Mimbar dan Arogansinya Ulama Tabligh
Kata wasath pada mulanya
berarti segala yang baik sesuai objeknya. Orang bijak berkata: “Sebaik-baik
segala sesuatu adalah yang di pertengahan”. Dengan kata lain, yang baik
berada pada posisi antara dua ekstrem. “Keberanian” adalah pertengahan antara
sifat ceroboh dan takut; “Kedermawanan” adalah pertengahan antara sifat boros
dan kikir; “Kesucian” adalah pertengahan antara kedurhakaan yang diakibatkan
oleh dorongan nafsu yang menggebu-gebu dan impotensi.
Allah swt. tidak menyuruh umat ini membangun Umat Islam, akan tetapi yang ditekankan Tuhan adalah membangun umat yang cara
berfikirnya "wasath" atau pertengahan atau modern dalam artian
tidak ekstrem kanan dan tidak ekstrem kiri. Bukan umat islam yang diperintahkan
Tuhan untuk dibangun dalam sebuah komunitas yang majemuk, bukan berarti
mengasingkan dirinya dari islam, justru kehadiran islam mengakomodir lahirnya
umat yang berfikir modern. Kehadiran Islam justru seharusnya
memperkuat cara berfikir berkeadilan dan toleran dalam masyarakat, sehingga
terciptalah sebuah kehidupan yang harmonis dalam segala bidang, baik agama,
budaya, politik, ekonomi, hukum, dan lain sebagainya.
Berfikir ekstrem, baik ekstrem kanan
maupun ekstrem kiri menjadikan umat itu terkotak-kotak sesuai dengan seleranya.
Pada dasarnya Ajaran Islam nilainya universal, namun disa'at Islam di
kapitalisasikan bentuknya menjadi beragam institusi, organisasi, kelompok. Ketika Islam menjadi kelompok-kelompok kecil, kondisi seperti ini umat akan mengangkat
dan mencari bos masing-masing yang sudah mengatur straregi salah sambung dalam
memahami agama, setiap kelompok akan membela kelompoknya.
Jika kondisi seperti ini terwujud ditengah-tengah
umat, maka bersiap-siaplah wahai Umat Islam engkau akan mencaci maki sodaramu
sendiri hanya karena orang lain berbeda pandangan dengan bos kalian
masing-masing. Yang sifatnya toke itu pasti untung yang diliriknya, jika tidak
ada untung kapitalisasi baginya maka kelompok yang lain akan dimusuhi secara
terang-terangan.
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ
وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ
يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Artinya, “sesunggunhya
Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum
kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkinan dan permusuhan.
Dan Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”.
Pada surat An-Nahlu
ayat 90 di atas merupakan upaya khalifah Umar bin ‘Abdul ‘Aziz dalam mencegah
penyampaian provokatif terhadap sesama Umat. Konteks ayat ini adalah cacian
yang berkembang ditenga-tengah umat terhadap sahabat Nabi Ali bin Abi Thalib.
Ayat ini merupakan ayat yang dipilih
oleh Umar bin ‘Abdul ‘Aziz ketika akhir dari rukun kutbah jumat yang kedua, atas
anjuran seorang yahudi bernama Abul Hakam. Sebelumnya dalam kutbah jumat selalu diselingi dengan kutukan kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib pada masa
kerajaan Umawiyah berkuasa.
Atas kritikan seorang yahudi
khalifah Umar bin ‘Abdul ‘Aziz menggantikan ucapan-ucapan kebencian kepada Ali
bin Abi Thalib dengan ayat tersebut. Semenjak itu Umat Islam sampai hari ini
membaca ayat ini seketika shalat jumat hendak ditegakkan setelah rukun kutbah yang
kedua dibaca.
Ayat tersebut termasuk salah satu
ayat yang paling komprehensif dalam Alquran, karena padanya digambarkan
hubungan manusia dan sosial kaum muslim di dunia yang berlandaskan pada
keadilan, kebaikan dan menjauh dari segala kezaliman dan arogansi. Bahkan hal
itu disebut sebagai nasehat ilahi yang harus dijaga oleh semua orang. Adil dan
keadilan merupakan landasan ajaran Islam dan syariat agama ini.
Allah swt. tidak berbuat dhalim
kepada siapapun dan tidak memperbolehkan seseorang berbuat dhalim kepada orang
lain dan menginjak-nginjak hak orang lain. Menjaga keadilan dan menjauh dari
segala perilaku ekstrim kanan dan kiri menyebabkan keseimbangan diri manusia
dalam perilaku individu dan sosial.
Tentunya, etika Islam atau akhlak
mendorong manusia berperilaku lebih dari tuntunan standar atau keadilan, dalam
menyikapi problema sosial dan memaafkan kesalahan orang lain. Bahkan manusia
bisa melakukan lebih dari hak orang lain, yang ini semua menunjukkan kebaikan
atau ihsan. Allah swt. yang memperlakukan manusia dengan landasan ihsan,
mengajak manusia untuk berperilaku baik dengan orang lain di atas standar
keadilan.
Dari sisi lain, Allah swt. melarang
beberapa hal untuk menjaga keselamatan jiwa dan keamanan masyarakat. Hal-hal
yang dilarang oleh Allah swt. disebut sebagai perbuatan tercela dan buruk.
Manusia pun mengakui bahwa perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Allah swt.
adalah tindakan yang buruk dan tercela.
Dari ayat tersebut terdapat dua
pelajaran yang dapat dipetik. Pertama, Di samping keadilan, ihsan atau
kebaikan juga dianjurkan, Sebab, ihsan akan menjaga ketulusan di tengah
masyarakat. Kedua, Ajaran agama selaras dengan akal dan fitrah manusia.
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ
وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ
هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Artinya, “serulah (manusia)
kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka
dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui
tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya. Dan Dialah yang lebih mengetahui
orang-orang yang mendapat petunjuk”.
Awal kalimat pada surat An-Nahlu
ayat 125 di atas dari ayat ini adalah perintah untuk mendakwahkan kejalan
Tuhanmu (jalan kebaikan) dalam tatanan kebahasaan kata Ud‘u itu bermakna
amar (perintah) dalam bangunan Ushul Fiqh disimpulkan bahwa yang namanya
perintah adalah hukumnya wajib (al-ashlu fil amri lil wujub). Dalam
kaedah ilmu Ushul Fiqh Wajib merupakan penekanan tertinggi dalam penetapan
hukum terhadap mukallaf.
Perintah menyampaikan merupakan
amanah bagi yang mempunyai pengetahuan, artinya bagi orang-orang yang berilmu,
apapun ilmu yang sedang dipelajari dan yang sudah diketahui merupakan jalan
bagi setiap individu untuk menuju dan mesti mengajak kepada jalan kebenaran
ilahi. Pada perintah berikutnya menyampaikan ajakan itu mesti dengan hikmah dan
contoh tauladan yang baik. Berkata-kata saja memang mudah semudah menggoyangkan
lidah dikala menguyah semangkok kanji akan tetap memberi contoh itu tidak
semudah yang kita ucapkan.
Berbuat baik kepada orang yang
berada dibawah pengawasanmu tentu tidak dipahami sempit tergantung pengawasan
dalam bentuk apa yang saat ini menjadi posisimu. Jika posisimu sebagai orang
yang berilmu tentu orang awam adalah komponen masyarakat yang berada dibawah
pengawasaanmu. Jika seorang pimpinan negara tentu masyarakat yang bernaung
dibawah kekuasaanmu merupakan orang yang berada dibawah pengawasanmu yang
diperintahkan Tuhan kepadamu untuk berbuat baik kepada mereka.
Hikmah adalah kebijaksanaan yang
dimiliki oleh seseorang. Setiap penyeru mesti mampu memahami konsep Al-hikmah
dengan baik, Al-hikmah al-Muta‘aliyah begitu konsep filosofi Mulla Sadra
dalam pemikiran filsafat tertingginya merupakan sebuah sikap berfikir yang
ketika kita mulai mempelajari sesuatu maka berubahlah prilakunya sebagai gerakan Al-Harakah Al-Jauhariyah.
Memanfa‘atkan metode Berfikir
filosofis itu adalah ciri-ciri manusia cerdas yang dasarnya sudah ditanamkan
oleh Nabi Muhammad saw. salah satu sifat yang wajib diketahui pada
diri Nabi adalah Fathanah (cerdas). Doa kecerdasan bagi penuntut ilmu
yang pernah diajarkan oleh Nabi kita Nabi Muhammad saw. adalah "Allahumma zidnii 'ilman
warzukni fahman, artinya " artinya, “ya Allah berikan aku ilmu dan cerdasi aku
dengan ilmu tersebut”. Jangan pula menjadi tambah dungu setelah mendapatkan
ilmu. Di sa‘at sudah melawati masa tahu, maka pikiran harus di dorong untuk
menjadi cerdas.
Jika mesti pendakwah itu harus
berdebat dalam menyampaikan ilmu maka sampaikanlah dengan debad yang baik,
logis dan argumentatif. Debad disini juga bagian dari menyeru dakwah, baik
dakwah menyangkut dengan agama, hukum ketatanegaraan, hukum pemerintahan, hukum
keluarga, politik, konsep pendidikan, membangun pemikiran ekonomi, membangun
kehidupan berperadaban dan lain sebagainya yang menyangkut dengan founding
socio cultural.
Jika pendakwah itu adalah orang yang
berilmu maka yang menyampaikannya harus berhikmah. Jika kemampuan berhikmahmu
rendah maka ilmu yang engkau miliki itu akan menjadi petaka bagi umat dan
masyarakat.
Lebih baik berhikmah daripada
berilmu jikalau ilmu yang engkau miliki itu hannya sebagai pengetahuan saja
bukan sebagai science. Sepadan dengan ini Abuya Syaikh Muda Wali
al-Khalidi pernah menyampaikan "jika kamu punya ilmu satu galah, maka
kamu harus mempunyai akal dua galah" artinya akal itu harus lebih
cepat dibandingkan ilmu. Hannya Allah yang mengetahui seseorang yang tersesat
dijalan-Nya dan orang-orang yang mendapatkan petunjuk.
Ilmu tanpa hikmah akan menjadikan
kamu perusak dimuka bumi, sebab yang namanya ilmu itu mengandalkan ancaman.
Sekiranya ayat yang penulis kutib di atas menjadi patokan dasar bagi kita dalam
mengajak kepada jalan Tuhan itu mesti dengan ilmu, hikmah dan contoh tauladan
yang baik.
Tuhan telah memerintahkan kepada
manusia untuk mencari karunia dimuka bumi dengan cara yang baik. Setelah engkau
menikmati nikmat hidup dalam berbagai ranah baik rezeki berupa makanan,
kekayaan, kesehatan, ilmu pengetahuan, kekuasaan, pengaruh, dan yang lain sebagainya.
Maka dengan nikmat itu engkau mesti mejalankannya dengan penuh harapan
mendapatkan ridha dari Tuhan. Disaat karunia itu engkau peroleh
yang pertama sekali engkau hitung adalah perkara duniamu supaya jelas apa yang
engkau dapatkan diakhirat nanti tentang apa yang sudah engkau lakukan didunia.
Jangan lupakan dunia bukan berarti
eng kau bebas melakukan apa saja didunia, akan tetapi maknanya adalah perhatikan amalanmu
didunia dengan nikmat yang sudah engkau dapatkan supaya akhiratmu tidak
terancam dengan azab. Allah swt. melarang manusia melakukan sesuatu yang merusak
dimuka bumi, apakah merusak diri sendiri dan orang lain dengan ilmu yang
disampaikan keliru atau merusak orang lain dengan hal-hal yang menjadikan
kekacauan dimuka bumi apakah dengan menyampaikan berita-berita hoax atau
perbuatan-perbuatan yang merusak tatanan kehidupan baik beragama, bersuku dan
berbangsa.
Allah swt. mencintai orang-orang yang
menciptakan keharmonisan antar sesama dimuka bumi bukan pada yang merusak
tatanan. Di sinilah penekanannya jika menyampaikan ilmu yang salah dimengerti
yang mengakibatkan salah sambung di masyarakat, maka penyampaian yang demikian
itu dilarang dalam islam sebab telah menyampaikan sesuatu tidak valid dari
proses tabayyun keilmuan akan menciptakan krusakan di muka bumi.
Jika mata hannya bisa melihat
kekurangan dan kesalahan orang lain itu pertanda pikiran sudah tidak sehat,
jika pikiran sudah tidak lagi bisa berfikir dengan bijak itu pertanda hati
sudah sakit, dan jika hati sudah sakit jangan pernah berharap engkau akan
mendapatkan obat.
العالم الذين
ينظرون الى الامة بعين الرحمة (al 'alimul
ladhina yandhuruuna ilal ummah bi'ainirrahmah) Orang alim itu adalah orang yang
memandang kepada umat (kalayak ramai, pengikut, masyarakata, dan sejenisnya)
dengan pandangan kasih sayang.
Bukan sebaliknya, semakin banyak
orang alim semakin besar permusuhan yang dikembangkan sehingga umat
terpecah-pecah sampai kepada kelompok terkecil. Semestinya semakin banyak orang
alim semakin mengerucut umat ini menjadi satu tujuan daalam karakter jasadul
wahid.
Da‘i adalah gurunya umat, dalam hal
ini William glasser berkata. The mediocre teacher tell, the good teacher
eksplain, the superior teacher demonstrait, the great teacher inspire. Guru
yang biasa-biasa saja adalah guru yang hannya bisa berkata, guru yang baik itu
adalah guru yang mampu menjelaskan ilmunya, guru yang super itu adalah guru
yang mampu mendemontrasikan ilmuya, sementara guru yang luar bisa adalah guru
yang menjadi ispirasi.
Nabi Muhammad saw. tidak pernah mengaku jadi guru bagi umat,
jika Nabi Muhammad saw. mengaku jadi guru maka banyak
sebutan murid buat orang-orang yang sudah mendapatkan ilmu dari baginda, ini
terbukti dari catatan sejarah Nabi Muhammad saw. hannya punya sahabat bukan murid. Kebanyakan da‘i
sebagai guru umat hari ini hannya berada pada level pertama seperti William Glasser
pernah menjelaskan sebagai yang sudah penulis paparkan di diatas, guru
biasa-biasa saja hannya bisa berkata, sementara pada poin terakhir guru yang
luar biasa itu adalah guru yang menginspirasi.
Guru yang menginspirasi itu hannya
ternobatkan pada sosok Nabi Muhammad saw. Jika kamu yang mengaku da‘i sebagai guru
umat, maka bangunlah persahabatan dengan umat bukan menjamah kemuridan dengan
tidak melepaskan nilai guru itu sebagai pengajar yang sudah menelurkan ilmunya
kepada orang lain.
Ada dua kenyataan hidup dalam
realitas ini, ada yang disebut reality agree dan ada yang disebut reality experience. Pada kedua
kenyataan ini seharusnya kita memahami di kenyataan manakah realitas yang saat
ini kita berpijak. Kenyataan penyetujuan orang-orangkah atau pengalaman
terhadap kenyataan-kenyataan yang pernah kita alami.
Melakukan sesuatu yang sudah
diamanahkan kepadamu itulah cerminan orang benar, melakukan sesuatu kepada
orang kebanyakan tanpa diamanahkan kepadamu itulah pencitraan.
Bukankah manusia itu pertama sekali diciptakan
Tuhan disaat keluar dari rahim ibunya dalam keadaan tidak mengetahui apa-apa. Dengan
proses pendidikan yang diajarkan orang tua dan gurulah sedikit-demi sedikit
kita memahami rentetan pengetahuan baik yang sifatnya pengetahuan natural
hingga pengetahuan ekperimental.
Manusia sering menafikan keadaannya
disaat ketidaktahuannya merupakan masa dimana keberadaannya tidak dianggap, hal
yang demikian Allah swt. satir dalam ayat pertama surat Al-Insan. Menafikan disini
dengan merasa tahu banyak tentang keadaan tertentu sehingga melecehkan keadaan
sekitarnya. Merasa bangga dengan apa yang diketahui dan merasa punya dengan apa
yang dimiliki.
Setelah Allah swt. sempurnakan organ
penting dalam penciptaan manusia meliputi pendengaran, mata dan hati seharusnya
menjadi momen besar bagi manusia untuk menasehati diri kita sendiri supaya
tidak melupakan jika kita setiap terlahir dengan tidak mengetahui apa-apa.
Budayakan potensi Transfer of
knowladge dan transfer of value dalam lingkungan keilmuan yang kita
bangun, bukan hannya sekedar mampu berucap namun enggan di buat. Saling
mengajari merupakan cara yang tepat untuk mengingat jika kita terlahir dengan
tidak tahu apa-apa. Jauhi rasa sombong, dengki, ujub dan takabur dalam segala
hal. Pepatah Aceh "ujub riya kianat tekabo disinanle ureng binasa".
Komentar
Posting Komentar