Dikala Aku Melawan Maut: Gempa dan Tsunami Aceh 26 Desember 2004

Minggu tanggal 26 Desember 2004, adalah hari berduka bagiku, dan juga musibah besar bagi seluruh bangsa Aceh. Hari itu, bencana dahsyat melanda bumi Serambi Mekkah, yang membuat mata dunia terbelalak, melihat sebuah musibah alam yang terjadi diluar dugaan manusia.Negeri yang terletak paling ujung pulau Sumatra adalah salah satu wilayah teritorial pemerintahan yang dijuluki negeri di bawah angin, yang bernama Indonesia.  Peristiwa tersebut menjadikan Indonesia berduka dengan status bencana nasional. 

Sabtu 25 Desember 2004, di sore hari menjelang magrib waktu Indonesia bagian barat, ponsel saya berbunyi, saya menerima pesan singkat dari seorang teman, Rusli namanya, teman seangkatan ketika masih menempuh pendidikan di sekolah menengah Aliyah di kota Banda Aceh.

Madrasah Aliyah Negeri 2 Banda Aceh.  Banyak cerita lucu, senang, bahagia, bahkan cerita, banyak cinta yang terabaikan sa‘at itu. Namun yang namanya remaja, yang sedang mencari jati dirinya, tentu hati tidak bisa menipu perasaan. Di antara banyak bunga yang mekar ditaman tentu ada setangkai ranting yang ingin dipetik.

Aaaaaah.....lupakan cerita bunga yang tidak tuntas dipetik, taman yang sengaja ditinggalkan, bukan karena tidak menyukai harumnya wewangian yang terpancar dari saripati bunga yang beragam bentuk dan warnanya. Sebagai siswa yang masih bingung dengan masa depannya, tentu persoalan hati menjadi masalah yang ke sekian dalam angan dan harapan masa depan.

Masa depan yang belum terang dalam ingatan. Sebagai remaja yang berangkat dari kampung nun jauh diujung  pulau paling Barat negeri di bawah angin. Tekad utama hidupnya hanya berfikir bagaimana caranya bisa menempuh pendidikan yang layak sebagaimana remaja-remaja lainnya di pusat Ibu Kota provinsi Aceh. Berasal dari keluarga sederhana, dengan ekonomi keluarga yang menurut statistik kependudukan berada pada urutan di bawah garis kemiskinan.

Sebagai siswa perantauan, tentunya harus bekerja keras, bekerja apa saja asalkan tiap harinya mendapatkan sedikit uang untuk sekedar mengiisi perut dipagi hari. Perut terisi walaupun makanannya tidak bergizi, namun cukup untuk menguatkan fisik saja, dan siap menerima pelajaran di sekolah setiap harinya.

Pagi selesai dengan persoalan makanan, namun harus berfikir ulang, jika pagi punya apa yang bisa dimakan, walaupun hanya satu dan dua potong kue serta satu gelas teh manis yang dijual dipojokan hiruk pikuknya kota. Sambil menerima mata pelajaran yang disampaikan oleh guru diruang kelas, saya selingi pikiran ini untuk berfikir, siang hari saya harus makan apa, dapat uang dari mana, dan makan di mana. Begitulah tiap hari yang saya rasakan sampai surat tanda tamat belajar di Madrasah Aliyah Negeri 2 Banda Aceh saya peroleh.

Sabtu menjelang malam tanggal 25 Desember 2019, Rusli mengabari saya lewat pesan singkat melalui ponsel genggamnya. “Malam ini kamu temenin saya menginap di ruko tempat kakak saya tinggal di Lamteumen”.

Setelah saya mengkonfirmasi ulang, bagaimana caranya saya harus menginap di ruko di mana tempat kakaknya seorang perempuan tinggal. Sempat menolak, sebab tidak mugkin saya harus menginap di ruko di mana seorang perempuan tinggal. Dengan jawaban meyakinkan saya Rusli menjawab, kakak perempuan saya sudah mudik ke kampung halaman, jadi tidak ada yang menjaga rukonya. Mendengar jawabannya, saya mengiyakan ajakan seorang teman, baiklah nanti menjelang malam saya menuju kelokasi.

Terlintas dalam pikiran saya, sebelum menerima pesan singkat dari Rusli, sabtu menjelang malam mingguan, hati berkeinginan untuk menginap dirumah teman yang mana posisi tempat tinggalnya tidak begitu jauh dari pinggir pantai,  hanya terhitung beberapa ratus meter saja dari pinggir laut. Yang belakangan saya ketahui Gampong Lampaseh adalah gampong yang rata dengan tanah setelah air bena (Tsunami) yang menghantam dan meluluh lantakkan negeri Aceh, rata dengan tanah, tidak ada bangunan yang tersisa, termasuk tempat tinggalnya teman yang malam itu saya berniat ingin bermalam bersamanya.

Untung memang susah untuk di raih, maut tidak bisa ditebak kapan dia akan menghampiri setiap anak manusia, jika belum tiba waktunya, pantang nyawa berpisah dengan raga.

Misteri kehidupan persis sama misterinya dengan kematian, nyawa yang menyertai badan akan tetap bersemai dalam raga, sampai masa kejenuhan itu datang. Semua akan menghadap kepada-Nya dikala waktu kejenuhan ruh bersemanyam dalam raga tiba.

Bukan kematian yang harus ditakuti, namun bagaimana keadaan ruh dikala mempertanggung jawabkan segala amalan di depan sang pencipta dipertanyakan. Waktu kematian tidak dapat dipilih, tempat berpisah raga dengan ruh juga tidak bisa ditebak. Semua sudah tertulis di alam lauh mahfudh, kapan dan di mana. Walaupun bencana menghantam sedahsyat-dahsyatnya negeri di mana kamu diami, jika umur masih dikandung badan pantang nyawa berpisah dengan raga.

Menjelang magrib sabtu, 25 Desember 2004, saya bertemu dengan Rusli di ruko yang telah dijanjikannya, tempat kami bermalam. Seperti layaknya kebanyakan Muslim, di sa‘at berjumpa, sudah tentu diawali dengan salam pembuka yang selalu harus dilontarkan kepada sesama, dengan salam sejahtera atas kamu yang dibarengi dengan senyum masing-masing di antara kami.

Saling menanyakan kabar, dan mengajak makan malam bersama sebelum kami memasuki ruko. Sebagai remaja yang menuju pendewasaan dalam kejombloan malam akhir pekan tentunya menjadi malam yang indah untuk dilewati. Walaupun malam mingguan dilewati dengan makan bersama dengan menu seadanya. Lama tidak berjumpa, semenjak menamatkan sekolah Aliyah sampai memasuki perguruan tinggi.

25 Desember 2004, waktu yang telah terlewati tidak terasa sudah dua tahun kami berpisah, semenjak menamaatkan sekolah Aliyah pada tahun 2002. Masing-masing dari kami sudah menjelajahi kesibukan masing-masing.

Masing-masing dari kami sedang menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Sa‘at itu saya dan Rusli sedang menempuh pendidikan di strata ke lima di Institue Agama Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh dengan jurusan yang berebda, yang semenjak tahun 2014 menjadi Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh.  Walaupun berada pada almamater yang sama, tetap saja jarang untuk bertemu. Namun malam itu tanggal 25 Desember 2004 kami ditakdir bersama menghadapi musibah besar. Bahkan musibah yang tercatat sebagai musibah terdahsyat di dunia.

Setelah selesai makan malam bersama, kamipun melanjutkan diskusi sambil meminum segelas kopi khas Aceh, kopi saring madein kopi ulhe kareng. Kopi yang menusuk jiwa pada sa‘at tegukan demi tegukan dicicipi. Kopi yang mampu merubah mumet pikiran menjadi tenang. Tidak sah rasanya bagi pemuda Aceh ketika duduk bersama teman-teman sebaya jika tidak dibarengi dengan segelas kopi khas rajikan aneuk nanggroe.

Sabtu malam minggu menjadi malam yang panjang bagi kami berdua, sambil menguak cerita di mana kisah mahasiswa perantauan mempunyai kisah yang masing-masing dirasakan unik. Unik dengan kisah masing-masing menjadi roman bagi kami sa‘at itu.

Dada ku sesak dan nafas terhenti, ketika pertanyaan yang dilontarkan olehnya tentang seorang gadis yang semenjak sekolah Aliyah sampai perguruan mempunyai cerita kusus dengan saya dan dia. Seorang wanita anak sodagar kaya raya yang pernah bercita-cita denganku untuk berlayar menuju bahtera rumah tangga.

Cinta masa-masa Aliyah merupakan cinta di mana masa yang paling indah untuk dirasakan. Begitulah ungkapan para seniman kehidupan. Gambaran keindahan cinta masa remaja terjalin dengan baik sa‘at itu. Merancang sebuah kehidupan masa yang akan datang tidaklah mudah dengan anak seorang pengusaha sukses, yang mempunyai usaha tersohor mencapai wilayah Asia. Gadis cantik dan muslimah nan ayu asal negeri kota para raja telah terpaut hati denganku.

Cinta itu memang buta, tak memandang anak siapa, keturunan yang mana. Tidak cukup kata bagiku untuk mendiskripsikan tentang dia yang sudah berani merancang cinta masa depan dengan pemuda sederhana sepertiku, jangankan untuk berbicara kemewahan hidup, untuk makan sehari-hari saja masih ngutang-ngutang di rumah makan ala mahasiswa. 

Larut dalam lamunan, seolah-olah sa‘at itu saya sedang sendirian, pikiran terulang kebelakang mengingat kisah indah yang pernah terukir dengan seorang gadis belia anak sodagar kaya raya yang berasal dari kota para raja. Tiba-tiba Rusli mengakiri lamunanku dengan menepuk bahu, dan dia pun bertanya, kemana gadis cantik nan ayu anak sodagar kaya raya pengusaha sukses yang bisnis rotannya sudah merajai pasar Asia.  

Spontan saya menjawab, saya tidak tahu lagi kemana rimbanya. Setelah terakhir sekali kami berjumpa di ruang kuliah fakultas dakwah, membahas masa depan. Masa depan kami adalah sebuah cita-cita dan harapan untuk hidup bersama yang sulit untuk saya wujudkan bersamanya.

Mendengar penjelasanku Rusli meneruskan pertanyaannya. Cita-cita masa depan yang sulit untuk diterapkan bagaimana maksudnya. Cita-cinta untuk menikah dengan anak sodagar kaya raya dari negeri kota para raja. Rusli meimpa kembali, kamu ingin menikahinya??? Mendengar pertanyaan tersebut saya harus mejelaskan kembali kepada Rusli. Terakhir berjumpa dengannya di ruang kuliah fakultas dakwah dekat parkiran, kami membahas cita-cita hidup bersama. Pertanyaan yang di ajukan olehnya pada sa‘at itu, maukah kamu menikahiku setelah selesai kuliah nanti??.

Mendengar pertanyaan ini saya terperanjat, gadis cantik nan ayu anak sodagar kaya-raya yang berasal dari kota para raja sa‘at itu membuat saya seperti di dalam mimpi.

Bagaimana tidak, anak sodagar kaya raya dari kota para raja meminta untuk dinikahi oleh pemuda seperti saya, jangankan untuk menikmati kehidupan mewah untuk makan dan biayaya kuliah saja sulit bagiku. Rusli menimpa kembali, lalu bagaimana  akhirnya, jawaban yang bisa kuberikan sa‘at itu pada Rusli adalah “saya tidak tahu bagaimana kabarnya”.

Lama sudah berdiskusi malam itu, banyak hal yang kami bicarakan. Jam sudah menunjukkan pukul 11.00 WIB., kamipun berkeinginan untuk kembali ke ruko di mana saya sudah berjanji dengan Rusli untuk menemaninya malam itu.

Setelah membayar harga minuman yang dipesan, kamipun berangkat pulang menuju ruko di mana kami menginap, sabtu tanggal 25 Desember 2004.

Tibalah di ruko, kamipun masuk dan mengambil posisi tidur masing-masing. Tanpa bercerita panjang lebar lagi, mata masing-masing kamipun terlelap dan tertidur sampai pagi hari tiba. Menjelang subuh saya pun terbangun hendak menunaikan shalat subuh. Menuju ke kamar mandi, berniat hendak berwudhuk, namun tidak ada air yang tersisa sa‘at itu. Langkah satu-satunya saya harus bertayammum. Tentunya bertayammum seperti itu tidak dibenarkan dalam fiqh.

Setelahnya saya melanjutkan tidur sampai pada suatu sa‘at saya merasakan dalam tidur seperti ada sebuah gerakan, di mana bangunan beton ruko tersebut sedang bergerak. Dengan hentakan pertama, saya langsung terbangun dan menyadari jika hentakan tersebut adalah gerak awal pertanda gempa teknonik akan melanda negeriku.

Reflek yang tidak bisa kujelaskan dengan kata-kata, dengan tak terduga melakukan gerak cepat tanpa kusadari dengan sekejap seketika gerakan langkah kakiku sudah berada di lantai satu ruko.

Berdiri di depan pintu yang sudah terkunci dengan rapat. Saya memanggil nama Rusli dari dalam yang sudah terkurung di dalamnya dengan memukul-mukul pintu ruko yang terbuat dari besi. Ternyata Rusli sudah duluan berada diluar ruko sebelum gempa terjadi. Segera Rusli membuka pintu ruko dengan mimik ketakutan dan menarik saya keluar setelah pintu terbuka.

Semakin lama gerakan  gempa semakin kuat mengguncang bumi negeri para Aulia. Merasakan gerak bumi yang begitu kuat saya, Rusli dan bersama warga yang lainnya, yang sudah berkumpul di badan jalan, masing-masing dari kami hanya bisa mengurus diri sendiri dengan merebahkan badan di atas tanah badan jalan yang sudah dilapisi aspal.

Sambil menatap dengan tatapan yang kosong dan rasa takut, melihat bangunan di depan yang bergoncang dengan sangat kuat. Seolah-olah bangunan tersebut siap roboh dan terhempas ke badan jalan di mana kami merebahkan badan untuk melindungi diri dari hempasan gerak gempa yang semakin lama semakin kuat goncangannya.

Menatap ke badan jalan dengan kenderaan yang sudah berhenti di posisi masing-masing, kenderaan-kenderaan tersebut seolah-olah terparkir dengan sangat rapi ditengah jalan. Pemilik masing-masing kenderaan tersebut sudah meninggalkan kenderaannya.

Melihat kenderaan yang mengikuti gerak gempa tentunya menambah pemandangan yang mengundang rasa takut sebab melihat dengan mata kepala sendiri mobil-mobil yang seolah-olah terparkir dengan rapi dihempas oleh gerak bumi kekiri dan kekanan dan keatas badan jalan. Sehingga posisi kenderaan yang sebelumnya tersusun dengan rapi menjadi berserakan di badan jalan bak sebuah adegan film perang dengan ledakan bom dahsyat.

Gempa dengan durasi beberapa menit lamanya, membuat seluruh isi bumi tanah rencong berguncang beserta isinya, kususnya isi bumi yang berada di bawah laut. Ledakan dahsyat yang terjadi sudah meluluh lantakkan isi bumi.

Hanya dengan hitungan menit saja banyak bangunan yang roboh, jalan-jalan banyak yang hancur, jembatan banyak yang putus total, dan bumipun retak serta terbelah mengikuti garis lintangnya. Bumi marah, alam bersedih, isinya berduka cita, makhluk yang mendiami di atasnya banyak yang menjadi korban dan kehilangan nyawa akibat reruntuhan bangunan beton yang dibuat oleh manusia itu sendiri.

Gempa bumi Samudra Hindia 26 Desember 2004 terjadi pada pukul 08:58:53 UTC episentrumnya terletak di lepas pantai barat Sumatra, Indonesia. Guncangan gempa tersebut berskala 9,1–9,3 dalam skala kekuatan Moment dan IX (Violent) dalam skala intensitas MercalliGempa bumi megathrust bawah laut terjadi ketika Lempeng Hindia didorong ke bawah oleh Lempeng Burma dan memicu serangkaian tsunami mematikan di sepanjang pesisir daratan yang berbatasan dengan Samudra Hindia.

Gelombang tsunami yang tingginya mencapai 30 meter (100 ft) menewaskan 230.000–280.000 jiwa di 14 negara dan menenggelamkan sejumlah permukiman pesisir. Gempa dan tsunami ini merupakan salah satu bencana alam paling mematikan sepanjang sejarah. Indonesia adalah negara yang dampaknya paling parah selain Sri Lanka, India, dan Thailand.

Gempa bumi terbesar ketiga yang pernah tercatat di seismograf dan durasi patahan terpanjang sepanjang sejarah (antara 8,3 dan 10 menit). Gempa ini menyebabkan seluruh planet Bumi bergetar 1 sentimeter (0,4 inci) dan memicu aktivitas gempa di berbagai wilayah, termasuk Alaska

Episentrumnya terletak antara Pulau Simeulue dan Sumatra. Penderitaan masyarakat dan negara terdampak mendorong berbagai negara untuk memberi bantuan kemanusiaan. Masyarakat internasional secara keseluruhan menyumbangkan lebih dari US$14 miliar dalam bentuk bantuan kemanusiaan. Peristiwa ini dikenal di kalangan peneliti sebagai gempa bumi Sumatra–Andaman.

Gempa yang melanda Aceh sa‘at itu seolah-olah alam memberi sebuah isyarat berduka, atas apa yang telah diperlakukan oleh manusia-manusia congkak yang berjalan dengan penuh kesombongan di atasnya. Hampir tiap hari sebelum bencana gempa di Aceh, dengan begitu mudahnya masyarakat bawah menemukan jiwa-jiwa manusia yang tergeletak dipersimpangan jalan. Jiwa manusia yang sudah kehilangan nyawanya.

Komflik antara TNI dan GAM banyak memakan korban jiwa rakyat bawah. Rakyat yang tidak mengerti persoalan politik kemerdekaan banyak yang menjadi korban.

Baik korban dalam artian salah sangka maupun korban salah duga. Tidak penting bagi masyarakat sa‘at itu siapa dan bagaimana prosesnya. Kenyataan yang disaksikan oleh masyarakat bawah sa‘at itu adalah, adanya mayat-mayat manusia yang ditemukan disetiap persimpangan jalan di saban hari. Ada yang diketahui identitasnya, ada yang tidak diketahui asalnya.

Masyarakat dilanda ketakutan, takut dengan apa yang dilihatnya, dengan ketakutan tersebut masyarakat menuai dosa kifayah. Dosa yang diterima akibat tidak ada yang mengurus jenazah yang saban hari terletak di pinggir-pinggir jalan.

Hampir saban hari ada jenazah yang dibuang, dan jenazah-jenazah tersebut tidak ada yang mengurusnya, akibat dari rasa takut. Takut dengan teror kedua belah pihak. Jalan penyelesaian satu-satunya terhadap jenazah yang terbuang tersebut adalah dengan menunggu mobil bantuan dari anggota PMI menjemputnya.

Setelah beberapa menit bumi berguncang, banyak bangunan yang roboh, dan banyak manusia yang berpisah raga dengan jiwanya secara tiba-tiba, yang tidak pernah diduga sebelumnya. Dalam hitungan menit gempapun berhenti dengan pelan-pelan, dan sampai benar-benar berhenti. Ketika goncangan tanah mulai reda, masyarakat di sekitar saling bertatap muka dengan wajah katakutan, termasuk saya dengan Rusli, berdiri sejenak sambil menatap dengan sorotan mata yang kosong. Saya pun meminta kepada Rusli untuk membuka kembali pintu ruko yang sudah ditutup dan dikuncinya.

Rusli bertanya, buat apa pintu dibuka, bagaimana kita akan masuk, saya trauma melihat bangunan setelah gempa, jangan-jangan ada gempa susulan. Rusli tidak menyadari jika saya turun kelantai satu dengan gerak reflek dan mencari jalan keluar melewati pintu ruko yang sudah dikuncinya hanya dengan menggunakan kain sarung saja, tanpa menggunakan pakaian yang lainnya.

Sahutku, saya hendak mengambil pakaian di atas, Ruslipun mengiyakan dengan memberikan isyarat jangan lama-lama di dalam gedung, ambil pakaiannya dan turun, mana tahu ada gempa susulan.

Dengan gerak cepat sambil berlari naik menuju anak tangga, begitu terkejut dan syok pikiran saya ketika berada di lantai dua, melihat keadaan tidak lagi bersih seperti semula. Tempat di mana saya tidur sebelumnya sudah dipenuhi dengan batu bata yang jatuh dari atap lantai ruko.

Batu bata yang diperkirakan, seandainya saja saya tidak dibangunkan dari tidur dengan gerak reflek yang cepat, maka saya akan ketimpa batu bata yang jatuh dan siap melukai badan saya. Seketika itu sayapun mengucapkan syukur, alhamdulillah ya Tuhan engkau telah menyelamatkan jiwa dan ragaku dari hantaman batu bata yang sudah memenuhi lantai dua ruko di mana kami merebahkan badan pada malamnya.

Pandangan saya tertuju pada posisi pakaian yang pada malamnya digantung pada tempat gantungan baju yang terletak di sudut kamar. Setelah pakaian saya gunakan, terlintas dalam pikiran sebuah ponsel  genggam yang saya letakkan di samping tempat tidur. Dengan mendeteksi posisi kepala sa‘at tertidur, lalu saya mengangkat batu bata satu persatu sehingga saya menemukan ponsel genggam dalam keadaan masih utuh walaupun terdapat lecet pada bagian luarnya.

Mencoba mengaktifkan sinyalnya, dengan tujuan hendak menghubungi kawan-kawan yang berdomisi di seputaran kota Banda Aceh, dan mencoba menghubungi orang tua di kampung, ternyata setelah gempa terjadi sinyal mati seketika. Ratusan ribu masyarakat sa‘at itu kehilangan kontak dengan sodara, teman, sanak famili, dan akses komunikasi bantuan darurat.

Bergegas kembali turun kelantai dasar setelah ponsel ditemukan, dan menemui teman yang sudah menunggu saya untuk segera turun. Setelah saya keluar dari ruko, pintunya pun ditutup kembali dan Rusli mulai mengomandoi untuk melihat kakaknya yang tinggal berada hampir lima ratus meter menuju pinggir laut, di gampong Lamjame.

Dengan segera melangkah menuju ke arah bibir pantai, langkah yang dipercepat, sambil memperhatikan ribuan warga yang panik dengan dirinya masing-masing. Hampir tidak ada orang yang tidak berzikir sa‘at itu sepanjang perjalanan menuju rumah kakak iparnya Rusli. Semua berzikir dan semuanya membaca Alqur‘an sambil memegang kitab suci di tangan.

Melihat fenomena seperti ini, saya menertawakan mereka di dalam hati, sambil bergumam dalam hati, jika terjadi bencana pada rame berzikir dan membaca Alqu‘an. Tapi itu cuma celotehan batinku saja, padahal air mataku menetes melihat begitu paniknya orang-orang sa‘at itu. Mereka cemas dengan kehidupannya, keluarganya, anaknya, temannya, tetangganya. Semuanya pada berhamburan keluar dari rumah dengan wajah kepanikan yang berbeda-beda. Berzikir dan membaca Alqur‘an adalah satu-satunya cara menenangkan hati bagi ribuan manusia yang sedang mendapati musibah sa‘at itu.

Berjalan dengan tergopoh-gopoh memasuki ruas jalan, lorong, dan melewati rentetan rumah perumnas. Tibalah di depan rumah kakaknya Rusli. Kami melihat mereka sedang berkumpul bersama keluarga dan selamat semuanya.

Kamipun saling menyapa dan saling memberi semangat, dan bertutur kata selayaknya keluarga. Percakapan mereka tidak saya ikuti dengan baik, sebab saya sendiri asyik memperhatikan suasana di sekitarnya, sambil berfikir, apakah hari ini sudah selesai gempanya atau masih ada musibah yang lainnya.

Sambil menikmati suasana pasca gempa bersama masyarakat yang tidak kukenal persis orang-orangnya, sebab bukan wilayah di mana saya tinggal. Wajah-wajah mereka pada serius, cemas, dan takut. Mungkin sama seperti yang saya rasakan musibah apalagi yang menimpa Aceh pasca gempa sa‘at itu.

Sebelum gempa dan Tsunami Aceh adalah wilayah paling barat Indonesia yang sedang diberlakukan status darurat militer dan darurat sipil. Trauma konflik bersenjata belum usai lalu datang bencana gempa. Mengingat komflik terus berkecamuk pikiranku dan yang lainnya juga merasakan perasaan yang sama. 

Sekilasnya mataku berkaca dan meneteskan air mata, melihat seorang ibu yang sedang duduk sendirian dan dengan seketika itu saya teringat wajah ibuku. Dengan posisi wajah menunduk lalu saya menangis mengenang apakah ibuku masih selamat, apakah ibuku juga teringat kepadaku anaknya yang sejak hari itu sudah kehilangan kontak sebab jaringan ponsel seluler putus total.

Hannya kontak bathin saya dengan ibu melalui media air mata, saya mendoakan keberadaannya. Selamatkan ibu dan keluargaku dari bencana gempa ini.

Hanyut dalam lamunan dan perasaanku dengan bayangan wajah ibu, yang tidak bisa kuhubungi sebab jaringan terputus. Sambil berdoa ampuni dosa ibu dan ayahku serta ampuni dosa kami semuanya.

Sedang asyik-asyik lamunanku membayangi wajah seorang ibu yang sudah bersusah payah melahirkan dan membesarkanku, dengan taruhan darah dan nyawa, tiba-tiba saya mendengar suara kenderaan roda empat yang begitu keras dan siap menembus ruas jalan untuk menyelamatkan diri dan keluarganya, sambil memutar mobilnya dia berteriak air laut naiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiik. Sodara-sodaraku segera berlari dan menyelamatkan diri ketempat yang tinggi, teriaknya.

Tidak pernah terbayang sebelumnya, dan tidak terfikirpun adanya, seperti apakah air laut yang dikatakan naik. Sambil berfikir mencari tahu, saya mendengar suara bergemuruh, menangkap seperti suara angin kencang melebihi gemuruhnya badai tornado.

Mata saya menatap kelangit, mencari tahu arah mata angin yang bergemuruh tersebut, tidak kutemukan gerak mata angin, menatap langit cuacanya sangatlah cerah, tidak ada tanda-tanda badai besar sedang menyerang kota di mana saya berdomisi sa‘at itu.

Mencari tahu dari mana asal suara bergemuruh tersebut, kucoba memalingkan wajahku kebelakang, dan dengan seketika saya melihat gelombang air laut yang mencapai ketinggian rata-rata di atas atap rumah. Dengan spontan suasana yang sebelumnya pasca gempa mulai hening, kembali menjadi panik, orang-orang pada berteriak air alut naiiiiiiiiik, sambil berlari menyelamatkan diri dan keluarga masing-masing mencari tempat yang tinggi.

Begitu juga dengan saya sendiri, kembali panik, tidak tahu lagi harus berkata apa kecuali mengingat ajal sudah dekat menjemput bersama gulungan air hitam bercampur belerang yang sudah siap menerjang apa saja yang ada di depannya. Tidak ada lagi kata-kata yang bisa terucap sa‘at itu kecuali mengingat kematian sambil mengingat sang pencipta.  

Pada suasana kepanikan tersebut saya tersadar dengan sebuah bisikan, hayo selamatkan dirimu. Menerima bisikan tersebut saya pun membuat sebuah perjanjian dengan meminta kepada Tuhan. Dua permintaan saya kepada Tuhan sa‘at itu. “Tuhan jika hidupku tidak berguna untuk bangsa dan agama, maka matikan saya disini sebagai orang yang mendapatkan pahala syahid bersama gelombang besar, dan jika kedepannya hidupku berguna untuk bangsa dan agama, maka selamatkan saya dari bencana ini”.

Setelah mengucapkan kalimat tersebut, sayapun berlari menuju kedepan dengan mencoba untuk menjauh dari kejaran gelombang Tsunami. Mataku tertuju pada atap rumah warga. 

Rumah perumahan dalam komplek perumnas yang padat menjadi susah untuk menemukan ruas jalan elak. Tidak ada pilihan lain kecuali dengan mengambil ancang-ancang dari kejauhan untuk mencoba mengumpulkan tenaga agar supaya kekuatan kuda-kudaku mampu mendorong tubuh untuk melompat setinggi lima meter ketinggian, mencapai atap rumah warga.

Dengan kepanikan yang sudah tidak terkontrol lagi, saya mencoba untuk melompat mencapai ketinggian lima meter. Namun Tuhan merubah tujuan saya, dengan memalingkan wajahku ke arah kanan posisi berlari. Seketika itu juga saya menemukan lorong kecil, di mana dengan kepanikan tersebut saya dituntun berlalari mengikuti lorong kecil hingga sampai dipingir jalan nasional, Banda Aceh Lhoknga.

Sampai di sini kakiku berhenti berlari, sebab takut untuk menyebrang jalan dua jalur, dari arah barat menuju ke kota Banda Aceh, melaju kenderaan roda empat dengan sangat kencang, sebab mereka juga panik dalam rangka menyelamatkan diri.

Tidak ada rasa iba kepada sesama lagi sa‘at itu, masing-masing dari kami berfikir untuk menyelamatkan dirinya, termasuk yang mengendarai kenderaan roda empat, tidak ada rasa iba bagi pejalan kaki yang sedang menyelamatkan diri, sama seperti dirinya, bersama kenderaannya.

Kembali saya bertaruh dengan maut untuk melintas jalan Lhoknga menuju kota Banda Aceh yang sudah di dominasi oleh kenderaan roda empat saling kejar-kejaran.

Memilih untuk berhenti di pinggir jalan tentunya bersiap-siap dihantam oleh air laut yang  melaju dengan sangat kencang dari belakang. Tanpa berfikir panjang, teringat dengan permintaan yang sudah saya sampaikan sebelumnya, “jika tidak berguna untuk bangsa dan negara ini matikan saya di sini Tuhan”.

Berlari kembali dengan menutup mata dan menyebrang jalan yang dipadati oleh kenderaan yang berlaju kencang. Tanpa kusadari posisi badanku seperti dihempas angin dan berada ditengah trotoar jalan melewati jalan yang dipenuhi dengan kenderaaan roda empat yang melaju dengan saling mendahului untuk menyelamatkan diri dan orang yang mereka cintai.

Selamat dari penyeberangan, saya pun menuju untuk memilih tempat yang tinggi. Gedung tinggi menjadi incaran banyak orang untuk ditempati. Berbeda dengan saya, setelah gempa mengguncang bumi Serambi Mekkah, bathin ini menjadi trauma dengan gedung tinggi.

Lalu pandangan mata saya tertuju pada pohon besar di samping gedung tersebut. Mengajak beberapa orang yang lainnya untuk memanjat pohon. Berjumlah sekitar tujuh orang atau lebih, kami naik ke atas pohon tersebut sambil menatap lajunya air laut  dengan begitu derasnya, seolah-olah siap menghantam apa saja yang ada di depannya..

Menatap langit, langit tak berawan, melihat bumi, bumi tersiram dengan air laut yang sudah menghitam, menghitam bercampur air belerang yang mengandung racun kata para ahli.

Sebagian besar masyarakat yang hanyut dibawak air laut pasti meminumnya walaupun satu atau dua tegukan. Menatap pada dedaunan pohon tidak ada tanda-tanda daun digerakkan angin. Melihat ke ufuk timur matahari sangatlah cerah, dengan cahayanya yang pelan-pelan mulai meninggi menuju kepuncak langit pertanda hari menuju siang sangatlah cerah.

Melihat bumi mulai menyemburkan airnya ke atas, bak air panas yang sedang mendidih dengan suhu tinggi. Pikiranku kembali pada musibah yang lebih besar yang pernah tercatat dalam sejarah kaum Nabi Nuh as., kaum inkar yang ditenggelamkan Tuhan bersama gelombang besar, dan Nuh dengan pasukannya selamat dibawa oleh kapal besar.

Kapal yang sudah dipersiapkan oleh Nuh dan pengikutnya pada jauh-jauh hari. Terbayang kembali wajah ibuku, memanggil dalam hati, ibu kapal apa yang aku punya jika nantinya air itu keluar dari dalam tanah menyembur ke bumi dan menutupi gunung, hanyutlah diriku bersama dosa yang ku punya.

Pada sa‘at itu, terbayang wajah ibu ku sedang tersenyum seolah-olah beliau berkata, berserahlah diri pada Tuhanmu anakku, ibu yakin, hari ini, engkau bakal selamat, dan berguna untuk bangsa, negara, dan agama. 

Larut dengan lamunan antara hidup dan mati di atas pohon bersama dengan tujuh orang lainnya dengan perasaan rasa yang berbeda-beda. Tiba-tiba pandangan saya tertuju kebumi dan melihat air mulai surut, dan tenang.

Pelan-pelan air laut yang tadinya berlari sangat kencang menjadi teduh alirannya. Lama-kelamaan gerak airnya berhenti total. Sambil memastikan apakah ini jebakan atau bakal ada air yang lebih besar lagi yang menghantam bumi Serambi Mekkah, sebagai hantaman susulan. Memperhatikan beberapa sa‘at, dan kemudian kamipun mulai melihat orang-orang berjalan kembali di tempat di mana kami saling berebut posisi untuk menyelamatkan diri masing-masing.

Memastikan keadaan benar-benar aman, saya bersama yang lainnyapun turun pelan-pelan dari atas pohon. Saling membantu untuk turun, satu sama lain saling menuntun, mengingat jiwa yang sebelumnya panik tentunya merubah fisik yang semula kuat menjadi lemah.

Memastikan semua sudah turun kamipun tidak sempat berpamitan ala perpisahan normal, masing-masing dari kami spontan mengingat orang-orang terdekat masing-masing dari kami sa‘at itu. Saya dengan spontan mencari di mana Rusli, apakah dia sempat menyelamatkan diri, apakah kakak ipar dengan sodaranya yang lain sempat berlari ketika air bah besar mengejar kami beberapa sa‘at yang lalu.

Diam sejenak ditempat, sambil melihat ke sebuah gedung bertingkat. Dalam pikiranku berharap, semoga saja Rusli berhasil menyelamatkan diri dan masuk dalam gedung tersebut. Ternyata benar dugaanku, tidak lama setelah memperhatikan ke arah gedung, Rusli bersama keluarga kakaknya turun dari lantai gedung bertingkat tersebut.

Pelan-pelan Rusli mendekat padaku, seperti tidak percaya apa yang barusan terjadi, kami saling menatap, dan berucap, saya pikir kamu sudah tiada kawan, ma‘afkan saya, tadinya harus berpisah dengan kamu, saya panik, tidak tahu mau melakukan apa, semua diluar kendali pikiran akal sehat, dan Ruslipun menjawab dengan jawaban yang sama.

Alhamdulillah kita selamat yang kedua kali ujarnya. Lupakan apa yang telah terjadi, bantu saya kembali mengecek rumah kakak saya. Di dalam rumah ada tersimpan uang sebanyak milyaran rupiah. Uang PT. Fajar Jeumpa. Di situ baru saya tahu, jika abang yang paling tua dari Rusli adalah direktur PT.  Fajar Jeumpa. Bergegas, kamipun menuju ketempat di mana awal mula kami berlari sebab Tsunami mengejar dari arah laut.

Sambil berjalan kamipun bertemu dengan orang-orang yang selamat dari bencana Tsunami. Bermacam model sudah bentuk manusia setelah diterjang air bah besar.

Ada yang kehilangan matanya, putus kakinya, putus lengannya, luka badannya, dan berbagai macam gambaran pasca bencana. Menuju rumah, kami melewati jalan yang tadinya saya berlari, harus berjalan dengan sangat pelan dan berhati-hati, sebab masih tergenang dengan air sisa-sisa Tsunami yang tidak tuntas surut ke laut.

Langkah saya terhenti ketika melihat sesosok mayat yang sudah mengapung dengan posisi telungkup ke bawah, mengapung di atas air. Saya pun berhenti dan menangis melihat mayat tersebut tergeletak tanpa ada yang mengurusnya. Mayat yang terletak di ruas jalan disa‘at saya berlari sebelumnya.

Sampailah kami di rumah di mana kakak ipar Rusli tinggal bersama abangnya, di gampong Lamjame. Sebelum memasuki rumah, saya mendengar suara seorang perempuan yang meminta tolong, tolooooong, toloooooog dengan suara makin lama makin hilang dan sayup-sayup terdengar. Sayapun mencari suara tersebut.

Ternyata benar, suara perempuan yang masih hidup dan posisi badannya sudah terjepit dengan pohon-pohon dan sisa bangunan rumah yang di bawa air Tsunami. Sayapun memanggil orang-orang yang sa‘at itu juga sama seperti kami mencari apa yang tersisa dirumah masing-masing mereka. Saya dan beberapa di antara kami mengangkat dan melepaskan wanita yang sayapun tidak kenal berasal dari kampung  mana.

Setelah badan wanita tersebut kami angkat, dan meletakkannya di atas tanah pasir yang basah hasil bawaan Tsunami dari laut. Ternyata tanah pasir membuat badan wanita tersebut tidak nyaman, merasa kedinginan, diapun memanggil kembali, letakkan saya di atas kasur, begitu katanya.

Mendengar ucapan ini, saya pun tertegun dan kembali menangis melihat wanita tersebut. Sambil gerak cepat saya bergumam, mana kasur, mana kasurnya, mengelilingi posisi tempat saya berdiri, akhirnya saya menemukan sebuah kasur hasil bawaan Tsunami juga.

Sayapun memanggil kembali orang yang lain untuk membantu mengangkat badan wanita tersebut ke atas kasur. Setelahnya, kamipun meninggalkan wanita tersebut sambil berdoa dalam hati, selamatkan wanita ini ya Tuhan, pertemukan dia kembali dengan keluarganya. Dan jika ajalnya di tempat itu, mudahkanlah sakaratul maut baginya.  

Rusli memasuki rumah bersamaku, dan melihat sekeliling isi rumah. Koper yang berisi uang milyaran rupiah ditemukan dan dikembalikan kepada direktur perusahaan. Kamipun berangkat menuju ruko di mana kami bermalam sebelum paginya digoncang gempa dahsyat.

Setiba di depan ruko saya melihat seorang ibu muda yang menggendong bayinya sambil berdiri didepan tiga jenazah yang terletak di atas tanah di depan ruko. Wanita tersebut terdiam sambil menatap tiga jenazah dengan tetesan air mata mengalir dari wajahnya.

Sayapun mendekati wanita tersebut, berdiri disampingnya, dan bertanya, ini keluarga kakak, dia menjawab iya. Mencoba menenangkan wanita dengan gendongan bayi kecil di pelukannya.

Hari ini bukan hanya kita saja yang terkenak musibah kakak ku, lihatlah mereka yang lainnya, mereka juga kehilangan orang yang dicintainya, mereka kehilangan harta, benda, jiwa, dan bahkan ada yang sudah tidak bernyawa lagi. Bukan hanya jenazah ini, hari ini semua merasakan, jika ini adalah cobaan terberat bagi kita, bersabarlah kakak ku, sebentar lagi pasti akan ada bantuan buat kita.

Mendengar ocehan dari saya, ibu muda hanya bisa tersenyum kosong menatap kearahku. Saya pun belalu dari depan wanita dengan tiga jenazah tergeletak didepannya sambil menyapu air mata.

Hari menjelang siang sayapun teringat dengan sodara yang berdomisili di daerah penayong kota. Penayong adalah kota dengan pusat penjualan sovenir Aceh. Dan juga tempat perniagaan bermacam bahan kebutuhan masyarakat lainnya.

Mulai dari alat-alat memancing bagi nelayan, elektronik, bahan bangunan, dan alat-alat kelengkapan sepeda motor.  Menuju kota Peunayong dengan berjalan kaki. Jarak tempuh mencapai sepuluh kilo meter lebih kurang, jarak tempuh antara gampong Lamtemen tempat saya bermalam, dengan pusat pembelanjaan Peunayong.   

Menuju kota Peunayong dari gampong Lamteumen berjalan melewati perkampungan penduduk, sebab jalan-jalan arus utama kota sudah tertimbun dengan berbagai macam hasil bawaan gelombang Tsunami. Dari beton-beton rumah penduduk hingga pohon-pohon besar.

Melewati perkampungan tentuya menambah jarak tempuh dari sebelumnya. Banyak manusia yang berlalu lalang disepanjang jalan, dengan kepanikan dan kesibukan masing-masing dari mereka, sebuah isyarat bahwa mereka punya urusan masing-masing yang harus diselesaikan.

Tentunya urusan mencari informasi tentang sodara dari mereka yang rata-rata berdomisili di dekat pantai-pantai laut Aceh. Dan juga mencari tahu bagaimana keadaannya mereka-mereka yang pada hari minggu tersebut berlibur ke pantai-pantai yang mereka suka untuk mendatanginya, untuk sekedar mengisi hari libur.

Menjelang sore hari saya dan Rusli tiba di depan Mesjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. Mesjid yang masih tegak berdiri tanpa sedikitpun runtuh. Jangankan runtuh bangunan mesjidnya, pagar yang mengelilingi Mesjidpun tidak roboh diterjang badai Tsunami.

Sepanjang melewati jalan kami melihat banyak mayat-mayat yang tergeletak berserakan disetiap sudut kota. Ada yang masih utuh, ada yang kelihatan hangus terbalut dengan tanah belerang beracun dari dasar lautan,  ada yang terputus lengannya, terputus kakinya, hilang kepalanya.

Banyak jenazah yang terletak di setiap sudut jalan yang tidak utuh lagi organ tubuhnya. Banyak jenazah yang terlepas pakaiannya di badan dan telanjang bulat, ada juga yang masih utuh pakaiannya. Bermacam ragam bentuk jenazah kami menyaksikan hari itu, hari pertama Gempa dan Tsunami meluluh lantakkan bumi Aceh.  

Setelah menyaksikan fenomena alam disekitaran Mesjid Raya Baiturrahman Banda Aceh pasca gempa dan Tsunami, saya mengajak Rusli ketempat usaha sodaraku sebelah ibu. Sambil meperhatikan ribuan mayat yang terletak disepanjang jalan.

Menuju kelokasi, di jalan bertemu dengan seorang teman yang mengabari bahwa sodara saya sudah tiada dibawa gelombang Tsunami dan tidak tahu kemana jenazahnya. Satunya ditemukan di dalam mobil yang sempat dikendarainya untuk menyelamatkan diri bersama mobilnya. Dan mayatnyapun sudah dibawa kerumah duka tempat istrinya. Ternyata ajalnya menjemput bersama air bah Tsunami dengan mobil yang dikenderainya.

Terdiamlah daku sa‘at itu, mengingat sodara yang sering saya bersilaturrahim ketempatnya, ternyata dibawa gelombang Tsunami tanpa kuketahui di mana jenazahnya.

Dengan pandangan yang kosong melihat kelangit, ingin hati mengabari berita kekampung halaman, bahwa beliau sudah tiada, namun apa daya sa‘at itu, jangankan untuk mengabari orang lain, mengabari diri sendiri kepada ibu yang mana di sa‘at berjuang melawan maut bersama gelombang  besar saya tidak punya akses sebab jaringan seluler terputus total.    

Kembali larut dalam lamunan, pikiranku bertambah kosong, hanya air mata yang mampu menunjukkan, bahwa jika sa‘at itu saya sedang beduka, berduka dengan menyaksikan banyak jenazah yang mengelilingi langkah kakiku dan kehilangan sodara sesukuan, seagama, sesama anak bangsa dan sodara se keturunan darah.  

Dengan kekosongan pikiran dari kejauhan saya mendengar suara sayup-sayup, lama-kelamaan terdengar dengan jelas suara yang kembali mengabarkan bahwa air laut kembali naik. Teriakan yang jelas kudengar kembali air laut naiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiik.

Kata yang kudengar di pagi hari kembali kudengar disore harinya. Hilang lamunanku, hilang air mataku, kembali yang terfikirkan harus berlari menyelamatkan diri, bersama ribuan orang yang juga sudah bergerak untuk berlari kembali setelah ribuan orang berteriak bersama-sama, mencoba untuk meyakinkan yang lainnya bahwa air laut benar-benar datang lagi dan siap membawa apa saja yang ada dihadapannya.

Berlari dengan rute yang berbeda bersama Rusli, tentunya juga menangkap fenomena yang lain, yang kutangkap polah tingkah manusia yang ikut berlari bersama-sama denganku. Dengan nafas yang sudah hampir tidak sanggup berlari lagi, namun kupaksakan diri untuk mengayunkan kaki supaya terhindar dari kejaran air laut.

Sambil berlari seketika itu saya menoleh kebelakang memastikan apakah air laut itu sudah dekat denganku. Ternyata bukan air laut yang kulihat, namun yang kutatap adalah senyum seorang perempuan yang membuat daku heran dan lupa dengan air laut yang siap mengejar dari belakang.

Menoleh kebelakang dengan senyum seorang perempuan, saya pun tidak memperdulikannya, namun hati ini merasa iba, mengigat senyum kosong yang kutangkap, sayapun menoleh kedua kali ke belakang, dan kembali melihat senyum kosong dari perempuan tersebut.

Mencoba untuk tidak terpengaruh dengan senyumnya, sebab mengingat kematian sedang mengejar diriku dari belakang. Namun kembali hati ini mengingat senyum kosong perempuan itu, saya pun berhenti dan menuju pada perempuan tersebut, yang berlari sambil membawa sebuah plastik berisi bungkusan nasi, setelah saya bertanya ternyata bungkusan nasi tersebut bekal buat dirinya.

Kamu dari mana dan hendak kemana tanyaku padanya, diapun menjawab, saya tidak tahu kemana, saya mahasiswa baru bang, yang belum begitu tahu lokasi di mana aku sa‘at ini. Setelah saya telusuri dia adalah mahasiswi semester awal jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah Institute Agama Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh yang berasal dari kampung yang jauh dari Ibu Kota provinsi. Kamu dengan siapa tanyaku, jawabnya sendiri, lalu mau kemana, tidak tahu saya harus kemana.

Melihat sangat linglung seorang gadis yang tidak ada sodara kandung dan wali untuk menemaninya, sayapun menawarkan kebaikan. Kamu mau ikut dengan saya, dengan cepat dia mengangguk pertanda mau, saya pun mencoba untuk meyakininya lagi, kamu percaya dengan saya, dengan mengangguk pasrah dia berkata percaya.

Dan iapun menambahkan ucapannya, lindungi saya, hari menjelang malam saya takut sendirian, bawa saya kemana yang abang mau, jaga saya, saya takut dengan bencana ini.

Mendengar ucapannya saya pun mencoba meyakini dan berjanji kepadanya, saya siap menjaga kamu semampu yang bisa saya lakukan. Ikuti perintahku, sekarang kita akan menuju ke rumah teman saya yang tempat tinggalnya jauh dari kota dan laut. Siapapun yang bertanya kepadamu tentang saya nantinya, kamu langsung menjawab dia adalah abangku. Dengan penuh keyakinan dia menjawab iya, kamu adalah abang ku.

Selesai meyakinkan dia, sebelumnya kami berjalan berdua kini sudah menjadi tiga, saya, Rusli, dan dia (Agustina namanya). Menuju ke rumah teman yang jauh mencapai puluhan kilo meter dari pusat Kota Banda Aceh.

Saya pun memberhentikan sebuah mobil pick up, menuju kota Lambaro Aceh Besar. Dalam perjalanan saya menatap gadis tersebut, dia meneteskan air mata berterima kasih kepadaku.

Wajah yang sebelumnya linglung menjadi ceria. Dan diapun bertanya, kita kemana bang, saya menjawab kita menuju ke pelaminan, mendengar godaanku dia tersenyum dan tertawa, tertawa ala perempuan pemalu yang sedang menunggu rayuan kekasihnya.

Kemudian saya mengakiri godaanku padanya, kita akan menuju ke rumah teman saya, sesampai nanti di sana kamu langsung saya perkenalkan sebagai adik saya, adik ketemu gempa dan Tsunami, mendengar ocehan saya dia tersenyum dan ketawa kembali. Iya katanya, aku adalah adik Tsunamimu bang.

Melaju dengan kecepatan di atas rata-rata, tibalah kami di bundaran kota Lambaro, kamipun turun di persimpangan jalan, setelah kami turun saya menuju pada pemilik mobil, bapak terima kasih banyak sudah bersedia membawa kami sampai di sini. 

Pemilik mobilpun mengatakan iya sama-sama dan beliau berpesan, berhati-hatilah hari sudah malam, insyaAllah bapak, sahutku. Kamipun berpisah di bundaran Lambaro, dan mobil yang kami tumpangi kembali melaju menuju kearah medan Sumatra Utara.

Sampai di persimpangan Lambaro kembali mata kami bertiga syok dan sangat terkejut,  melihat jenazah yang sudah dikumpulkan dan diletakkan dipelantaran jalan mencapai ribuan jenazah. Hatiku bergumam, adakah jenazah sodaraku di situ, kembali daku melamun dengan air mata. Berbisik dalam hati, Tuhan ampunilah dosa-dosa ribuan jenazah ini, berikan mereka pahala syahid.

Ribuan jenazah yang sepertinya siap dikuburkan diperkuburan massal, tanpa melewati proses kifayah, sebagaimana jenazah yang normal, dimandikan, dikafani, dikuburkan dengan baik, dan dilayat oleh ahli famili yang ada. Mengakiri lamunan tersebut, dan kamipun bergerak menuju ke Gampong Lamreng kecamatan Darul Imarah Aceh besar.

Tanpa berfikir panjang lagi, kami harus bergerak menuju tempat yang kuanggap nyaman buat singgah dan bermalam setelah seharian berlari dengan maut.

Kamipun kembali berjalan kaki menuju rumah seorang teman, mencapai tiga kilo lebih kurang berjalan dengan kaki, sebab tidak adalagi kenderaan melewati disepanjang jalan tersebut. Dan tibalah dirumah seorang yang di tuju, sayapun menuju kerumahnya, dan diapun sudah berada di halaman rumah dan menatap saya, sambil tidak percaya, spontan teman ini melontarkan ucapan “saya pikir kamu sudah meninggal dibawa Tsunami”.

Teman inipun mencoba untuk menguatkan saya sambil memeluk dengan penuh kasih, dia berbisik ke saya, aku adalah sodaramu, jangan menyerah dengan peristiwa ini, jangan hilang semangat belajarmu dengan musibah ini, ini bukanlah akhir dari perjalanan kita, ini adalah awal sebuah usaha yang harus diperjuangkan kembali. Tidak mampu lagi mengungkapkan apa-apa, sayapun menjawa satu kata “iya”.

Setelah melepaskan pelukannya, diapun menyalami teman saya, menyapa dengan bahasa yang bersahabat, dan bertanya kepada seorang gadis yang ikut bersamaku, kamu siapa katanya, gadis inipun menjawab, nama saya Agustina, saya adalah adik abang ini, sambil melirik kesaya.

Saat mendengar dialog mereka sayapun tersipu dan merasa malu sendiri. Setelah selesai berkenalan dengan adik Tsunami ku, diapun mempersilakan masuk dan memanggil kakak kandungnya, dan memperkenalkan kami semua beserta adik Tsunamiku.

Mendapat perlakuan yang sangat istimewa dari yang empunya rumah, adik Tsunamiku akhirnya diberikan pakain baru oleh kakak perempuan temanku. mendapatkan perlakuan  yang sangat bersahabat dari yang punya rumah, gadis cantik nan ayu ini kembali ceria, dan seolah-olah lupa dengan apa yang baru di alaminya di siang hari yang berjuang dari maut gelombang Tsunami.

Malampun semakin larut, setelah menunaikan shalat dan makan kamipun beristirahat dengan baik, sambil sekali-kali merasakan gempa susulan. Gempa yang setiap sa‘at kembali terjadi dan oleh karena ketakutan dan trauma, setiap gempa susulan terjadinya, kami dan warga lainnya berhamburan keluar dari rumah. Begitulah seterusnya berhari-hari sampai gempa jarang terjadi.

Keesokan harinya, sayapun mendapat kabar, bahwa kampung halamanku habis dan lenyap terhempas gelombang Tsunami. Ketika itu juga saya kembali mengingat wajah ibuku. Hanya air mata yang bisa membahagiakanku sa‘at itu. Hendak mencari kabar tidak ada akses untuk berkomunikasi. Saya pasrah dengan apa yang terjadi. Jika semuanya sudah sirna, saya berharap kepada Tuhan, untuk diberikan sodara yang baru, sodara yang mampu menggantikan sosok ibu buat ku, walaupun tidaklah begitu sempurna.

Beberapa hari kemudian saya baru mendapatkan informasi, bahwa kampung halamanku, Aceh Barat Daya, tidak sampai hilang diterjang gelombang Tsunami. Namun tetap saja saya belum bisa berkomunikasi dengan keluarga. Berniat untuk pulang tentunya bukan mudah saat itu sebab jalan transportasi putus total, terutama jalur bagian barat selatan provinsi Aceh. Setiap arah penjuru terputus akibat hantaman gelombang tsunami.

Berniat untuk pulang menjumpai ibu dan keluarga di kampung halaman, saya harus menunggu informasi tentang jalur transformasi yang mudah untuk dilewati oleh kenderaan darat.

Beberapa minggu kemudian saya mendapat kabar bahwa jalur barat selatan Aceh menuju Medan Sumatra Utara, sudah bisa dilalui oleh kenderaan darat. Dan juga mendapat informasi, bahwa Bank Aceh sa‘at itu sudah membuka akses pelayanannya dipesimpangan jalan tengah kota. Dengan membawa buku rekening saya pun menuju ketempat Bank Aceh buka cabang darurat.

Setelah mengambil sejumlah uang, sayapun berniat menuju kota Binjai, untuk melanjutkan pulang lewat jalur Sumatra Utara, menuju kampung halaman, Aceh Barat Daya.

Tentunya saya pulang setelah menunggu adek Tsunamiku dijemput oleh orang tuanya. Setelah adek Tsunamiku dijemput orang tuanya, Ruslipun kembali pada keluarganya, saya pun pamit pada teman dan keluarganya untuk kembali melihat ibuku di kampung halaman.

Menuju kota Medan, singgah beberapa hari ditempat sodara ibuku di kota Binjai, dan sayapun berangkat kembali dengan melewati jalur darat menuju Aceh Barat Daya, menjumpai keramat hidupkue, seorang ibu yang sudah cemas menanti kabar tentang anaknya yang diperkirakan sudah meninggal dunia tersapu gelombang Tsunami.

Pagi hari menjelang siang saya pun tiba di depan rumah. Setiba di depan pintu rumah sudah berdiri seorang ibu yang sedang menatap kehalaman dengan tatapan yang kosong, seolah-olah sudah mendapatkan kabar, bahwasanya hari itu anaknya akan pulang menjumpai ibunya.

Melihat saya berdiri di depan rumah ibukupun berjalan pelan-pelan tanpa menunggu saya masuk ke  dalam rumah. Datang dan memeluk aku anaknya. Pelukan seorang ibu, sambil menangis beliau berbisik kepadaku, mamak pikir kamu sudah tiada nak.

Sudah tiga minggu setelah peristiwa gempa danTsuanami tak ada kabar tentang kamu. Tapi mamak yakin kamu masih hidup. Cuma itu yang terucap dari bibir seorang ibu yang telah melahirkanku dengan darah, dan taruhan nyawa, sisanya hanya terdengar isakan tangis dengan tetesan air mata.

Terdengar saya sudah pulang, kabarpun menyebar ke seluruh sanak famili, merekapun berbondong-bondong datang melihat diriku sebagai korban tsunami, dan memastikan apakah tubuh daku masih utuh, atau cacat terkena hantaman gempa dan tsunami.

Ternyata isu yang beredar di daerah, peristiwa tsunami menenggelamkan kota Banda Aceh dan seluruh isinya lenyap ditelan gempa dan hanyut dibawa air bah tsunami.

Bermacam prosesi adat disuguhkan kepadaku, bahkan diperlakukan bak seorang pasukan perang yang baru pulang dari medan pertempuran. Haru, hening, senang, bahagia, dan kegembiraan tersebut terurai dengan deraian air mata masing-masing dari tamu yang hadir menjenguk seorang anak yang menjadi sisi-sisa peristiwa gempa tsunami yang melanda bumi Aceh pada tanggal 26 Desember 2004.

”Bersambung”..........................

                                                          
                                          Jakarta, 26 Desember 2019

 

 










Komentar

Postingan populer dari blog ini

Meraih Gelar Doktor; Muchlinarwati Disabilitas yang Menginspirasi

Melihat Masalah dengan Masalah

SURAT TERBUKA: KEPADA YANG TERHORMAT BAPAK BUPATI ACEH BARAT DAYA