RANGKANG CINTA AIDA
Setelah Teungku Muda menyelesaikan pesanan
tebu pelangganya.... Teungku Muda langsung menutup gerobak
tebunya.....menghampiri Aida, yang sudah beberapa sa’at tiba.....Aida
ini air tebunya kata Teungku Muda, kusisain segelas buat kamu....Aida
mengambil air tebu yang sudah dikantongin oleh Teungku Muda....Aida pun
menyahut....kenapa harus repot-repot.....aku Cuma ingin menyampaikan sesuatu
Muda.
Mendengar tutur Aida yang seolah-olah ingin menyampaikan pesan kepada Teungku
Muda tidak perlu harus repot-repot jika aku mendatanginya......cukup aku
melihat senyummu saja, aku sudah bahagia......mendengar Aida menggodanya......teusengeh
tekhem Teungku Muda......ketawanya ala santri...tapi sudah cukup membuat
Aida bahagia.....
Perjalanan yang melelahkan menuju gerobak
tebu....Aida mencoba menggoda Teungku Muda, berniat melepaskan lelah sang
kekasih hatinya, setelah setengah hari menjajakan dagangan tebu. Hampir setiap
hari, setelah selesai mengaji ba’da siang..... Teungku Muda, harus
meninggalkan dayah tempat dia menuntut ilmu untuk mencari nafkah kebutuhan
hidupnya.
Para santri yang lain memperlancar hafalannya dan membaca
kembali pelajaran di kamar masing-masing sambil istirahat siang. Berbeda
dengan Teungku Muda, dia membawa buku-buku pelajarannya sa’at
menejajakan dagangan tebu. Sambil berjualan air tebu, dengan sisa waktu
menunggu pelanggannya, Teungku Muda mengulang kaji mata pelajaran yang
di ajarkan gurunya.
Perjuangan belajar
setiap orang tidaklah sama....ada yang belajar sambil mencari nafkah kehidupan
buat dirinya....ada yang dinafakahi orang tuanya...bagi yang belajar secara
mandiri...harus cari uang sendiri, oleh karena keterbatasan ekonomi orang
tuanya.....kelompok terpelajar yang mencari nafkah sendiri harus melewati masa
yang sangat padat baginya.....masa di mana tidak ada waktu untuk meleha-lehakan
diri.
Tengku Muda, menghabiskan
waktu yang melelahkan, sambil memikirkan mata pelajaran di kelasnya, dan juga
berfikir mencari nafkah kebutuhan hidup untuk dirinya.
Dua kali lelah bagi Teungku
Muda, lelah belajar dan lelah bekerja. Satu sisi berkewajiban untuk
menyelesaikan studinya, satu sisi Teungku Muda berkewajiban mencari
rejeki. Tentunya berbeda dengan para terpelajar yang dibiyayai oleh orang
tuanya. Terbagi dua kelelahan....orang tua sebagai pihak yang mencukupi
nafkahnya dan anak berkewajiban menyelesaikan studinya. Namun demikian tidaklah
membuat Teungku Muda mengeluh dan berkecil hati.
Meninggalkan kampung
halaman nun jauh di ujung negeri, yang di sana tidak adalagi harapan
baginya....orang tua yang sudah menjadi korban ganasnya perang yang melanda
negeri...ketika pemberontakan terhadap pemerintah pusat dikobarkan oleh
rakyatnya sendiri, yang sudah mendapatkan pelatihan tempur di luar negeri....status
darurat militerpun diberlakukan oleh Pemerintah Pusat.
Banyak korban yang
berjatuhan oleh tajamnya desingan peluru para penjahat perang. Tak peduli
korbannya bersalah atau tidak. Dasar peluru tanpa mata penglihatan, siapa
saja akan ditembusinya, jika pelatuk senapan dipegang oleh orang-orang yang
buta mata hatinya. Konflik perang yang berkepanjangan tersebut dan berakhir dengan peristiwa gempa dan tsunami Aceh melahirkan
anak yatim piatu, yang kemudian diberi nama Teungku Muda.
Sambil duduk di
depan Aida Teungku Muda, menatap kerah pegunungan sambil menunjukkan ke
puncak gunung dan berkata. Aida kampungmu berada di berbatasan dengan arah
puncak gunung itu yaaa.....mendengar pertanyaan Teungku Muda, Aida tertawa....dan bertanya......emangnya berapa
siih nilai mata pelajaran geografi Teungku Muda saat sekolah dulu, mengapa seperti itu
cara menentukan arah posisi wilayah di nusantara ini.......kampung Aida di
Lampung Teungku Muda, arah matahari terbit Pulau Sumatra...mendengar
ucapan Aida...... Teungku Muda kembali tersenyum teusengeh menan.
Setelah saling
bercanda dan saling mengisi pembicaraan, melewati masa di mana ketika berjumpa
rasa malu-malu begitu terlihat bagi mereka berdua. Pertemuan yang sangat jarang
mereka lakukan, kecuali saling menatap dari kejauhan saja, di sa’at jeda
istirahat mengikuti jadwal kelas belajar di Dayah Manyang.
Melihat dari
kejauhan saja dikala waktu istirahat tiba, sudah terasa sangat berarti bagi
mereka berdua.....apalagi membayangkan senyum teusengeh Teungku Muda,
dan ditambah tersipu malunya Aida ketika saban waktu tertentu mereka
bertatap muka dari jarak yang tidak begitu dekat....ada sinyal rindu dari
senyum teusengeh Teungku Muda, dan ada seberkah sayang dan segudang
cinta dari tersipu malunya Aida.
Teungku Muda mencoba
mendekati Aida, berdiam sejenak sambil menarik nafas panjang, untuk
mengutarakan sesuatu yang berat bagi Teungku Muda mengungkapkannya. Berat
dalam artian entahkah ini akan terwujud entahkah tidak. Sambil menarik kembali
nafasnya Teungku Muda mencoba untuk menenangkan diri dan menyerahkan
sepenuhnya kepada Yang Maha Kuasa. Terbersit dalam pikiran, bukankah
mengutarakan pertanda usaha bermakna maju selangkah. Monolog diri ternyata
membuat jantung Teungku Muda berdetak sangat kencang, sebab wanita
muslimah nan ayu rupawan yang berada di depannya adalah anak seorang pengusaha
intan yang kaya raya di kotanya. Di
balik kegelisahan itu Teungku Muda takut apa yang ingin diutarakannya
menjadi harapan hampa bagi Aida.
Teungku Muda
membaeranikan diri untuk mengutarakannya. Aida sambil belajar di
dayah saya mencari nafkah dengan menjual es tebu. Sisa uang belanja kebutuhan
sehari-hari di dayah saya simpan, dan uang tersebut masih belum cukup
sepertinya untuk biyaya menikahimu. Mendengar Teungku Muda berkata
demikian ada rasa haru yang mendalam di hati Aida, air matanya tiba-tiba
jatuh dan teringat dengan kabar dari ibunya, jika dia hendak dinikahkan dengan
pengusaha kontruksi kaya raya dari Ibu Kota.
Bersambung............................
Komentar
Posting Komentar