Menikah dengan Syari‘ah dan ‘Urf dengan Walimah
وَمِنْ آيَاتِهِ
أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ
بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ
يَتَفَكَّرُونَ
Artinya, “dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung
dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan
sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang berfikir. (Surat Ar-Rum ayat
21)
Menikah dan patuh
kepada orang tua itu adalah hukum syariah. Sementara melakukan proses walimahan
adalah sunnah. Sunnah walimahan menjadi 'urf dan adat kebiasaan dalam hidup
bermasyarakat. Jika menikah aturan yang dibicarakan dalam hukum syari‘ah, maka
walimah atau pesta atau kenduri dalam tradisi masyarakat Aceh menyebutnya dipahami sebagai sunnah.
Melanggar syariah sebuah
pengingkaran terhadap nilai-nilai agama. Sementara melanggar adat menimbulkan
turunnya kehormatan dalam strata sosial. Kemulian sebuah keluarga berawal dari
pengangkangan terhadap sakralita budaya. Dalam konsep Islam menikah bagi
perempuan mempunyai konsekuensi serius dibandengkan penekanan hukum bagi
laki-laki. Keseriusan bagi perempuan mesti mendapatkan restu kedua orang tua
atau wali. Wali mempunyai hak paten asuh terhadap seorang wanita. Termasuk mempunyai
hak paten dalam menentukan dengan siapa si wanita boleh atau tidak untuk menikahinya.
Begitu kuatnya peran
wali bagi wanita dalam persoalan menikah. Sehingga dalam prosesi pernikahan
tersebut harus disaksikan langsung oleh orang yang bertalian darah dengannya.
Jika orang tua atau wali yang mempunyai hak paten perwalian ditentang oleh seseorang
wanita, maka pernkahannya tidaklah sah. Apapun alasannya, jika orang tua atau
wali yang mempunyai hak paten asuh tidak merestuwi, maka pernikahan tersebut
tidak boleh dilaksanakan. Walaupun gunung akan runtuh dan lautan akan
meledakkan airnya setinggi mungkin yang kemudian meluluh lantakkan isi bumi yang
ada.
Wanita yang menikah
dengan seorang lelaki pilihannya yang tidak direstui atau dipersaksikan oleh
orang tua atau walinya. Maka pernikahan
tersebut tidak hannya sekedar batal, bahkan tidak sesuai dengan syariah. Jika pernikahan
tersebut tetap dilaksanakan, jika melakukan hubungan suami istri bakal dainggap
telah melakukan perbuatan terlarang. Pernikahan tanpa wali sering dipraktekkan
oleh sebagian orang yang kehilangan restu dari walinya.
Peristiwa kawin lari biasanya
memanfa‘atkan jasa qadhi liar. Qadhi yang keberadaannya tidak mendapatkan
pengakuan oleh pemerintah yang sah. Pernikahan seperti ini akan mengakibatkan ikatan
pernikahan tidak kuat. Serta merusak
tatanan garis keturunan baik dari segi syariah maupun dari segi administrasi
baik dalam hal pengurusan nikah dan sistem pendataan akte kelahiran bagi anak. Kedudukan
pernikahan yang dilaksanakan oleh qadhi liar tanpa wali dipandang haram dari segi
hukum agama dan melanggar undang-undang negara.
Sementara walimahan,
pesta, dan kenduri merupakan simbol ketinggian derajat keluarga dalam sosial kemasyarakatan.
Pesta perkawinan dan penentuan mahar sering menjadi ajang kompetitif pada sebagian
masyarakat. Dan ini sah-sah saja, mengingat manusia adalah makhluk yang tidak bisa melepaskan diri dari aktifitas adat dan budaya. Adat dan budaya tersebut sering menjadi hukum yang hidup untuk menunjukkan
identitas dalam berbudaya. Keberadaan budaya menjadi media bagi masyarakat dalam berinteraksi dengan berbagai macam komunitas yang berkembang dalam hidup bermasyarakat.
Pesta perkawinan sudah menjadi ajang budaya dan prestise kehormatan untuk menunjukkan kedudukan sebuah keluarga. Tentunya untuk memperkenalkan kepada kalayak ramai, ahli famili, dan sanak sodara. Jika anaknya yang sudah melangsungkan pernikahan bersifat keharusan, walaupun
hampir mendekati wajib untuk dilaksanakan, walaupun hannya dengan kenduri dalam bentuk yang
sederhana. Tentunya pelaksanaan pesta walimahan ditekankan sesuai dengan kemampuan
masing-masing keluarga.
Berbeda dengan pernikahan
yang dilakukan tanpa penyetujuan wali. Menikah secara diam-diam yang tanpa
diketahui oleh walinya, sudah barang tentu proses walimahan tidak akan
berlangsung. Dikala proses pernikahan tidak ada walimahannya, maka jatuhnya
derajat si empunya keluarga bagi masyarakat adat. Dengan demikian sanksi adat dalam bentuk
penilaian buruk akan melekat pada pernikahan tersebut dengan bahasa cibiran
yang sudah dikenal dalam masyarakat adat “kawin dikita kenduri di urang”.
Menikah tanpa
penyetujuan wali dan tanpa dipersaksikan oleh walinya bagi perempuan hukumnya
tidak sah. Pernikahan yang melibatkan wali di dalamnya menjadi pembeda antara perkawinan
manusia dengan binatang kususnya bagi wanita yang belum pernah menikah. Tentunya
sangat berbeda dengan seseorang wanita yang sudah pernah menikah. Wanita yang
sudah menikah yang dicerai mati atau cerai hidup dengan suaminya mempunyai hak
istimewa yang sudah diatur dalam Islam.
Semoga tulisan sederhana ini menjadi nasehat
bagi laki-laki dan perempuan pada zaman di mana menikah sudah dianggap sebagai
transaksi dagang munakahat. Meminanglah dengan cara yang baik dan menikahlah
dengan cara yang ma'ruf.
Wahai
wanita Jangan pernah percaya dengan orang-orang disekelililngmu, jika mereka
hannya mampu memuji dan mencela saja. jika baik tindakanmu mereka akan
memujinya jika buruk tindakanmu mereka akan mencelanya. Gunung yang diciptakan
itu sama buruknya dengan tanah datar yang didalamkan. Kedua tindakan tersebut
bukanlah sifat asli dari wujud gunung dan danau yang sudah diadakan.
Setelah
kalian melaksanakan pernikahan dan merayakannya dengan pesta sesuai kemampuan
masing-masing, maka ketahuilah kedudukan akad nikah bagi kalia bedua sudah
menjadi milik Tuhan. Bukan lagi menjadi milik laki-laki. Tentunya pernikahan
yang disaksikan oleh wali. Jika pernikahan tersebut dilaksanakan pada qadhi
liar, maka pernikahan tesebut hannya dimiliki oleh laki-laki. Ketika kondisi
seperti ini yang terjadi, maka pihak yang paling dirugikan adalah wanita yang
menikah tanpa wali. Berbahagialah kamu yang menikah atas dasar hukum syari‘ah
dan disetujui oleh wali dengan persaksian masyarakat adat dalam prosesi pesta
perkawinan sesuai kemampuan.
Akhirnya, penulis mengutip pesan pernikahan yang disampaikan oleh bapak Suherman Saleh yang beliau sampaikan pada acara akad pernikahan, "Pelihara
pernikahan itu dengan berbuat baik kepada orang tua masing-masing. Baik orang
tua dipihak suami maupun orang tua dipihak istri. Rawatlah dengan baik komunikasi terhadap keduanya. Hargailah orang tua
masing-masing mempelai sebagai pemilik yang datang, bukan sebagai yang menumpang
tinggal, ketika keduanya datang berkunjung kerumahmu".
Komentar
Posting Komentar