Islam Nusantara Dalam Paradigma Anomali
Berkembangnya Islam di Nusantara sangat dipengaruhi oleh jasanya
para ulama yang telah menyebarkan ajaran islam di Nusantara. Ulama Nusantara
adalah ulama yang sudah berkiprah menjalankan ajaran islam dan mengajarkan
kepada umat dari generasi ke generasi. Tradisi keilmuan sudah menjadi tonggak
estafet sebagai tatacara penyampain ilmu keislaman secara turun temerun,
dimulai dari ulama sekelas Syaikh Nurudin Ar-Raniry sampai pada ulama-ulama
hari ini yang konsisten dalam mengamalkan ajaran Islam dan mengajarkannya
kepada masyarakat nusantara.
Ulama adalah sekelompok orang ‘alim yang memahami ilmu keislaman.
Bukan hannya ilmu yang bersifat dokrin keagamaan, melainkan juga ilmu yang
bersifat tatanan nilai yang berhubungan dengan sosial kehidupan. Ulama juga bagian
dari intelektual muslim yang menerjemahkan bahasa langit ke bumi dengan bahasa
yang dimengerti oleh umatnya. Intelektual muslim akan berbicara sesuai dengan
konteks permasalahan umat dalam menyampaikan risalah keagamaan, bahasa yang
digunakan adalah bahasa yang dimengerti sesuai dengan tingkat kecerdasan
umatnya. Berpakaian seperti umatnya berpakaian. Berbaur bersama masyarakat
seperti cara umatnya berbaur. Sarasehan dengan umatnya seperti gaya
umatnya bersila duduk. Candaannya adalah candaan yang menggirangkan
bukan candaan yang menakuti umatnya.
Di Indonesia ulama mengajarkan umatnya melalui media Pesantren, Dayah, Mesjid, Mushalla.
Dengan kemajuan tehnologi hari ini ulama sudah mulai menyampaikan ilmunya
lewat media, baik media elektronik maupun media sosial, dan melalui
pendidikan formal institusi perguruan tinggi. Tentunya zaman terus
berubah. Sebahagian besar ulama Indonesia berkumpul dalam satu wadah organisasi
besar dibawah kepengurusan, seperti Muhammadiyah, NU, Al-Washliyah, dan
berbagai macam wadah organisasi yang dibuat oleh ulama dimasing-masing tempat
dan masing-masing sesuai dengan kebutuhan visi dan misi keummatan yang
menyangkut dengan pendidikan kepada ummat.
Ulama Nusantara adalah ulama yang memahami ilmu keislaman dengan
sangat mendalam serta dalam menyampaikan dakwahnya berpedoman pada kearifan
lokal masyarakat nusantara dengan syara’ bersandi adat, filosifi ini
sangat mengemuka di Sumatra Barat. Adat Ngon Hukom Lage Zat Ngon Sifet.
Filosofi ini sangat mengemuka di Aceh dan Minang. Adat Bak Po Temerehom,
Hukom Bak Syiah Kuala, Qanun Bak Putro Phang Resam Bak Laksamana. Dan juga ikut
memahamkan tentang keilmuan dalam Islam kepada umatnya dengan sangat
berhati-hati, serta dilakukan dengan cara-cara yang lembut, santun, dan penuh
nilai-nilai kasih sayang.
Bagaimana seorang ulama bisa menghadirkan rasa kasih sayang dalam
melihat berbagai persolan. Bagaimana ulama berkomunikasi dalam
melakukan dialektika keilmuan kepada umat dengan cara-cara yang menciptakan
kenyamanan kepada setiap orang. Baik dalam konteks personal maupun konteks
kenegaraan, baik kepada Umat Islam itu sendiri maupun kepada umat yang lainnya
diluar Islam. Tentunya yang sudah berikrar hidup berdampingan dalam sebuah
negara dengan kesepakatan yang sudah diatur dalam ikatan perjanjian
konstiitusi.
Ulama Nusantara juga tidak hannya berperan berada pada
kisaran dakwah keislaman saja, akan tetapi juga ikut menjadi bagian
dalam proses demokrasi politik. Namun keterlibatannya bukan malah menciptakan
kegaduhan tapi lebih pada pelopor yang menghadirkan nilai-nilai
kesejukan, kedamaian, keteduhan, menjadi rujukan etika, dan menjadi instrumen
pelekat di saat proses demokrasi politik lebih mengutamakan kepentingan
masing-masing pihak.
Belakangan ini dalam proses demokrasi yang sudah berjalan untuk
memilih pemimpin baru seolah-olah ulama NU di tuduh terlibat langsung dalam
proses demokrasi sebagai kubu yang memenangkan salah satu calon. Tuduhannya
ulama NU mendukung pasangan dengan nomor urut tertentu. Pada kenyataannya tidak
ada ulama NU yang berteriak-teriak dan ngotot sekali untuk memenangkan calon
tertentu dari kontestasi politik demokrasi yang berjalan pada tahun 2019,
Sampai mengancam dengan agama dan masuk neraka jika tidak memilih calon yang didukung
oleh Ulama NU. Dalam konteks demokrasi politik keberadaan ulama NU
hanya sebatas berpartisipasi saja pada proses pemilu dalam menggunakan hak
politik demokrasi.
Ulama-ulama NU tidak pernah teriak teriak pemimpin dua
periode atau 2019 ganti presiden. Semua ulama NU berada pada garis demokrasi.
Tidak menjelek jelekkan pemerintah, tidak menjelek-jelekkan pasangan capres dan
cawapres yang sedang bersaing. Bahkan NU yang disitu tempatnya ulama
nusantara berkumpul tidak pernah berkoar-koar pilihlah pasangan yang
ini dan jika pasangan ini tidak menang lenyaplah Islam di Indonesia.
Padahal di antara kontestan pemilu calon wakilnya adalah ulamanya
NU. Pada kondis seperti ini ulama NU tetap berada pada koridor
demokrasi. Menghargai semua pihak yang terlibat dalam proses demokrasi. Baik
partai politik maupun calon yang diusung oleh partai tersebut.
Sah sah saja jika ulama NU menggerakkan massa yang berjumlah 90
juta orang pengikut NU seluruh Indonesia untuk terang-terangan memusuhi
salah-satu kandidat. Akan tetapi ulama NU tidak pernah melakukan itu sebab
ulama NU memahami jika pemilu adalah kontes demokrasi sebagai kenduri umat
untuk memilih pemimpinnya yang baru. Berbeda dan
berbanding terbalik dengan ulama yang nota benenya tidak berasal dari
NU, mereka keliru memaknai kontestasi politik. Apakah karena mereka tidak
memahami konsep politik kebangsaan yang dibangun oleh pendiri bangsa, bahwa
sanya kepentingan bangsa di atas kepentingaan yang lainnya.
Keberadaan mereka secara terang-terangan mendukung salah satu
calon presiden. Mereka teriak-teriak, memaki-maki, dan memusuhi lawan
politiknya. Mereka lupa pemilu itu kenduri rakyat. Di mana prosesnya adalah
demokrasi kerakyatan memilih pemimpin untuk periode berikutnya. Dengan
begitu cerobohnya mereka mengannggap pemilu seperti ajang perang dengan
musuh negara bahkan ada yang menggiring ajang perang agama dengan lantang
berkata jika pasangan yang didukung oleh mereka tidak menang maka hancur dan
lenyaplah Islam di indonesia.
Pada kondisi seperti ini kita kehilangan paham falsafah
politik kebangsaan. Seharusnya ulama, kiai, ustadh, guru fokus
mengajarkan umat bagaimana cara memahami agama dengan benar. Supaya umat
semakin paham nilai-nilai keislaman itu seperti apa ketika dipahami
dan diterapkan dalam konteks personal dan konteks plural kebinnekaan.
Seyogianya ulama yang tidak memahami falsafah
politik kebangsaan tidak boleh dirujuk sebagai referensi politik kebangsaan. Dikarenakan bangsa Indonesia adalah sebuah bangsa yang sudah
selesai berbibicara mengenai azas-azas dasar kenegaraan. Saatnya
bangsa ini berfikir untuk berkemajuan. Bukan berfikir bagaimana merebut
kekuasaan yang keberadaannya hannya bersifat sementara.
Ulama Nusantara merupakan ulama yang membangun tradisi keilmuan
Islam di nusantara. Segala bidang ilmu yang menyangkut dengan bidang keislaman
menjadi santapan sehari-hari Ulama Nusantara bersama para murid yang
diajarkannya pada pondok-pondok pesantren. Pahamnya generasi awal dan pahamnya
generasi berikutnya tentang Islam bahkan menjadi penganut Ajaran Islam itu
sendiri tidak terlepas dari kiprah dan usaha keras Ulama Nusantara dalam
menyebarkan Ajaran Islam.
Belakangan ini warisan Ulama Nusantara sepertinya mulai dikucilkan,
dihinakan, dipersoalkan seolah-olah keberadaan mereka sedang membawa Ajaran
Islam yang baru. Ibarat kacang yang lupa pada kulitnya setelah kacang masuk
dalam toples, menjadi kacang siap saji dalam bentuk biji lalu dikunya dan hanya
menjadi sirkulasi saja.
Pertanyaannya dari kalangan manakah ulama yang
sudah mengajarkan orang-orang di Nusantara mengetahui bagaimana tatacara
bersuci dari hadas besar dan kecil, siapa yang mengajarkan mereka bagaimana
cara mengurus jenazah, siapa yang mengajarkan mereka tentang shalat, dan
mengajarkan yang lainnya yang menyangkut dengan ajaran dasar dan nilai-nilai
keislaman. Siapakah yang mengajarkan semua itu?
merekalah Ulama Nusantara. Ulama yang berkiprah menyebarkan Islam sehingga
masyarakat nusantara dari sebelumnya sebagai masyarakat yang penganut paganism
menjadi masyarakat yang bertauhid. Dan jadilah mereka Islam di nusantara.
Islam yang berkembang dari hasil rajikan ulama
yang santun, cerdas, longgar, bervisi, lembut, berakhlak mulia dalam
menyampaikan ajaran Islam, kiprahnya tanpa menyakiti perasaan masyarakat lokal
yang kebetulan saat itu masih beragama hindu dan penganut paganism. Tidak ada
rumah ibadah yang dibakar saat itu, tidak ada rumah-rumah penduduk dirobohkan,
tidak pernah melakukan pengkerdilkan, baik sesama maupun pada antar umat
bergama, sebab ajaran yang diajarkan oleh Ulama Nusantara menganut filosofi
Islam yang bernuansa rahmatan lil 'alamin.
Islam Nusantara Dan Perdebatan Di Media Sosial menjadi hangat di
diskusikan. Jika alasannya karena Islam sudah sempurna, dan tidak perlu
embel-embel lagi, mengapa tak ada keberatan dengan penggunaan jargon Islam
Kaffah (berarti ada Islam yang tidak kaffah), Islam Berkemajuan (berarti
ada Islam yang tidak berkemajuan), Islam Wasathiyah atau Islam Moderat (berarti
ada Islam yang tidak Moderat), dan sederetan istilah lainnya seperti Islam
Transformatif, Islam Hadhari, atau Islam Progresif yang coba dikembangkan
oleh organisasi masyarakat Islam atau Intelektual Muslim. Islam Nusantara
bukanlah agama baru. Islam Nusantara adalah tipologi bukan teologi. Sebab
tipologi maka yang dibicarakan di dalamnya adalah ranah Budaya Nusantara yang
segmennya adalah pergumulan antara nash, syariat, 'urf atau
budaya serta fakta masyarakat di nusantara.
Di saat kita menelusuri perdebatan tentang
Islam Nusantara dari bacaan- bacaan di media sosial muncul berbagai macam
stekmen buruk yang dimaknai sebagai pemikiran menyesatkan umat dalam memahami
tentang keislaman, bahkan ada pula yang tampaknya dengan sengaja menulis Islam
Nusantara sebagai agama baru. Mereka yang
ikut Islam Nusantara dianggap sudah batal keislamannya sehingga harus syahadat
ulang. Jelas bagi orang seperti itu, telah merendahkan dirinya sendiri di depan
publik sebagai pembuat fitnah dan berita bohong belaka. Mereka yang
membagikannya di media sosial tanpa alasan jelas juga menunjukkan literasi
digitalnya rendah karena membantu menyebarkan informasi hoaks di dunia maya.
Media sosial membuat semua orang menjadi setara, siapa pun bebas
berkomentar atas masalah apa pun. Mereka yang mengkaji ilmu agama
bertahun-tahun dikomentari oleh anak-anak muda bersemangat agama tinggi, tapi
minim pengetahuan. Memiliki pengetahuan sepotong-sepotong, yang seharusnya
masih harus banyak belajar, tapi mengomentari beragam permasalahan agama. Tak
menyadari bahwa dirinya masih belum banyak tahu dan dengan bangganya menjadi
pasukan sorak hore untuk kepentingan tertentu.
Tampaknya ada orang-orang tertentu yang bersumbu pendek dan tidak suka dengan Nahdlatul Ulama dan apa yang datang darinya. Apa
saja yang datang dari NU, perlu diawasi dan dikritisi. Yang tidak disetujui
bukan lagi soal idenya, tetapi dari mana ide tersebut datang. Tapi situasi itu
bukan hal yang baru bagi NU. Sejak NU didirikan, beragam dinamika terhadap
pandangan keislaman sudah terjadi. Toh, NU tetap tumbuh dan berkembang serta
mendapat kepercayaan dari Umat Islam di Nusantar. Pandangan-pandangannya
semakin diterima di tengah-tengah masyarakat. Metode-metode dakwahnya bahkan
diadopsi oleh mereka yang dulu menentangnya.
Menyangkut dengan perdebatan tersebut terdapat komentar yang
menohok yang diutarakan oleh kepala Kesbangpol Aceh Barat Daya. Jufri Yusuf, S.
Ag., MM. memberi komentar dalam persoalan ini, bahwasanya Banyak
generasi muda Islam yang ikut-ikutan mengomentari dinamika persoalan Islam hari
ini. Banyak yang terseret arus kearah politisasi pemikiran di mana mereka tidak
paham dan tidak tahu seperti apa kiprah Ulama Nusantara menjadi motor penggerak
berkembangnya Islam di Nusantara. Pada hal begitu banyak kontribusi ormas Islam
seperti Nahdlatul Ulama untuk mendirikan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Begitu sangat eksis NU dalam menopang
keberlangsungan bangsa dan negara ini. Di antara para pendirinya ada ulama,
cendikiawan dan generasi muda NU telah banyak melahirkan berbagai referansi
tentang Islam yang hari ini dinikmati dan digunakan oleh berbagai kalangan,
baik di lembaga pendidikan Islam formal maupun non formal. Salahkah
NU mengisi kazanah keislaman di negeri ini, Sehingga semudah itu
disalahkan, apa lagi dianggab Islam baru bahkan dituduh oleh segelintir orang
sebagai agama baru. NU bukan ormas politik mengapa harus dimusuhi. sepertinnya
ada yang merasa ketakutan dengan kekuatan NU dalam mewarnai perpolitik di
negeri ini, dalam mengarungi lautan politik meraih kekuasaan.
Megikuti Rasulullah tanpa menggunakan kurikulum yang jelas maka
pelakunya akan kehilangan cinta. Perlu memahami kupasan metode yang
mencerdaskan dalam kiprah kontestasi agama dalam kehidupan manusia. Untuk
mencerdaskan kejumudan berfikir terhadap keberadaan Rasul sebagai transeter nilai-nilai
ketuhanan. Untuk mencapai tingkatan berfikir yang berkesinambungan antara
manusia dengan Tuhan dibutuhkan instrumen budaya dalam memahami konteks yukminuna
bilghaibi supaya dapat mempengaruhi eksperion of religion sehingga
pada tahapan berikutnya kita akan menyadari cinta tanpa kurikulum budaya akan
menghasilkan kenistaan.
Menjadikan budaya sebagai instrumen agama merupakan pola dakwah bagi
ulama Nusantara yang sudah berkiprah menjalankan Ajaran Islam dan
mengajarkannya kepada umat dari generasi ke generasi. Tonggak estafet sudah
menjadi tatacara penyampaian ilmu keislaman secara turun-temurun dimulai dari
ulama sekelas Syaikh Nuruddin Ar-Raniry sampai dengan ulama hari ini yang tetap
konsisten dalam mengamalkan ajaran islam dan mengajarkannya kepada ummat.
Segala bidang ilmu yang menyangkut dengan ilmu keislaman menjadi
santapan sehari-hari Ulama Nusantara bersama para murid yang diajarkan di
pondok-pondok pesantren. Pahamnya generasi dari generasi tentang islam, bahkan
mereka menjadi penganut ajaran islam sungguh tidak terlepas dari kiprah Ulama
Nusantara.
Di daerah minang Padang Sumatra Barat Islam
hadir meleburkan nilainya dalam hal pembagian harta warisan jika dikaji
dalam konteks fiqh mawaris tentu tidak mengikuti tata cara pembagian hukum
faraidh yang sudah ditentukan oleh ketentuan hukum fiqh, dimana yang berlaku
dalam kebudayaan Minang perempuan menjadi hak dominasi dalam hal mendapatkan
harta warisan dibandengkan dengan laki-laki, pembagian harta warisan seperti
ini bukankah bertentangan dengan hukum faraidh berdasarkan fiqh dalam Hukum
Islam.
Pembagian harta warisan yang mengikuti adat istiadat minang, bukan
berjalan berdasarkan hukum fiqh, dalam keberadaannya tidak menjadi perdebatan
bagi kaum agamawan di sumatra barat itu sendiri. Akan tetapi disaat Islam
Nusantara diangkat menjadi tipologi sosio cultural di Nusantara pada
saat itu pula tokoh struktural agamawan Minang sekelas lembaga majelis Ulama
Indonesia daerah Minang spontan menolak dengan alasan sebuah
penyesatan atas label Islam.
Disini para pemangku pejabat keagamawan daerah
Minang menjadi kaku dalam menyimpulkan sebuah masalah sebab mengeyampingkan apa
yang saat bersamaan berlaku di Minang itu sendiri, dimana pembagian harta
warisan dibiarkan tanpa pengkritikan terhadap apa yang sudah berlaku secara
turun temurun.
Belakangan ini muncul anomali
berfikir tentang kesalahpahaman masyarakat terhadap jargon Islam
Nusantara dan keberadaannya mulai dicoba untuk dikaburkan oleh sebagian
masyaraka yang tidak memahami relasi antara agama dengan budaya nusantara. Keberadaan Islam Nusantara dikucilkkan, dihinakan, dipersoalkan
seoalah-olah keberadaan mereka sedang membawa ajaran Islam yang baru.
Generasi hari ini sepertinya lupa dengan
sebuah ajaran yang sudah berlangsung secara turun temurun tentang siapa yang
mengajarkan tata cara bersuci masyarakat nusantara sebagai ajaran yang sangat
dasar sekali dalam Islam yang sangat rinci dibahas dalam ilmu fiqh. Siapa yang mengajarkan tata cara mengurus jenazah dan
menshalatinya, semua itu diajarkan oleh Ulama Nusantara dengan gaya dan ciri
khas masyarakat nusantara. Ulama dan kiprahnyalah yang telah menyebarkan Islam
sehingga masyarakat nusantara dari penganut paganism menjadi bertauhid.
Mengubah anomali berfikir terhadap Islam Nusantara dengan memahami
bahwa Islam Nusantara adalah hasil dari racikan ulama yang santun, cerdas,
longgar, lembut, bervisi, serta sangat menjunjung tinggi nilai-nilai
akhlak dalam menyampaikan Ajaran Islam tanpa sedikitpun terbersit untuk
menyakiti perasaan masyarakat lokal yang kebetulan saat itu masih beragama
Hindu, dan sebagian besarnya penganut paganism dengan aliran animisme dan dinamisme.
Tidak ada rumah penduduk yang dibakar, tidak ada rumah ibadah yang dirobohkan,
tidak ada pengkerdilan antar sesama maupun antar umat beragama, benar-benar
Ulama Nusantara filosofi berfikir dibangun atas pijakan islam yang rahmatan
lil’alamin.
Islam Nusantara bukanlah Islam dalam kontek ajaran agama dari
proses tauhid sampai menuju aktivitas amal, lalu dengan latah kita menyebut
Islam Nusantara itu aliran agama baru, akan tetapi Islam Nusantara adalah islam
yang berangkat dari fenomena geografis dan sosiologis muslim mencakup Indonesia,
Malaysia, Brunai, Piliphina, Thailand, Singapore, dan wilayah geografis yang
didiami oleh penduduk nusantara. Lahirnya jargon Islam Nusantara akibat
buruknya kondisi timur tengah di mana pemuka agama tidak mampu mengelola
kondisi umat sehingga melahirkan perang yang berkepanjangan antara sesama
muslim dan negara barat.
Islam Nusantara merupakan Islam dalam konteks Geografis sosio
religio cultural, dengan konsep Islam rahmatal lil’alamin. Para ulama di
nusantaralah benteng terbesar Umat Islam di Indonesia. Rasa aman yang masih
kita rasakan di negeri ini disebabkan oleh karena pendiri Islam Nusantara
mencintai negeri ini. Nu, Muham Madiyah, Al-Washliyah, dan organisasi keislaman
yang lainnya merupakan organisasi Islam terbesar dinegeri ini yang masih
memegang komitmen yang kuat untuk menjaga kerukunan antar umat
beragama di nusantara.
Keberagaman yang ada diisi dengan semangat beragama yang tinggi
lalu melahirkan kerukunan antar umat beragama. Keberadaannya Islam Nusantara
merupakan semangat agama yang di terjemahkan dalam konteks budaya keberagaman
nusantara, baik beragamnya sesama Islam dan beragamnya antar umat beragama di
nusantara. Dua penyatuan keragaman ini sebagai jalan bagi umat manusia untuk
saling mengenal dan memahami fitrah kebangsaan yang berbeda-beda, baik
perbedaan Ras, Suku, Agama dan Antar Golongan. Mari cerdasi Islam
kita, ya Islam Nusantara dalam konteks Geografis Sosio Religio Cultural.
Berbicara wilayah Timur Tengah adalah wilayah geografis
sosiologis dan nusantara juga wilayah geografis sosiologis. Dalam
konteks ushul makna Islam Nusantara tidak lain dan tak bukan adalah pemahaman,
pengamalan, dan penerapan Islam dalam segmen Fiqh Mu’amalah sebagai
hasil dialegtikal antara nash, Syari’at, dan ‘urf, culter,
serta social reality di Nusantara. Dalam konteks penjelasan seperti
ini makna Islam Nusantara tidak membangun sentimen kebencian terhadap budaya
yang lain, apalagi membenci Negara Arab sebagai wilayah di mana Islam muncul
yang bahwasanya menjadi media bagi kita untuk memahami kitab suci Alquran.
Memahami
makna Islam Nusantara tentu harus dengan pemahaman yang cukup, logika yang
lurus, membangun dialektik argumentatif keterbukaan, serta tidak saling curiga
diantara satu dengan yang lainnya. Membangun keterbukaan seperti ini tentu
tidak mudah dan butuh pemahaman intelektual yang cukup. Untuk membangun kecerdasan
intelektual itu tentu kita harus memahami ulang tentang maksud doa yang
diajarkan Nabi pada penuntut ilmu, Nabi Muhammad saw. Mengajarkan
kita sebuah doa bagi penuntut ilmu “Allahumma Zidni' Ilman Nafi
'An Warzuqni Fahman Wasi‘An” (ya Allah tambahkanlah ilmu untukku dan
cerdasi aku dengan paham yang luas akan ilmu tersebut) Doa ini bukan sekedar
memohon kepada Allah untuk menjadi tahu saja akan tetapi lebih dari itu,
menjadikan cerdas dengan ilmu yang sudah engkau berikan kepadaku sehingga kita
benar-benar paham terhadap gejala-gejala yang muncul dalam konteks kehidupan
terutama sekali di saat berhadapan dengan konteks Islam Nusantara. Memaknai lebih
lanjut orang yang tidak cerdas dengan ilmunya itu bukan orang bodoh tapi masuk
katagori pa'ak, tolol, dan goblok. Inilah bedanya antara kata "bodoh, tahu, dan cerdas."
perlu diingat butuh waktu yang tidak singkat untuk menjelaskan bodoh, tahu dan
cerdas.
Terdapat empat sifat yang melekat pada diri
Nabi Muhammad saw. yang wajib kita ketahui yaitu "Shiddiq,
Amanah, Fathanah, dan Tabligh" apakah ada disebut ‘alim atau ‘ilmu disitu
tentu tidak, yang disebut adalah siafat fathanah bukan sifat 'alim. Fathanah artinya cerdas, bergagasan,
dan visioner. Mari kita mencoba untuk memahami ulang doa yang
diajarkan oleh nabi bagi penuntut ilmu di atas, bahwa penekanannya tidaklah
berhenti pada kata ‘alim akan tetapi berlanjut menuju faham atau
cerdas. Hannya orang-orang cerdaslah yang mampu memahami sesuatu itu dengan
rasa yang santun, lembut, dalam, logis, rasional, sistematis, dan universal,
outputnya bukan dengan makian. Kesimpulan memahaminya bukan dengan kebencian,
argumentasinya bernilai positif bukan negatif, cara berfikirnya damai,
bersahabat, merahmati bukan melaknati. Memahami Islam Nusantara sebagai agama
baru merupakan anomali berfikir terbalik.
Islam Nusantara bukanlah Islam yang hadir dalam kontek ajaran agama
dari proses tauhid sampai menuju aktivitas amal, lalu dengan latah kita
menyebut Islam Nusantara merupakan aliran agama baru. Namun melainkan Islam
Nusantara adalah Islam dalam kontek wilayah geografis dan sosiologis Muslim
yang mencakup wilayah Indonesia, Malaysia, Brunai Darussalam, dan
wilayah-wilayah geografis yang mendiami apa yang disebut dengan kawasan
Nusantara.
Lahirnya jargon Islam Nusantara akibat
buruknya kondisi Timur Tengah di mana pemuka agama tidak mampu memenej kondisi
umat di sebagian jazirah Arab dengan struktur sosial keagamaan, sehingga
melahirkan perang yang berkepanjangan antara sesama muslim dan Negara Barat. Filosofi Islam Nusantara merupakan Islam dalam konteks Geografis
Sosio Religio Cultural.
Pencetus Islam Nusantara merupakan benteng terbesar Umat Islam di
Indonesia, rasa aman yang masih kita rasakan dinegeri ini disebabkan oleh
karena pendiri Islam Nusantara mencintai negeri ini. NU, Muhammadiyah,
Al-Washliyah dan organisasi Islam yang lainnya merupakan organisasi Islam
terbesar di negeri ini yang masih komit menjaga kerukunan antar umat di
Nusantara. Keberagaman yang ada diisi dengan semangat beragama yang tinggi lalu
melahirkan kerukunan antar umat beragama.
Memaknai dengan pemahaman lebih jauh, Islam Nusantara adalah semangat beragama yang diterjemahkan dalam
konteks budaya keberagaman Nusantara, baik beragamnya sesama Islam dan
beragamnya antar umat beragama di Nusantara. Dua penyatuan keragaman ini
sebagai jalan bagi Umat Manusia untuk saling mengenal dan memahami fitrah
kebangsaan yang berbeda-beda, baik perbedaan ras, suku, agama, dan antar
golongan. Mari memahami Islam kita, ya Islam Nusantara dalam konteks Geografis
Sosio Religio Cultural, menuju Islam Rahmatal lil ‘alamiiiiiin.
Komentar
Posting Komentar