Wanita Setengah Gila
Sedang duduk
disebuah cafe dengan layar leptop didepan sambil menekan tombol huruf pada
keybordnya. Datanglah seseorang orang tua. Beliau menegur. Dengan memberi salam
khas orang bijak ketika hendak menyapa. lalu saya menjawab salamnya dan
memanggilnya dengan panggilan Cut Abi.
Beliau
bertanya, apa yang sedang engkau tulis anakku??? Saya menjawab, sedang manulis
sesuatu yang tak mungkin akan bisa dibaca oleh cahaya, tak mungkin bisa diantar
oleh angin, dan tak mungkin bisa disadap oleh kamera. Mendengar jawaban saya
beliau diam dan menatap wajah saya dengan sangat dalam dan penuh rasa. Beliau
heran beberapa sa'at, apa gerangan itu anakku. Buat apa engkau menulis jika
tidak ingin diketahui oleh orang lain. Buat apa engkau menulisnya jika tidak
bisa dipahami oleh kebanyakan manusia, buat apa engkau menulis jika tidak bisa
dilihat oleh pandangan mata. Apa maksudnya anakkoe.
Melihat
keseriusan beliau mempertanyakan itu saya pun berhenti menulis, lalu
mempersilakan beliau duduk dan saya memanggil petugas cafe dan memerintahkan
untuk bertanya minuman apa yang paling disukai oleh bapak ini, lalu dengan
segera kamu harus membawanya kemari. Petugas cafe selesai bertanya lalu menuju
kebelakang ke dapur cafenya dan dengan durasi waktu yang tidak begitu lama
minuman kesukaan bapak itupun dibawaknya menggunakan tempat kusus. Lalu saya
persilakan beliau minum. Masih saja heran denganku bapak itu menepuk bahu saya,
dan bertanya, untuk apa kamu menulis semua itu.
Dengan singkat
saya menjawab, untuk melanjutkan perjuangan Cut Abi. Disini beliau tersenyum
dan tertawa dengan sangat kuat sehingga seisi cafe pun menarik perhatian mereka
kepada kami. Setelah beliau diam lalu memasang wajah serius dan menyela dengan
kalimat, yang kamu tulis itu sebuah cerita tentang kisah kehidupan, bukan kisah
sebuah harapan yang saya cita-citakan. Kata terakhir yang sedang engkau tulis
adalah sebuah nama, nama seorang wanita. Beliau bertanya siapa wanita itu,
kenapa raut wajahmu berubah disa'at engkau menulis namanya, kenapa matamu
berubah disaat ketukan jarimu menekan tombol huruf dileptopmu, kenapa, kenapa,
kenapa wahai anakku.
Lama tak menjawab aku dengan leptop yang masih terbuka dihadapan menunduk
sambil menghela nafas panjang seolah-olah menarik sebuah nafas untuk
melantunkan irama dengan nada jawabul jawab ketika ref irama nahwan hendak di
alunkan dengan nada yang diusahakan syahdu untuk dinikmati oleh yang
mendengarnya, sebab membutuhkan nafas panjang untuk menjelaskan tentang
seseorang wanita kepada seorang-orang tua yang sudah ikut menyela disa'at
sebuah cerita panjang tentang seorang wanita sedang aku tulis.
Anakkoe siapa wanita itu, beliau kembali bertanya dan tanpa menunggu
selesai pertanyaan terakhirnya saya menjawab dengan nafas yang sudah
dipersiapkan panjang bahwa sanya wanita itu adalah seseorang yang jiwanya sudah
gila dengan dirinya sendiri, wanita yang sudah kehilangan jati dirinya, wanita
yang sudah semena-mena atas dirinya sendiri, wanita yang sudah menyombongkan
atas dirinya sendiri, wanita yang menyakiti hatinya sendiri, wanita yang
terlena dengan dunianya sendiri, wanita yang mencabut rasa atas bahagianya
sendiri, wanita yang sudah mati sanubarinya, wanita yang tak hidup perasaannya,
wanita yang dicabut akal sehatnya, wanita yang telah merenggut kebahagiaan yang
sudah ada, wanita yang sudah putus kewarasannya. Wanita yang tidak bisa membedakan
mana teman mana suami orang. Wanita yang tidak bisa membedakan tempat buat
teman dan tempat buat suami orang. Wanita yang lupa dengan dirinya sendiri.
Wanita yang tidak pantas, tidak pantas, tidak pantas, tidak pantas.
Dengan suara memuncak bak seorang aktor yang sedang melakoni klimaks
marahnya, saya berteriak dengan suara yang sangat kencang dengan kedua tangan
mengangkat ke atas dan kembali memancing pandangan orang-orang seisi cafe yang
kedua kalinya terheran melihat saya seperti aktor yang sedang disorot kamera
dengan suara lantang pada akhir kalimat mengucapkan dan dia, wanita dan dia,
dan dia adalah wanita gila yang mengotori kodratnya sebagai “ibu”.
Mendengar
penjelasan saya tentang seorang wanita, ternyata orang tua yang kukira kusyuk
mendengar keseriusanku menjelaskan tentang wanita tersebut. Ternyata dia
menunduk dan menagis dengan menahan suaranya. Ketika suaraku selesai
didengarnya perlahan kepalanya diangkat dengan air mata yang sudah membasahi
pipinya, lalu berkata. Anakku, engkau telah mencela seorang wanita, engkau
telah menyakiti hatinya, engkau telah melepaskan diri dari penjagaanmu
terhadapnya. Engkau telah mendhaliminya, engkau adalah laki-laki terburuk yang
pernah saya temui.
Anakku ketahuilah aku adalah ayah dari seluruh wanita yang ada diseluruh
dunia dan aku adalah ayah dari wanita yang sudah engkau cela. Apa salahnya
sehingga begitu lancang mulutmu, apa salahnya sehingga begitu tajam penilaianmu
terhadapnya, apa salahnya sehingga kau begitu merendahkan dirinya dengan
berkesimpulan jika dia adalah wanita yang tidak layak menjadi ibu untuk anak
yang ada di dunia ini.
Anakku jika
engkau mulai membencinya, kembalikan dia kepadaku biar aku bisa memberikan
kedamaian dalam jiwanya. Seperti surga memberikan rasa kepada adam dan hawa dan
damai berada di dalamnya, untuk selama-lamanya. Sejenak kami diam dan mendengar
suara azan di mesjid dengan irama syahdu yang mengingatkanku dengan irama azan
yang sering aku lantunkan di mushalla dekat rumahku di sa'at masih remaja dulu.
Kamipun
berangkat ke mesjid sambil tersenyum, dalam perjalanan menuju mesjid, orang tua yang saya memangilnya dengan
nama Cut Abi, beliau berkata. anakku lanjutkan tulisannmu tentang wanita gila yang melawan kodrat sebagai seoarang ibu, dan wanita yang kau anggap sudah tidak layak menjadi ibu untuk setiap anak yang ada di dunia ini. Tapi
sebelum engkau lanjutkan menulis tentangnya pulanglah dulu kerumah ibumu,
duduklah sejenak bersamanya dan tatap wajah ibumu dengan baik dan rasakan
dengan mendalam lalu pantaskah engkau menyimpulkan jika ibumu adalah wanita
yang tidak layak menjadi ibu untuk anak sepertimu................
Komentar
Posting Komentar