AWAL TAHUN PERADABAN DALAM PARADIGMA ANOMALI
Namun
sebaliknya, tidak semua yang terkait dengan proses rasionalisasi semata menjadi
sekuler. Islam memahami setiap fenomena berdasarkan gagasan yang di
bangun melalu dalil-dalil keagamaan. Alqur‘an mengutarakan gagasan terhadap
banyak hal, untuk menjadi tolak ukur dalam membangun pemikiraan atas apa yang
dihadapi oleh manusia dari masa ke masa. Termasuk masa modern yang sepintas
dipahami seolah-olah memisahkan antara keberadaan gagasan dalil keagamaan dengan
perkembangan sains modern.
Orang
yang memahami sesuatu yang terkait dengan pengetahuan umum maupun pengetahuan agama
dengan menggunakan kaca mata ilmu, pikirannya akan tertuju pada satu penekanan
saja, yaitu keputusan berfikir akan mengarah pada pikiran yang brutal, sebab
yang namanya ilmu itu menghukumi sifatnya. Ketika satu ilmu yang dimiliki
terbantahkan dengan penemuan ilmu yang baru, di sini akan terjadinya penolakan
besar-besaran terhadap apa yang dihasilkan dari proses tersebut. Seolah-olah
perkembangan inovasi ilmu pengetahuan akan menghancurkan ketetapan yang
sebelumnya sudah ada dan mengakar dalam pikiran manusia.
Ilmu
dan dengan segala penguasaannya sering menjadikan manusia menjadi angkuh,
sombong, merasa paling tahu, menginginkan dihormati atas pengetahuannya,
disanjung bak juru penyelamat dunia akhirat, sehingga lupa jika dia sedang
berpijak hidup didunia yang menginginkan ribuan kepentingan atas hajad hidup manusia
dan isi alam.
Alam
dunia adalah ruang dan waktu yang ditempati oleh manusia, di mana ruang ruang
tersebut sangatlah sempit, melebihi
sempitnya alam rahim, semasa kita ada di dalam kandungan ibu. Di saat menyambung
awal hidup di alam rahim, setiap manusia bebas mau bagaimana dan melakukan apa,
tanpa ada yang harus diperhatikan, semua aktifitas bebas sekehendak janin,
makanpun disuapi oleh seorang ibu melalui proses yang sudah ditentukan secara
sunnatullah atasnya.
Ketika
lahir kedunia yang disangka sangat luas pada materinya ternyata begitu sempit
pada hakikatnya. Sangking sempitnya dunia kita hampir tidak boleh sembarangan
melakukan sesuatu, tidak boleh mencari nafkah sembarangan, tidak boleh berbicara
sembarangan, tidak boleh melakukan dan berbuat sembarangan, tidak boleh menulis
sembarangan, tidak boleh menetapkan hukum sembarangan, dan akan berterusan
mendapatkan sembarangan-sembarangan yang lainnya.
Berbeda dengan orang yang memahami pengetahuan,
dengan menggunakan sorotan keislaman (Islam yang harus dipahami di sini adalah Islam
dalam pengertian agama yang membawa rahmah keselamatan bagi setiap momen), akan
menjadikan ilmu hannya sebagai instrumen dasar saja, bahwa untuk memahami ranah
keislaman mesti menggunakan ilmu sebagai
jalannya, sementara Islam itu sebagai tujuannya. Dengan demikian jauhlah
seseoarang dari kepicikan berfikir oleh karena ilmu sebagai alat untuk
menghukumi.
Islam
mengajarkan kita bertabayyun atas setiap perkara atau cek dan ricek dalam
segala hal peristiwa. Dalam cek and riceknya Islam terlebih dahulu menetapkan
alat untuk bertabayyun itu dengan ilmu dan berbagai macam kaedahnya. Sehingga munculnya
pemahaman yang beragam dari agama ini sebagai instrumen untuk bertabyyun, lalu
kemudian setiap kita dan isi alam akan terselamatkan berdasarkan tabayyun
keilmuan sebagai wujud aplikatif dari Islam itu sendiri dalam penjelasan term
pengertian yang menyelamatkan.
ألَّا
تَطْغَوْا فِي الْمِيزَانِ
Artinya, “dan
Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan)”.
وَأَقِيمُوا
الْوَزْنَ بِالْقِسْطِ وَلَا تُخْسِرُوا الْمِيزَانَ
Artinya, “supaya
kamu kamu tidak melampaui batas tentang neraca itu”.
Pada
surat Ar-Rahman ayat 7-8 diatas Allah swt., berfirman dengan wacana tentang
neraca keadilan. Keadilan dalam nuansa keseimbangan, imbang dalam menentukan
massa berat dan jenis. Bagaimana langit itu ditinggikan, bumi didatarkan dalam hamparan yang melengkung
menuju bulat yang melonjong membentuk telur burung onta.
Bumi
adalah planet dimana hidupnya makhluk yang mempunyai berat massa dan jenis.
Antara makhluk hidup dengan alam saling mempengaruhi satu sama lain, kedua sisi
ini membutuhkan keseimbangan yang ditentukan Tuhan, Sunnatullah dalam bahasa
agama, kausa prima dalam tatanan pembahasan filsafat, sebab akibat dalam bahasa
keseharian kita.
Manusia
adalah salah satu makhluk yang mempunyai massa jenis yang berimbang, sebagai
makhluk tertinggi diciptakan Tuhan dibandingkan dengan makhluk yang lain, sebab
tingginya kedudukan manusia maka butuh syaithan untuk menjadi lawannya manusia.
Dalam diri manusia terdapat perwakilan sifat dari makhluk-makhluk yang lain,
ada sifat kebinatangan, ada sifat tumbuh-tumbuhan, ada sifat syaithan, ada
sifat malaikat dan ada nasfu yang slalu menghitung buruk dan baik dari
keinginan manusia itu sendiri.
Keseimbangan pada diri manusia itu dikontrol
dalam sebuah file yang disebut dengan cinta dan kasih. Cinta dan kasih dalam
diri manusia itu terbentuk melalui proses yang berjilid-jilid. Bertemunya
fisik, beradunya pandangan, bertemunya jiwa, bersentuhan bathin, dan menyatulah
raga dalam satu wujud yang disebut file cinta, lalu dengan sendirinya
rasa kasih dan sayang terlegend dalam diri manusia masing-masing.
Begitu
juga dengan kebencian dalam diri manusia terbentuk dengan proses yang
berjilid-jiliid juga, mulai dari sifat, sifat direspon oleh jiwa, lalu mulut
mengucapkan kata, ketika kata diucapkan dengan rasa kebencian disitulah hati
tersayat dan kebencianpun melegend dalam diri manusia. Keseimbangan dalam komunitas
manusia mesti dipahami dengan neraca yang adil. Saling memahami sebuah keadaan,
hal tersebut yang akan menjadi proses yang berjilid-jilid dalam membentuk
keseimbangan. Jika keseimbangan sudah mulai diperankan oleh setiap kita maka
keadaan tidak lagi menjadi kacau, permusuhan sesama akan ditekan, lalu kemudian
yang muncul adalah rasa saling memahami akan keadaan yang berjilid-jilid
tersebut.
Allah
swt., meciptakan neraca keseimbangan dalam memenej alam semesta ini. Semestinya
manusia mengaplikasikan neraca keadilan dalam diri masing-masing, sehingga saling mendahului tidak menjadi alat
bagi manusia untuk saling memusuhi dalam bentuk apapun kondisinya. Jika neraca
keseimbangan menjadi perhatian manusia untuk saling memahami dalam berbagai
kondisi akan menjadi tolak ukur bagi kita jika setiap jiwa manusia adalah satu dalam tatanan tauhid kesatuan sebagai
mana Allah swt., firman dalam kalimat Qul Huwallahu Ahad.
Pada
tatanan hakikat absolut setiap manusia, apapun agama yang dianut hari ini
adalah sama. Sama-sama memahami jika Tuhan itu satu. Satu dalam pemahaman dan
satu dalam tujuan. Menyembah Tuhan pada dasarnya bentuk amal pengakuan bukan
substansial, sebab substansi tauhid adalah mengerjakan dengan seluruh anggota
badan baik tindakan yang sifatnya spritual maupun aksi yang bersifat sosial.
Sejarah
panjang yang terpisah-pisah antara turunnya wahyu dan Nabi mengakibatkan
pemahaman tauhid kema'rifahan menjadi
kabur dan sengaja pula dikaburkan oleh orang-orang yang punya
kepentingan pribadi dan kelompok terhadap agama. Memanfaatkan agama untuk
mencari popularitas melahirkan pemahaman agama yang keliru pada generasi
berikutnya.
Banyak
agama di dunia saat ini menjadi bukti jika Tauhid Absolut itu telah kabur
dipahami. Ada agama Kristen, Budha, Hindu, Comfusyu, Koptik, Protestan dan lain
sebagainya, ini sebuah tanda jika tauhid yang satu dikaburkan oleh pemangku agama
masing-masing. Padahal setiap kitab suci
mengajarkan kita jika Tuhan itu adalah satu. Ayat ketuhanan telah mengajarkan
kita tentang hubungan Tuhan dengan manusia, ingat manusia bukan pemeluk agama.
Di dalam surat An-Nas, tidak disebutkan Tuhan sebagai penguasa agama,
akan tetapi Tuhan ada sebagai penguasa manusia, siapapun dia agama manapun yang
menyesatkannya hari ini, Tuhan pada surat An-Nas sedang menyentuh
manusia dalam tataran pemahaman teologis. Jangan caci mereka yang saat ini
sedang tersesat dari Tuhan yang satu itu, ketika kita melihat konsep kesatuan
tersebut bagaimana Tuhan dipahami menjadi tiga dalam dokrin agama Kristen,
menjadi bergambar dalam agama Hindu, menjadi patung dalam agama Budha dan
menjadi-menjadi berikutnya pada agama yang lain.
Islam
adalah di mana penganutnya masih berada pada tatanan tauhid absolut yang lurus
dari awal waktu sampai hari ini, penganutnya masih berada pada tauhid yang
satu, kecuali orang-orang yang disesatkan menjadikan tempat-tempat tertentu
untuk menyandarkan harapannya kepada Tuhan, apakah kekuburan, tempat-tempat
yang dianggap keramat ataupun tempat-tempat yang lainnya.
Sebagian
yang disesatkan pemahamannya ketika berdoa kepada Tuhan bertawassul dengan
media, dengan mengirim doa lewat media sosial dan sepadan dengannya, sambil
berharap pihak media sosial akan mengirimkan doanya kelangit. Tentu tidak dapat dibayangkan jika doa yang sudah ditulis
di facebook, sementara pihak facebook sendiri lupa mengirimkan doa itu
kelangit, dikuatirkan Tuhan belum menerima doanya sebab tersangkut pada sistem
jaringan informasi.
Inilah
salah satu kesesatan bertawassul dengan media. Melalui surat An-nas
tersebut kita ditegur Tuhan dengan narasi yang sama antar makhluk pemeluk
agama, mari pada setiap kesempatan kita saling memperingati mereka, menyadarkan
pemahaman tauhid yang sudah keliru dan tidak saling memusuhi diantara sesama
manusia hannya karena salah menghukumi atas kekeliruan yang terjadi. Disini
kita mesti mengacu pada sebuah pelajaran dari Nabi Muhammadsaw., jika manusia itu dilahirkan dalam keadaan fitrah.
Berlebihan
dalam memahami nash sumber ajaran Islam merupakan sebuah kekeliruan
intepretasi dalam beragama. Ekstrem atau paham radikal mengakibatkan pola
pemikiran Islam menjadi sempit. Islam mesti dipahami sebagai esensi nilai bukan
formalitas simbolik.
Esensi
nilai ini adalah Islam bernarasi sunnatullah Tuhan sebagai ajaran yang
universal, berangkat dari awal mulanya diciptakan Nurnya Nabi Muhammad saw., di mana belum
diciptakan Tuhan sifat-sifat massa dan sifat materi sebagai perangkat bagi
manusia untuk menjalani Syariah Islam itu sendiri. Belum diturunkannya Alqur‘an,
belum adanya hadis, belum adanya pemikiran para ulama dan belum ada
perangkat-perangkat syariah sebagai atribut formalitas.
Formalitas
simbolik muncul disaat Nabi Muhammad saw., menjadi wujud nyata dalam
bentuk manusia biasa, yang mengandung unsur-unsur basyariah, sampai di
sini mulailah Islam hadir sebagai penyempurnaannya agama yang Allah swt., jadikan
sebagai petunjuk bagi manusia dari awal waktu sampai berakhirnya hari di dunia
dengan bertemu hari yang ditegakkan itu yaitu hari kiamat.
Memahami
Islam dalam konteks formalitas simbolik menjadikan rentan dalam menarik
kesimpulan, jika Islam adalah berpaham radikal, ekstremis, serta membenarkan
diri dan kelompoknya saja, menganggap kelompok yang berbeda bukan bagian dari
Islam itu senfiri merupakan pemikiran Islam tidak bernuansa sunnatullah.
Sebagai salah satu konteks yang nyata hari ini terjadi di dunia Islam, perang
yang melanda negara-negara di timur tengah saat ini bermula dari pemikiran
ekstremis dan radikal dengan alasan menegakkan khilafah dimuka bumi. Jutaan
orang mati, yang mati tidak tahu kenapa mereka dibunuh dan yang membunuhpun
tidak punya tujuan untuk apa mereka membunuh. Puluhan juta merenggang nyawa
sampai hari ini belum ada khalifah yang ditegakkan dan yang ada negara-negara yang
berkonflik tersebut dikuasai oleh negara asing dan perang sodara semakin
berlanjut.
Memahami
konteks di atas tentunya Indonesia harus
menjadi negara Islam moderat bernuansa nusantara. Islam yang membangun
kebudayaan berdasarkan bangunan Ilmu Pengetahuan, dengan berbagai macam
penemuan-penemuan baru yang menyangkut dengan sifat keduniaan, sebagaimana misi
Nabi Muhammad saw., membangun Negara Madinah sebagai pondasi awal Islam
kebudayaan dimulai. Untuk mewujudkan peradaban Islam yang bernilai kemajuan,
lalu menjadikan hitungan waktu dengan menggunakan penanggalan bulan sebagai
dasar dalam menentukan waktu, lalu mucullah penanggalan yang dinamakan dengan
tahun hijriyah sebagai awal tanda peradaban Islam dimulai.
Di
pihak yang lain telah dimulai sebuah peradaban dalam menentukan waktu dengan
menggunakan penanggalan matahari sebagai alat untuk mengukur awal waktu dan
perjalannya hingga hari ini. Semua aktifitas manusia dalam menentukan perjalanan
waktu tidak akan bisa terlepas dari hitungan waktu dengan menggunakan
perhitungan perjalanan matahari yang disebut dengan tahun masehi.
Pertanyaan
yang mendasar pada setiap pergantian tahun, baik pergantian tahun hijriah
maupun pergantian tahun masehi. Benarkah awal tahun masehi dan hijriyah
menjadi bagian daripada agama, sehingga muncul pernyataan jika sistem
penanggalan tahun masehi menjadi tahunnya orang non muslim dengan satu
januari sebagai tanda awal tahun dimulai. Sementara sistem penanggalan
hijriah menjadi tahunnya orang Islam dengan satu muharram sebagai tanda
awal tahun dimulai.
Untuk
memecahkan dua persoalan ini Alqur‘an sudah memberi tanda-tanda kepada pengetahuan manusia. Jika Bulan dan Matahari diciptakan Tuhan untuk menjadi alat tolak ukur dalam
menghitung waktu bagi manusia. Sebagaimana Allah swt., berfirman dalam surat
Yunus-ayat 5 sebagai berikut:
هُوَ الَّذِي
جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا
عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ مَا خَلَقَ اللَّهُ ذَلِكَ إِلَّا بِالْحَقِّ
يُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
Artinya,
“Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan
ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu,
supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak
menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda
(kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui”.
Ada
dua penanggalan tahun yang menjadi fokus kajian penulis. Kedua penanggalan
tahun ini sering menjadi kontra pemikiran ditengah-tengah Umat Islam, terutama
sekali pada awal tahun masehi, sebagian besar Umat Islam mengharamkan
menyambut satu januari sebagai awal tahun. Penanggalan awal tahun masehi
dan awal tahun hijriyah.
Kedua
sistem penanggalan ini merujuk pada sistem penanggalan solar dan lunar.
Sistem penanggalan dengan melihat perjalanan bulan dan perjalanan matahari.
Tahun masehi dengan bulan januari sebagai awal tahunnya merupakan
penanggalan tahun dalam menentukan waktu dengan menggunakan perjalanan matahari.
Sementara tahun hijriyah dengan bulan muharram sebagai awal tahunnya
menggunakan sistem hitungan perjalanan bulan.
Matahari
dan bulan telah Allah swt., jadikan bagi manusia sebagai media untuk menghitung
waktu. Umat Islam ketika berpuasa masuk satu ramadhan dihitung dengan melihat
bulan, berakhirnya puasa juga melihat bulan. Sementara dalam proses ibadah
puasa mulai dari saur sampai berbuka puasa hitungan waktunya tidak lagi
berpatokan kepada perjalanan bulan, akan tetapi merujuk pada hitungan
perjalanan matahari. Pada kenyataan ini menjadi berbeda setiap wilayah yang
berjauhan dalam menentukan waktu imsak dan berbuka. Ketika menghitung waktu
dalam menjalankan ibadah saja kita menggunakan bulan dan matahari untuk
menghitung waktunya. Lalu mengapa di sa’at menghitung awal tahun menjadi
masalah bagi umat beragama, terutama sekali bagi yang beragama Islam.
Pengaruh
peradaban dunia telah merubah sistem hitungan tahun. Oleh sebab pengaruh dunia
dipegang oleh kalangan non muslim hari ini menyebabkan hitungan waktu hampir
diseluruh dunia tidak terkecuali dunia Islam itu sendiri terpaksa mengikuti kalender
tahun masehi dengan hitungan hari menggunakan perjalanan matahari.
Dalam
transaksi internasional maupun nasional termasuk, indonesia dari setiap hajad
hidup manusia semua lininya menggunakan waktu dengan hitungan tahun masehi. Seperti
transaksi dagang, ekonomi, pendidikan, perkantoran, kesehatan, pembayaran jasa,
baik dilembaga pemerintah dan non pemerintah. Dalam hal perjanjian
internasional maupun nasional, pembayaran biaya pendidikan, tagihan listrik,
telfon, pdam dan berbagai macam transaksi lainnya. Mengenai persoalan ini Umat
Islam hari ini harus menggunakan hitungan waktu dengan menggunakan tahun
masehi. Begitulah kenyataannya.
Pada
ayat yang sudah penulis kutip di atas dalam surat yunus Allah swt., telah menjadikan Matahari dengan
cahayanya dan Bulan dengan sinarnya untuk digunakan oleh manusia. Di manfa‘atkan
sepenuhnya sebagai alat pengukur waktu bagi kehidupan manusia untuk proses
transaksi yang sudah penulis bahas di atas dalam menentukan takaran detik,
menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun dan abad. Sehingga Umat Islam bisa
menentukan dengan mudah kapan memulai ibadah, baik ibadah mahdhah maupun
ibadah ghairu mahdhah, dan kapan pula mengakirinya dengan
menggunakan hitungan lunar dan solar.
Berdasarkan
surat Yunus yang penulis kutip, maka tidak pantas ada sebuah kesimpulan jika
non muslim tahunnya masehi, sementara Islam tahunnya hijriyah,
sebab dalam menentukan kedua penanggalan tahun ini menggunakan sistem
perjalanan matahari dan bulan. Sementara matahari dan bulan adalah makhluk
ciptaan Tuhan, yang diciptakan-Nya untuk kepentingan manusia dalam berbagai
hal, salah satunya untuk menentukan waktu. Bukankah waktu dalam Islam merupakan
hal yang harus diperhatikan, karena Allah swt., telah bersumpah demi waktu,
sungguh manusia dalam keadaan rugi ketika dia melalaikan waktu.
Selamat
menyambut tahun baru masehi tahun 2020, yang diawali dengan satu
januari sebagai permulaannya,
menggunakan hitungan waktu berdasarkan perjalanan Matahari. Dan juga selamat
menyambut tahun baru hijriyah yang hitungan waktunya menggunakan
penanggalan perjalanan Bulan. Semoga kedua tahun ini, setiap pergantiannya
menjadi batas introspeksi tahunan terhadap sikap membangun peradaban yang jauh
lebih baik dari sebelumnya, dan saling mentransfer kebaikan antar sesama Umat
Manusia.
Amfat Es Dot Fil, Bandung, 31 Desember 2019
Amfat Es Dot Fil, Bandung, 31 Desember 2019
Komentar
Posting Komentar