INTELEKTUAL MUDA: CAHAYA BARU MASA DEPAN ACEH BARAT DAYA
ليس الفتى من يقول كان أبي ولكن
الفتى من يقول هذا أنا
“laisal fata may yaqulu kana abi, walakin nal fata may
yaqulu hadha ana”
Artinya, “Tidaklah dikatakan seorang pemuda itu yang
berkata "Inilah bapakku", akan tetapi yang dikatakan seorang pemuda
itu adalah yang berani mengatakan "Inilah aku". (Sayyidina Ali bin Abi Thalib).
Safaruddin namanya, pria yang memiliki postur tubuh
kebanyakan pria Aceh, berkulit gelap, dengan wajah campuran antara Timur dan
Barat Indonesia, sekilas wajahnya nampak terlihat seperti pria asal negeri
Cendrawasih. Lahir dan besar di Aceh, juga seorang penyuka olah raga bola. Sejak
remaja sudah terlihat parlente, berpakaian rapi, yang selalu menjaga
penampilannya, dengan stelan baju pria kantoran, ala bintang sinetron “Cinta
Fitri”, Teuku Wisnu.
Penikmat kuliner menu Gulai Jantung Pisang, dan Ikan Goreng Samba Lado. Dua jenis makanan ini menjadi menu andalannya, sampai sa'at ini sering disantapnya ketika menjalani tugas Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh, selalu dibawanya dalam rantangan kusus yang telah disediakan oleh istri tercinta.
Kepiaweannya dalam bermain bola menjadikan dirinya dengan
mudah berberhubungan bersama pemain-pemain bola profesional Kota Besar. Menjadi
pemain bola sekaligus sebagai mahasiswa di Universitas ternama Kota
Metropolitan. Universitas Sumatra Utara (USU) adalah pilihannya untuk
melanjutkan pendidikan di tingkat perguruan tinggi, setelah selesai menamatkan
studinya di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Blang Pidie Aceh Barat Daya.
Alumni Sekolah Menengah Umum (SMU 1) Blang Pidie Aceh
Barat Daya, Udien adalah nama panggilannya, nama yang begitu melekat bagi teman-teman
sebaya, dan juga menjadi nama panggilan kesayangan bagi senior-senior antar
generasi.
Semasa masih menempuh pendidikan di sekolah menengah atas ini,
menjadi murid kesayangan sang maha guru, Almarhum Bapak Muhammad Ja’far. Siapa
yang tidak mengenal sosok maha guru ini, yang telah berhasil menanamkan sifat
tegas bagi murid-muridnya.
Sosok maha guru yang sangat peduli terhadap masa
depan anak didiknya, ditakuti, disegani, penuh talenta, berwibawa, dan tentunya
tidak cukup kata untuk menjelaskan tentang diri beliau.....Allahummaghfir
lahu, warhamhu, wa’afihi wa’fu’anhu. Sang maha guru yang mana murid-muridnya
telah banyak berkiprah dalam lingkup kekuasaan di negeri ini, kususnya
Kabupaten Aceh Barat Daya.
Gerakan Udien menjadi mahasiswa, tidak mudah bagi calon
mahasiswa untuk menembus masuk seleksi Universitas yang telah mencetak ribuan
pejabat profesional diberbagai lembaga pemerintahan di negara Republik
Indonesia, terutama sekali wilayah Sumatra dan sekitarnya. Udien adalah salah
satu pelajar terbaik Aceh Barat Daya yang telah berhasil menjadi mahasiswa di Fakultas
Ilmu Sosial Politik (sospol) Universitas Sumatra Utara.
Semenjak menjadi mahasiswa sudah terlihat bakat politisi
dalam dirinya, tidak hanya menjadi mahasiswa yang hanya menghabiskan waktunya dengan
buku di perpustakaan semata. Udien juga berkiprah di dunia pergerakan kampus
sebagai aktivis.
Menjadi aktivis dimasa awal reformasi bukanlah jalan terbaik
bagi mahasiswa sa’at itu, ancaman, teror, tekanan, ditakut-takuti sudah menjadi
makanan sehari-sehari. Apalagi sebagai mahasiswa yang berasal dari daerah konflik, sudah barang tentu selalu dicurigai pergerakannya,
kususnya aparat keamanan, dilabeli sebagai pergerakan makar sudah pasti.
Dari
berbagai ancaman tersebut tidak pernah menyurutkan semangat Udien untuk
menyuarakan hak-hak kemerdekaan hidup dibawah gerakan reformasi yang baru
digaungkan oleh Pemerintah Negara Republik Indonesia.
Udien bukanlah anak yang lahir dari keluarga kaya raya. Berasal
dari keluarga sederhana, merupakan anak seorang yang bergerak dibidang fasion,
dan ibu seorang guru di sekolah madrasah, telah berhasil mendidik anak-anaknya
menjadi pribadi yang kritis, tidak cengeng, bukan tipe pengeluh, dan tidak
pernah merasa takut atas apa yang menimpa dirinya, walaupun harus berada jauh
dari kampung halamannya, ketika menjadi mahasiswa yang menekuni ilmu politik di
Kota Besar.
Kota Medan bukan kota yang aman bagi mahasiswa perantauan, ganasnya
kehidupan kota Metropolitan ini, seakan-akan menjadi guru terbaik bagi diri
Udien untuk menempa diri menjadi pribadi yang tidak pernah merasa takut
atas peristiwa esok hari, walaupun sudah
tidak ada apalagi yang harus dimakan, ketika harus pulang ke tempat kosan, ala
mahasiswa perantauan.
Lulus lewat jalur undangan menuju kampus ternama wilayah
regional Sumatra Utara, menjadi kebanggaan tersendiri bagi siswa yang baru saja
menyelesaikan studinya di Sekolah Menengah Umum.
Untuk mendapatkan undangan
masuk perguruan tinggi jalur undangan, ada syarat-sayarat tertentu yang harus
dimiliki oleh siswa sekolah menengah atas, mendapatkan kuota masuk perguruan
tinggi jalur undangan, persoalan kepintaran menjadi salah satunya.
Safaruddin
adalah salah satu siswa terbaik di masanya, dengan perolehan nilai di atas rata-rata,
sehingga ia mendapatkan kuota kusus jalur undangan masuk perguruan kebanggaan
masyarakat Sumatra Utara.
Kecerdasan yang dimilikinya, semenjak dari Sekolah Menengah,
tidak terlepas dari didikan seorang ibu yang sangat peduli terhadap pendidikan
anak-anaknya.Putra keempat dari lima bersaudara ini mempunyai kelebihan vokal
di atas yang lainnya.
Kecerdasan dalam berorasi telah terbentuk dari semenjak
Sekolah Menengah Umum. Bukan Safaruddin namanya jika tidak menguasai mimbar disa’at berorasi. Baik orasi tentang perkembangan
ilmu pengetahuan politik maupun orasi menyangkut dengan perkembangan tentang
sosial keagamaan.
Seorang Udien tidak hanya mahir dibidang orasi,
berpidato, dan berdiskusi, namun sosoknya juga mahir dan jitu dibidang tarik
suara Tilawatil Qur‘an, seorang Qari yang mempunyai suara melengking dan
tinggi. Sebagai seorang Qari, Udien remaja sering mengisi acara-acara protokuler
kenegaraan di tingkat kecamatan maupun kabupaten.
Kemampuan membaca ayat suci
Alqur’an dengan berbagai macam irama dikuasainya sperti bayyati, nahwan,
jiharkah, ras, shobah, dan beberapa jenis irama lainnya. Sosoknya yang
religius ini, Udien remaja dipanggil dengan nama kemulian, Ustadh Safaruddin
adalah nickname religi yang melekat pada dirinya. Sosok cerdas nan
agamis inilah, seorang Udien menjadi sosok yang disegani oleh sesama seangkatan
dengannya semenjak masih usia remaja.
Selama menempuh pendidikan di Perguruan Tinggi
Universitas Sumatra Utara, Fakultas Sosial dan Politik, Konsntrasi Ilmu
ketatanegaraan, Udien tidak hanya menjadi mahasiwa yang hanya bergelut dengan
dunia wajib kampus yaitu kuliah, membaca, dan rutin mengisi absen setiap harinya.
Bukan hanya sekedar menjadi mahasiswa yang hanya bergelut dengan buku-buku
bacaan semata, Udien juga aktif berkiprah di dunia organisasi kampus. Sebagai
aktifis kampus Udien adalah mahasiswa yang aktif merespon setiap persoalan-persoalan
terkini terkait dengan keputusan-keputusan pemerintah yang dianggap keliru
dalam mengambil sebuah kebijakan.
Menjadi aktifis kampus di Kota Medan butuh keberanian di
atas rata-rata. Ancaman, teror, dan tekanan-tekanan merupakan hal yang biasa
bagi mahasiswa yang suka vokal mengkritisi kebijakan pemerintah. Kiprah dalam
dunia keorganisasian kampus, membawa sosok Udien dikenal oleh teman-temannya,
baik generasi satu angkatan stambuk, maupun mahasiswa antar generasi, Udien
berhasil membentuk karakter dirinya sebagai mahasiswa asal Aceh yang mempunyai
talenta tersendiri.
Kiprahnya sebagai aktifis, dan sebagai mashasiswa
tentunya pembentukan karakter intelektualnya berproses dengan sangat cepat,
keberanian dalam menempatkan diri, dan mampu mewarnai gelagatnya sebagai mahasiswa
yang mengantarkan dirinya, dan kemudian dikenal sebagai orator yang mampu
mengutarakan ide-ide kritisnya dipanggung pergerakan mahasiswa. Sifat kritis inilah membawa Udien dengan
mudah menempatkan diri dalam berbagai hal.
Relasi aku dan engkau menurut Martin Buber, mencoba untuk
memahami bagaimana menyajikan dialog filsafat personal. Dialog filsafat
personal merupakan sebuah upaya membangun komunikasi yang bersifat kodrat dalam
sebuah kenyataan, di mana umat manusia deberi hak untuk memilih dua sikap dalam
memahami dunia, yakni aku dan engkau dalam rangka menjawab sebuah pertanyaan “how
to we now”.
Teori dialog diri merupakan seni yang wajib dimiliki oleh
para intelektual muda, yang mana kehadirannya sangatlah dinanti-nanti oleh
kalayak negeri masyarakat arus bawah yang merindukan perubahan. Teori dialog
diri dipopulerkan oleh Marthin Buber. Marthin Buber mengutarakan tentang teori
dialog ini dengan istilah “vergegnung”
dan “bergegnung”. “Vergugeng”
adalah teori dialog yang mengetengahkan tentang komunikasi sederhana yang
terjadi antara satu pihak dengan pihak yang lain, tanpa ada keinginan untuk
mempengaruhi satu sama lain, atau juga dipahami sebagai komunikasi dalam pertemuan
biasa saja, tanpa kepentingan timbal balik yang melekat dan berkepanjangan.
Sementara penjelasan tentang “bergegnung” adalah
sebuah seni berkomuniksasi satu pihak dengan pihak yang lain yang melibatkan
seluruh potensi diri dengan tujuan untuk saling mempengaruhi, mempengaruhi
untuk satu tujuan, bagaimana menempatkan diri sebagai sosok yang mempunyai
magnet yang dibutuhkan, dibutuhkan untuk menjadi jembatan perubahan bagi
masyarakat arus bawah.
Setelah menamatkan sekolah di tingkat sarjana pada tahun
2005 Udien muda nan intelektual, sah menyandang gelar Sarjana Ilmu Politik,
dengan nama lengkap Safaruddin S. Sos., mulai terjun dalam dunia politik.
Menjadi
bagian dari pemenangan kandidat bupati di usia muda, diperhitungkan sebagai
orator yang mampu menyampaikan orasi politik, panggung politik mulai mengenal
namanya. Nama Dhien Kalloen tidak asing lagi bagi generasi muda Aceh Barat
Daya.
Dhien Kalloen adalah sosok anak muda kritis disa’at yang lainnya masih
belum muncul sifat keberanian secara frontal, untuk memperkenalkan diri sebagai
cikal bakal politisi dengan segenap pengalamannya di dunia pendidikan, bergelut
dengan berbagai ancaman semasa menjadi aktifis di era ganasnya suhu politik pasca
reformasi.
Gagal mengantarkan kandidat dukungannya, pada pilkada
pertama sekali untuk memilih Kepala Daerah, Ir. Fakhruddin Muhdi harus kandas
diputaran pertama, calon bupati defenitif pertama pada tahun 2007.
Langkah gerakan
politik Udien untuk mengantarkan Abdya satu terhenti, kandas diputaran pertama.
Langkah berikutnya, Udien bersama tim pemengannya mengarahkan segenap potensi
untuk mendukung salah satu kandidat yang bertarung kembali pada putaran
kedua.
Sistem pilkada dua fase ini
dilaksanakan sesuai dengan peraturan pemilu dikala itu, bagi kandidat yang
bertarung tidak mampu memperoleh suara lima puluh persen ples satu, maka
kontestan pemilihan akan diulang kembali, dengan jumlah peserta yang bertarung tersisa
dua kandidat. Sudah menjadi aturan yang harus diikuti oleh peserta pilkada, bertarung
kembali kandidat yang berada pada urutan satu dan dua pemilu kada putaran pertama.
Langkah bertarung untuk memperebutkan kursi Abdya satu
diputaran kedua juga kandas, Udien harus menerima keputusan Komite Pemilihan
Umum, dengan suara kemenangan kandidat yang memperoleh suara terbanyak. Tidak
berhenti pada fase kekalahan.
Setelah bupati defenitif pertama Aceh Barat Daya
dilantik, gerakan politik Udien bergeser dari pemenangan kandidat berbalik
haluan menjadi aktifis yang memposisikan diri sebagai pengontrol roda
pemerintahan.
Kritik-kritik terhadap kebijakan pemimpin defenitiif pertama
menjadi sorotan Udien. Keputusan-keputusan yang dianggap merugikan rakyat sa’at
itu selalu mendapat respon darinya. Tidak jarang, kontrol kekuasaan yang
dilakukan Udien sa’at itu berakhir dengan turun ke jalan, protes lewat
argumentasi jalanan dilakukannya, tanpa sedikitpun takut dengan ancaman-ancaman
kekuasaan atas dirinya.
Terjun sebagai pelaku politik, tidak hanya menjadi mesin
pemenangan untuk kandidat balon bupati semata, pada pemilu tahun 2009 Udien
mencoba untuk mencalonkan diri menjadi calon anggota legislatif lewat partai
yang dinakhodainya sendiri.
Sebagai ketua partai Gerakan Indonesia Raya
Kabupaten Aceh Barat Daya, posisi pencalonannya menjadi pertarungan yang penuh
resiko. Bagaimana tidak, Aceh dengan gejolak konflik yang baru beberapa tahun
reda dari konflik yang berkepanjangan, menghadirkan Partai Politik Lokal.
Partai politik yang dinakhodai oleh para pejuang Gerakan
Aceh Merdeka (GAM). Bersaing dengan Partai Politik Lokal menjadi tantangan
bertarung yang berat bagi politisi Partai Politik Nasional.
Mengingat partai
yang menjadi mesin politik Udien adalah Partai Politik Nasional besutan sang
komandan Kopasus Prabowo Subianto, yang mana keberadaan Partai Politik Nasional
sa‘at itu, dianggap sebagai musuh utama Partai Politik Lokal.
Narasi permusuhan
ini, tentunya berimbas pada kesempatan para politisi nasional dalam mendapatkan
suara rakyat. Salah satu politsi yang berimabas sa‘at itu adalah Dhien Kallon.
Partai Aceh adalah partai politik lokal yang hadir dari
kompensasi perdamaian antara Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan Gerakan
Aceh Merdeka (GAM). Keberadaan Partai Aceh sa‘at itu menjadi idola baru bagi
masyarakat Aceh.
Slogan-slogan politik dengan narasi yang berkembang mewajibkan
bagi masyarakat Aceh untuk memenangkan calon-calon legislatif yang usung oleh
Partai Aceh, baik ditingkat kabupaten sampai tingkat provinsi. Kenyataan ini
menjadikan posisi Udien sebagai politisi dari Partai Politik Nasional harus
bekerja ektra hati-hati, dan setiap langkah serta strategi politik mesti
dijalankan dengan sangat akurat dan teliti.
Gagal menuju parlemen pada pemilu tahun 2009 oleh karena
ketidak cukupan perolehan suara. Kegagalan ini tidak membuat Udien patah arang,
dan harus menerima keputusan komite pemilihan umum.
Terdepaknya Udien dari
panggung politik legislatif, menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi
dirinya, bahwa kekalahan ini bukanlah bentuk kegagalan yang harus diterima.
Namun
sebaliknya dipahami sebagai pembelajaran politik praktis, jika Udien dalam usia
muda harus berkaca bahwa praktek politik dilapangan tidaklah berimbang dengan
apa yang dipelajarinya di dunia pendidikan, yang tertulis di buku-buku
pelajaran politik yang dipejarinya selama menempuh pendidikan di tingkat strata
satu, tidaklah sama dengan apa yang berlaku dilapangan.
Setelah menyelesaikan studi tingkat sarjana, dengan gelar
Sarjana Sosial Ilmu Politk (S. Sos) di Universitas Sumatra Utara, Udien kembali
melanjutkan pendidikan kejenjang berikutnya,
menjadi mahasiswa distrata dua pada jurusan dan Universitas yang sama.
Linersitas
jurusan sebagai bukti konsistensi sang politisi muda berbakat ini dalam
menekuni ilmu politik. Teori-teori politik kekuasaan kembali diperdalaminya,
menela’ah dan mengkaji ulang pemikiran politik dari era klasik sampai pada
pemikiran politik modern.
Teori-teori politik ini, menjadi modal dasar bagi sang
orator dalam bergelut di dunia politik
nyata, mempelajari dan mendalami metode politik pada pendidikan strata dua,
tentunya tidak lagi berkutat pada tahapan teori semata, lebih dari itu,
analisis-analisis pemikiran politik menjadi tugas bagi mahasiswa Pascasarjana
untuk menentukan serta menemukan unit analisis yang menajam, bahwa politik itu
bukan hanya sekedar mengetahui teorinya semata, namun lebih dari itu, bagaimana
menentukan dan mengisi ruang kosong kajian, lalu kemudian menentukan lacunanya.
Mempelajari metode politik tidaklah sama dengan
mempertajam sudut pandang dalam memahami proses perjalanan politik itu sendiri.
Tergiang dalam pemahaman dan nyata dalam
kegiatan, jika politik bukan hanya sebuah ilmu yang hanya megisi ranah kognitif
semata, namun lebih dari itu, afektifitas politik menjadi kuat ketika ranah
psikomotoriknya menjadi seni dalam realitas praktek politik.
Menuju politik praktis dengan segudang pemahaman Ilmu Politik
yang sudah dipelajarinya, dari materi Ilmu Politik tingkat kesarjanaan sampai
pada materi Ilmu Politik Pascasarjana.
Segudang pemahaman Ilmu Politik yang
sudah dipejalariny, dan menyelesaikan studinya tepat waktu, menjadi bukti jika
Udien adalah generasi penutut ilmu yang ulet dan terampil dalam menyelesaikan
studinya.
Menyelesaikan studi tepat waktu juga sebagai bukti Udien merupakan
sosok terpelajar yang tekun dan serius dalam melaksanakan apa yang seharusnya
menjadi tanggung jawab pelaku intelektual insan akademika.
Terjun di dunia politik praktis, menjadi bagian dari
mesin pemenangan politik, tidak hanya di daerah tempat asalnya, namun juga
merambah daerah-daerah yang lain.
Kabupaten-kabaputen kota yang ada di Aceh,
Udien hadir untuk untuk menyampaikan orasi politik dari pangung ke panggung,
dalam rangka memenangkan kandidat calon Kepala Daerah yang diusung oleh Partai
Gerindra, di mana Udien merupakan bagian dari sang nakodanya.
Tidak hanya
kabupaten kota yang ada di Aceh, juga termasuk kabupaten-kabupaten kota yang ada
di wilayah Provinsi Sumatra Utara. Sosok Udien dengan narasi politik perubahan
selalu dinanti untuk didengar orasi politiknya dari kalangan masyarakat yang
merindukan perubahan.
Masyarakat arus bawah yang selalu menjadi objek
pembahasan menarik di diskusikan, dan diperbincangkan di antara panggung-panggung
politik.
Gambaran masyarakat arus bawah di negeri ini, sebgaimana
Prof. Dr. T Iacob menguraikan dalam pemahaman komparatifnya bahwa, demo buruh,
protes ibu peduli, kongres anak-anak, bahkan seminar kanak-kanakpun, tidak akan
bisa merubah keadaan. Istigasah akbar dan puasa massal tidak akan mempan dan
mangkus.
Sementara itu, di atas pentas kekuasaan, orang riuh
rendah membicarakan power sharing (berbagi kekuasaan), profit sharing
(berbagi laba), production-sharing (berbagi usaha), dengan melupakan
food-sharing (berbagi makanan), oportunity-sharing (berbagi
kesempatan), apalagi wealth-sharing (berbagi kemakmuran), dengan
lapisan-lapisan masyarakat bawah.
Tanah air kita sa‘at ini merupakan negeri penuh ke
beringasan. Mulut kita penuh madu, namun hati penuh empedu. Pergulatan antara
kebaikan dengan kejahatan masih akan terus menguntungkan yang disebut terakhir.
Akan tetapi kita tidak boleh kehilangan keyakinan pada kebaikan manusia.
Akhir dari ketidak adilan dalam membagi kesempatan
berbagai hal, pemerintahan seharusnya berjalan asas demokrasi dalam
perjalanannya yang selalu ditekankan adalah kesatuan, bukan semangat demokrasi
yang sesungguhnya, melainkan oleh karena kepongahan kekuasaan, berobahnya
demokrasi menjadi kleptokrasi (pemerintahan penjarah), maka hancurlah
demokrasi kesatuan.
Kleptokrasi adalah pemerintahan in-egaliter
yang sama sekali tidak adil. Inti dari sistem pemerintahan kleptokrasi
adalah memindahkan kekayaan nasional dari rakyat kepada lapisan atas yang
berkuasa, yakni kepada politikus dan birokrasi, militer dan polisi, pengusaha,
dan pemilik modal.
Jumlah pungutan yang ditarik dari rakyat, terutama produsen
primer (petani), dan ditahan oleh elit sangatlah besar, sedangkan yang
diretribusikan kepada rakyat sangatlah kecil.
Jasa-jasa publik yang disediakan pemerintah sangatlah
mahal, sehingga tidak terjangkau oleh rakyat kebanyakan, dan jikapun murah,
pungli bermain dalam berbagai bentuk, jadi jatuhnya mahal juga. Generasi yang
lahir pada tahun 60-an ke atas, tidak pernah mengecap jalan normal, di mana
aturan dan disiplin berlaku, guru dan agamawan menjadi teladan dan dipatuhi.
Lalu kita semakin bertanya, kenapa masyarakat begitu lama toleran terhadap kleptokrasi.
Memahami gambaran politik tersebut, menujuj perobahan, sebagai
politis muda, yang memahami bahwa dunia pendidikan menjadi keharusan bagi anak
bangsa dalam membentuk dan mengembangkan karakter diri, yang mampu menjawab
persoalan yang dihadapi oleh masyarakat arus bawah di negeri kleptokrasi.
Semangat untuk melanjutkan studi terus membara dalam sanubarinya.
Tidak puas
dengan pendidikan tingkat sarjana, pada tahun 2009 Safaruddin S. Sos, melanjutkan pendidikannya pada program
pascasarjana di Universitas yang sama, Universitas Sumatra Utara (USU).
Mengasah dan mempertajam wilayah kognisi pada jurusan
yang sama. Kemampuan memahami dunia politik praktis semakin diperkuat dengan mempelajari
berbagai macam teori-teori dan sejarah perjalanan politik dari lintas tokoh
dalam berbagai kancah.
Dalam rentang waktu tiga tahun, Udien mampu
menyelesaikan studi di tingkat strata dua, pada tahun 2011, gelar Master Ilmu Politik
sah menyandang di bahunya, dengan nama lengkap Safaruddin, S. Sos, MIP. Master
Ilmu Politik.
Semangat belajar terkait Ilmu Politik, sifat pantang
menyerah dalam menjalani proses pendidikan berbarengan dengan ketekunan
menjalani proses perjalanan politik praktis.
Kembali turun dalam pertarungan
pilkada dalam memenangkan salah satu pasangan calon kepala daerah. Pilkada pada
tahun 2012 Udien kembali terjun menjadi mesin pemenangan salah satu kandidat.
Keberuntungan belum berada di tangan, pada pilkada tahun 2012, pasangan yang
diusung olehnya kembali harus menerima kekalahan. Putaran kedua, pasangan yang
didukung Udien harus berhenti dengan arus politik yang menajam, dan harus
menerima kekalahan dari kandidat yang diusung oleh Partai Aceh, partai yang
didukung sepenuhnya oleh tentara perjuangan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Menakodai Partai Politik Nasional ditingkat kabupaten,
memudahkan jalan Udien untuk berkiprah menjadi politisi ditingkat Provinsi Aceh.
Berikprah sebagai pengurus Partai Gerakan Indonesia Raya (GERINDRA) dengan
posisi wakil ketua satu, partai yang diketuai oleh T. A. Khalid ini, dan Udien
dengan segenap pengalaman dan kemampuan sebagai politisi yang menyandang gelar
Master Ilmu Politik ini, sebagai politisi muda mampu mengahadirkan warna baru
bagi perkembangan politik Partai Gerindra di tingkat Provinsi Aceh.
Tidak hanya layak sebagai pengurus Partai Politik saja,
Udien juga punya kapasitas menjadi calon anggota legislatif di tingkat Provinsi.
Setelah gagal menuju parlemen tingkat Provinsi pada pemilu tahun 2014.
Pada
periode berikutnya, pencalonannya sebagai calon anggota legislatif provinsi
Aceh kembali mendapatkan kepercayaan dari partainya. Dan akhirnya, pada pemilu
tahun 2019 Udien berhasil memenangkan pertarungan pemilu dari dapil 9 wilayah Barat
Selatan Aceh.
Putra daerah yang berasal dari Gampong Rawa, Kecamatan Susoh,
Kabupaten Aceh Barat Daya ini, dengan suara mencapai ambang batas ketentuan
pemilu, dan pada puncaknya Politisi Muda nan intelektual ini, terpilih dan
berhasil menduduki posisi Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakya Aceh (DPRA) dari
Partai Gerakan Indonesia Raya (GERINDRA).
Kiprah politik Udien tidak hanya menjadi isu semata,
namun mendapat pengakuan dan di iyakan oleh beberapa kolega sesama politisi
antar Partai Politik. Salah satunya Zirhan, mantan DPRK Kab. Aceh Selatan yang
pernah menduduki Wasekjend Partai Aceh, dan menjadi calon wakil bupati
kabupaten Aceh Selatan pada periode tahun 2017-2022.
Menurut Zirhan, Udien
merupakan sosok politisi muda yang konsisten dalam memegang amanah partai,
walaupun berulang kali ditempa kegagalan menuju parlemen.
Amanah partai yang
mulai diembannya berawal dari level kepengurusan tingkat kabupaten, hingga
menuju kepengurusan partai pada posisi strategis di tingkat provinsi,
dipercayai menempati posisi wakil ketua satu Partai Gerakan Indonesia raya
GERIDRA.
Posisi kepengurusan partai ditingkat provinsi membuat
Udien melangkah dengan leluasa, dalam membangun komunikasi politik dilevel
politisi nasional, baik sesama politisi separtai dengannya, maupun dengan
politisi Partai Politik lainnya.
Tidak hanya mampu membangun komunikasi semata,
lebih dari itu, Udien dengan kemampuan komunikasi dialog dirinya, begitu lihai
memerankan teori “bergugeng” Martin Buber. Berdasarkan kelihaian tersebut,
Udien merupakan salah satu politisi yang bisa mengakses dan dapat berkomunikasi
langsung dengan sosok ketua Umum Partai GERINDRA Prabowo Subianto.
Aceh Barat Daya, sebagai kabupaten yang lahir di era
reformasi menjadi sorotan masyarakat nasional. Sebagai kabupaten yang baru saja
mempringati hari jadinya yang ke-delapan belas.
Usia ke-delapan belasan
merupakan usia transisi hidup dari remaja menuju pendewasaan. Udien merupakan
sosok tokoh yang lahir dan mulai menata dirinya, semenjak kabupaten ini
terbentuk pada tahun 2002.
Bersamaan dengan itu, tentunya proses pembentukan
karakter kepemimpinan Udien tidak terlepas dan berbarengan dengan semangat juang
para pelaku pemekaran, untuk meraih kemajuan masyarakatnya bersama kabupaten
baru.
Udin muda, sebagai politisi, berkiprah pada ranah publik,
menjadi Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dari Partai Gerindra, menyaksikan
langsung, betapa negeri tempat asalnya, dengan segenap anggaran yang dikucurkan
dari pusat, menjadi kawasan tertinggal.
Teringgal dari segala aspek, seperti
salah urus, bobroknya sistem pengelolaan pemerintahan diawal-awal pemimpin
defenitif pertama, perpecahan antar golongan, saling menjatuhkan, berebut
lahan, yang ujung-ujungnya masyarakat kehilangan hak atas tanah yang seharusnya
menjadi hak milik setiap warga, lewat program pembebasan ribuan hektar lahan,
yang menggunakan uang negara, gesekan sosial yang begitu nampak menjadikan Aceh
Barat Daya gagal meraih kemajuan dalam waktu singkat.
Hampir seperempat abad
Aceh Barat Daya bernafas dengan paru-parunya sendiri, namun tidak begitu nampak
geliat perubahan ekonomi masyarakatnya.
Al-waktu kash shaif, begitulah kata pepatah
Arab, “waktu itu bagaikan pedang”. Delapan belas tahun kehilangan masa berbenah, bukanlah
waktu yang singkat, untuk mengurus sebuah kabupaten yang mana penduduknya
mencapai seratus lima puluh ribu lebih kurang. Aceh Barat Daya sudah banyak
kehilangan waktu untuk mengejar ketertinggalan
masa.
Waktu yang ada tidak akan mungkin untuk kembali, lantarji’
ay-yamullati madhat “ tak akan kembali waktu yang telah berlalu”. Namun apa
yang dapat kita lakukan hari ini, menata kembali semangat baru merajut delapan belas tahun masa yang telah hilang untuk meraih mimpi berjaya di tanah
kelahiran sendiri.
Salah satu cara mengejar hampir seperempat abad
tertinggal, memperkuat diri dengan semangat dan generasi baru, bersama muda
bervisi masa depan, terdidik, intelektual, santun, mempunyai pengaruh secara
politik, serta memiliki kekuatan lobi yang tidak hanya berkomunikasi dengan
tokoh daerah semata, namun juga mampu membangun komunikasi serta memiliki
kecerdasan dan kekuatan melobi sampai pada level tokoh nasional.
Sosok muda, cerdas,
berani, terdidik, nan intelektual itu adalah anak emas Ketua Umum Partai
Gerakan Indonesia Raya (GERINDRA), yang memiliki nama lengkap Safaruddin, S.
Sos, MIP.
Asa Politik Amfat Es Dot Fil, 14 Juni 2020
Komentar
Posting Komentar