ESENSI MANUSIA TERLETAK PADA MORALNYA
Wahai manusia yang mempunya nilai dan rasa, janganlah engkau biarkan simiskin itu sibuk dg kemiskinannya
shingga dia jauh dari Tuhannya dan janganlah engkau larut dengan kekayaanmu
sehingga kamu juga lupa akan Tuhanmu. Sentuhlah simiskin itu dengan ni'mat yang
telah engkau nikmati, sehingga setiap kita selalu ada dalam pelukan
mahabbah-Nya. Bukankah pendusta agama itu orang yang lalai
dengan ni'mat yang telah didapatinya, maka sebutlah ni'mat itu seseringkan mgkn
dengan mengingat sifakir dan si miskin agar mereka tidak jauh dari Tuhannya.
Janganlah engkau lupa dengan kebodohanmu, lalu
engkau tidak ingat bagaimana keluar dari kebodohan itu, dengan tidak mau tahu
akan majelis ilmu yang selalu menghampirimu disetiap waktu, dan jangan pula
engkau larut dengan kepandaianmu, wahai orang yang berilmu sehingga engkau
melupakan akan kebodohan orang-orang disekitarmu.
Bersikaplah arif wahai yang empunya ilmu jangan eklusifkan dirimu
sehingga orang-orang sulit berharap kepandaian darimu. Entahkah ilmu itu engkau
jual entahkah engkau sembunyikan, bersikaplah terbuka wahai yang empunya ilmu
supaya kebodohan disekitarmu mendapatkan perlindungan dari keberadaanmu.
Kearifan manusia terletak pada tindakan moral.
Dalam peribahasa Inggris, "Moral is not tought but cought".
Pendidikan karakter sering kali diintroduksikan ke dalam kelas sementara
kehidupan publik lewat diutarakan melalui contoh-contoh
keteladanan dan kepahlawanan. Siswa dan masyarakat berbicara dengan karakter
yang menjelma di dalam diri teladan dan pahlawan itu.
Nilai-nilai keteladanan dan pahlawan itu tidaklah diajarkan (tought)
secara koknitif lewat hafalan dan "pilihan ganda", melainkan
ditangkap (cought) lewat penghayatan emotif. Dalam hal ini, kisah-kisah
rekaan (fiksi) dalam kesusastraan dan kisah-kisah nyata dalam
kesejarahan merupakan medium yang efektif sebagai wahana pendidikan karakter.
Manusia merupakan makhluk yang berkarakter. Setiap
orang memiliki karakter yang berbeda-beda. Untuk mengukur karakter setiap orang
harus lewat pengujian data berdasarkan latar belakang budayanya. Budaya menjadi
institusi yang sangat mempengaruhi karakteristik manusia. Manusia adalah
tingkatan terendah dalam penamaan makhluk yang berkarakter. Kaum filosofis mengelompokkan
manusia sepadan dengan hewan dengan adagium “hayawanun nathifun”.
Berhentilah menjadi manusia. Manusia hanya mengenal kata benar dan
salah. Kebenaran dipahami karena berdasarkan tidak melakukan kesalahan.
Kesalahan yang umum dipahami manusia adalah kesalahan seperti kelihatan warna
hitam di atas putih. Kalo tidak hitam berarti putih. Dan manusia tidak pernah
ingin mencari tahu kenapa ada warna hitam, dan kenapa ada warna putih.
Di mata manusia hampir tidak ada kebenaran. Benar menurutnya belum
tentu benar menurut orang lain. Padahal teori kebenaran sudah menjelaskan
kepada akal, bahwa kebenaran mesti diuji melalu tahapan logika berfikir. Proses
berfikir yang logikalistik akan menghindari seseorang menjadi manusia.
Cerita seseorang yang berjalan bersama anaknya dengan seekor kuda
memperkuat kita agar supaya tidak jadi manusia. Sebab di mata manusia ayah dan
anak ini tidak pernah benar sa'at menunggangi kuda. Ketika anaknya yang berada
diatas kuda, kata manusia kurang ajar jadi anak, ayahnya disuruh berjalan kaki,
disa'at ayahnya yang menunggangi kuda manusia berkata keterlaluan jadi ayah,
masak anaknya yang masih kecil disuruh jalan kaki, pada sa'at kedua-duanya naik
di atas kuda, manusia berkata tidak punya otak dua-duanya, masak kuda dinaikin
berdua.
Berhentilah jadi manusia, dan Jadilah
binatang saja, sebab binatang tidak pernah mengomentari kekurangan dan
kesalahan sesamanya. Jadi monyet lebih baik,
supaya anda termasuk kelompok yang mendukung teori Darwin.
Komentar
Posting Komentar