Pelakor Kehidupan di Era Pencitraan


Zaman serba pencitraan, modern bukan lagi dimaknai sebuah proses perpindahan pikiran dari pemahaman tradisional menuju cara berfikir yang mampu menyesuaikan diri dengan kemajuan zaman. Hal ini, merupakan semangat yang dibangun oleh para intelektual Muslim.  Intelektual adalah kumpulan orang-orang sadar. Kesadaran yang dimiliki oleh mereka dibawa ke alam berfikir realitas yang sedang dihadapi oleh masyarakat modern. Meninggalkan pola fikir lama tidaklah mudah, namun menemukan pola pikir baru juga bukan perkara yang gampang. Disa‘at bertemunya antara akal dan kenyataan yang harus dihadapi, disitulah muncul sebuah konsep baru yang dianggap mampu menyelesaikan probematika masyarakat yang hidup di era di mana manusia kalah dengan kenyataan yang ada.
Zaman pencitraan memaksa manusia keluar dari sifat aslinya. Bahkan kepura-puraan menjadi institusi bisnis dikalangan dunia hiburan. Komersialisasi lakon menjadi industri ekonomi baru. Industri yang dihargai adalah yang paling menonjol sifat kepura-puraannya. Dunia berubah dari pasaran nyata menjadi pasaran lakon. Siapa yang paling sempurna entertain lakonnya dialah yang paling laku  di pasaran. Pasar lakon adalah pasar yang tidak mempunyai identitas yang jelas. Bagaimana bisa!! Sebuah kepura-puraan dianggap sebagai entitas yang laris dijual dan semua orang seolah-olah menginginkannya, padahal semua yang sedang dihadapi adalah aktifitas orang yang kehidupannya hanya bergantung pada bagaimana dia berakting.
Mumatstsilain jika diterjemahkan dalam bahasa kita adalah aktifitas akting yang diperankan oleh seseorang untuk memerankan sebuah lakon. Baik lakon dalam bentuk cerita film yang berdurasi layar lebar maupun cerita pendek. Ketika kita membahas perfileman semua kita akan membayangkan sebuah keahlian yang dimiliki oleh seseorang. Di mana dengan keahlian tersebut pelakunya menjadinya terkenal. Dengan akting dalam berbagai macam bentuk melahirkan tokoh peran yang berbed-beda. Peran sedih, peran antagonis, peran romantis, peran jahat, peran lembut, peran sosok yang baik hati, peran yang selalu menderita, peran menjadi kaya, peran menjadi miskin, bahkan seseorang akan berperan menjadi seorang ustadh dan ustadhah. Semua peran dianggap skil oleh pelaku dunia hiburan.
Bagi dunia entertainment dunia peran dengan berbagai lakon adalah nilai jual. Sementara bagi masyarakat yang menikmati lakon skil tersebut dipahami sebagai dunia hiburan. Keduanya tidak merasa bermusuhan. Padahal jika dipahami dengan baik, pelaku hiburan dan penikmatnya sedang melakukan sesuatu yang semu. Bagi pelakunya sedang menjalani kehidupan diluar realitas yang dia rasakan, sementara bagi penikmatnya sedang beraktifitas dengan kesadaran yang sangat rendah. Bagaimana penikmat hiburan merasa terhibur dengan tontonan yang pada kenyataannya adalah sebuah akting yang tidak mampu menghadirkan kenyataan hidup bagi kedua belah pihak. Sebuah tontonan film dengan cerita aktor yang memiliki segalanya, sementara aktingnya tidak mempunyai pekerjaan yang layak. Tidak menyuguhkan sisi lakon sebagai pekerja keras namun bak orang kaya yang memiliki segalanya.
Kenyataan hidup masyarakat luas hari ini adalah ketiadaan lapangan kerja yang mampu meningkatkan taraf hidup orang banyak. Kemiskinan merupakan musuh bersama, begitulah yang sering kita dengarkan. Namun pada kenyataannya simiskin terus dipelihara, yang kaya terus bersandiwara, pelaku pemerintahan berakting bak super hero  yang hadir seolah-olah seperti pahlawan yang sudah dengan suka rela mengorbankan pikiran, harta, dan jiwanya untuk sebuah kemajuan bangsa dan negara. Jika elemen teratas bagi masyarakat ini berakting, apakah simiskin sedang berakting juga dengan kemiskinannya, lalu berpura-pura menjadi lapar.
Di dunia entertainmen setiap akting akan dibayar dengan harga yang mahal. Semakin terkenal sosok aktornya, maka semakin mahal bayaran yang diberikan kepadanya. Apalagi hasil dari aktingnya menghsilkan sebuah film yang mampu menembus pasaran yang luas, maka bayarannya akan mencapai beberapa kali lipat. Menjual lakon untuk dikomersilkan.
Didunia politik kekuasaan yang mampu berakting akan semakin bersinar karir politiknya. Berperan dengan baik disa‘at proses pemilihan dimulai. Apapun akan dilakukan untuk mendapatkan simpati publik. Untuk memasarkan diri menggunakan jurusan pencitraan segala upaya. Setelah kekuasaan didapat aktingnya tentu berbeda, program dengan kedok bantuan hampir di mana-mana ada, namun dibalik semua itu ada sebuah rencana besar yang dilakukannya. Menggoroti harga kekayaan negara dari dalam dengan progam penipuan kepada rakyat. Bencana alam yang dirasakan masyarakat akan mendatangkan rejeki yang banyak bagi pelaku pemerintahan. Alih-alih menyalurkan bantuan eee malah setengah darinya masuk kerekening pribadi. Menjual lakon untuk menipu publik. Yang musibah mendapatkan satu kotak indomie yang mengurusnya dapat mercy.
Sementara lakon yang paling mudah dilakukan dan paling cepat mempengaruhi pikiran orang banyak adalah melakoni sebagai sosok yang agamis. Mencitrakan diri menjadi pribadi yang shalih memang tidak mudah. Pelakunya tidak serta merta bisa melakukannya secara instan. Sebab akting yang beginian tidak boleh dilakukan oleh orang yang tidak memahami ilmu agama, minimal punya modal menghafal beberapa ayat dan beberapa hadis nabi, serta mampu menghafal beberapa pendapat para ulama. Lalu dengan segala pencitraannya menjual ayat-ayat Tuhan, dari ayat yang berpotensi anarkis hingga ayat yang berpotensi poligami.
Menjadi gurunya umat bukanlah perkara mudah, pelakunya mesti ersusah payah memehami konten keilmuan dengan bagus, menguasai metodelogi studi agama dengan baik, paham struktur kebahasaan, mengerti tentang sejarah munculnya sebuah dalil dan peristiwa. Dari kesekian paham tersebutnya pelakunya mampu membuat sebuah transformasi ilmu pengetahuan dengan membangun paradigma berfikir terus menerus berkembang. Menjadikan dalil dan sejarah masa lalu untuk menyelesaikan persoalan hari ini. 
Namun tidak bagi pelakon agama, aktornya hanya melakukan sebuah pencitraan yang menyangkut dengan sesuatu yang baik. Melakoni setiap ucapan, tindakan, gaya, cara berpakaiannya dan lain sebagainya, dengan tujuan menarik perhatian umat untuk mengikuti perintahnya. Semakin banyak yang menjadi pengikutnya semakin mudah baginya berakting dan mengelabui pikiran-pikiran orang  banyak, lalu kemudian bermusuhan dengan sesama, baik antar sesama beragama maupun sesama anak bangsa.
Tanpa kita sadari, aktor yang memerankan adegan orang shaleh atau adegan ustadh dan ustadhah dalam sebuah film, ketika berada di alam nyatapun dia masih saja berakting menjadi pendakwah. Modal dikenal publik hanya karena pernah menjadi pemeran utama dalam film religi. Pelakunya lupa jika alamnya sudah berbeda. Pertanyaannya, apakah cukup bagi umat ini menjadi muballigh didunia nyata hanya bermodalkan pernah menjadi pemeran utama dalam film religi, sehingga orang-orang berkesimpulan, di dunia perfileman dia berakting menjadi orang baik dan didunai nyatapun dia juga berakting menjadi muballigh.
Akibat daripada hadirnya pelaku-pelaku akting dalam kehidupan kita, umat manusia kehilangan jati diri yang asli baginya. Keunikan manusia hilang oleh karena kepura-puraan yang kita pertontonkan. Para poliitisi bertengkar di media, lalu berpelukan di alam nyata. Praktisi hukum berdebad dimeja peradilan lalu bermesraan di balik meja. Para pejabat negara saling membela terhadap aturan namun bermain serong ketika membahas anggaran. Abdi negara memasang wajah ta’at kepada aturan namun dibelakang mengangkangi kinerjanya dengan menghabiskan waktu diluar kantornya bekerja. Para pendidik berlaku baik dilembaga pendidikan sebab terikat dengan berbagai macam kurikulum, namun ketika berada diluar lembaga pendidikan para pendidik tak ubah seperti preman pasar. Bandar narkoba menyalurkan bantuan pembangunan mesjid, padahal dia tidak tahu mesjid itu dibangun di mana.
Mumatstsilain atau pelakon dalam bahasa agama masuk dalam katagori munafik. Munafik sebab prilakunya berbeda dari ralitas yang sedang dijalani. Agama memberi ciri-ciri bagi pelakunya, ciri pertama ketika dia bicara dia berdusta, ketika dia berjanji dia tidak menempatinya, dan ketika dipecaya dia mengkhianatinya.
Adakah setiap lakon yang dilakukan manusia mengungkapkan sisi nyata dalam kehidupannya. Atau malah melakukan yang sebaliknya, tidak peduli dengan kepura-puraan asalkan dia mendapatkan keuntungan dari apa yang dia lakoni. Jika aktor dalam sebuah film dibayar dengan harga yang sangat mahal, tentunya ini peluang baginya untuk menjadi kaya raya dengan cara melakoni setiap peran yang diberikan kepadanya.
Artis peran melakoni dirinya dengan akting yang mampu membawa perasaan senang menjadi sedih dan sedih menjadi senang, menjadikan perasaan luka menjadi riang dan riang menjadi setengah sadar, wanita penghibur melakori dirinya dengan mengganggu realitas kehidupan orang lain, pemangku kekuasaan mencitrakan dirinya dengan berpura-pura baik didepan ketika balik belakang lain bicara, abdi negara melacurkan dirinya dengan cara mempersingkat jam kerja, para pemangku keagamaan mencitrakan dirinya menjadi orang alim yang ta’at. Bahkan tidak jarang seorang yang mengakui kiaipun kadang-kadang berkedok jadi dukun santet.
Berhentilah dengan kepura-puraan yang tidak mengantarkan manusia pada tahapan realitas hidup. Kepura-puraan tidak menjadikan hidup manusia menjadi pribadi dan komunitas yang utuh. Lebih baik makan singkong beneran daripada makan roti mimpi. Lebih baik jujur dalam kesederhanaan dibandingkan munafik dalam kemewahan. Manusia tidak akan rendah jiwanya ketika menjalani hidup apa adanya, namun sebaliknya manusia akan terhina ketika dia lupa berkaca pada kenyataan hidup yang sedang dijalaninya.
  Kepura-puraan adalah pelakor kehidupan.........




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Meraih Gelar Doktor; Muchlinarwati Disabilitas yang Menginspirasi

Melihat Masalah dengan Masalah

SURAT TERBUKA: KEPADA YANG TERHORMAT BAPAK BUPATI ACEH BARAT DAYA