RANGKANG CINTA AIDA
Sambil mengarahkan
pandangannya kearah matahari terbenam, Teungku Muda menatap langit,
matahari mulai menurun menuju ufuk. Monolog diripun berlanjut, hatinya berucap
sesuatu, haruskah kukabari Aida semenjak pertama sekali saya
mengenalnya, sudah terbersit dalam hati suatu keinginan sosok Aida lah
wanita dambaan hatinya. Wanita shalehah berparas ayu dengan penampilan
sederhana. Tidak terlihat sedikitpun dari dirinya, jika Aida merupakan sosok wanita yang
berasal dari keluarga kaya raya.
Setelah lama
mengenalnya dengan rentan waktu yang tidak singkat, dari tahun pertama Aida mulai
menjadi santriwati hingga menuju tingkat kelima. Teungku Muda menempuh
tahap akhir penyelesaian studinnya, Teungku Muda merasa, sa’at inilah
waktunya untuk berterus terang pada Aida jika hasrat hati ingin hidup
bersama.
Lamunan Teungku
Muda terhenti dengan adanya suara yang memanggil dari belakang, Muda
kenapa membelakangiku dan diam sambil menatap ufuk. Mendengar ucapan tersebut
monolog diri Teungku Muda berakhir, lalu dalam perasaan tersentak Teungku
Muda dengan setengah menyadari jika dia merasa takut dan khawatir untuk
berterus terang pada Aida, tentang apa
yang sedang dipikirkannya.
Aida berkata
lanjutkan ceritanya, Teungku Muda pun kaget dan bertanya.....cerita apa Aida.....Aida
pun heran, kok dengan sekejap lupa....cerita tentang uang simpanan yang tadinya
Teungku Muda ceritakan. Oooo.....iya kata Teungku Muda.....sisa
simpananku tidak seberapa....itupun hendak dipakai untuk keperluan menghadapi ujian
akhir studi......mendengar ucapan Teungku Muda.......Aida pun
tertawa..... Teungku Muda heran.....kok jadi tertawa......bagaimana saya
tidak tertawa Teungku.....mau melamarku, tapi uang simpanan sedikit dan
mau digunakan pula untuk kepentingan penyelesaian ujian akhir studi.
Mendengar Aida
mulai menyentil, Teungku Muda sedikit mendekati posisi berdiri lebih
dekat dengan Aida sambil mengolah kata dan membalas celotehan Aida
dengan sedikit mencoba merayu.....merayu ala santri yang sedang di mabuk asmara.....Aida
jangan salah menilai dan jangan melihat jumlah uang yang tersisa.....tapi
lihatlah semangat cintaku padamu Aida......mendengar Teungku Muda muda membicara semangat
cinta, Aida hanya menatap arah Teungku Muda....sejenak beradu
pandang.....dan merekapun tertawa, lalu tersipu, dan malu.
Setelah saling
tertawa, saling tersipu, dan malu....pembicaraan mulai serius...mimik wajah Aida
mulai sedih.... Teungku......Aida memanggil......sebenarnya saya
datang menemui Teungku Muda hendak menyampaikan sesuatu.......apa itu Aida..kata
tanya Teungku Muda....Aida terdiam sejenak...seolah-olah tidak
mampu untuk berucap lagi.....ada apa Aida....hayo lanjutkan...apa yang
ingin Aida sampaikan.....dengan bibir terbata.....Aida mencoba
untuk tenang dan berbicara......namun kembali Aida diam....berat rasanya
untuk menyampaikan berita tentang perintah ibunya untuk segera pulang dan
menyiapkan pernikahannya dengan sodagar kaya raya pengusaha batu intan yang
berasal dari Ibu Kota.
Kekakuan Aida dalam
menyampaikan apa yang sedang dihadapinya, menyebabkan Aida salah tingkah
sambil memegang gelas air tebu yang airnya hampir habis....dalam kekakuan
tersebut Aida mengangkat gelas air tebu dan meminumnya.....dua kali
tegukan air tebu yang masih tersisa di dalam gelaspun habis.
Melihat gelas yang
dipegang Aida sudah mulai kosong, sementara Aida masih saja
mencoba menuangkan gelas. Melihat Aida demikian Teungku Muda pun
mengira jika Aida sangatlah haus....dengan segera Teungku Muda mengambil
kembali batang tebu yang masih tersisa di gerobak yang digunakan sebagai tempat
usahanya....mesin penggilingan pemerasan air tebupun dihidupkan kembali, dengan
waktu yang tidak lama air tebupun sudah tersaring dan siap diisi kembali ke
dalam gelas yang berada di tangan Aida.
Aida.......kamu
haus ya...kata Teungku Muda.....Aida hanya terdiam dan mengangguk
kebingungan, seolah-olah dia tidak menyadari, bukan kehausan yang sa’at ini
dirasakannya. Akan tetapi perasaan yang membatin antara sedih dan bingung.
Apalagi setelah mendengar Teungku Muda membahas uang simpanannya. Sisa
hasil jual tebu disimpannya untuk bekal ongkos dan biayaya hidup menuju kota
paling ujung Pulau Sumatra arah Matahari terbit, di mana tempat asalnya Aida.
Berniat ingin menjumpai ibunya.
Aida bergumam di
dalam hati sambil menatap Teungku Muda yang sedang merapikan kembali
mesin pemerasan tebu. Begitu tulus cintanya Teungku Muda kepadaku,
kelembutan sikap dan tuturnya telah membuat daku sangat merasa nyaman
bersamanya.
Pemuda yang
berprofesi sambilan sebagai penjual es tebu telah berhasil menarik perhatianku.
Aida mencintaimu Teungku Muda. Teungku Muda adalah pemuda
yang shaleh, rajin, mandiri, dan baik budi serta sangat bijaksana, Aida ingin
hidup bersamamu sepanjang hayat dikandung badan. Aida pun larut dalam
lamunannya, sosok lelaki yang diidamkannya benar-benar ada dalam diri Teungku
Muda.
Monolog diri Aida
pun berlanjut, kini menyasar sisi-sisi teological, mencoba untuk merasakan
kehadiran Tuha dalam perasaannya. Tuhan apakah petemuanku dengan Teungku
Muda merupakan pertemuan awa jodoh bagi anak manusia, atau hanya pertemuan say
hello saja yang pada akhirnya hanya menyisakan sakit dalam jiwa. Sakit karena
rasa yang tidak tercapai, keinginan hidup bersama orang yang diharapkan akan
terus mengisi jiwa-jiwa yang sudah duluan terpaut sebelum halal diijab qabul
tiba.
Haruskah dikemudian
hari kami akan kecewa atas pertemuan ini, akankah kami berduka hati atas semua
yang berlaku nantinya, akankah Aida dan Teungku Muda hanya bisa
mengenang cerita indah yang pernah kami jalani dikemudian hari. Apakah keindahan
yang sa’at ini Aida alami hanya untuk memperkuat rasa kecewa Teungku
Muda ketika kami sudah tidak lagi bertutur sapa, oleh karena keputusan
orang tua yang terlalu cinta kepada anaknya, menginginkan kehidupan mewah,
mencintai dunia, lalu kemudian sang ibu lupa dengan kasih sayang kepada anaknya
sendiri.
Ibu terlalu
cinta kepadaku, namun lupa menaburkan kasih sayang kepada anaknya......monolog diri
Aida hanya terhibur dengan deraian air mata.
Bersambung...............................
Komentar
Posting Komentar