Artficial Intelligencia dan Matinya Pendidikan berkarakter


أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ ۚ أَفَلَا تَعْقِلُو                                                                     
Artinya, “mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, Padahal kamu membaca Al kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir”. Al-Baqarah: 44.
Artificial Intelligence merupakan fenomena transformasi pengetahuan masyaraka post-modern. Beralihnya sistem belajar yang didominasi oleh sistem kerja mesin mempermudah bagi umat manusia untuk memahami sesuatu yang beru. Transfer of knowladge tidak hanya diterima oleh para pelajar di dalam kelas semata, namun ruang belajar dalam bentuk fisik berupa gedung berubah dengan ruang kelas berupa layar elektronik. Tentunya fenomena ini mempercepat akses pengetahuan bagi para pembelajar. Ruang kelas yang dipandu oleh seorang guru berganti dengan ruang kaca yang dipandu oleh mesin pencari data.
Tansfer of knowladge tahap awal bagi manusia adalah bagaimana mengajarkan tentang huruf dan angka. Fungsi pertama guru pengetahuan bagi manusia mengajarkan tentang huruf dan angka. Dengan pengenalan huruf tersebut manusia tahu tentang huruf, dari pengetahuan huruf tersebut merangkai kata, pengetahuan mengenai kata merupakan langkah awal bagi pengetahuan manusia untuk merangkai kalimat. Kalimat-kalimat yang tersusun dengan beberapa kata menjadi rangkaian pengetahuan bagi akal.
Sederetan pengetahuan yang disampaikan dengan kumpulan kata dan kalimat adalah hasil pengetahuan akal menangkap setiap fenomena yang ada. Belajar dikelas yang dipandu oleh seorang guru, tidak hanya mampu mempelajari tentang kata dan kalimat saja, melainkan lebih dari itu, berusaha memahami apa yang terkandung di dalam setiap kata yang sudah dirangkai dalam bentuk kalimat. Kata yang pernah ditulis tidak hanya sekedar pemantik dari sebuah penjelasan yang sederhana, namun memilik makna tersendiri.
Makna ini, hanya bisa dipahami melalui penafsiran kata dan kalimat. Makna yang tersembunyi dari sebuah kata perlu penelaahan dalam mencermatinya. Inilah tujuan dari proses belajar mengajar yang sudah dipraktekkan oleh orang-orang dimasa lalu dengan ruang kelas menjadi infrastruktur utamanya, dan guru, serta murid menjadi binary oposisinya. Oposisi biner membagikan dunia dalam dua katagori yang saling berhubungan. Dua hal yang berlawanan subjeknya namun memiliki objek yang sama. Sebagaimana yang sudah disebutkan di atas bahwa, hubungan yang berlawanan tersebut seperti guru dan murid. Di dunia pendidikan guru memiliki kedudukan yang lebih istimewa, sementara murid berada pada struktur kedua dalam strata sosial edukasi publik.
Tradisi belajar di pesantren atau dayah-dayah sangat dominan fungsi guru mempengaruhi karakter murid, baik di dalam kelas maupun diluar ruang belajar. Jika dulu tradisi belajar didayah infrastrukturnya berupa rangkang, atau bale seumebet, namun hari ini, banyak yang sudah merubah tradisi bale seumebet dengan kelas atau ruang belajar menggunakan bangunan modern. Tempat duduk bagi santri hari ini sudah berganti dengan meja, lengkap dengan kursinya, walaupun tidak semua pesantren atau dayah yang melakukan sistem belajar dengan ruang kelas, meja, bangku, dan papan tulis menjadi fasilitasnya.
Fungsi dan sistem kerja dalam mentransfer pengetahuan antara guru dan murid, baik di lembaga pendidikan pesantren, dayah, dan lembaga pendidikan formal lainnya, sepanjang sejarah sampai hari ini masih berlanjut. Guru yang mempengaruhi sifat muridnya masih terjalin. Filosofi pendidikan yang terikat antara guru dan murid dikonsepsikan dalam bentuk sistem dan teorisasi binary oposition.
Sebelum konsep ini berkembang di dunia pendidikan Islam, dalam sejarah perkembangannya, Nabi Muhammad saw., telah melakukan proses pembelajaran yang menggunakan komunikasi saling mempengaruhi antara pengetahuan murid dengan prilaku seorang guru. Nabi sebagai guru dalam proses transfer of knowladge sekaligus berfungsi sebagai guru dalam proses transfer of value. Proses seperti ini terjadi diruang kelas (pada masa nabi menjadikan mesjid sebagai ruang kelas untuk belajar). Kelas sebagai sarana menyampaikan ilmu sementara ruang publik sebagai tempat menampakkan prilaku.
Sejarah pendidikan di Indonesia prosesnya melalui dua cara, sebagaimana yang sudah dipraktekkan oleh nabi ketika mendidik sahabatnya. Mesjid sebagai ruang pengetahuan, dan ruang publik sebagai komunikasi ketauladanan. Sistem belajar di dalam kelas pada sekolah-sekolah formal merupakan sebuah usaha pengajaran yang menggabungkan pengetahuan akal dengan kecakapan prilaku. Guru yang mengajarkan ilmu sekaligus guru juga yang mencontohkan prilaku. Posisi keduanya antara guru dan murid saling mempengaruhi.
Konsep inilah yang seharusnya dipertahankan dalam prosesei pembelajaran. Metode belajar membangun peserta didik dalam konteks dua arah adalah ciat-cita jangka panjang dalam membentuk generasi yang berpengetahuan dengan generasi yang mampu menerjemahkan pengetahuannya dalam kehidupan sehari-hari. Transformasi pengatahuan akal menuju realitas kehidupan dengan budaya yang dibangun atas dasar ilmu pengetahuan. Baik ilmu pengetahuan agama maupun ilmu pengetahuan umum. Ilmu pengetahuan agama membentuk karakter sifat, sementara ilmu pengetahuan umum membangun prilaku kerja dengan sistem mutaakhir. pada tahapan ini pengetahuan dan prilaku mempengaruhi etos kerja.
Seiring berjalannya waktu, berubahnya zaman, dengan arus informasi yang begitu cepat, seakan-akan merubah segala prilaku manusia. Mulai dari prilaku yang sifatnya individual sampai pada prilaku sosial kemasyarakatan. Termasuk di dalamnya prilaku yang pencerdasan bagi manusia. Dunia yang serba  digital mempengaruhi sistem kerja manusia yang hidup di eranya. Dominasi pendidikan beralih dari sistem belajar yang menggunakan ruang kelas sebagai sarananya berubah dengan sistem tehnologi informatika. Transformasi pengetahuan tidak lagi sepenuhnya dilakukan dengan sistem kerja binary oposition yang saling menatap antara guru dengan murid.
Fasilitas belajar yang dulunya menggunakan sarana ruang kelas tempat proses penyampaian ilmu pengetahuan, hari ini berganti dengan layar kaca. Jika dahulu proses belajar, guru menjadi tutor nya, sementara dengan arus informatika, kursor penunjuk arah dilayar komputer menjadi tutor utamanya. Dua tutor yang sama-sama menjadi tutor pendidikan, namun berbeda fungsinya. Guru yang menyampaikan pengetahuan mempunyai perasaan dan rasa yang sama dengan orang yang belajar bersamanya, berbeda dengan krusor penunjuk arah dilayar monitor yang tidak mempunyai sifat merasai sebab berasal dari spesies yang berbeda.
Pengaruh pembelajaran Artificial Intelligence mengancam dunia pendidikan yang seharusnya tidak hanya sekedar menanamkan pengetahuan akal manusia, namun juga memberi arah dengan potensi ketauladanan yang membentuk karakter pada jiwa. Cita-cita pendidikan adalah membentuk insan yang paham dengan metode keilmuan dan santun dalam prilaku keseharian. Ini adalah tanggung jawab manusia untuk memahamkan sebuah fenomena. Bukan hanya sebagai pengetahuan semata, namun menjadi alat penunjuk arah untuk mencapai kesejahteraan di dunia dan menuju kebahagian di akhirat.
Inilah cita-cita filosofi pendidikan Islam. Para ahli merumuskan bahwasanya, filosofi pendidikan adalah sebuah usaha yang dilakukan secara terus menerus dalam membentuk potensi individu manusia secara terpadu dan menyeluruh untuk memahami ilmu pengetahuan yang bertujuan jangka panjang. Dalam rangka memenuhi taraf hidup yang mampu mengangkat derajat manusia sebagai khalifah di muka bumi. Tentunya, mengatur sistem hidup yang berkemajuan dan berprikemanusian, baik terhadap manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, dan seluruh isi alam jagad raya.
Filosofi pendidiikan sebagaimana yang dicita-citakan di atas tidak akan terwujud jika proses transfer pengetahuan dalam prosesnya kuat di isi kosong di arti. Artificial Intelligence  hanya melahirkan generasi yang padat di konten dan kurang di unit analisis isi.  Generasi milenial akan tidak tahu bagaimana mencium tangan gurunya ketika unit analisis isi tidak disuguhkan dengan baik. Peran guru bukan mengajarkan isi lagi hari ini, tapi mengajak bagaimana merekonstruksikan kembali konten yang sudah dimiliki dan didapatkan dari apa yang sudah disuguhkan oleh mesin pembelajaran. Pengetahuan yang didapatkan dari pembelajaran ditela’ah kembali bersama guru sebagai tutornya berdasarkan kajian dari berbagai perspektif dasar-dasar ilmu pengetahuan.
Hadirnya madicine educater merupakan sebuah keniscayaan bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Tehnologi yang diciptakan oleh para ahli, bertujuan mempercepat arus informasi pengetahuan bagi manusia. Sistem kerja yang sudah terakumulasi dalam arus informatika hanya mempersingkat jarak tempuh transformasi pengetahuan saja, dan bukan membuka ruang debat untuk penela’ahan atau dalam bahasa tradisi belajar di pesantren dan dayah disebut dengan istilah meudrah. Meudrah di sini adalah terbukanya ruang diskusi untuk mencari transformasi nilai terhadap pengetahuan yang ada dalam konteks kehidupan masa kini.
Akhirnya penulis mengambil sebuah kesimpulan dengan apa yang pernah dijelaskan oleh tokoh modernis kontemporer Indonesia yang bernama Nurcholis madjid, atau sering disebut dengan Cak Nur. Beliau menjelaskan bahwa, Islam adalah agama yang membuka ruang terhadap modernisasi. Modernisasi pengetahuan ini, lahir oleh karena Alqur’an tidak begitu rinci menjelaskan perkara-perkara yang menyangkut urusan ruang publik yang bersifat kekinian. Termasuk di sini adalah tentang ruang publik pembelajaran, yang seiring waktu berjalan terus berubah dalam sistem transformasinya. 
        Para pemikir mengambil inisiatif pemikiran terhadap fenomena tersebut dengan memahamkan tentang bagaimana membangun sebuah daya nalar apologistic terhadap fenomena liberalisme, sosialisme, dan modernisme yang dikonsepsikan oleh Barat dalam berbagai bidang. Dan Alqur’an sangat membuka ruang diskusi tentang ini, berdasarkan legalisme terhadap hukum-hukum yang menyangkut dengan kehidupan sosial, politik, budaya, pendidikan, agama, dan berbagai sistem kehidupan lainnya.
Sistem pembelajaran digital mengantarkan akal manusia yang berfokus pada konten, namun kosong akan unit analisis isinya. Sebagai salah satunya adalah Mp3, aplikasi yang sangat kuat menghafal data. Tapi tidak tahu bagaimana ikut merasakan perasaan manusia. Begitu juga dengan media sosial lainnya, sperti youtube, instagram, facebook, twiter, dan lain sebagainya. 
Oleh karena demikian, seseorang yang mampu menyimpan pengetahuan dalam otaknya sebagai konten, beriringan dengan itu pula harus mampu mengembangkan unit analisi isi, supaya  pengetahuan manusia berbeda dengan hafalan mesin. Bagaimana membangun konten dengan metodae unit analisis yang beragam, tentunya kita butuh guru sebagai tutor utamanya. Unit analis terhadap konten,  hanya bisa dilakukan oleh manusia. Inilah yang membedakan hafalan MP3 dengan paham akal manusia.
Jika hafalan itu, sekuat MP3 lalu fungsinya hanya mampu menjadi provokator, inilah kelompok generasi yang menjadi korban Artificial Intelligence, dan menjadi generasi pengecut. Maka tidak heran manusia hari ini bertengkarnya di media sosial. Lalu pada akhirnya, peserta didik akan memahami jika pengetahuan dan agama hanya sebagai mata pelajaran saja. Sebab di kurikulum pendidikan kita, ada yang namanya mata pelajaran agama.
Ketika seorang anak bertanya pada ayahnya, agama itu apa ya???, setelah ayahnya menjelaskan apa itu agama dengan baik, sambil berlalu anaknya menjawab .........ooo saya pikir agama itu mata pelajaran".

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Meraih Gelar Doktor; Muchlinarwati Disabilitas yang Menginspirasi

Melihat Masalah dengan Masalah

SURAT TERBUKA: KEPADA YANG TERHORMAT BAPAK BUPATI ACEH BARAT DAYA