BODOHLAH YANG MEMPELAJARI AGAMA
Agama dipahami sebagai sebuah koleksi terorganisir dari kepercayaan, sistem
budaya, dan pandangan manusia yang menghubungkan dengan tatanan
perintah kehidupan. Setiap agama memiliki simbol, narasi, dan sejarahnya
masing-masing. Agama merupakan kepercayaan yang menghubungkan rasa kepada
Tuhan. Agama bukanlah kurikulum pendidikan. Agama bukanlah mata pelajaran.
Apalagi untuk diperjual belikan, sebab agama bukanlah barang dagangan.
Agama adalah rasa yang membentuk keyakinan yang disebut dengan
iman. Agama merupakan bentuk kepercayaan, bukan pengetahuan. Informasi tentang
agama disampaikan dengan narasi yang umum. Prinsip-prinsip dasar yang diajarkan
agama sangatlah general. Seperti pembahasan tentang Tuhan, manusia, dan alam
jagad raya. Agama hanya memperkenalkan Tuhan lewat ayat-ayat ilahiayah,
sementara manusia dan alam diinformasikan dalam bentuk narasi kauniyah. Agama
juga dipahami sebagai tujuan, bukan jalan. Tujuan menuju pada pemahaman keilahiyan dan
kekauniyahan. Di sini dapat dipahami, bahwa agama sebagai bentuk kesimpulan
yang menyeluruh untuk dipahami. Kesimpulan dasarnya adalah, bahwa agama merupakan
penjelas keseluruhan dari setiap apa yang diinformasikan lewat pemahaman
keilahian dan pemahaman kekauniyahan.
Jika agama adalah tujuan, maka untuk mencapai kesana harus
disediakan perangkat yang memadai. Perangkat inilah yang harus dipelajari oleh
pemeluk agama, bukan malah mempelajari agama. Banyak perangkat yang digunakan
oleh manusia untuk memahami agama, tentunya banyak pula yang harus dipelajari.
Semakin manusia memahami perangkat jalan menuju agama, maka semakin besar rasa
yang tertanam dalam jiwa seseorang tentang agama itu sendir.
Agama tidak boleh dipelajari sebab agama bukanlah mata pelajaran.
Agama adalah rasa yang melekat dalam jiwa seseorang, yang mana rasa tersebut
hadir ketika manusia membuka dirinya. Rasa yang yang hadir dalam jiwa seseorang
hasil dari sebuah perenungan berdasarkan penelusuran secara terus menerus
terhadap jalan menuju pada level memahami nilai-nilai agama.
Berhentilah mempejari agama, sebab agama bukanlah mata pelajaran.
Dan bodohlah orang yang mempelajari agama tanpa menelesuri perangkat-perangkat
yang menuju kepadanya. Seperti perangkat tauhid, fiqh, akhlakh, tafsir,
tasawuf, metodelogi, sejarah peradaban, nahwu, sharaf, sosiologi, geografi,
astronomi, politik, ekonomi, hubungan internasional, dan lain sebagainya.
Pendidikan agama bukan ditanamkan dengan dokrin. Dokrinasi
pendidikan tidak akan melahirkan pemeluknya merasai nilai-nilai agama yang
meresap dalam dirinya sebagai intrumen pemahaman yang mempengaruhi prilaku
kehidupannya dalam berbagai hal. Kurikulum yang berbasis dokrin hannya mendidik
semangat beragama saja, tanpa merasa memiliki terhadap eksistensi agamanya.
Radikalisme akan membawa inklusifitas dalam memahami agama kehilangan ruang,
bahkan terabaikan sama sekali.
Agama Islam hadir kemuka bumi sebagai par excelen. Islam sebagai
ideologi religius mampu mengubah prilaku masyarakat jahiliyah menjadi
masyarakat yang beradab. Transformasi keismalaman yang disampaikan dari satu
generasi kepada generasi berikutnya tidaklah disampaikan oleh orang-orang yang
kosong akan sebuah nilai. Bahkan adab menjadi gerbong masuknya Islam dalam
masyarakat jahiliyah saat itu mampu merubah pola pikir utopis masyarakatnya
terhadap Islam menjadi pandangan mendasar mendasar jika Islam merupakan agama
yang hadir dan turun dari tempat yang suci dan berasal dari zat yang maha
sempurna.
Nabi Muhammad saw. adalah sosok
yang mempunyai adab yang sangat tinggi. Jika sebuah ungkapan yang berbunyi
dengan narasi "al adabu fawqa 'ilmu" artinya, adab itu berada di atas
ilmu, maka pelaku utamanya adalah Nabi Muhammad sendiri. Sosok yang tidak luput
dengan memperhatikan sebuah kesalahan walaupun dalam bentuk kesalahan yang
paling kecil.
Sosok nabi seperti inilah yang pertama sekali
mengajarkan akal universal yang diterima dari jibril lalu menjadi akal
partikular yang sudah dipahami oleh pikiran yang mulia, suci, paham, cerdas,
dan bervisi. Lalu nabi yang sudah paham dengan
apa yang sudah didapatkan lewat pewahyuan menyampaikannya kepada umat. Umat
pertama disebut dengan shahabat. Sebagaimana yang pernah saya jelaskan kata
shahabat adalah narasi komunikatif kenabian dalam membentuk cikal bakal
masyarakat madaniyah. Dengan kata shahabat derajat manusia tersambangi dengan
nilai-nilai keadaban.
Generasi shahabat adalah generasi yang mampu memahami akal
partikular tanpa dokrinasi. Paham keagamaan yang ditanamkan kepada mereka oleh
nabi adalah paham yang membentuk nilai dan karakter kemanusiaan. Jauh sebelum
teori pendidikan yang dirumuskan oleh barat saat ini tentang teori taksonomi
bloom meliputi kognitif, afektif, dan psikomotorik, Nabi Muhammad saw.,
Sudah mengajarkannya kepada generasi Islam pertama semenjak Nabi Muhammad
hadir.
Generasi shahabat sebagai estafet pertama sehingga munculnya
generasi thabi'in, dan generasi seterusnya, sehingga melahirkan maha karya
keilmuan dalam berbagai bidang dispilin ilmu. Hadirnya berbagai ranah keilmuan,
bukan karena terjadinya persentuhan pemikiran dalam bentuk kerja sama antar
lembaga pendidikan sa'at itu, melainkan sebab generasi yang sudah ditanamkan
sifat nilai dari Ajaran Islam, bukan sikap dokrinasi kurikukulum pendidikan.
Hadirnya pemikiran radikal hari ini tidak terlepas dari sistem
pendidikan yang mana dokrin menjadi tujuan utama bagi anak didik. Dokrin
berbasis kurikulum sudah mampu merubah paradigma nilai menjadi sistem berfikir
radikal. Kurikulum yang sudah merubah pembentukan ideologi menjadi perang
informasi. Lalu kemudian melahirkan generasi yang tidak mampu berfikir rasional
atau bahasa . Sikap brutal dalam menyelesaikan masalahnya menjadi sesuatu yang
dipahami baik untuk dilaksanakan. Sekelompok orang hannya mampu berperan
sebagai perongrong, sekelompok yang lain sudah didik menjadi pelaku eksekusi
kebrutalan.
Oleh karena pendidikan menjadi dokrin, agama menjadi alat untuk
dikomersilkan dengan kepentingan masing-masing kelompok. Menyulut amarah dengan
dokrinasi keagamaan merupakan pekerjaan yang sangat mudah dilakukan dan
berbiaya murah. Cukup menanamkan semangat beragama saja bagi pemeluknya dan
menjauhi untuk memahamkan rasa memiliki terhadap agama sebagai way of life bagi
kehidupan manusia yang harmonis dan berkemajuan.
Pendidikan tanpa nilai akan membentuk potensi jiwa tanpa rasa.
Dokrinasi yang berbasis kurikulum akan membentuk karakter manusia yang jauh
dari nilai-nilai adab-adab keagamaan. Peradaban manusia tidaklah dibentuk
berdasarkan sebuah dokrin, melainkan peradaban itu hannya bisa dibangun dengan
pendidikan kurikulum berbasis nilai.
Maka dengan demikian wajar saja
mentri agama hendak menghapus mata pelajaran agama disekolah, sebab agama
bukanlah mata pelajaran. Mari kita dukung penghapusan mata pelajaran agama di
sekolah. Ketka manusia mencoba mempelajari agama pada sa'at itu juga manusia
sudah membuang jalan utama menuju kesempurnaan nilai.
Komentar
Posting Komentar