HARMONISASI KOPI: INSPIRASI HATI MENAMBAL ASA
وَلَا تَمْشِ فِى ٱلْأَرْضِ مَرَحًا ۖ إِنَّكَ لَن تَخْرِقَ ٱلْأَرْضَ
وَلَن تَبْلُغَ ٱلْجِبَالَ طُولًا
وَلَن تَبْلُغَ ٱلْجِبَالَ طُولًا
Artinya, “Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung”. Q. S. Al-Isra/111: 37
Pat drokeuh jino. Pertanyaan ini sering digunakan dalam tutur masyarakat Aceh, untuk menanyakan keberadaan seseorang yang punya keperluan terhadapnya. Pertanyaan ini juga sering digunakan untuk memulai percakapaan dengan orang lain, siapapun dia, setelah mengucapkan salam dan bertanya tentang kabar seseorang. Pat drokeuh jino, jika saja diterjemahkan dalam bahasa nasional negara kita, lebih kurangnya tanpa mengurangi makna aslinya. Di mana posisi sa’at ini!!!!
Tadi malam, dan hampir saban harinya saya mendapat pertanyaan tersebut dari kawan-kawa, baik kawan sebaya dan juga dari sejawat lintas generasi. Pat droukeh jino. Posisi sa’at ini, menandakan waktu, dan ini dapat dipahami kapan saja, tidak pagi, tidak siang, dan tidaklah malam, ketika pertanyaan Pat drokeuh jino, maka jawaban yang diberikan menunjukkan tempat bersamaan waktu dengannya.
Seorang sejawat senior bertanya kepada saya, Pat drokeuh jino lalu beliau menyambung dengan kalimat mengajak, “jak tajep kupi lom malamnyo” (hayo kita ngopi lagi malam ini). Begitu sang senior ini mengajak saya ngopi ditempat yang belum dipastikan, apakah tempat ngopi tersebut sudah dibuka pasca dicabutnya pemberlakuan jam malam oleh Kepala Pemerintah Aceh untuk menghalau lajunya peredaran covid-19 di Aceh.
Merebaknya covid-19 atau beredar informasi bahwa virus corona sudah mulai masuk ke Aceh, merespon hal tersebut Pemerintah Aceh membuat kebijakan jam malam bagi rakyatnya. Jam malam ini, merupakan salah satu upaya bagi pemerintah untuk mencegah tertularnya virus dengan cara membatasi gerak interaksi warga kota kususnya dan warga daerah serta warga perkampungan pada umumnya. Kepala Pemerintah Aceh mengambil jalan mudah mengatasi berkembang virus ini dengan menutup akses bagi masyarakatnya dari kerumunan massa. Hal ini, juga digunakan sebagai langkah awal dengan menggunakan prinsip “mencegah lebih baik daripada mengobati”.
Lockdown effect, telah mempengaruhi kebijakan pemerintaha dari pusat sampai daerah. Pengaruh ini tidak hanya berlaku bagi pemerintah pusat dengan memberikan intruksi secara nasional tentang re-focussing dan re-alokasi anggaran, akan kebijakan pemerintah. Namun juga berpengaruh bagi pemerintah daerah masing-masing secara nasional, termasuk Kepala Pemerintah Aceh, dan juga Pemerintahan Aceh ditingkat kabupaten masing-masing daerah. Berbagai rencana sudah dipersiapkan oleh penguasa kabupaten masing-masing daerah. Ada yang siapa me-lockdown daerahnya jika corona coba-coba masuk, tanpa mau tahu akan kebijakan nasional penguasa negeri ini.
Corona effect juga berpengaruh bagi masyarakat pecinta kopi di Aceh. Pemberlakuan jam malam oleh Pemerintah Aceh, ternyata sangat mempengaruhi bagi situasi batin sebagian kelompok masyarakat yang saban hari sudah mejadi sebuah budaya ngopi bagi mereka, kususnya ngopi di malam hari. Peristiwa ini menjadi kebiasaan masyarakat Aceh antar generasi.
Muncul pertanyaan kenapa ngopinya harus di malam hari, sebab malam itu waktunya istirahat pikiran bagi sebagian orang. Ketika pikiran beristirahat dari berfikir tentang dunia, maka sa’at itulah semua ide-ide baru muncul dari dialog di atas meja kopi. Dari persoalan diri sendiri, keagamaan, sosial, politik, dan termasuk masalah pertahanan negarapun di bahas, walaupun tidak mempunyai kebjikan kusus untuk merubahnya, namun sudah mendapatkan informasi awal untuk menuju kepada perubahan, terutama untuk diri sendiri.
Whatsapp milik saya menerima sebuah pesan dari senior besar Fadhli Ali namanya. Kami memanggilnya dengan Abang fadhli, teman Sejawat antar generasi ini adalah politisi salah satu partai politik nasinal, dan juga pengurusnya. Beliau dibesarkan sebagai aktivitas, yang sa’at ini sangat gencar-gencarnya mengampanyekan terbentukanya provinsi baru di Aceh, provinsi ABAS (Aceh Barat Selatan), dan juga bergelut sebagai civitas politik, yang pernah mecalonkan diri menjadi orang nomor dua di Kabupaten Aceh Barat daya yang berpasangan dengan Suryadi Razali, namun dalam proses demokrasi gagal menuju kursi nomor satu dan dua bagi keduanya, di Kabupaten Aceh Barat Daya.
Perjalanan politiknya tidak patah arang, pada pemilu tahun 2014 yang lalu beliau kembali mencalonkan diri menjadi calon legislatif Provinsi Aceh dapil barat selatan Aceh, dan langkah beliau juga terhenti menuju parlemen, oleh karena kuota suara yang tidak mencukupi. Tidak berhenti di situ, pada tahun 2019 beliau juga mencalonkan kembali menjadi calon legislatif Provinsi Aceh melalui dapil Banda Aceh, Aceh Besar, dan Sabang. Di sini langkah beliau juga terhenti. Begitulah perjalanan politik suami dari Dr. Iik Sumarni, yang sa’at ini sedang menyelesaikan Pendidikan Program Magister Ilmu Ekonomi di Pascasarjana Universitas Syiah Kuala. Dan juga mempunyai seorang menantu dari salah satu warga negara Jerman.
Pat drokeuh jino, pertanyaan di malam hari pasca pencabutan larangan jam malam oleh Pemerintah Aceh ini menjadi angin segara dan berita yang mengembirakan bagi pencinta kopi di malam hari, kususnya warga yang sa’at ini sedang berdomisi di Kota Banda Aceh. Pertanyaan tersebut gagal terencana, sebab belum ada yang bisa memastikan malam pertama pasca pemcabutan larang malam, cafe mana yang sudah bisa ditempati oleh para pencinta kopi. Tidak hanya kami, kebanyakan yang lain juga merasakan hal yang demikian. Katakanlah Abang Boim misalnya, sang advokad, dan juga politisi partai politik nasional, oleh karena sudah melekat jam malam dalam benaknya, sehingga berpengaruh sosial dalam dirinya, jam sembilan malam sudah harus pulang ke rumah. Effect locdown katanya.
Merebaknya virus corona, merubah tatanan sosial budaya masyarakat. Kebiasaan keluyuran di malam hari menjadi terbatasi. Terbatasi oleh karena semangat pimpinan sebuah wilayah dengan masyarakatnya untuk menutuskan mata rantai penyebaran covid-19. Kesadaran ini tentunya bukan tidak berasalan, namun penuh pertimbangan dalam beberapa hal.
Pertama, adanya semangat mencegah lebih baik daripada mengobati. Kedua, mengingat sistem penanggulangan covid-19 di negeri tidak begitu baik. Ketiga, keterbatasan para medis. Keempat, ketidak lengkapnya alat penjaga diri (APD) bagi para pelaku kesehatan. Keempat, kesiapan pemerintah soal anggaran yang masih tolak ulur. Kelima, kesadaran dan pengetahuan masyarakat yang sangat minim tentang covid-19. Keenam, banyaknya para pekerja Aceh diluar negeri seperti Malaysia, dan Ibu Kota Negara Republik Indonesia Jakarta, sebagai daerah pandemic covid-19, yang disinyalir dapat membawa virus. Ketujuh, sudah adanya status orang dalam pengawasan (ODP), pasien dalam pantauan (PDP), dan pasien positive corona di Aceh.
Berdasarkan kenyataan inilah pemangku Kepala Pemerintahan Aceh mengambil sikap untuk memberlakukan jam malam bagi masyarakatnya. Dengan upaya ini dapat menekan penyebaran covid-19 yang sangat rentan sekali penularannya lewat kontak anggota badan dan melalui sistem saluran pernafasan. Dengan adanya pemberlakuan jam malam ini, maka upaya Pemerintah Negara Repulik Indonesia dalam rangka menerapkan social distancing dan psycal distancing dengan sangat mudah diterapkan kepada masyarakat.
Apapun kebijakan Pemerintah Aceh menyangkut dengan penanganan covid-19, dan kehadiran virus corona ini, sudah sangat membatasi kegiatan para pencinta kopi untuk nongkrong bersama rekan-rekannya di cafe-cafe pilihan mereka. Kebiasaan ngopi bareng juga bernilai positive, minimal menekannya angka kebrutalan masyarakat di jalan raya. Jika banyak yang duduk di cafe-cafe maka kemacetan jalan raya akan terkurangi. Dan juga dapat menekan keusilan masyarakat intelektual untuk mendemo Pemerintah terkait dengan gagalnya membawa kesejahteraan bagi masyarakat setelah mereka dilantik.
Ada keistimewaan yang tidak bisa dijelaskan dengan kata ketika keinginan untuk ngopi bareng bersama. Ada tawa yang lepas di sana, ada program pekerjaan yang dibicarakan, ada silaturahim yang di bangun, ada kekompakan yang sedang terjalin, ada kemarahan yang diluapkan, ada kegelisahan yang menghadirkan kegembiraan, ada parodi lucu yang disampaikan, ada janji yang ditunaikan, ada hasrat yang ingin disampaikan, ada tawaran pekerjaan yang diumumkan, ada hal kecil yang diskusikan: baik menyangkut dengan keagamaan, sosial, dan pilitik sampai geopolitik global, ada tugas yang dikerjakan bagi mahasiswa, dan yang terakhir minimal menjamu tamu yang baru datang dari luar kota, sebagai bentuk pemulia jame ala masyarakat pencinta kopi.
Kini pemberlakuan jam malam sudah dicabut oleh Kepala Pemerintah Aceh atas intruksi Pemerintah Pusat, namun penyebaran corona semakin meningkat. Atas keputusan pemerintah mencabut jam malam tentunya berkumpul bersama teman-teman, kolega, keluaraga, dan masyarakat transaksi dipusat-pusat pembelanjaan, serta pusat-pusat keramaian juga harus dibatasi. Dibatasi dengan jarak yang sudah ditentukan. Walaupun berkumpul sudah di izinkan, bukan berarti social distancing dan psycal distancing menjadi terabaikan antara sesama. Dan ini juga untuk kebaikan kita bersama membangun konspirasi hati melawan setan corona.
Mari kita hidupkan kembali rasa bersama kopi yang sempat mati.
Menjaga lebih baik daripada mengobati. Salam kopi kembali.....................
Amfat Es Dot Fil, 05 April 2020
Komentar
Posting Komentar