Rahmatan bi Ummil Walad
Suatu ketika Nabi Muhammad saw. mengajarkan
sebuah narasi tentang hadis "Rahmatan bi ummil walad"
(kenyamanan bagi seorang ibu yang membawa anaknya ketika shalat berjama'ah di
mesjid). Suatu ketika seorang ibu shalat di
mesjid bersama nabi dengan membawa anaknya yang masih kecil ke dalam Mesjid.
Ketika shalat berlangsung anak dari seorang ibu tersebut menangis. Lalu
kemudian nabi yang mengimani shalat langsung memahami jika ada anak kecil
tiba-tiba menangis. Atas tangisan bayi ditengah-tengah orang yang sedang
shalat, tentunya muncul ketidakny-amanan
antara jama'ah yang shalat, ibu yang punya anak, dan anaknya yang menangis.
Jama'ah merasa terganggu dengan tangisan seorang anak, seorang ibu
merasa risau sebab anaknya menangis, dan seorang anak yang menangis merasa
tangisannya tidak di hiraukan oleh ibunya. Ada tiga kerisauan di sini yang
harus dipahami, dan ketiganya mempunyai hak masing-masing yang harus diakomodir
oleh orang yang sedang shalat, terutama oleh imam yang memimpin shalat. Di
sinilah sifat arogansinya nabi dihilangkan dan tidak merasa lebih baik walaupun
sedang melaksanakan ibadah wajib sekalipun.
Kondisi seperti ini nabi memperringkas dan
mempercepat shalatnya, sebab memahami kerisauan tiga komponen masyarakat sosial
yang sedang berlangsung disaat shalat berjamaah bersama nabi dilaksanakan.
Begitu pahamnya nabi dengan kondisi psikologi manusia, bahkan dalam shalat
sekalipun nabi tetap mengakomodir keluhan umatnya.
Kejadian ini pernah saya alami sendiri. Ketika suatu subuh saat
berada dikampung halaman terpaksa mengimani shalat berjama'ah bersama beberapa
orang dikampung. Dengan keterbatasan kemampuan bacaan saya, tentunya tidak
mengurangi kekusyukan shalat warga sebab sa'at itu imam yang selalu mengimani
shalat berhalangan hadir. Menjadi imam pengganti bukanlah sesuatu yang
membebani jiwa. Namanya saja pengganti, ya sudah tentu dimaklumi oleh jama‘ah
yang hadir.
Tiba pada bacaan ayat saya memperpendek serta memperingkas
bacaannya, sebab saya mendengar ada salah satu jamaah yang kebetulan rumahnya
dekat dengan mushalla setempat. saya mendengar anaknya menangis
dirumahnya. Sangking dekat dengan mushalla rumah jama‘ah tersebut, sehingga dengan
mudah suara tangisan anaknya yang terbangun tiba-tiba disubuh hari
terdengar ditelinga saya sa'at mengimani shalat subuh.
Setelah shalat selesai, jama'ah yang anaknya menangis bertanya
kepada saya. Kenapa subuh ini sangat singkat shalatnya. Tidak terbiasa dengan
shalat sebelumnya disa‘at kamu juga yang menjadi imamnya. Beberapa subuh
sebelumnya ketika imam syik berhalangan hadir, saya juga yang menjadi
penggantinya. Dan peristiwa seperti ini ada beberapa kali saya alami. Menjawab
pertanyaan jama‘ah yang anaknya menangis, dengan senyuman saya menjawab, sea‘at
sedang membca ayat saya mendengar suara anak sampean menangis, makanya saya
percepat shalatnya sesingkat-singkat mungkin, supaya sampeyan bisa segera
mendatangi anaknya yang sedang menangis.
Pada kondisi seperti saya setiba teringat ketika belajar ilmu hadis
di pesantren Yasin Kalimantan selatan. Ketika kami belajar tentang hadis “jika
kamu menjadi immam pada sebuah kaum, maka ringankkanlah shalatmu”, memahami
hadis ini tentunya bukan karena konteks ada anak kecil yang menangis, melainkan
karena ada sebuah perasaan psikologis, jika yang datang shalat bersama kita
berlatar belakang kondisi psikis yang berbeda-beda. Ada yang sakit fisiknya,
ada yang tergesa dengan urusan keduniaannya, dan berbagai macam urusan lainnya.
Setelah saya menjelaskan kenapa shalat begitu cepat pada suatu subuh sa‘at itu.
Kemudian jama'ah tersebut mengangguk ngangguk, dan saya tidak tahu apa yang
diucapkan dalam hatinya ketika momen ini berlangsung.
Tanpa saya sadari, Ternyata sa'at itu saya
sedang mengamalkan hadis '' rahmatan bi ummil walad", padahal saya
belum pernah mendengar hadis tersebut kecuali pada suau malam dalam pengajian
ba'da magrib di mesjid Prada Banda Aceh yang disampaikan oleh Ustadh Masrul 'Aidi,
Lc.
Dalam konteks yang demikian tidak ada alasan
bagi panitia mesjid, bagi jama'ah untuk melarang jama'ah yang lainnya, bagi
orang tua silakan saja yang igin membawa anak-anaknya kemesjid untuk ikut
memakmurkan mesjid, atau orang tua yang mulai memperkenalkan mesjid bagi
anak-anaknya. Tentunya dengan catatan
saling memahami dan menjaga walaupun bukan anaknya sendiri.
Begitulah ternyata nilai humanisme dimulai dari shalat yang
diajarkan oleh Nabi Muhammad saw. Memakmurkan mesjid adalah pondasi dasar dan
proses awal dalam membangun nilai-nilai peradaban dalam Islam, dalam ibadah
sekalipun mesti ditunaikan. Tentunya pesan tersebut telah dipraktekkan dan diajarkan
oleh baginda Nabi Muhammad saw.
Komentar
Posting Komentar