KISAH-KISAH MASA LALU: IBRAH BAGI ORANG-ORANG YANG BERAKAL
لَقَدۡ كَانَ فِي قَصَصِهِمۡ عِبۡرَةٞ لِّأُوْلِي ٱلۡأَلۡبَٰبِۗ مَا
كَانَ حَدِيثٗا يُفۡتَرَىٰ وَلَٰكِن تَصۡدِيقَ ٱلَّذِي بَيۡنَ يَدَيۡهِ
وَتَفۡصِيلَ كُلِّ شَيۡءٖ وَهُدٗى وَرَحۡمَةٗ لِّقَوۡمٖ يُؤۡمِنُونَ
Artinya: “Sesungguhnya
pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai
akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan
(kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk
dan rahmat bagi kaum yang beriman”. Q.S. Yusuf: 111.
Sejarah merupakan sisi yang paling penting dari kehidupan
manusia. Alquran sendiri sebagai kitab pedoman bagi umat manusia menceritakan
hampir sebagian besarnya adalah tentang sejarah. Sejarah pertama kehidupan
manusia di mulai sejak Nabi Adam as., diciptakan. Dikala Nabi Adam as., diciptakan
Malaikat Jibril menjadi pelaku utama dalam memenuhi perintah Allah swt., untuk
mengambil ke bumi segumpal tanah, kisah inipun menjadi menarik ketika dikaji,
bagaimana tanah menolak dirinya dijadikan sebagai usur utama dalam proses
penciptaan manusia. Penolakan ini juga terjadi ketika Malaikat mengajukan
intepretasi kepada Tuhan. Tuhan, mengapa engkau menciptakan makhluk yang
nantinya akan saling menumpahkan darah di muka bumi. Dengan spontanitas Tuhan
menjawab “Aku lebih tahu apa yang engkau tidak ketahui”.
Kisah-kisah masa lalu begitu banyak kita temukan dalam
catatan-catatan sejarah. Cerita-cerita tentang Para Nabi dan Rasul serta kisah-kisah
orang shalih banyak menginspirasi bagi kehidupan manusia selanjutnya. Kisah-kisah
Para Nabi tersebut tidak hanya tentang keistimewaan manusia agung yang dipilih
Tuhan semata, juga terdapat beragam cerita perjuangannya dalam berbagai hal
ketika menyampaikan risalah ketuhanan kepada manusia. Di musuhi oleh banyak
orang, ditentang oleh para penguasa, dikucilkan dalam masyarakat, dianggap
orang aneh, sebab sudah mencoba melakukan perombakan prilaku manusia dari sikap
pengingkaran kepada Tuhan menjadi orang yang patuh dan ta’at kepada ajaran
agama, sebagaimana yang diperintahkan oleh Tuhan dalam kitab-kitab firman-Nya.
Alqur’an sebagai kitab suci Umat Islam, banyak
menceritakan tentang kisah-kisah dan prilaku umat masa lalu. Dari sikap dan
prilaku hamba-hambanya yang shaleh, sampai pada kisah-kisah dan prilaku
hamba-hambanya yang durhaka terhadap kebenaran titah keilahian. Kisah orang-orang
hebat dimasa lalu, kisah-kisah Para Nabi, kisah-kisah Para Raja, kisah-kisah
para orang-orang kaya, kisah-kisah orang miskin dan rakyat jelata, serta-serta
kisah-kisah yang lainnya, semua kisah dan peristiwa masa lalu menjadi pelajaran
bagi orang-orang yang berkal. Yang mana dalam bahasa Alqur’an disebut dengan “ulil
albaaab”, yakni orang-orang yang mampu mengambil ibrah dari apa yang pernah
menimpa umat-umat masa lalu. Dari kisah-kisah yang dikemukakan dalam Alquran,
terdapat perintah dari Allah swt., untuk mempelajari peristiwa-peritiwa masa
lalu sekurang-kurangnya terdapat tujuh kali Tuhan menekankan, agar manusia
mempelajari kisah-kisah masa lampau kehidupan manusia, begitu kiranya yang
disampaikan oleh Muhammad Fu’ad Abd al-Baqi.
Sejarah-sejarah masa lalu untuk mengkajinya dapat
ditinjau dari berbagai sudut pandang ilmu pengetahuan. Kisah-kisah tersebut
dapat ditinjau dari aspek politik, sososil, ekonomi, dan ketatanan hidup dalam
bernegara. Dalam tinjauan ini, aspek politik menjadi perhatian kusus untuk
dijadikan ibrah dalam menata kehidupan manusia sepanjang zaman. Geopolitik yang
berkembang hari ini, juga bagian dari pengulangan kisah-kisah masa lalu.
Sejarah telah mencatat bahwa, bagaimana kisah-kisah
kerajaan masa lalu hadir dan berkembang, lalu kemudian runtuh kembali, dan
tumbuh serta berkembang lagi dengan kerajaan yang lainnya, dengan bentuk dan
sistem yang berbeda, namun hakikatnya sama. Yakni sama-sama ingin mmenguasai
antara satu kelompok dengan kelompok yang lain. Antar kerajaan saling
menyerang, memperebutkan wilayah kekuasaannya. Pada tahapan ini, berlakulah
hukum rimba, siapa yang paling kuat dan dialah berhak berkuasa atas manusia
lainnya.
Malaikat dikala bertanya kepada Tuhan, untuk apa ya Tuhan
kami, engkau menciptakan makhluk yang ketika hidup di dunia akan melakukan
tindakan perusak sesamanya di muka bumi. Kekhawatiran malaikat tentunya bukan tidak
beralasan sama sekali. Seakan-akan malaikat sa’at itu mencoba untuk melakukan
analisis keadaan dengan menerawang bahwa, manusia adalah makhluk yang lemah
jika ditinjau dari berbagai hal. Lemah karena dikuasai oleh nafsu yang
diciptakan bersamanya.
Memahami apa yang menjadi bahan pertimbangan malaikat,
sehingga mempersoalkan penciptaan manusia, Tuhan tidak serta merta mengambil
satu keputusan sebelum memberi sebuah pernyataan. Kisah dialog ini menjadi
acuan bagi manusia bahwa, apapun rencana yang akan dilakukan, menghidupkan
tradisi musyawarah adalah penting untuk dilakukan dalam memahami kosmopolitan
yang beraneka ragam. Walaupun dalam pemutusan sebuah masalah dari apa yang
dipersoalkan oleh malaikat, Tuhan sendiri mempunyai hak jawab yang begitu
absolut, namun Tuhan tetap ingin mengambil titik seru sebelum titik temu
dikemukakan. Jawaban yang sangat mengikat atas peristiwa tersebut adalah “inni
a’lamu ma la ta’lamun”.
Titik seru dalam memahami masalah menjadi penting untuk
dijalani dalam kontek demokrasi poltik kekuasaan. Mengingat sejarah masa lalu
begitu kelam bagi pemangku kekuasaan. Beringasnya Fir’un dalam mengatur negara,
sehingga Tuhan mengutus Nabi Musa as., untuk meluruskan pola pikir keuasaan
yang menyimpang dari titahnya. Masyarakat tertindas dengan keputusan-keputusan
dhalim para penguasa, sangking dhalimnya Fir’un sampai pada puncak
keangkuhannya “berkata: ana rabbukumul a’la”, sebagaiman
tercantum dalam surat an-Nazi’at ayat 24.
Kesombongan Raja Namrud yang membuat Tuhan murka, setelah
diutusnya Nabi Ibrahim. Raja Namrud sangat dikenal dalam sejarah sebab
mempunyai harta qarun yang melimpah ruah, menyimpang makanan yang begitu
banyak, dengan bala pengikut militer yang sangat banyak, serta memiliki istana
yang megah. Dengan apa yang di miliki oleh Namrud sehingga mewarisi sifat
angkuh dalam dirinya. Dalam catatan sejarah Namrud mewajibkan pada rakyatnya, ketika datang
menghadap dirinya di istana ketika meminta makanan menjawap pertanyaan yang
disuguhkannya dengan bertanya “siapakah Tuhanmu, maka semuanya menjawab,
engkau wahai rajaku. Ketika itu juga Raja Namrud memberikan kepada mereka
makanan.
Suatu ketika Nabi Ibrahim menghadap pada
Raja Namrud, dan kembali pertanyaan yang sama diutarakan “siapa Tuhanmu”,
ketika itu juga Nabi Ibrahim as., menjawab, tentunya dengan jawaban yang
berbeda dengan masyarakat pada umumnya “Tuhanku adalah zat yang maha
menghidupkan dan juga maha mematikan”, mendengar jawaban Nabi Ibrahim as., Namrudpun
menjawab, “akupun dapat menghidupkan dan mematikan”, dan ketika itu juga
Nabi Ibrahim as., meminta kepada Namrud agara supaya menerbitkan matahari dari
timur dan menenggelamkannya ke Barat, sebagaiman Alllah swt., telah mengatur
alam ini sesuai dengan poros dan sunnatullah-Nya.
Nabi Musa as., menentang Fir’un dan Nabi
Ibrahim as., juga menantang Namrud dengan penuh keyakinan bahwa, manusia tidak
akan bisa memberikan kemudhratan dan kemanfa’atan kepada manusia tanpa seizin
dari Allah swt. Nabi Musa as., selamat atas kebodohan penguasa dhalim, walaupun
harus menerjang lautan, dan begitu juga dengan Nabi Ibrahim as., mampu melawan
kedhaliman Namrud walaupun harus melawan panasnya kerumunan api yang sudah
dipersiapkan oleh Namrud untuk membakar Nabi Ibrahim as., sebab sudah
membangkang dam melawan titah kekuasaan otoriter dan dhalim atas kesombongan
yang menimpa dirinya.
Ayat di atas mengisahkan tentang sejarah
masa lalu agar menjadi pelajaran bagi orang-orang yang berfikir. Berfikir akan
keadaan yang secara berterusan akan secara berkesinambungan menimpa anak
manusia. Politik kekuasaan merubah
manusia dari santun menjadi beringas, dari peduli menjadi menyakiti, dari
berharap menjadi pemberi mudharat. Keputusan-keputusan politik akan menghitung
laba atas dirinya sendiri. Berharap kepada sesuatu yang mengasingkan dirinya
dari kepentingan orang banyak, sama seperti berharapnya pungguk pada rembulan. Kekuasaan
telah memisahkan manusia dari penguasaannya, yang lemah tertindas, yang kuat
menguasai, lingkaran kekuasaan menikmati apa yang bisa didapatkan dari tuannya.
Ketika rasa peduli mati, maka rasa empati hilang bagaikan benda kecil ditelan
bumi dan dihempas bebatuan karang kedasar lautan. Musnahlah harapan, hilanglah
hak kepemilikan, kesombongan merajalela dipermukaan bumi, dan pada akhirnya
langitpun murka dengan wajah yang sangat menakutkan.
Penguasaan-penguasaan atas manusia
melewati batas fitrah kemanusian. Hak penguasaan yang paling utama bagi manusia
adalah memiliki tempat tinggal yang layak. Tanah menjadi aset yang memerdekakan
manusia dari penguasaan ekonomi, tempat tinggal dan tempat bercocok tanam
menjadi kebutuhan dasar manusia. Bagaimana tidak ketika kisah Nabi Adam as.,
diciptkan bersumber dari tanah, dan ketika diturunkan ke bumi juga di atas
tanah, serta Tuah telah menyediakan tempat bagi Anak Adam dan keturunannya
untuk menguasai isi bumi sebagai sumber penghidupan baginya.
Sejengkal tanah adalah secarik nafas
bagi manusia, bagaiman kiisah tanah palestina yang sa’at ini memicu perang yang
berkepanjangan, di mana dunia diam tak berkata apa-apa atas keputusannaya. Palestina
berhasil digiring menjadi pusat perhatian bagi Umat Muslim bahwa, perjuangan
ini sepertinya belum sempurna sebelum hak-hak kemerdekaan atas Negara Palestina
terwujud, terwujud berdirinya sebuah negara yang layak dalam menentukan
nasibnya sendiri.
Tanah dalam kajian tafsir kontemporer,
sebagaimana disampaikan oleh Dr. Sofyan Saha, dengan mengutip ayat Alqur’an
dalam surat al-Balad “la uqsimu bihadhal balad, wa anta hillum bihadhal
balad”, ketahuilah olehmu, Allah swt., bersumpah dengan tanah, tanah adalah
tempat kamu melanjutkan hidup. Kota Mekkah dan Madinah berada di atas tanah, artinya
tanah menjadi aset utama bagi keberlangsungan hidup manusia. Seluruh dunia
manusia mendiami diri di atas tanah, tidak ada satu negarapun di dunia
melepaskan dirinya dari tanah. Bahkan syarat-syarat berdirinya sebuah negara,
salah satunya didasari atas kepemilikan tanah, yang disebut dengan wilayah.
Sofyan Saha menjelaskan, setiap bangsa
hari ini, berdiri di atas tanah, termasuk Negara Indonesia. Oleh karena tanah
ini merupakan aset utama bagi manusia untuk menjalani hidup secara berkelompok,
dan di atur dalam sebuah konstitusi yang sesuai dengan sistem modern dan budaya
politik suatu bangsa. Penguasaan wilayah menjadi penting bagi seluruh
rakyatnya, dalam hal ini tepat sekali sebagaimana yang ditanamkam oleh
Hadhratusysyaikh Hasyim Asyari dengan jargon “hubbul wathan minal imaní”
artinya mencintai tanah air bukan semata karena mempertahankan sebuah bangsa saja,
namun menjadi bagian dari iman.
Oleh karena demikian, maka dari setiap
sejengkal tanah di negeri ini, tidak boleh dikuasai oleh asing. Baik asing
dalam artian pengaruh negara lain, maupun asing dalam artian menjadi hak milik
usaha perusahaan, yang mana hak kepemilikan tanah beralih fungsi pemanfa’atannya
untuk kepentingan dan keuntungan segelintir orang saja. Bagaiman tidak,
penguasaan tanah secara besar-besaran terjadi di negeri ini, dengan menggunakan
peraturan Hak Guna Usaha (HGU), ratusan ribu hektar hak kepemilikan beralih
fungsi menjadi bagian dari ekploitasi bumi yang dilakukan oleh ketamakan
kekuasaan.
Masyarakat Muslim harus menguasai tanah
di negerinya sendiri, pemangku kekuasaan tidak boleh mengalih fungsikan tanah secara
berlebihan yang sebelumnya menjadi hak kuasa negera, akhirnya dilepas menjadi
hak kuasa perusahaan, yang pada akhirnya menjadikan wilayah penguasaan tanah
bagi masyarakat menjadi sempit. Terutama sekali penguasaan tanah di wilayah
perkotaan. Kenapa demikian, sebab gerak nadi ekonomi masyarakat berada di
wilayah perkotaan.
Indonesia menurut Sofyan Saha, hampir
diseluruh Nusantara, pusat-pusat strategis hari ini, merupakan tanah yang
dikuasai oleh Para Raja di zaman dahulu. Tanah-tanah yang hari ini dihuni
masyarakat kota, dahulunya adalah dikuasai oelh kerajaan untuk membangun
kesejahteraan umat. Seiring berjalannya waktu, dengan sistem politik yang
membentuk budaya demokrasi, tanah-tanah tersebut hari ini, tidak lagi memiliki kekuasaan
untuk mensejahterakan masyarakat, namun sebaliknya hanya mempersejahterakan
individu-individu tertentu yang dibalut sistem ekonomi kapitalis.
Keangkuhan dan ketamakan para pemimpin
juga menjadi ancaman bagi masyarakat arus bawah yang hidup di bawah garis
kemiskinan. Penguasaan tanah dengan regulasi di tangannya, dengan tega
meninggalkan azas keadilan bagi seluruh rakyat di negerinya, kususnya
menyangkut dengan keberadaan tanah. Pejabat dan penguasa memiliki tanah,
merekayasa keadaan terhadap tanah, mempermainkan aturan untuk mengelabui
pemilik tanah. Program bagi-bagi tanah untuk rakyatpun masih juga tidak
berpihak kepada masyarakat bawah, yang seharusnya mempunyai kemerdekaan penuh
terhadap tanah baginya, untuk melanjutkan hidup bagi anak-anak cucunya.
Perjalan politik di Indonesia adalah
sejarah, perjalanan politik di Aceh adalah sejarah, dan perjalanan politik di
setiap kabutpaten juga menjadi bagian dari sejarah. Sejarah yang sudah berjalan
hari ini, sekiranya seberupa luas masih tersisa tanah di negeri ini, yang masih
bisa digunakan oleh masyarakat dan menjadi hak miliknya secara administratif. Tentu
setiap kita bisa membacanya dengan kasat mata, bahwa hampir di semua lini tanah
di negeri ini dikuasai oleh perusahaan, dan para penguasa. Baik penguasaannya lewat
regulasi maupun penguasaannya sudah menjadi hak milik secara pribadi.
Alqura’an telah menceritakan perjalanan
sejarah manusia sepanjang abad, mulai dari Nabi Adam as., sampai pada
kisah-kisah para nabi, serta orang-orang saleh, dan juga peristiwa-peristiwa
yang menimpa Umat Manusia sebelumnya. Perjalanan sejarah tersebut tidak lain
dan tidak bukan hanya untuk menjadi pelajaran bagi kehidupan manusia hari ini,
dan menjadi ibrah bagi orang-orang yang berkal. Termasuk di dalamnya peristiwa
yang menimpa manusia akan sebuah bencana, bala, dan laknat Tuhan terhadap kelompok
manusia-manusia yang dulunya inkar kepada titah keilahian. Kedhaliman yang hari
ini sedang berlangsung merupakan cerita ulang sejarah kehidupan manusia masa
lalu, yang mana hari ini, kembali diperankan oleh orang-orang yang mengikuti
jejak pendahulunya. Jika fir’un dan Namrud menjadi idolanya, maka prilaku itu
pula yang akan diperankan dan menjadi gaya kepemimpinannya.
Beragama itu jangan terlalu serius,
sebab kita bukanlah orang yang diutus....
Amfat Es Dot Fil, Banda Aceh 03 April 2020
Komentar
Posting Komentar