NAK DOTO BERTANYA: PEMERINTAH PERLUKAH MEMBANGUN SEKOLAH BARU DIMASA CORONA



NAK DOTO BERTANYA, Setelah melihat paket hasil pelelangan oleh Pemerintah Daerah yang tertera di laman LPSE Aceh Barat Daya kepada pihak pemenang tender tentang pembangunan Sekolah Dasar (SD) Tahfidh Baitul Qurra Abdya, Nak Doto sebagai teman akrab Teungku Alawu Ma E, mencoba untuk membahas soal pembangunan Sekolah Tahfidh bersama Teungku Alawu Ma E.

Perbincangan diawali dengan sebuah pertanyaan. Perlukah sekolah SD tahfidh dibangun di Abdya. Jika ini perlu, berarti kita juga harus berfikir bagaimana caranya membuat perangkat untuk bisa mengajukan permohonan kepada pemerintah untuk membangun sekolah SD Tahfidh. Orang lain aja bisa, dan mendapatkan anggarannya hampir 2,5 milyar, kalo begitu tentunya kita bisa juga. Nak Doto mengawali perbincangan.

Alawu Ma E, mencoba memberi jawaban, untuk apalagi Nak Doto berfikir mendirikan Sekolah Dasar tahfidh. Kenapa tidak berfikir, bagaimana sekolah SD yang sudah ada dirobah sedikit saja polanya. Atau memanfaatkan tempat pendidikan tahfidh yang sudah ada untuk disokong pendanaannya, agar supaya volume kegiatan sekolah tersebut mengalami peningkatan. Peningkatan sumber pendapatan bagi pihak pengelola dan para guru, dan peningkatan sumber dayanya. Buat apa Nak Doto berfikir untuk membuat sekolah baru, sementara sekolah yang sudah ada butuh pembinaan pemda yang jauh lebih serius lagi. Memangnya untuk apa sekolah tahfidh ditingkat Sekolah Dasar itu. Alawu Ma E, mencoba memberi nada menekan.

Apakah Nak Doto bisa membaca Alqur’an dan menghafalnya akibat dari adanya Sekolah Tahfidh. Dan bagaimana pula caranya Nak Doto bisa melantunkan ayat suci quran dengan fasih dan irama yang bagus, apakah itu semua karena adanya sekolah tahfidh. Tanya Teungku Alawu Ma E. Kenapa tidak membina saja pesantren-pesantren tingkat madrasah di Abdya, yang mana pimpinannya dan keberlangsungannya sangat membutuhkan perhatian Pemda.

Nak Doto jangan berfikir tentang program yang tidak mudah untuk dijalankan secara pribadi. Lah tanya Nak Doto....ini yayasan loh Teungku. Iya yayasan jawab Alawu Ma E, yayasan ini sekolah Nak Doto, membangun sekolah bukan hanya butuh dana pembangunan fisiknya saja, termasuk juga dana oprasional setelah bangunan selesai dibangun dan proses ngajar mengajar dimulai. Dari mana Nak Doto akan mendapatka biaya oprasionalnya, atas keberlangsungan proses ngajar mengajar di sekolah tersebut, kan tidak mungkin pengua harus mensuportnya tiap tahun. Di sinilah nantinya Nak Doto akan menjalankan kapitalisasi pendidikan, atas sekolah yang dibangun menggunakan anggaran negara.

Mungkinkah Pemda dikemudian hari akan terus menganggarkan dana untuk keberlangsungan proses ngajar mengajar disekolah tahfidh Nak Doto nantinya. Jangan-jangan Nak Doto akan berbisnis pula dengan sekolah tersebut. Sudah sekolahnya dibangun oleh pemerintah, Nak Doto sebagai pimpinan yayasannya akan mengutip biaya spp lagi. Kalo ujungnya sekolah harus bayar juga, kan lebih baik dengan anggaran 2,5 milyar minples, Pemda merencanakan saja program biasiswa tahfidh bagi anak-anak Aceh Barat Daya, dan membina saja sekolah-sekolah pemerintah yang sudah ada.

Merancang sekolah dengan biaya pemerintah harus diperhitungkan juga langkah-langkahnya. Ketika sekolah berskala elit dibangun, maka biayanya akan sangat mahal, dan ketika biaya mahal, hanya dari kalangan tertentu saja yang mampu menyekolahkan anaknya di sekolah tersebut. Bukankah biaya pendidikan mahal yang kini menjadi keluhan bagi masyarakat kelas bawah. Kalo sudah ada sekolah elit, pasti biayanya mahal. Kasian nanti rakyat kebanyakan Nak Doto, sekolah dibangun menggunakan anggaran dari pemerintah, rakyat juga harus bayar spp dengan harga yang tinggi.

Jika saja Nak Doto bersikeras ingin membuat yayasan yang bergerak dibidang pendidikan, silakan ditanyain langsung caranya pada pemenang tender pimpinan SD Baitul Qurra Abdya yang sudah berhasil memenangkan tender pembangunan sekolah tahfidh dengan anggaran mencapai 2,5 milyar minples.

Nak Dotopun melanjutkan pembicaraan, kalo begitu penjelasan Teungku Alawu Ma E, percuma saja kita bangun sekolah yang baru, sementara sekolah yang sudah ada masih butuh pembinaan Pemerintah Daerah. Apalagi negeri kita sedang dilanda penyakit mewabah covid-19, yang memaksa Pemerintah Pusat untuk melakukan refocusing dan re-alokasi anggaran secara besar-besaran untuk penanganan covid-19. Sementara kita masih ada yang mendesak Pemerintah Aceh Barat Daya malah membangun Sekolah Tahfidh. Dan sepertinya hal ini tidak mungkin untuk kita lakukan Teungku.

Sepertinya, dari sekian program yang dicetuskan oleh pemerintah Aceh Barat Daya, cuma program pembangunan Sekolah Dasar Tahfidh Baitul Qurra Abdya yang yang menarik perhatian Teungku Alawu Ma E. Padahal masih banyak program-program yang lain, seperti program pula pineng batara (pendek) yang mencapai anggaran pada angka hampir 8 M. Program pula pineng ini, sepertinya proyek multiyears, sebab sudah lama didengar, sampai kini masih saja berlanjut. Mengkaji proyek pengadaan pineng bitara silakan Nak Doto bertanya pada abang yang sering menutup matanya menggunakan kaca mata itam. Apakah proyek pengadaan pinang unggul tersebut akan menunjukkan hasil tinggi menunujuk ke langit. Kita menunggu waktu empat tahun kemudian. Apakah pineng unggul akan ditunyok u langet ijo.

Pertanyaannya, apakah masayarakat yang lain juga menaroh sorotan menarik sebagaimana halnya Teungku Alawu Ma E. Nak Doto pun menyimpulkan, jika saja program tersebut menarik perhatian Teungku Alawu Ma E , tentunya yang lain juga sama. Sama-sama menarik perhatian. Perhatiannya tentu saja berkisar pada pertanyaan, siapa sih pemilik proyek tersebut, ada apa dengan pemenangan proyek yang mencapai angka 2,5 M., kok bisa mendapatkan bantuan pembangunan Sekolah Dasar dari pemerintah. Tentunya sekolah tersebut bukan milik pemerintah, sudah tentu milik swasta.

Seperti halnya, yang sudah-sudah kita mendapatkan informasi tentang bantuan pemerintah berkisar tentang merehap, merenovasi, membangun pagar, menambah hiasan taman, atau dalam bahasa yang lain pemerintah ikut membantu bagian penyelesaian akhir yang sifatnya dekorasi dalam memperindah sebuah gedung dan bangunan. Ini kok beda, membangun gedung dari proses awal.

Menjawab pertanyaan tersebut tentunya harus bijaksana. Pertama, kehadiran Sekolah Tahfidh Baitul Qurra Abdya dianggap penting. Kedua, kehadiran proses lembaga pendidikan Alqur‘an dianggap sebagai kebutuhan yang berasifat kekikinian. Sebab, mungkin, pemerintah sudah menganggap hal ini perlu diperhatikan di era di mana moral keagamaan anak bangsa semakin rapuh terhadap nilai-nilai Islam.

Teungku Alawu Ma E, menyangkal dua alasan tersebut. Tidak penting adanya Sekolah Tahfidh yang baru, sebab lembaga pendidikan agama sudah banyak hadir di Aceh. Jika memang pemerintah bertujuan mendidik tahfidh-tahfidh handal, cukup menganggarkan beasiswa tahfidh untuk anak-anak yang menggeluti di bidangnya. Kan tidak harus juga, semua anak bangsa harus menjadi tahfidh profesional. Dana 2,5 M., tersebut bisa dianggarkan untuk mencetak kader-kader tahfidh dengan mengirim putra-putri terbaik ke berbagai lembaga pendidikan tahfidh tertanama, baik di dalam maupun di luar negeri, tanpa harus membebani spp kepada siswanya.

Seandainya saja program membangun Sekolah Dasar dianggap program kebutuhan yang bersifat kekinian dan darurat moral keagamaan, lebih tidak tepat lagi, sebab banyak pesantren-pesantren yang bisa pemerintah bekerja sama untuk menjawab darurat moral keagamaan. Tinggal menganggarkan dana 2,5 M., lalu dipergunakan untuk proses operasional baik dalam bentuk menunjang gaji guru, fasilitas, dan menutupi hal-hal yang dianggap penting. Untuk mewujudkan hal tersebut bisa dikoneksikan dengan Dinas kedayahan atau Dinas Syariat Islam, atau bagaimana seharusnyalah. Teungku Alawu Ma E, melanjutkan tidak mudah Nak Doto, mendapatkan kuota tender dari pemerintah untuk membangun sekolah pada sebuahyayasan atau lembaga tertentu, apalagi milik yayasan pribadi, dengan jumlah anggarannya mencapai 2, 5 M.  

Looooooooh jawab Nak Doto, kalo memang eksekutif dan legislatif sudah sepakat, apa yang tidak mungkin, dan mudah untuk dilakukan dan diputuskan terhadap pemenangan sebuah tender yang dianggap berkebutuhan darurat. Mendengar jawaban Nak Doto begitu polos, Teungku Alawu Ma E, pun tertawa dengan nada yang kuat, dan sambil mengoceh, Nak Doto kamu masih belum paham dengan semua ini. Ooooo,,,,kata Nak Doto, belum paham gemana Teungku.

Coba saja Nak Doto bertanya kepada angin yang hanya bisa menghembuskan udara tanpa terlihat wujud nyata. Maksudnya, tanya Nak Doto. Teungku Alawu Ma E, memperjelas, coba Nak Doto bertanya kepada orang-orang, siapa yang punya Sekolah Dasar Baitul Qurra itu, siapa pimpinannya, lalu apakah ada hubungan psykologi yang sangat kuat antara pemiliknya dengan penguasa setempat.

Teungku Alawu Ma E, mencoba memberi penjelasan tentang polemik lobi terhadap program kerja pada pemerintah. Perlu Nakd Doto ingat, tidak mudah melobi pemerintah untuk membangun sekolah yang notabenenya adalah lembaga pendidikan yang berdiri diluar dari pada sekolah yang dikelola oleh pemerintah, atau sekolah milik pemerintah. Apalagi kondisi negara dalam sedang dalam menghadapi penyakit mewabah, ditambah lagi dengan adanya intruksi presiden untuk merefocusing dan dan re-alokasi anggaran. Ketika sekelompok orang mampu dengan mudah mendapatkan penyetujuan pemerintah terhadap paket perencanaan tertentu, maka dapat dimaklumi beberapa hal.

Pertama, pemilik paket adalah orang yang mempunyai tingkat kecerdasan melobi di atas rata-rata. Kedua, paket kerja tersebut milik penguasa. Ketiga, paket tersebut milik kolega penguasa. Keempat, paket tersebut bersentuhan dengan penguasa, atau  yang bertalian darah atau berhubungan famili dengan penguasa. Dan yang kelima, paket pembangunan lembaga pendidikan dianggap perlu dan mendesak oleh penguasa, untuk menjawab persoalan pendidikan di sebuah wilayah, sehingga proyek pembangunan sekolah tersebut dianggap perlu, mendesak, dan segera harus dilaksanakan. Dalam hal ini, pemenangan paket pembangunan Sekolah Dasar Baitul Qurra Abdya, bukan karena kolega dan sodara penguasa, namun murni atas kepentingan mendesak, menyangkut dengan krisis nilai generasi qur‘ani Aceh Barat Daya terkait dengan pemahaman Islam.

Menyangkut dengan keputusan pemenangan proyek terhadap rekanan tertentu, merupakan hak preogratifnya kepala daerah. Pelelangannya diatur berdasarkan aturan yang yang berlaku, Namun jika saja pemenangan proyek tertentu dengan mudah dapat dimenangkan oleh pengaju pekerjaan dari kalangan keluaraga, kolega, dan orang dekat penguasa, maka ini tentunya tidaklah bertentangan dengan aturan, namun tidak baik dilihat dalam konteks etika dan moral. Oleh karena demikian, patut pada  Teungku Alawu Ma E, Nak Doto bertanya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Meraih Gelar Doktor; Muchlinarwati Disabilitas yang Menginspirasi

Melihat Masalah dengan Masalah

Logika Politik: Beri Kabar Gembira Bukan Kabar Sedih apalagi Duka