak tokoh pejuang yang baru pulang dari medan
tempur melawan penjajahan Belanda. Belanda yang dulunya banyak menjadikan gadis
-gadis Subang sebagai istrinya. Maka tidak heran, jika di negeri Subang banyak
keturunan blasteran eropa belanda dengan wanita indo mongoloid Sunda. Konon
ceritanya, dari percampuran gen yang berbeda benua ini melahirkan wanita-wanita
cantik di negeri dingin yang berjuluk ribuan hektar kebun teh.
Acarapun di
mulai. Masing-masing dari kami diminta untuk menyampaikan sebuah pesan filosofi
pergerakan. Tentunya pergerakan berdasarkan konteks kenabian. Mengingat, bulan
ini adalah bulan maulid, maka pergerakan dimaknai berdasarkan relevansi maulid
dengan gerakan perubahan. Dua belas rabiul awwal adalah memperingati gerak
fisik kenabian. Di mana pada tanggal tersebut Nabi Muhammad saw. Sang motivator
alam dilahirkan kedunia dalam bentuk fisik.
Sementara luput
dari perhatian kita, memperingati maulid dalam pengertian gerakan pemikiran
nabi. Jika dua belas rabiul awwal maulidnya nabi dalam bentuk fisik. Maka satu
Muharram adalah memperingati maulid nabi dalam bentuk gerakan. Gerakan
perubahan sosial kearah yang jauh lebih baik menuju kesejahteraan di dunia dan
kebahagiaan di akhirat. Jika lahirnya manusia dalam bentuk fisik dibutuhkan
penanganan medis yang sempurna, tentunya lahir dalam bentuk gerakan perubahan
harus ditangani juga dengan manajemen dengan struktur organisasi yang di
dalamnya terdiri atas pembentukan sel-sel jaringan yang kuat.
Lahirnya nabi
dalam bentuk fisik menghadirkan tubuh sebagai media untuk memperagakan prilaku.
Sementara lahirnya nabi dalam bentuk perubahan, untuk memperagakan sistem
bergerak dengan gerakan yang terukur, sistematis, dan rasional dalam berfikir
serta universal dalam melangkah.
Berwisata akhir
pekan, berakhir dengan makan ketan bakar dipinggir jalan menuju gunung
Tangkuban Perahu..........
Komentar
Posting Komentar