SESAJEN ALA KOMUNIKASI POLITIK KEKUASAAN


يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَتَّبِعُوا۟ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيْطَٰنِ ۚ وَمَن يَتَّبِعْ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيْطَٰنِ فَإِنَّهُۥ يَأْمُرُ بِٱلْفَحْشَآءِ وَٱلْمُنكَرِ ۚ وَلَوْلَا فَضْلُ ٱللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُۥ مَا زَكَىٰ مِنكُم مِّنْ أَحَدٍ أَبَدًا وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ يُزَكِّى مَن يَشَآءُ ۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ


Artinya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah syaitan, maka sesungguhnya syaitan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar. Sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorangpun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Q. S. an-Nur/064.

Sesajen merupakan bentuk komunikasi beradab dalam sejarah manusia membangun hubungan komunikasi sosial dengan alam, dalam rangka menciptakan keharmonisan dengan makhluk ciptaan Tuhan yang lainnya. Sesajen sering di konotasikan buruk untuk menghukumi paradigma sosial sebagian masyarakat, yang kehidupannya sangat kental bersinergi dengan alam.

Durkeim menjelasakan, teori sosial itu mesti dipahami dengan dua konteks dasar. Dasar normatif dan institusional. Kebudayaan yang dimiliki oleh manusia tidaklah berdiri sendiri, namun berangkat dari prilaku individu yang kemudian prilaku tersebut bersinergi dengan institusi kebudayaan. Seharusnya, prosesi sesajen dimaknai sebagai bentuk komunikasi beretika yang dilakukan manusia dalam menjalin komunikasi intermitologi sosial dengan makhluk yang lain.

Budaya sesajen ini perlu dikaji ulang sepertinya, dalam memutuskan penilaian dengan mengenyampingkan prinsip anomali berfikir, yang mana aktifitas tersebut adalah sebuah cara dalam menerapkan pendekatan sosiologis dengan makhluk yang lain, di mana dengan aktifitas tersebut agar supaya terbentuk keharmonisan sifat antara manusia dengan alam. Sesama manusia saja jika tidak menghidupkan rasa kepedulian akan mudah sekali terjadi bentuk kesenjangan dalam berkomunikasi, bahkan jika komunikasi tersebut tidak dibangun dengan baik, bakal merambas pada wilayah permusuhan fisik jika kepedulian kepada jiwa antar sesama masyarakat sosial tidak dihidupkan.

Begitu juga dengan alam semesta yang begitu komplek Allah swt., ciptakan segala makhluk. Tentu saja kompleksitas ini butuh keseimbangan dalam mengatur dan menjalaninya. Memberi makan dalam bentuk sesajen merupakan salah satu cara manusia membangun komunikasi dengan alam gaib atau alam jin. Jin dan manusia itu, sama-sama mempunyai habitat yang sama, yaitu sama-sama butuh makan untuk menunjang survival kehudupan, walaupun berbeda berbeda bentuk makanannya. jika manusia makan daging yang sudah dimasak dan dibuang darahnya, maka berbeda dengan jin sebagai makhluk ghaib, akan memakan daging yang masih mentah beserta darah dan tulangnya.

Komunikasi tersebut dilakukan untuk mewujudkan keharmonisan antar sesama makhluk di dunia ini, agar supaya tidak saling menyakiti atau saling mengganggu satu sama lain. Nabi Muhammad saw., juga mengajarkan kepada manusia, untuk membuang sisa makanan dalam bentuk tulang belulang di belakang rumah, agar supaya ada yang bisa dimakan oleh Jin. Perintah tersebut sebuah tanda bagi manusia untuk menjalin komunikasi yang baik dengan alam, agar supaya manusia saling menjaga. Menjaga dalam beradaptasi antar sesama makhluk yang sama-sama mendiami bumi, lalu kemudian dengan berisiknya alam, bukanlah sebuah alasan bagi setiap makhluk harus bermusuhan dan saling mencelakakan antara satu dengan yang lainnya.

Tentunya setiap tesis baru  akan menjadi bahan anti tesis berikutnya untuk memahami, jika alam dan isinya merupakan ciptaan yang begitu komplek, yang mana setiap kita mesti memberi penjelasan untuk memahami secara detail bagaimana hubungan antar makhluk yang berbeda-beda, tentunya berbeda dalam penciptaannya dan berbeda pula kebutuhannya.

Sesajen dalam bentuk yang lain dipahami dengan memberi sesuatu dengan maksud tertentu. Dalam transaksi politik dikenal dengan membayar fee. Salah satunya adalah membayar fee proyek kepada pemangku kebijakan. Baik kebijakan  di tingkat Nasional, Provinsi, dan Kabupaten. Semua pemberian tersebut diartikulasikan sebagai sesajen yang beradab dalam menjalin komunikasi yang dianggap harmonis, antara pemangku kebijakan dengan rekanan pekerjaan, baik menyangkut pekerjaan infrastruktur, pengadaan barang, kontrak kerja, dan lain-lainnya. Jika demikian adanya sungguh kita sedang menjalani kehidupan yang bernuansa intermitologi mistik dalam kehidupan nyata.

Setiap sesajen mesti di pahami sebagai bentuk komunikasi yang beradap. Tentunya komunikasi yang dilakukan oleh manusia dalam ragka menjalin komunikasi yang harmonis dengan makhluk lain. Tujuan dari komunikasi tersebut agar supaya terbentuk keseimbangan dalam kehidupan yang bersinergi dengan alam. Nah, dalam konteks politik kekuasaan, komunikasi yang terjalin antara pelaku kebijakan dengan pelaku pekerjaan, atau rekanan dalam menjaga keseimbangan tersebut, pelaku pekerjaan atau rekanan harus membayar sesutu dalam bentuk sesajen (fee) kepada pemangku politik kebijakan, baik Presiden, Gubernur, Bupati, Mentri, dan kepala dinas, dan berbagai level kekuasaan lainnya. Maka dengan demikian, keberlangsungan komunikasi antara rekanan dengan pemangku kebijakan, persis seperti hubungan manusia dengana Jin. Artinya ada yang meminta dan ada yang memberi. Rekanan sebagai pemberi, pemangku kekuasaan sebagai yang menerima.

Tentunya Sesajen pada hubungan antara rekanan dengan pemangku kebijakan tersebut dalam bentuk bagi hasil laba proyek, dengan persentase bobot pemberian yang akan ditentukan oleh pemangku kebijakan itu sendiri. Jika dulu banyak tikus, bersamaan dengan hadirnya obat pembasmi tikus maka peredarannya sudah hampir punah. Namun tikus pandai merubah dirinya menjadi Jin dengan cara meminta sesajen, dan peredarannya sulit untuk dideteksi, sebab Jin adalah makhluk halus. Namun sebaliknya, untuk mendeteksi keberadaan Jin berjenis manusia, negara harus membentuk sebuah lembaga pendeteksian, seperti hadirnya komite pemberantasan korupsi (KPK). Tentunya lembaga pemberantasan tersebut sangatlah bersesuaian dan tepat sekali, dengan ditetapkannya, hari anti korupsi. Pada tahapan berikutnya, semoga kedepannya, tidak hanya ditetapkan hari anti korupsi saja, namun juga harus ada ditetapkannya juga hari anti fee proyek. Disadari atau tidak, selama ini prosesi sistem fee dalam rangka medapatkan pekerjaan pada pemerintahan, menjadi penyakit yang sudah membudaya disetiap instansi negara.

Sesajen, fee proyek, dan rasa malu merupakan sesuatu yang berbeda. Sesajen dan fee mencakup wilayah aktifitas perbuatan manusia dalam bentuk amalan fisik.  Sementara rasa malu merupakan subordinat identitas keberadaan manusia sebagai makhluk yang beriman serta mempunyai proses gerak akal yang sempurna. Seseorang yang mempunyai rasa malu tentunya, akan selalu menutupi dirinya untuk menonjolkan diri terhadap yang lainnya. Prinsip pribadi yang mempunyai rasa malu dalam dirinya, dia hannya ingin menampakkan sisi-sisi kontribusi dalam hidupnya, bukan malah sebaliknya yang ditonjolkan asa kompetisi, sehingga hadirnya hanya satu tujuan yaitu mengalahkan orang-orang yang sama-sama sedang berjalan dengan dirinya. Menjegal, menghambat, mewanti-wanti, lalu pada akhirnya menjatuhkan orang lain hannya karena dirinya ingin menampakkan eksistensi.

Siempunya rasa malu dalam kondisi apapun tidak akan pernah berfikir untuk mengalahkan serta menganiyaya orang lain. Dan tidak pernah berfikir ingin menonjolkan dirinya dari makhluk yang lain. Makhluk yang sama yang diciptakan Tuhan di muka bumi. Seseorang yang menpunyai rasa malu dalam jiwanya, aktifitas kebersamaan dalam membangun komunikasi yang beradap antar makhluk akan selalu hidup. Sebagaimana halnya ikan dilaut, walaupun berada dalam air yang asin tetap saja tidak akan berpengaruh dengan dirinya, walaupun berada dalam air yang memiliki banyak unsur garamnya. Sementara berbeda  disa‘at ikan itu mati, maka ikan akan mengikuti keadaan yang mengitari dirinya. Jika dimasak ikan akan menjadi gulai, jika diasinin ikan akan menjadi asin. Terdampar di dalam air asinpun ikan tidak akan berubah rasa sebab dia hidup, sementara disaat ikan sudah mati dikeluarkan dari air asinpun ikan tersebut tetap asin atau membusuk walaupun dia berada didaratan, kenapa demikian sebab ikan sudah tidak mempunyai perubahan bentuk lagi, sebab sudah mati.

Seseorang yang tidak mempunyai sistem berkomunikasi yang beradab antara sesama makhluk ciptaan Tuhan. Maka dalam beradaptasi dan berkomunikasi antar sesama  akan rancu. Apalagi komunikasi tersebut dibentuk dengan sifat yang tidak memiliki rasa malu yang kuat di dalam diri seseorang diibaratkan seperti ikan yang sudah mati. Ikan yang sudah mati tersebut sangatlah mudah dirobah asanya, sesuai keinginan nafsu para penjala.

Rusaknya sebuah tatanan komunikasi yang beradab antara makhluk ciptaan Tuhan yang ada, akibat manusia meninggalkan keharmonisan dengan alam. Begitu juga dengan rusaknya tatanan hidup bernegara akibat para pemangku politik kekuasaan meninggalkan sebuah upaya kejujuran dalam membangun komunikasi profesional antara relasi, rekanan, dan pemangku kebijakan. Setiap transaksi politik kekuasaan yang dibangun atas dasar ketidak jujuran, maka tidak akan terdapat nilai yang mampu melahirkan hasil kerja yang profesional. Transaksi tanpa kejujuran diibaratkan seperti ikan mati yang tidak pernah merubah rasanya ketika terhempas di tepi pantai. Sesajen tanpa mengenal objek keharmonisan diibaratkan seperti fee proyek politik kekuasaan. 

   Sudah menjadi rumus dunia, jika ingin menguasainya, manusia harus mempunyai banyak sesajen. Jika tidak ada sesuatu yang dapat diberikan kepada pihak yang berkepentingan, maka jangan pernah mencoba dan memberanikan diri untuk memasuki sarangnya iblis. Iblis adalah simbol kekuasaan dunia yang mampu merubah baik menjadi buruk, kebaikan menjadi tercela, keindahan menjadi tidak bernilai adanya, manusia akan berubah wajahnya menjadi buruk rupa, berhala akan dijadikan sesembahan sebagai Tuhan, pangkat, jabatan, dan harta akan menguasai pikiran serta hatinya. Duhai kamu dan kalian yang menguasai politik kebijakan, bijaksanalah atas segala apa yang mejadi amanah kekuasaan dunia bagimu dan bagi kalian.



               Jakarta 12 Januari 2020 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Meraih Gelar Doktor; Muchlinarwati Disabilitas yang Menginspirasi

Melihat Masalah dengan Masalah

SURAT TERBUKA: KEPADA YANG TERHORMAT BAPAK BUPATI ACEH BARAT DAYA