Hamba dan Ketuhanan dalam Sorotan Anomali
Ateis tidak pernah menyerah untuk
mencari Tuhan, sementara mukmin berhenti dalam kepasrahan, dan para failosuf
masih belum utuh mencapai kebenaran. Ishlah berfikir
manusia sangat sulit untuk ditegakkan. Bukan membela Islam yang harus
dipikirkan. Melainkan dirimu sebagai hamba yang harus dibela oleh kehadiran
Islam. Dan Islam bertanggung jawab atas pembelaan terhadap manusia dengan
ajaran yang terkandung di dalamnya. Islam tidak butuh pembelaan manusia.
Sebelum manusia ada Islam sudah hadir bersamaan hadirnya waktu.
Ada beberapa kata hamba yang disebutkan
Tuhan di dalam Alquran. Di sini penulis hannya mengutip kata hamba yang
terdapat dalam surat Al-furqan ayat 63 sebagai hamba yang berperan dalam
menciptakan keharmonisan hubungan antara sesama manusia dan Tuhan.
وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى
الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا
Artinya “dan hamba-hamba Tuhan
yang maha penyayang itulah orang-orang yang berjalan di atas muka bumi dengan
rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan
kata-kata (yang mengandung) keselamatan”(Al-Furqan ayat 63)
Ada empat kata yang hidup untuk
menyebutkan hamba yang beribadah kepada Tuhan. Pertama, kata عابد ('abid) yang artinya hamba yang
menyembah kepada selain Allah. Kedua, kata عبيد (' abiid) yang artinya orang yang
menyembah Allah dalam durasi fifti-fifti, kadang-kadang
dia ta'at kadang-kadang dia ingkar. Ketiga, kata عباد ('ibad) yang artinya hamba yang ta‘at
dan kusyuk serta merendah diri, dan penuh ketenangan ketika berjalan di atas muka
bumi (baik berjalan dengan kaki, kenderaan mewah, berorganisasi, berpartai,
berceramah, mengajar, mengajak, memimpin, dan lain lainnya.)
Setiap aktifitas hidup tidak ada
terbersit kesombongan sedikitpun di dalama hatinya. Melainkan kasih
sayang menjadi hal utama yang dia lakukan. Berfikiran positif merupakan dasar
pemikirannya, dan tanpa mencelakakan dirinya sendiri. Apapun kepunyaan yang dia
miliki baik harta, pangkat, kedudukan, ilmu dan lain sebagainya, akan dijadikan
sebagai media untuk berbuat baik kepada sesama makhluk dengan tanpa ada niat
sedikitpun untuk menyakiti. Sebab ucapannya mengandung kata-kata
keselamatan. Terakhir, kata عبد ('abdun)
kata yang hannya disebut oleh Tuhan kepada Nabi Muhammad saw. ketika
Tuhan mengabari sebuah khabar besar tentang nabi melakukan perjalanan Israk
Mi'raj. Artinya, kata عبد ('abdun)
hannya disebutkan kepada Nabi Muhammad saw. sebagai pengakuan
Tuhan terhadap hamba yang dicintainya dan yang benar-benar sebagai makhluk
sempurna dalam menjalankan Ajaran Islam secara kaffah.
Diantara empat kata adalah عابد-عبيد-عباد-عبد Allah swt. menciptakan katagori, kemudian ulama membuat klasifikasi, dan memberi penjelasan yang berbeda terhadap setiap kata
yang dimunculkan dalam Alquran untuk mengungkapkan berbagai macam tipe manusia
dalam beribadah kepa-Nya. Berdasarkan berbagai tipe tersebut, lalu di mana
posisi setiap kita sebagai manusia yang sering membuat pengakuan diri sendiri
sebagai hamba. Yang mana tanpa kita sadari sifat ke akuan lebih
menonjol dibandingkan dengan pengakuan sebagai hamba.
Rasa ingin menunjukkan jati diri
hampir semuanya menghantui kehidupan. Perasaan seperti ini tanpa merasa titik
kelemahan diri. Jika manusia merupakan makhluk yang jauh dari kesempurnaan
dalam penciptaan. Keterbatasan diri manusia itu merupakan titik terendahnya
disaat hawa nafsu mendominasi dirinya. Mempengaruhi aktifitas bertindaknya, dan
disaat hawa nafsu mendominasi, disitulah fungsi akal manusia berhenti untuk
menimbang baik dan buruk akan sebuah tindakan.
Menapaki zaman yang serba
menyimpang. Begitu susah seprtinya menentukan seperti apa hamba Tuhan itu
bersikap. Tabi‘at menjelek-jelekkan orang lain di anggap amar
ma'ruf nahi munkar. Dakwah semestinya mengajak berfikir normal malah
dijadikan ubnormal. Menjelek-jelekkan sesama dianggap prestasi ibadah bagi kaum
yang menganut pola berfikir anomali. Semakin besar prestasi
kejelekan yang dipertontonkan, maka semakin dianggap besar pula prestasi
amalannya. Menjelek-jelekkan sesama menjadi materi dakwah yang hidup dan laku
bagi masyarakat yang menjadikan dunia entertainment untuk mengukur prestasi
menyimpang dengan reting tayang yang menjadi ukuran suksesnya sebuah tayangan.
Ulama menjelekkan ulama, kiyai
menjelek-jelekkan kiai, habib menjelekkan habib, da'i menjelekkan da'i.
Kebanyakan dari mereka yang menggunakan narasi digital saling menjelekkan
dengan fitnah dan ghibah. Padahal ditinjau dari
perspektif jenis dosa, fitnah dan ghibah merupakan dosa besar dalam sejarah
pentadbiran dosa terhadap prilaku manusia. Jika membunuh merupakan dosa besar
maka pelakunya adalah yang memikul dosa besar. dibalik membunuh ternyata ada
dosa yang pelakunya akan menjadi pelaku dosa yang lebih besar lagi dari
membunuh yaitu dosa fitnah. Bukankah dalam Ajaran Islam ada peringatan “Al-Fitnatu
Asyaddu Minal Qatli” artinya '' fitnah itu lebih kejam dari
membunuh".
Pada sebuah kaum, jika fitnah
terhadap sesama muslim sudah merajalela ditengah masyarakat. Apalagi fitnah
politik kepada ulama, kiai, habib, ustadh, dai yang dilontarkan oleh orang yang
sama, ini berarti pelakunya sedang melakukan dosa yang lebih besar dari
pembunuhan bahkan lebih dari itu. Konsekuensi yang akan ditanggung, berjalan
misi musuh Islam untuk menghancurkan moral publik. Apalagi fitnah-fitnah
tersebut ditujukan kepada pemimpin negeri tanpa menggunakan data yang
valid. Hannya melihat berita yang diedarkan di media-media sosial saja, tanpa
melihat dari mana asal usul medianya, langsung menganggap benar, dan disebarkan
ke berbagai media lainnya.
Dosa besar yang lainya adalah zina.
Berzina adalah dosa besar maka pelakunya juga dihukumi atas dosa besar juga.
Namun ada yang lebih besar dari perzinahan yaitu dosa ghibah yakni “Al-Ghibah
Asyaddu Minaz Zina”, artinya "ghibah atau menceritakan orang lain
lebih kejam dari berzina". Ghibah juga menjadi prestasi bagi pendakwah-pendakwah
hari ini, materi dakwahnya akan dianggap sangat berprestasi jika isinya
mengandung unsur ghibah baik ghibah kepada ulama, habib, kiyai, ustadh, dan
bahkan ghibah itu ditujukan kepada pemimpin dengan perkataan yang tidak
mempunyai data yang valid juga, dan dengan begitu gampang diceritakan dalam
materi dakwah. Dengan asumsi, ingin memposisikan diri sebagai fungsi kontrol
atas pemerintahan. Dalam kenyataan seperti ini, da‘i berlagak politisi. Tidak
merasa keliru, ketika menggunakan mimbar mesjid untuk mengkritisi pemerintah
dari ujung toa menara mesjid. Tak anyar pula gaya sang da‘i seperti
oposisi pemerintah yang dengan lantang menkritisi sebuah kebijakan penguasa.
Kelompok yang suka marah-marah
dalam menyampaikan agama, apalagi membentak bentak, sudah bisa
dipastikan jika masa belajarnya masih belum selesai. Dan juga dipastikan
bab terakhir yang dia pelajari dalam pengajiannya adalah bab ghazhab (marah)
walaupun di dalam Islam kita juga dianjurkan untuk marah akan tetapi bukan
marah di atas mimbar keagamaan. Bertutur bak singa kelaparan.
Gejala buruk dari bercita-cita
menjadi da'i. Akhirnya terminologi dakwah menjadi salah dipahami. Paham
seperti ini, mengakibatkan umat salah memahami kata dalam memahami pengertian
dakwah. Dakwah yang seharusnya dipahami sebagai aktifitas mengajak,
mengajarkan, mencegah, mencoba memberi penjelasan terhadap sesuatu hal,
terutama sekali menyangkut dengan agama. Bertujuan untuk merubah prilaku buruk
atau tercela menjadi tindakan yang terpuji.
Setiap kita, siapapun dia akan
berpeluang besar menjadi pendakwah. jika kata dakwah dipahami sebagaimana
disebutkan aktifitas mengajak kepada kebaikan. Namun jika dakwah dipahami
sebagai ungkapan kata dengan mulut saja. Pelakunya haruus menggunakan atribut
kebesaran keagamaan. Berpenampilan seperti layaknya imam Masjidil Haram. Dan
orang yang menyampaikan mesti berada di atas mimbar atau berdiri di depan
kalayak ramai. Sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang yang sudah mempunyai
pengaruh di tengah-tengah masyarakat. Dengan demikian tentunya kata dakwah
menjadi eklusif sekaligus menjadi kompetitif untuk
menjadi seorang pendakwah. Akhirnya dakwah itu, menjadi profesi dan pelakunya
seperti petugas sosial yang banyak menarik perhatian orang lain.
Memahami kata dakwah dalam konteks
yang sangat luas. Dengan makna mendidik adalah aktifitas berfikir, jika
kehadirannya menjadi penyampai risalah disa‘at kalimat tauhid, maka sa‘at itu
pula dia berkewajiban menjadi da'i. Da‘i yang mengajak setiap orang kepada
kebaikan. Baik mengajak dengan Ilmu Pengetahuan maupun mengajak dengan prilaku,
untuk meberikan makna sebagai contoh tauladan yang baik, terutama sekali dalam
lingkup yang kecil, untuk keluarga dan masyarakat luas.
Kisah syaithan seharusnya
menjadi pelajaran bagi pendakwah. mengingat sejarah, ketika Iblis menggoda Nabi
Adam as. untuk berbuat dosa. Iblis bertindak dengan tindakan yang sangat jeli.
Menggunakan cara-cara kelembutan, pelan-pelan, kata-kata rayuan, berdalil yang
kuat. Menyampaikan, jika Adam mau memakan buah kuldi maka kalian akan kekal
didalam syurga. Ini sebagai dalil yang digunakan Iblis untuk memperkuat
argumentasinya. Kemudian usaha Iblis berhasil dan Adam bersamar Siti Hawa
memakan buah kuldi dan keduanyanyapun dikeluarkan dari dalam syurga.
Lalu kenapa kita saat ini, mengajak
kepada kebaikan harus menggukan kemarahan, bahasa yang kasar, jauh dari
kelembutan, membentak-bentak, sangar, menghujat, menghukumi, dan lain lainnya.
Padahal usaha yang dilakukan mengajak untuk kebaikan. Seharuusnya manusia
yang digunakan potensi akal untuk berfikir merefleksikan ulang peristiwa Iblis
menggoda Nabi Adam dan Siti Hawa untuk melakukan dosa dilakukan dengan cara dan
narasi yang lembut, santun, penuh kesabaran. Maka disa‘at manusia mengajak
manusia yang lainnya untuk melakukan kebaikan seharusnya dilakukan dengan cara
yang jauh lebih santun, lembut, logis, argumentatif, berdalil yang kuat dengan
visi misi yang jelas dan berkepanjangan. Bukankan berlawanan dengan cara Iblis.
Iblis mengajak kepada keburukan, menggunakan cara dan narasi yang sangat santu.
Lalu mengapa manusia ketika mengajak kepada kebaikan harus menggunakan cara dan
narasi yang jauh dari kelembutan. Bahkan menggunakan narasi menghujat.
Berpedoman kepada narasi Iblis
ketika menggoda Nabi Adam dan Hawa. Pertanyaannya adalah, Mungkinkah
Iblis lebih paham tentang psikologi manusia, atau Iblis punya kurikulum
pendidikan yang jauh lebih baik dari apa yang dipahami manusia. Sehingga
cara menggoda untuk menjerumuskan Adam dan Hawa serta anak cucunya berbuat dosa
dikemudian hari iblis melakukannya dengan ajakan yang lembut dan santun, serta
penuh dengan gaya yang gemulai, sesuai dengan fitrah manusia sebagai makhluk
yang lemah.
Setiap kita bakal mudah untuk
mengetahui bahwasanya tanggung jawab ulama dan pemimpin itu sangat berat. Dan
pengembangan ilmunya sangatlah besar pengaruhnya untuk umat. Baik di dunia
maupun di akhirat. Maka oleh karena tanggung jawabnya besar untuk mengukur
kinerjanya juga harus digunakan dengan kaca mata yang lebih besar. Apalagi
dalam mengukur setiap ucapan dan kebijakan yang ditujukan terhadap pemimpin dan
ulama. Tentunya tidaklah cukup untuk mengukur kinerja seorang ulama dan
pemimpin dengan informasi yang tidak valid. Apalagi mengukurnya dengan
informasi hoaxs semata.
Momen memperingati hari kelahiran
junjungan alam Nabi Muhammad saw. sebagai acara tahunan Umat Islam. Maka sudah
semestinya nilai-nilai keislaman disampaikan dengan cara yang lembut, santun,
penuh makna, cerdas, merangkul, tidak menimbulkan kecaman, perpecahan ummat,
dan bervisi sebagaimana yang diajarkan Nabi Muhammad saw. Para pendakwah
nilai-nilai yang telah di tauladani oleh Nabi Muhammad saw. semestinya
diamalkan dalam kehidupan kita. Dengan tidak menjadikan fitnah dan ghibah
untuk mengukur kinerja sesama anak bangsa. Tak terkecuali mengukur kapasitas
ulama, dan pemimpin di negeri ini.
Pemimpin
dan ulama harus bersinergi dalam membangun komunitas berkemajuan. Berfikiir
untuk bangsa dan negara menuju peradaban yang bermartabat. Sebagai tanda hamba
yang berprilaku mulia dengan sebutan ‘ibadurrahman yang mana
telah disebutkan oleh Allah swt. pada ayat di atas. Tentunya, untuk manusia
yang berjalan di atas muka bumi dengan wajah yang ditundukkan. Kehadiran para
‘alim dan da‘i adalah untuk menunjukkan hamba yang bijaksana, serta merahmati
dalam merespon setiap persoalan yang mucul ditengah-tengah masyarakat yang
secarah fitrah telah Allah swt. ciptakan dalam kemajemukan. Berhentilah
mempolitisasi ayat-ayat keagamaan di atas mimbar-mimbar mesjid. Berikan pembeda
yang jelas kepada umat. Seperti apa itu ulama, seperti apa itu da‘i, dan
seperti apa pula sikapnya politisi.
Komentar
Posting Komentar