Kenabian dan Sahabat Dalam Paradigma Anomali


Bangsa Arab tercatat dalam sejarah adalah bangsa yang terpojok diantara hegemoni kerajaan besar yang sudah begitu kuat pada masanya, yakni kerajaan Romawi dan Persia. Dengan hadirnya Islam bangsa Arab menjadi mulia serta terangkat derajatnya lewat sentuhan lembut dari seorang penghulu alam sang inspirator ulung Nabi Muhammad صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.      َ
Muncul Sebuah pertanyaan yang mesti diuraikan hari ini adalah, adakah disa‘at Nabi Muhammad صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mendidik sahabat-sahabat beliau dengan mengirim belajar pada kedua kerajaan besar tersebut, untuk belajar menguasai dunia, terutama mengalahkan bertujuan untuk mengalahkan dua kerajaan besar tersebut. jawabanya tentu tidak, namun sebaliknya Rasul mendidik sahabat-sahabatnya dengan metode pembelajaran yang tertanam dalam Al-Quran dengan  menggunakan konsep amanah, fathanah, siddiq dan tabligh, lembut, berkeyakinan, konsisten, sehingga dua kerajaan besar Romawi dan Persia dapat direbut dan diruntuhkan oleh sekelompok besar orang-orang yang didik langsung oleh Nabi Muhammad صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, begitulah tercatat dalam sejarah perkembangan Islam.
Istilah sahabat sebagaimana dijelaskan oleh Abdul Mustaqim, dalam Madzahibut Tafsir, shahabat itu berasal dari bahasa Arab, yakni “Al-Ahshab, Ash-Shahabah, Shahaba, Yashhubu, Suhbatan, dan Shahibun”, yang artinya, teman bergaul, teman duduk, pengikut, teman dekat, atau orang yang melakukan dan menjaga sesuatu.
Imam Ahmad bin Hambal, menyebutkan sahabat rasul adalah orang yang pernah hidup bersama Nabi Muhammad صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, baik hidup dalam masa satu bulan, satu hari, atau sesaat melihatnya.
Sa’id bin Musayyaf merupakan seorang pemuka tabi’in, mengemukakan sahabat adalah orang-orang yang hdup bersama Rasulullah  صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ selama satu, atau dua tahun dan pernah ikut berperang satu atau dua kali.
Menurut Ibnu Hajar Al-Haitami, shahabat itu adalah orang yang pernah berjumpa dengan Nabi Muhammad صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dan orang tersebut menjadi Mukmin dan hidup bersama beliau, baik dalam durasi waktu yang lama maupun sebentar, baik orang tersebut meriwayatkan hadis maupun tidak dari Nabi, atau orang yang pernah melihat sekali, atau tidak pernah melihat Nabi karena tidak bisa melihat.
Ahmad Muhammad Syakir, memberikan penekanan pembahasan ketika membicarakan tentang sahabat dengan berbagai sudut pandang, hannya terdapat beberapa kata yang dapat dihubungkan dengan sahabat seperti, tushahibni, shahibahuma, shahibahu, shahibatahu, ashab, ashhabun.
Kata-kata tersebut dibanyak tempat dalam Alquran dan berulang disebutkan sebanyak 97 kali. Penjelasan lebih lanjut bahwa yang termasuk dalam katagori ini adalah orang yang sempat bertemu dengan Nabi, baik bertemu dalam rentang waktu yang lama maupun singkat, baik meriwayatkan hadis dari beliau maupun tidak, turut berperang dengan beliau maupun tidak pernah ikut berperang, orang yang pernah melihat dan ikut menemani beliau maupun tidak pernah ikut menemaninya, dan orang-orang yang bisa melihat beliau disebabkan dengan sesuatu hal karena matanya tidak bisa melihat.
Dari beberapa uraian pengertiaan kata sahabat di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dikatakan sahabat nabi adalah semua orang yang pernah melihat, bertemu, atau tinggal bersama Nabi Muhammad صل الله عليه وسلم , walaupun tidak terlalu lama, tetapi pernah mengikuti berbagai aktifitas dakwah Nabi, dan orang tersebut tetap menjaga imannya mulai dari awal memilih Islam sebagai jalan hidup hingga masa kehidupannya berakhirnya.
Tidak penting sudah berapa banyak ijazah yang telah engkau koleksikan, sebab kertas yang berlabel perguruan tinggi itu cuma berfungsi sebagai tanda alumni saja. Hal yang penting di kembangkan adalah seberapa bergunakah ucapan dan tindakanmu itu bisa dinikmati oleh orang lain sebagai tanda intelektualitas yang hidup di tengah-tengah komunitas kemasyarakatan. Efek dari proses belajar akan mmenghasilkan perkataan yang menambah wawasan keilmuan walaupun ucapan itu sepatah kata, serta tindakan kebaikan kepada yang lain walaupun dengan tindakan yang sederhana.
Tugas utama yang harus dilakukan oleh generasi studi di lembaga pendidikan adalah belajar dengan giat sampai saatnya mengikuti ujian. Jika ujian tiba soalpun diperiksa oleh guru dan nilainya akan diberikan sesuai dengan kemampuan murid dalam menjawab soal ujian, yang mana kemampuan tersebut diisi didalam sebuah raport. Pada tahapan ini sesama murid tidak dibolehkan untuk saling mengisi rapor, sebab tugas mengisi rapor adalah wilayah, hak, dan tugasnya guru.
Disaat yang sama bukankah manusia hidup di dunia ini persis sama seperti seorang murid sebagai pelaku studi  yang sedang belajar, lalu kemudian dalam perjalanannya akan selalu berhadapan dengan ujian-ujian dari Tuhan. Nah, jika sesama murid tidak dibolehkan saling mengisi rapor dalam artian analogi bahwa sesama manusia yang sedang mengikuti proses hidup tentu yang disuruh itu adalah terus menerus belajar memperbaiki diri, bukan saling menilai antara satu dengan yang lainnya apalagi menjustifikasi syurga dan neraka, baik dan buruk kepada sesama manusia.
Sesama pelaku studi tidak dibolehkan mengisi rapor. Hak memberikan nilai akhir pada manusia adalah Tuhan, jadi Tuhanlah yang berhak mengisi rapor bagi keberhasilan seseorang dalam proses keberhasilan memperbaiki dirinya, sehingga syurga menanti disaat manusia itu kembali kepada-Nya.
Transformasi ilmu pengetahuan tidak mengenal adanya istilah etika dalam proses interaksinya yang ada saling mengingatkan. Inilah konsep Islam yang disebut tawasuth atau proses berfikir moderat serta memposisikan diri pada garis tengah, ekstrem tidak liberal pun buka. Antara ekstrem kanan dan liberal, posisi ditengah-tengah itulah prinsip yang dibangun dalam cara  berfikir dialektika Ahlussunnah Wal Majama'ah.
Nah, untuk menjadi tawasuth dalam berfikir  bukan sekedar berpengetahuan saja. Disinilah sesama kaum yang sudah dianugerahkan secara natural potensi akal oleh Tuhan butuh wadah diskusi yang logis dan saling mengisi, supaya sampai pada kesimpulan saling memahami. Sehingga pada akhirnya kita tidak terjebak dalam prilaku brutal, beringas,  mau menang sendiri dalam memahami dirkursus keilmuan dalam memahami paradigma budaya memahami memahami terhadap persoalan ilmu pengetahuan agama.
Menghidupkan budaya critikalisasi dialektical dalam forum keilmuan, agar supaya fungsi studi sesama murid berjalan. Sesama generasi stuudi punya hak untuk menguasai kelas, punya hak untuk mendiskusikan setiap mata pelajaran, akan tetapi yang mempunyai hak preogratif untuk memberi nilai tetap guru. Pada wilayah ini sesama murid tidak diboleh saling memvonis nilai dan menghakimi, sebagaimana manusia tidak diberikan hak untuk menilai dan menghakimi orang lain karena penilaian benar atau salah itu adalah wilayah ketuhanan. Di sini manusia harus menggunakan kaca mata manusia dalam melihat dan menilai manusia yang lainnya.
Diceritakan  dalam sejarah Nabi Muhammad صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. tidak pernah mempunyai seorangpun murid dan tidak pernah mempunyah sebutan yang rendah ketika Nabi mengidentivikasi orang yang lain ikut bersama beliau, apalagi memposisikan orang lain sebagai pribadi suruhan, atau dalam bahasa kita hari ini seorang budaknya atau anak buahnya Nabi yang dipekerjakan dan siap melaksanakan tugas dengan aturan yang berlaku oleh pemilik usaha atau perusahaan.
Nabi juga tidak pernah mempunyai seorang, santri, siswa, dan mahasiswa disa‘at proses transformasi ilmu dilakukan kepada orang-orang yang mendiami kota Mekkah dan Madinah sa ‘at itu. Namun sebaliknya yang ada hanyalah panggilan dengan sebutan yang bernarasi sahabat (partnership). Sahabat yang empat disebut dengan Khulafaur ar-rasyidin.
Sahabat-sahabat Nabi ini jumlahnya ribuan orang, ada sahabat yang kaya, ada sahabat yang ‘alim dengan pengetahunnya, sahabat yang bijak, sahabat yang kuat fisiknya, dan sahabat-sahabat dengan berbagai macam potensi yang lainnya. Masing-masing sahabat mem-punyai kelebihan dan kekurangannya dan masing-masing sahabat siap melaksanakan perintah dari sahabat besarnya yaitu Nabi Muhammad صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
Sahabat yang baik adalah sahabat yang mampu menerjemahkan bahasa dan perkataan sahabatnya kearah yang jauh lebih baik, sehingga memunculkan pemahaman yang lebih berkembang dan tercerahkan. Bukan malah memutarbalikkan perkataan sahabatnya sehingga terjadilah keributan dimuka bumi oleh karena sifat kebencian yang dimunculkan, bukan menutup potensi permusuhan.
Ketinggian akhlak dan sifat Nabi Muhammad صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  yang mesti kita praktekkan hari ini adalah sebuah pengakuan kolektif bahwa semua kita adalah bersahabat. Kata sahabat mengandung unsur makna yang sangat tinggi, roman, dan indah. Makna filosofis sahabat itu lebih ‘arif dan agung dalam hal proses komunikasi keilmuan, sehingga hubungan keduanya mengandung revealing at the sametime konseling yang saling mempengaruhi sikap kebersahajaan. Pada tahapan lebih jauh saling berusaha untuk menciptakan serta memunculkan eksistensi sahabat dalam segala hal, lalu pada tahapan berikutnya bersama- sama saling memuliakan.
Sekiranya bagi mereka yang mengklaim pewaris para Nabi memahami konteks sejarah dalam hal yang berkaitan dengan sahabat. Al-‘ulama u waratsatul anbiya seharusnya menjadi sahabat bagi ummatnya. Orang-orang yang sudah memilih jalan para kiai, ustadh, dosen, guru, teungku atau posisi para pelaku kelimuan, baik ilmu yang menyangkut dengan agama maupun ilmu pengetahuan umum tidak menjadikan orang yang sedang mengikuti proses belajar dengannya sebagai murid, melainkan  lebih dari itu menjadikan sebagai sahabatnya. Bukan malah menjadikan sahabat itu sebagai muridnya.
Historical facts Nabi Muhammad صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ adalah seorang pemimpin, baik pemimpin keluarga, pemimpin pemerintahan negara, maupun pemimpin perang sebagai panglima. Dalam menjalankan roda pemerintahan sebagai kepala negara Nabi Muhammad صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tidak pernah mempunyai anak buah apalagi menjadikan mereka sebagai anak buahnya, namun semua yang terlibat dalam proses pelaksanaan ketatanegaraan dan sebagai pemangku keagamaan dalam menyebarkan ajaran Islam   Nabi Muhammad صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tetap memposisikan mereka adalah sahabat bukan anak buah, bukan pesuruh, dan bukan budak.
Seyogianya yang hari ini mengakui sebagai pewaris para Nabi sudah semestinya menjadikan semua yang ada di alam ini sebagai sahabat bukan pesuruh, atau  murid apalagi menganggap sebagai buruh dan budak. siapapun anda dimanapun posisinya bersahabatlah kepada sesama lalu kita saling menjaga dan saling mengisi kekurangan masing-masing, bukan malah menjadikannya buruh atau budak sehingga engkau menjajah hak-hak mereka atas dirimu. Jika prilaku arogansi yang muncul dalam diri seseorang akan menjadikan orang yang dibawahnya sebagai pribadi yang rendah. Maka ketimpangan sosial akan meng eksistensi survival dan berkelanjutan.
Siapapun kamu, apapun posisimu, sebesar apapu pengaruhmu, setinggi apa kedudukanmu dalam struktur sosial, sebanyak apa harta kekayaan yang engkau miliki, Mari bersahabat, karena persahabatan itulah yang dibangun oleh Nabi Muhammad صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dalam memperjuangkan Islam dan memorjusuwarkannya diseluruh sentro dunia. Sebagaimana misi persahabatan yang dibangun oleh Nabi diterjemahkan dalam bentuk ungkapa hadeh maja masyarakat Aceh dengan ungkapan, “lam mekat tamesare, lam megle tamebila, lam gampong tametulong alang, lam meblang tamesyedara”. (dalam perdangangan kita bergerak bersama, ketika dihutan kita saling membela, dalam komunitas kita saling membangun sifat gotong royong saling membantu, sementara dalam urusan persawahan (bertani) kita bersaudara).



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Meraih Gelar Doktor; Muchlinarwati Disabilitas yang Menginspirasi

Melihat Masalah dengan Masalah

SURAT TERBUKA: KEPADA YANG TERHORMAT BAPAK BUPATI ACEH BARAT DAYA