Wahai Manusia: Untuk Siapakah Amarahmu Itu
سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ
لِلسُّحْتِ ۚ فَإِنْ جَاءُوكَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ أَوْ أَعْرِضْ عَنْهُمْ ۖ
وَإِنْ تُعْرِضْ عَنْهُمْ فَلَنْ يَضُرُّوكَ شَيْئًا ۖ وَإِنْ حَكَمْتَ فَاحْكُمْ
بَيْنَهُمْ بِالْقِسْطِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
Artinya, “Mereka
itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang
haram. Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), maka
putuskanlah (perkara itu) diantara mereka, atau berpalinglah dari mereka; jika
kamu berpaling dari mereka maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu
sedikitpun. Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara
itu) diantara mereka dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
adil’. Q. S. al-Maidah: 42.
Berdasarkan Tafsir Al-Mukhtashar / Markaz
Tafsir Riyadh, di bawah pengawasan Syaikh Dr. Shalih bin Abdullah bin Humaid,
Imam Masjidil Haram أَكّٰلُونَ لِلسُّحْتِ ۚ
(banyak memakan yang haram) Makna (السحت)
yakni harta haram. Disebut demikian karena ia menghilangkan ketaatan dan
menghapus pahalanya. Pendapat lain mengatakan ia adalah uang suap.
Berdasarkan pengertian kata, السحت
bukanlah berbicara harta dalam bentuk “benda” semata. Namun juga
dimaknai luas, makna luas di sini termasuk di dalamnya bagaimana cara seseorang
mendapatkan harta benda tersebut, dari mana harta itu didapat, dan bagaimana
pula harta itu dibelanjakan. Memakan
harta yang didapati dari cara yang tidak halal, menjadikan sifat dan zat benda
yang di makan akan mempengaruhi pola pikir seseorang. Ayat yang dicantumkan di
atas adalah penjelasan tentang seseorang yang gemar dengan berita bohong adalah orang-orang yang suka memakan harta yang sifat
dan zatnya haram.
Sifat yang wajib ada pada diri Nabi Muhammad
saw., salah satunya dari empat sifat adalah siddiq. Dalam pengertian
yang sudah populer diketahui oleh Umat Islam siddiq dipahami dengan
pengertian jujur dalam berkata, benar dalam bersikap. Ungkapan kejujuran
merupakan dorongan hati nurani, tidak ada satu ungkapan yang diucapkan oleh
manusia tanpa didasari dari lubuk hati yang dalam. Pada persoalan ini, maka
urusan kejujuran bukanlah urusan ucapan bibir saja, namun ucapan tersebut
merupakan rangkaian dari ungkapan hati, pikiran, berdasarkan apa yang
didengarkannya.
Zaman di mana arus informasi tidak hanya
didapatkan dari ucapan bibir semata, pesatnya sistem informasi modern
menjadikan pendengaran hampir tidak berfungsi lagi, sebab informasi tidak lagi
didapati seseorang dengan alat indra pendengaran, namun di baca dengan alat
indra penglihatan. Semmentara ayat di atas berbicara tentang arus informasi
berdasarkan alat indra pendengaran.
Berdasarkan kata samma’a, apakah dengan
fenomena sistem informasi yang didapatkan lewat bacaan tidak menjadi bagian
konteks ayat tersebut, tentunya tidak, apapun bentuk informaasi tersebut, baik
didapatinya dari media bacaan maupun media pendengarahn dianggap sama,
dikarenakan, yang namanya informasi sifatnya adalah menerima berita tentang
objek yang lain. Islam mengajarkan pemeluknya dengan sangat rinci ketika
seseorang hendak menerima sebuah berita dari orang lain. Baik berita yang
menyangkut dengan informasi ilmu pengetahun maupun informasi yang menyangkut
dengan tuduha-tuduhan kepada orang lain, yang mana dengan tuduhan tersebut akan
menjadikan fitnah bagi yang mendengarnya maupun yang diceritakannya.
Pada sa’at seseorang belajar tentang informasi
keilmuan, yang mempelajarinya mesti hati-hati melihat dengan jeli siapa yang menyampaikan
informasi keilmuan tersebut. Jika yang dipelajari adalah ilmu pengetahuan yang
menyangkut dengan pengetahuan Islam, maka keberadaan gurunya harus diperhatikan
dengan baik. Sejauh apa materi pelajarannya, bagaimana sifat akhlaknya, seperti
apa metode pembelajarannya, apa aliran yang dominan yang dianut oleh para
gurunya, referensi apa saja yang digunakan, sampai memperhatika dari mana
tempat asal pendidikan gurunya.
Mengapa Islam begitu rinci melihat asal-usul
keilmuan sa’at akan dipelajari seseorang, sebab sifat guru akan menjadi alur
pikir sang murid dikala ilmu dipelajari dari seseorang. Dalam hal ini nabi
sendiripun sangat mewanti-wanti hal ini, dengan menyampaikan pesan kepada kita
mengenai infoormasi keilmuan terutama yang menyangkut dengan ilmu pengetahuan
Islam.
Nabi Muhammad saw., meyampaikan “Al-‘ilmu
huwad din, fandhuru aman tak khudhuna di nakum” (ilmu itu agama bagimu,
maka perhatikanlah dari siapa engkau menyerapnya). Kenapa demikian, sebab sifat
ilmu itu memberi pengaruh dalam diri seseorang. Seseorang terpelajar akan
mempengaruhi jiwanya sebagaimana yang diajarkan oleh gurunya. Murid itu, akan
mewarnai sifat gurunya. Jika gurunya kencing sambil berdiri, maka muridnya akan
kencing sambil berlari. Beginilah ungkapan majas yang sering disampaikan kepada
para pembelajar, ungkapan tersebut sebagai nasehat yang hidup bagi para
penuntut ilmu, agar supaya berhati-hati mengikuti arus informasi keislaman.
Guru dan murid dalam konsep pendidikan dapat
diartikan secara sederhana terkait dengan sistem oposisi biner (binary
opposition), dalam pengertian sebagai sebuah sistem yang berusaha membagi
dunia dalam dua klasifikasi yang berhubungan secara struktur kebudayaan. Guru
sebagai subjek pembelajaran sementara murid menjadi objek kajian. Keduanya saling
mempengaruhi dalam sikap. Dialog yang bisa mempengaruhi sikap inilah yang
menjadi perhatian kusus terhadap pendidikan Islam, sehingga nabi sendiri
mewanti-wantinya dengan sangat tegas, agar supaya paham keislaman yang didapat
oleh generasi Islam benar dan sesuai dengan apa yang dijarkan oleh Alquran.
Berbicara tentang pendidikan dengan dialog keilmuan antara guru dan muriid yang
mempengaruhi sikap penting untuk dikaji. Bagaiman tidak, jika seorang murid
belajar pada guru yang sifat komunikasinya buruk. Seperti sifat ekstrem yang
ditampakkan oleh sang guru. Ekstrem dalam memahami teks keagamaan dan ekstrem
dalam menggunakan narasi kebahasaan. Seperti: suka memaki, suka memfitnah, suka
menjelek-jelekkan pihak lain, suka menebarkan kebencian pada sesama, suka menebarkan
berita bohong, suka merendahkan pihak lain, suka melecehkan kekurangan orang
lain, suka menyerap info secara berlebihan, dan berbagai sifat buruk lainnya.
Yang mana sifat-sifat tersebut akan mempengaruhi prilaku berfikir bagi murid
dan tindakannya.
Pada era kenabian belum ada kajian tentang filsafat
pendidikan, namun kecerdasan Nabi Muhammad saw., dalam memahami dan menyeimbangkan
potensi intelektual manusia dengan potensi aksi dalam bersikap. Lahirlah penekanan dari Rasul untuk memilih
dengan tepat siapa guru yang seharusnya engkau belajar struktur keilmuan
kepadanya. Begitu berhati-hatinya dalam melihat tentang masalah siapa dan
bagaimana yang dikatakan seorang guru bagi umat, muncul penekanan kembali
dengan al-adabu fauqa ‘ilmi (adab bagi manusia posisinya lebih tinggi
dari pada ilmu). Artinya adalah tidak boleh menceritakan berita dusta terhadap
ilmu keislaman tersebut. Telah terbukti dalam sejarah perkembangan Islam,
rentatan ilmu yang berkesinambungan diurai oleh para sahabat, dilanjutkan oleh
para imam, dan dikembangkan oleh para ulama dalam bentuk literasi yang dikaji
berdasarkan perdebatan ilmiyah.
Dusta merupakan sifat yang buruk, menyebarkan
informasi yang salah adalah salah satu dosa besar dalam Islam. Apalagi berita
tersebut tentang ulasan kepada seseorang yang jika didengar oleh yang dituduhkan
kepadanya akan menimpa keburukan. Berita- berita sepihak yang dapat membunuh
karakter seseorang. Informasi-informasi yang dapat menyebabkan nama baik
seseorang tercemar. Sementara jujur adalah lawan dari kata dusta. Berkata jujur
merupakan patokan dasar seseorang tergolong dalam pribadi yang mulia. Sebagaimana
penjelasan sebelumnya bahwa, Nabi Muhammad saw., bukan hanya berprilaku jujur,
namun juga memerintahkan untuk menanamkan sifat kejujuran dalam diri umatnya.
sebagaimana Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَلَا أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ
الْكَبَائِرِ ثَلَاثًا قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللهِ. قَالَ: الْإِشْرَاكُ
بِاللَّهِ وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ وَجَلَسَ وَكَانَ مُتَّكِئًا فَقَالَ أَلَا
وَقَوْلُ الزُّورِ قَالَ فَمَا زَالَ يُكَرِّرُهَا حَتَّى قُلْنَا لَيْتَهُ سَكَتَ
Artinya “Maukah
aku kabarkan kepada kamu sebesar-besarnya dosa besar?” Beliau mengucapkannya
tiga kali. Mereka (para sahabat) menjawab, “Ya, wahai Rasulullah”. Beliau
bersabda, “Menyekutukan Allah (syirik) san durhaka kepada kedua orang tua”.
Beliau duduk sebelumnya beliau bersandar, lalu beliau bersabda, “Ingat, juga
perkataan palsu”, Perawi berkata, “Beliau selalu mengulangi ucapannya, hingga
kami berharap beliau diam” (H. R.
Bukhari, no 5918, Muslim no.87)
Berita dusta dan informasi bohong hanya keluar
dari mulutnya orang-orang bodoh. Sibodohlah yang sangat meminati tersebarnya
keburukan kepada seseorang. Sibodoh yang tidak memiliki rasa empati dalam
dirinya akibat dari hati yang busuk. Gerak bibir sa’at seseorang menyampaikan
berita bohong akibat dari dorongan hati yang sangat kuat. Jika hati, di mana
pusat transfusi yang mengumpal tersebut busuk maka tidak akan ada sebuah
kebaikan yang keluar dari pikirannya. Bibir dan mulutnya akan mengunci lidah
untuk berkata benar. Hati adalah segumpal darah yang sangat mempengaruhi jiwa
seseorang. Jika hatinya baik, maka baiklah keseluruhannya, namun jika hatinya
busuk maka busuklah keseluruhannya.
Dikalangan orang-orang bijak menyampaikan,
ukurlah prilaku dan sikap seseorang itu ketika dia marah kepadamu, sebab sifat
marah itulah cerminan asli dari sikap seseorang. Bagi kalangan yang mempunyai
rasa kebijakan yang tinggi sangat memelihara amarah dalam dirinya. Menjaga amarah
lebih berat dari mmenjaga kesabaran. Sabar di mana posisi seseorang sedang
berada dibawah dan titik kulminat yang sangat rendah, makanya seseorang yang
ditimpa musibah menyerahkan dirinya kepada Tuhan dengan cara bersabar.
Berbeda dengan sifat marah, keberadaan
orang-orang yang sedang memuncak kemarahannya berada pada posisi di atas dan
tinggi. Oleh karena berada pada titik ketinggian, maka si empunya amarah akan
menatap rendah seseorang yang akan dimarahi. Muncullah kesombongan dalam diri
seseorang, oleh karena dia merasa tinggi sendiri. Dengan sendirinya keluarlah
fatwa-fatwa dari mulutnya semberangan fatwa yang merendahkan orang lain dengan
mencaci maki, menghina, menceme’eh, meledek, dan sampai pada penyebaran berita
dusta dan informasi bohong, sehingga dengan berita dan informasi bohong tersebut
tercemarlah nama baik, terbunuhlah karakternya, dan akhirnya murka bagi semua
orang menimpa atas berita dan informasi bohong tersebut.
Berbeda dengan orang-orang beriman, tidak
mudah baginya untuk marah dan tidak mudah juga bagi untuk menerima berita
bohong yang disebarkan seseorang. Orang-orang beriman mempunyai kurikulum marah
dalam dirinya. Marahnya orang beriman adalah nasehat, bukan murka. Dalam keadaan
marahpun orang beriman menjadi nasehat, apatah lagai jika dia sedang
menasaehati.
Orang-orang beriman mendapati proses ilahiyah
dalam menyerap sebuah informasi yang beredar. Proses tabayyun adalah sifatnya
orang beriman. Setiap ada masalah dan setiap ada informasi yang menimpa atas
diri anak Adam akan diteliti dengan benara. Penelitiannya terhadap masalah
berdasarkan apa yang diajarkan Tuhan dalam surat al-Hujarat ayat 6:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ
جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ
فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
Artinya, “Hai orang-orang yang beriman, jika datang
kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar
kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui
keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”.
Pada ayat ini, Tuhan mengelompokkan orang yang
suka dan gemar serta dengan begitu mudah menyebarkan berita bohong dilabeli
sebagai orang fasik. Tentunya, fasik itu dengan dirinya melekat pada diri
orang-orang yang suka kebohongan. Artinya, ketika dia mulai berbohong dengan
sendirinya dia sudah menjadi fasik. Atau dengan bahasa yang lain, hanya
orang-orang yang terdapat dalam dirinya mental kefasikanlah yang suka
menyebarkan berita-berita bohong yang dapat membunuh karakter orang lain dan
mencemarkan nama baiknya.
Wahai manusia,,,,,,,,,untuk siapakah engkau
memarahi itu???? kalo bukan untuk setan, lalu untuk siapa lagi. Bukankah kemarahan itu hanya bisa ditujukan kepada orang-orang
yang sudah mengenalmu dengan baik, dan kepada orang yang sudah engkau marahi adalah
seseorang yang pernah menjalin persaudaraan denganmu juga, yang engkau marahi
itu adalah orang yang sudah pernah berbuat sesuatu kepadamu juga, walaupun tidak banyak, namun sudah menjadi bukti jika kita pernah dipertemukan. Setiap ada komunikasi
antar sesama manusia tentu ada kebaikan yang engkau dapatkan darinya. Yang engkau
marahi itu adalah sodaramu, temanmu sendiri, kerabatmu, dan karibmu juga. Tidak
mungkin engkau akan memarahi orang lain yang tidak pernah engkau saling berbagi
dengannya.
Wahai manusia,,,,,,,,,,untuk siapakah engkau memarahi
itu?????tidakkah engkau mengingat secuil kebaikan yang sudah engkau dapatkan
darinya, mengapa malah dengan sangat tajam sedikit salah yang engkau sorot darinya, tidakkah engkau ingat sebongkah rasa yang engkau dapati darinya dan mereka,
tidakkah engkau ingat secuil cerita konyol yang pernah engkau dan kita menertawakannya
bersama-sama, tidakkah engkau ingat sebongkah nasehat hidup yang pernah
engkau dapati darinya. Wahai manusia.......kenapa engkau memarahi dia, mengapa
engkau membencinya, mengapa engkau murka kepadanya, dan mengapa engkau
mencurigai mereka, mereka yang telah menabuhkan kenangan indah bersama-sama denganmu,
walaupun kenangan tersebut tidak lama, namun ceritanya akan kita kenang
sepanjang masa.
Wahai kamu yang pernah dibenci oleh si empunya
amarah. “jangan pernah engkau melawan topan, karena sebelum angin itu
menjadi badai, dia sudah duluan menjadi udara sepoi-sepoi yang pernah
menghangatkan jiwamu”. Lupakanlah badai itu, dan ma’afkan segala kesalahannya,
sebab yang menyebarkan berita fitnah dan informasi bohong sedang menuai dosa
besar. Tegakah engkau wahai yang menimpa fitnah dan sedang dimarahi oleh yang
empunya amarah, membiarkan sodaramu yang sedang menimpa amarah dan kebencian dalam
jiwanya akan menyimpan dan membawa dosa besar sampai akhirnya hayatnya.
Hanya orang-orang yang berjiwa besarlah yang
akan mema’afkan sodaranya yang sedang menimpa amarah dan kebencian. Engkau yang menyimpan amarah, ketahuilah jiwa-jiwa kebijakan itu sudah menerima dan mema’afkan amarahmu. Tidak
adalagi dosa besar bagimu, dan tidak
adalagi beban taklif atas tubuhmu. Tidak perlu engkau meminta ma’af,
sebab jiwa-jiwa yang penuh hikmah kebijakan itu sudah mema’afkan kekhilafanmu
dalam menyampaikan berita yang keliru dipahami oleh orang lain.
Wahai manusia........berhentilah dan
padamkanlah amarahmu. Sesungguhnya kita adalah Negara Kesatuan Republik
Indonesia bersaudara.
Jakarta, 21 Januari 2020
Komentar
Posting Komentar