Sosialisme Amfat Es Dot Fil Dalam Sorotan
AMFAT: BUJANG BENCI-BENCI TAPI
RINDU DARI KAMPUNG PAYA
Oleh: Ikhwanul Muslimin
Amfat Es Dot Fil, begitu namanya terpampang pada salah satu platform aplikasi media sosial.
Tak begitu jelas nama aslinya. Ada yang memanggil Muchtar, ada juga selayang
terdengar namanya Mahdi. Dalam semua ketidakjelasan tersebut nama Amfat
nampaknya lebih familiar ditelinga lover maupun heternya.
Lahir dari
keluarga petani, membuat dia sangat bersahabat dengan kehidupan kalangan bawah.
Indikator-indikator masyarakat desa telah sangat dipahami oleh pria yang
masih melajang ini. Katanya bahkan kecerdasannya saat ini diperoleh karena
memakan eungkot krung yang dicarikan ayahnya.
Amfat kecil
menamatkan sekolah seperti banyak anak di Aceh Barat Daya. Keputusan besarnya
diambil saat memutuskan melanjutkan sekolah lanjutan atasnya ke Kuta Raja. Tak
banyak orang yang tau, dia menghabiskan malamnya dalam kain perca tempat dia
belajar kemandirian dengan menjahit. Sampai tulisan ini dirilis, tak jelas apa
alasan seorang Amfat memilih menjahit untuk keterampilannya. Dia menamatkan
sekolahnya pada salah satu MAN di Banda Aceh.
Strata satunya
ditamatkan pada salah satu Institut Agama Islam Negeri yang ada di Banda Aceh.
Memilih jurusan Aqidah dan Filsafat membuatnya semakin peka dalam ranah pemikiran.
Seperti Krueng Beukah dan jalan manyang, seperti itulah diibaratkan pertemuannya
dengan konsentrasi ilmu yang digelutinya. Tak puas sampai S1, dia melanjutkan
pada S2 pada salah satu Institut Islam Negeri yang ada dikota Medan. Sambil
goyang kaki (menjahit:red) dia menuntaskan studinya bolak-balik Banda Aceh-
Medan. Terakhir dia sedang menempuh program doktoralnya pada salah satu
Universitas Islam Negeri di Jakarta.
Mengenai
status-status dimedia sosial, sosok ini membuat banyak gelombang usikan pada
masyarakat elektronik. Ketenangan dalam pola berpikir kemudian diganggu dan
melahirkan reinterpretasi dalam melihat satu masalah. Banyak status didinding
media sosial yang bernuansa ngeri-ngeri sedap. Ruang diskusi dibuka, dan upaya
untuk membuly sang lajang terkadang harus berakhir lewat istilah-istilah
serangan balasan yang sangat mencengangkan.
Lihat saja
komen-komen bersama Ayahwa. Banyak kritikan yang tuliskan olehnya dijawab penuh
semangat oleh Ayahwa. Demikian juga banyak statusnya juga ditanggapi renyah
oleh Ayahwa. Kalau mereka mulai saling menjawab biasanya netijen yang lain hanya
diam tak berani menanggapi. Kelompok yang mencoba membuly bung Amfat biasanya
adalah gabungan anak ABG 90 an bersamaan dengan masa jaya "backstreet
boy". Jika diskusi mulai panas bersama Ayahwa, kelompok 90 an biasanya
hanya bisa diam dan like saja karena sebagian mereka adalah abdi negara.
Seperti sudah dapat ditebak bung Amfat sudah siap dengan serangan balik meu
nyet-nyet untuk mereka.
Harus jujur,
banyak yang benci namun rindu terhadap reinterpretasi masalah pada wall mister
Amfat. Sesosok putra desa yang berpikir maju, mandiri dan kritis. Namun sayang
sampai tulisan ini diturukan belum beristri.
Ternyata
dengan diam-diam bapak Ikhwanul Muslimin menulis sekilas tentang saya. Saya
yang berasal dari keluarga petani sangat terharu ketika kata tani disebutkan.
Sosok anak yang hidup dari keluarga petani dengan ekonomi menengah kebawah
bahkan miskin. Tentunya sebagai orang tua yang bekerja sebagai petani
tradisional minim pengalaman tidak akan mampu menyulap anaknya supaya bisa
berpenghasilan ratusan juta bahkan puluhan juta sekalipun. Aceh Barat Daya, di
daerahku Petani yang dulu bukanlah petani yang sekarang. Petani sekarang banyak
menguasai lahan berupa tanah. Baik tanah sawah, hutan, dan gunung.
Setelah
pemekaran kabupaten dari Aceh Selatan menjadi Aceh Barat Daya tentunya sebagai
kabupaten baru harus rela secara hukum pucuk pimpinan dipimpin oleh pejabat
sementara. Baru tahun 2007 bupati defenitif pertama lahir melalui proses
demokrasi. Terpilihnya bapak Akmal Ibrahim sebagai bupati
pertama membawa angin segar bagi petani Aceh Barat Daya, walaupun dalam proses
demi proses terdapat kekurangan disana-sini dan ini wajar bupati juga manusia.
Akmal Ibrahim adalah bupati yang telah berhasil
mencetak lahan dan mengajak masyarakat Abdya serta mengarahkan anaknya juga
menjadi seorang petani (dalam tanda kutib), mengingat petani hari ini tidak
hannya semula pade saja. Tentunya sebuah usaha yang luarbiasa seorang
anak yang mampu memperoleh gaji sebesar ratusan juta rupiah perbulan dari hasil
bertani. Dan ini, jauh berbeda dengan saya dan anak-anak petani yang lainnya.
Untung memang tidak dapat diraih dan senang tidak dapat ditolak. Ada sa'atnya
disatu sisi kita punya kelebihan dan adakalanya disatu sisi kita kurang
mendapat keberuntungan.
Akmal Ibrahim
jika ditilik dalam kamus peraja berdasarkan ilmu nujum yang pernah saya pelajari
adalah pria yang berperaja Air (i). Namanya merupakan gabungan dari kata kamal
Ibn, dan rahim, nama ini sudah pernah saya jelaskan tempo hari, namun sekilas
disentil kembali sebagai pengingat ulang jika Akmal Ibrahim artinya '' seorang
ayah yang mempunyai sifat sayang yang mendalam". Berdasarkan nama ini
tidak ada alasan bagi beliau untuk marah, benci, dan palak kepada saya ketika
bapak ikhwanul menulis dalam jabaran singkatnya bahwa sering terjadi debat seru
di wall fb antara saya dengan bapak bupati Aceh Barat Daya. Jika marah yang
beliau kedepankan disaat terjadinya dialog tingkat tinggi dengan saya, maka
durhakalah beliau dengan namanya. Nama yang sudah terpatri sebagai seorang ayah
yang sempurna nilai kasihnya.
Bupati yang
dijuluki bapak petani ini telah banyak melakukan perubahan paradigma terhadap
sistem kerja petani. Mulai dari cara kerja yang serba mesin hingga mengatur
jumlah semula dalam setahun. Jika dulu semula setahun sekali sekarang bisa
dilakukan setahun minimal dua kali walaupun targednya adalah tiga kali dalam
setahun. Perubahan ini tentunya membawa semangat baru bagi petani. Semangat
yang dulu bukan semangat yang sekarang.
Apakah sudah
menjadi tradisi dari setiap perubahan sosial harus ada yang diuntungkan dan
harus ada yang disingkirkan. Di saat dulu ketika program bagi-bagi lahan untuk
masyarakat beramai-ramai masyarakat datang untuk mendapatkan bagian tanah yang
sudah dipetakan untuk masing-masing jatah setiap perorang. Ada yang bertahan
dengan lahannya hingga sampai saat ini dan ada yang menjual kepada orang lain,
sampai hari ini hannya bisa melihat saja tanahnya yang sudah dijual dan tumbuh
tanaman yang akhir-akhir ini buahnya lagi bermasalah dengan harga per dolarnya.
Bagi mereka
yang dulunya menjual tanah yang seharusnya diolah dan dipertahankan sampai
ditanam, tanaman sawit tentunya hari ini mereka sedang menuai panen. Namun
apalah daya, begitulah kita sebagai petani kadang-kadang tidak siap dan
menekuni pelan-pelan, seperti seorang pelajar yang selalu sabar dan menekuni
jalan pendidikannya setelah selesai s1 melanjutkan S2, dan bersabar dengan
melanjutkan pada jenjang berikutnya. Mungkin kejadian ini disebut dengan be o
si 'it.
Sebagai anak
petani dan besar dipelataran sawah (rayek bak sago ateng blang) benar apa kata
pak iwan jika kondisi masyarakat bawah melekat dalam diri saya. Seperti
melekatnya cecak di dinding walaupun melekat tetap saja bisa bergerak leluasa
untuk saling memahami. Memahami jika petani hari ini adalah termasuk masyarakat
yang harus diperhatikan oleh pemangku kebijakan. Bukan ingin dimanjakan tapi
ingin dipeluk dan di ajak bersama-sama untuk bisa mendapatkan penghasilan jika
tidak menacapai ratusan juta cukup untuk mampu membiyayai, biyaya belajar
anaknya di perguruan tinggi ternama di kota-kota yang ada di seluruh Indonesia.
Aku, kamu, dan kita semua adalah
anak petani bukan anak bupati.......
Komentar
Posting Komentar