ANOMALI POLITIK KEKUASAAN
Sementara, pada sisi yang lain keberadaan Ani
dan Wati hanya sebagai pekerja saja. Bekerja di rumah budi, artinya Ani dan
Wati cuma berposisi sebagai buruh. Wati menyapu dihalaman, Ani memasak didapur.
Lebih lanjut dalam filosofi kebahasaan ini dipahami dengan “sudah tidak
adalagi yang dimiliki oleh Ani dan Wati kecuali harus bekerja keras di rumah
Budi".
Sepertinya, sudaht tidak adalagi kepunyaan
Ani dan Wati atas kekayaan tanah di negeri yang begitu luas nan kaya ini. Ani
dan Wati cuma menjadi buruh saja. Dan bahkan menjadi buruh dinegerinya sendiri.
Hari ini, tanpa kita menyadarinya, jika Budi yang dulunya disebut-sebut oleh
anak negeri sebagai aikon ketika pertama sekali
mengenal huruf.
Seiring perjalanan waktu, sang Budi saat
ini sudah tumbuh besar, dan bahkan sudah
menjadi pejabat. Sehingga hari ini, pertanyaan yang layak
dipertanyakan. Apakah benar negeri ini sudah dikuasai sepenuhnya oleh Budi.
Sementara Ani dan Wati hannya bisa menonton sambil merapi-rapikan saja semua
yang sudah dikuasai oleh Budi.
Setiap lima tahun sekali calon pemimpin baru
dipilih dalam sistem kenduri raya demokrasi, baik memilih pemimpin eksekutif
maupun legislatif. Namun kehadiran mereka akankah bakal menjadi Budi-Budi baru
yang siap mengkleim kepemilikan atas dirinya dan merasa berhak menjarah aset
negeri ini. Pada sa‘at yang bersamaan Ani dan Wati sebagai refresentatif rakyat
kembali menjadi buruh di negerinya sendiri.
Menjadi buruh pada tempat-tempat usaha
pemimpinnya sendiri, menjadi petani yang menyewa sawah pemimpinnya sendiri,
menjadi buruh di kebun sawit pemimipinnya sendiri, menjadi pekerja di
tambak-tambak pemimpinnya sendiri, menjadi buruh diperkebunan pemimpinnya
sendiri, menjadi pramuniaga dit toko-toko pemimpinnya sendiri dan
menjadi-menjadi lainnya pada tempat usaha pemimpinnya penguasa.
Ani dan Wati adalah personifikasi rakyat
jelata yang hannya menjadi tukang sapu dihalaman rumah Budi dan hannya menjadi
pembantu. Hannya menjadi tukang masak di dapur rumah Budi dan menjadi tukang
sapu dengan gaji yang tidak menguntungkan kehidupan diri dan keluarganya.
Budi adalah anak haram yang pernah
diperkenalkan nama ayah dan ibunya saja. Tidak pernah kita mendengar penjelasan
tentang tempat, di mana Budi dilahirkan, bertempat tinggal dimana, nama ayah
dan ibunya siapa. Dengan demikian, Budi adalah anak haram yang tidak punya akte
kelahiran.
Pada bagian ini kita mesti ingat petuah
orang-orang bijak zaman dulu “Ek mi lhe, ek ase lhe, tabileng jareng-jareng
akhe jamen anek bajeng jet ke ule. Begitulah hadeh maja mengajarkan
kita.
Ungkapan yang menarik dari seorang khalifah ketiga dalam sejarah perkembangan islam setelah Nabi wafat adalah ketika Umar bin Khattab mengungkapkan “Jika rakyatku kelaparan aku duluan yang merasakan lapar, jika rakyatku yang kekenyangan maka aku yang belakangan merasakannya”.
Logika dasarnya berkaitan dengan isi perut, tentu ini juga berkaitan dengan isi
dompet, semuanya berawal dari pekerjaan. Pengangguran adalah persoalan yang
sangat komplit dinegeri kita, yang membuat para pemimpin itu memutar otak untuk
meminimalisir pengangguran tersebut.
Usaha yang dilakukan oleh pemangku kekuasaan
di negeri ini masih pada tahap meminimalisir pengangguran dan bukan
menghapusnya. Akan tetapi satu hal yang membuat pernyataan umar bin khattaab di
atas jika dikembangkan keranah yang lebih spesifik dengan istilah pengangguran
menjadi bumerang bagi kepemimpinan kita saat ini.
Rakyatnya menganggur sementara pemimpinnya
punya pekerjaan yang banyak alias lebeh but. Sebagai pengelola
pemerintahan, juga menyibukkan diri sebagai pengelola usaha dalam berbagai hal.
Sementara rakyat menjadi pengangguran atau susah mengembangkan usaha, apakah
karena modal, tempat, lahan, akses, koneksi, jaringan dan lain-lainnya.
Berdasarkan kontek yang demikian, dalam hal
ini, wajar saja masyarakat curiga dengan pemimpinnya sendiri, sebab muncul
sebuah kesenjangan jika rakyat terus menjadi pengangguran, sementara
pemimpinnya memiliki lebih banyak pekerjaan, alias dalam bahasa Aceh disebut
dengan “lebeh but”.
Filosofi kepemimpinan, ketika Allah swt., hendak menciptakan khalifah di muka bumi dengan wujud Nabi Adam as., secara personalitas merupakan ciprakan fayakun zat Yang Maha Esa.
Pada surat sad Allah swt., melabelkan khalifah
kepada Nabi Daud as., tentu bukan lagi khalifah sebagai personalitasnya Nabi
Daud as., akan tetapi lebih pada identitasnya Daud as., sebagai fayakunnya
Tuhan. Yang mana dalam ciprakan-Nya untuk menerapkan misi khalifah dimuka bumi,
untuk menegakkan hukum yang adil kepada manusia.
Menyangkut dengan hal ini, Syaikh Imran
Hussein berkesimpulan mengenai khalifah sebagai pemimpin negara,
tentu pemimpin dalam berbagai level untuk tidak mengikuti hawa nafsu dalam
menjalankan hukum tersebut atas manusia.
Hukum dominan dalam konsep kepemimpinan
adalah menegakkan keadilan di jalan Tuhan bukan menjalankan kedhaliman, memonopoli,
mengkianati, membuat sebuah rencana Kong Kalikong (meminjam
sifat kerja ungkong kerja sama dengan ungkong).
Menjadi penguasa itu bagus dan menjadi
pengusaha juga lebih bagus, akan tetapi jika penguasa dan pengusaha menjadi
satu dalam tujuan, maka akan terjadi transaksi dagang atas nama
kekusaan.
Kekuasaan yang di-orientasikan dalam
transaksi dagang, dengan sendirinya akan melahirkan kepemimpinan yang korup.
Yang menguasai keuangan akan menjadi rajanya, sementara kekuasaan menjadi budak
atas kedaulatan rakyat yang sudah menaruh kepercayaan untuk memilih seseorang
yang berkuasa.
Allah swt., melarang orang-orang yang beriman
mengangkat atau mengambil atau memilih kaum yang dimurkai untuk menjadi
pemimpin atau penolong. Menolong disini perlu dipahami dalam konteks yang lebih
spesifik.
Seyogianya posisi penolong itu tentu sebagai pemimpin bagi kita. Jika memilih para penolongmu dari kaum yang dimurkai Tuhan, maka kemurkaan demi kemurkaan akan muncul di muka bumi.
Kemurkaan dalam
mengelola pemerintahan akan mengakibatkan umat ini kehilangan visi dan misi
hidupnya. Jika pemerintahan dikelola oleh orang-orang yang tidak tepat sasaran
dalam menggunakan kekuasaannya atau tidak menempatkan orang-orang yang
menyelesaikan urusan publik sesuai dengan keahlian dan profesionalitasnya.
Transaksi kekuasaan dagang akan menciptakan
serta memunculkan kemurkaan dan kerusakan dalam mengelola pemerintahan. Sistem
pengelolaan kekuasaan yang sudah mmemperjual belikan kekuasaan
dengan sebuah transaksi, baik transaksi berjaringan ekonomi, relasi, tim, sanak
famili, dan berbagai jaringan transaksi lainnya, dengan menempatkan orang-orang
yang mengurus urusan pemerintahan bukan lagi ahlinya dan tidak sesuai dengan
profesinya, dikarenakan transaksi kekuasaan ini orientasinya ingin menguasai
lalu merasa pintar dengan sendirinya, tanpa menjunjung tinggi azas musyawarah
dan hanya mengutamakan sikap arogansi dan kesombongan.
Semenderita apakah hidupmu, sehingga
kamu begitu jahat kepada rakyatmu sendiri. Pernahkah engkau merasakan
penderitaan semenderitanya sengkuni yang terpaksa memakan sodaranya sendiri
hingga mencapai 98 orang, ditambah dengan
ayah dan ibu bapaknya. Semenderita itulah sengkuni, tapi dia hannya menjadi
provokator saja, dan tidak pernah menjadi teroris besar lalu dia harus membunuh
banyak orang.
Wahai para pemimpin bangsa disetiap wilayah,
hidupmu tidak semenderita sengkuni sebelum jabatan itu kau dapat. Tetapi kenapa
prilakumu lebih jahat dari sengkuni. Engkau menganiaya rakyatmu sendiri.
Penganiyayaan terkecil yang engkau lakukan kepada rakyatmu adalah ketika engkau
menetapkan fee proyek kepada mereka pada proyek yang engkau
lelangkan. Hannya untuk sebuah tanda tangan saja engkau tega memungut upeti
proyek kepada rakyatmu sendiri, dengan jumlah yang engkau
tentukan sendiri.
Transaksi kekuasaan tidak hannya berbicara bagaimana menguasai
ekonomi dalam perdagangan saja malah melebihi dari itu, penguasa akan
memanfa‘atkan segenap wilayah kekuasaannya termasuk tanah di
dalamnya. Islam sangat serius ketika bicara masalah wilayah kekuasaan dengan
tanah air menjadi kekayaannya, yang dikuasai penuh dan dipergunakan semata
untuk kepentingan rakyat.
Terkait dengan tanah Allah swt., bersumpah
dengan Kota Mekkah, dimana Kota Mekkah ini menjadi aikon, oleh karena Kota
Mekkah berdiri di atas tanah. Artinya tanah itu menjadi masalah serius bagi
manusia.
Dengan demikian, tanah itu tidak boleh
dibiarkan begitu saja jatuh pada penguasaan yang berlebihan oleh siapapun,
termasuk oleh seorang penguasa negeri serta individu-individu tertentu, apalagi
tanah itu tergadai kepada orang kafir.
Tanah ketika dikuasai atas nama pribadi, maka
selamanya tanah tersebut menjadi milik permanen. Berbeda dengan tanah HGU yang
terikat dengan waktu, tiba batas waktu, maka tanah itu akan dikembalikan kepada
negara.
Persolan yang mengkhawatirkan di negeri ini
adalah ketika tanah banyak dikuasai oleh oknum pejabat atau mantan pejabat atau
pengusaha tertentu, yang melakukan kerja sama dengan penguasa dalam mengelabui
sistem yang ada dengan cara-cara yang licik dalam hal mengalih fungsikan
kepemilikan tanah. Satu hal yang membuat tanah itu agak terjaga di negara ini,
hak penguasaan tanah masih dijaga dengan undang-undang kusus yang tertera dalam
UU nomor 56 pp tahun 1960 dan peraturan kementrian agraria nomor 18 tahun 2016
membatasi kepemilikan tanah bagi per-individu.
Undang-undang tersebut tentu menjawab
perintah Tuhan dalam Surat Al-Balad ayat pertama sampai
seterusnya. Allah swt., bersumpah dengan tanah, yang mana tanah itu
tempat kamu tinggal dan manusia melanjutkan keberlangsungan hidup sampai anak
cucumu nanti dikemudian hari. Keberlangsungan hidup ini bisa dipahamii sebagai
tempat tinggal, tempat melakukan cocok tanam sebagai alat fungsi
keberlangsungan ekonomi manusia dalam hal pertanian, dan juga untuk keperluan
yang lainnya.
Jika kepemilikan tanah dikuasai secara
berlebihan oleh per individu tertentu, disinyalir ini adalah sebuah bentuk
penjajahan agraria terhadap bangsa ini. Akhirnya keberadaan rakyat hanya
menjadi penonton saja di negerinya sendiri menyangkut dengan tanah ini.
Kondisi seperti ini, sepertinya sedang
diciptakan oleh pihak-pihak tertentu, sementara rakyat tidak bisa berbuat
apa-apa. Jika kondisi seperti ini, terjadi secara terus menerus, maka
bersiaplah wahai rakyat dan anak cucumu nanti hanya akan menjadi buruh di
tempat usaha pemimpin dan mantan pemimpinmu sendiri.
Semua pihak semestinya, seriuslah dengan
persoalan tanah ini. Wahai rakyat yang mempunyai cita-cita tinggi, tiba saatnya
nanti tidak bisa berbuat sesuatu dan anak cucumu panik dengan pekerjaaannya disaat
Masyarakat Ekonomi Asean berlangsung di negeri kita. wahai rakyat yang mencari
sesuap nasi disepanjang hari, bersiaplah menyambut Asean Economic
Society" dengan tidak kehilangan tanah ditanganmu.
Kejahatan yang sangat keji jika telah
dilakukan, maka kerusakan akan terjadi di permukaan bumi. Fahisyah yang
digambarkan di dalam Alqur‘an merupakan kejahatan yang dilakukan akan berefek
pada orang lain. Baik kejahatan yang berakibat kepada dirinya maupun kepada
makhluk yang lain.
Kejahatan yang berefek pada diri sendiri,
salah satunya adalah menganiyaya dirinya dengan memakan makanan atau minuman
yang tidak sesuai dengan fitrah kemanusiaan, sehingga menimbulkan efek
penyakit. Sementara kejahatan yang berefek pada orang lain seperti kemungkaran
dari berzina dan yang lainnya, akan menjangkit penyakit menular baik untuk
keluarganya dan orang lain.
Korupsi yang merajalela di
negeri, telah memaksa para pelakunya menganut anomali transaksi
kekuasaan yang akan merusak tatanan kepemimpinan tersebut, sehingga wujudnya
tidak adalagi rasa saling percaya antara pemimpin dan rakyatnya. Dalam hal ini
berakibat terkotak-kotaknya masyarakat akibat pelanggaran administratif yang
mencurangi rasa keadilan.
Fahisyah atau
kerusakan juga akan muncul pada kegiatan-kegiatan lainnya, baik dalam ranah
ekonomi, perdagangan, politik, kekuasaan, dan lain-lainnya. Jika kejahatan itu
dilakukan oleh orang yang beriman, maka kesadaran berfikir untuk memperbaiki
akan cepat terlaksana, namun jika kejahatan dilakukan oleh orang-orang
bodoh, fasik, munafik, maka kejahatan itu akan dianggap sebagai sebuah proses
kesempatan waktu, yang tentunya menjadi rasa kenikmatan tersendiri bagi
pelakunya, sampai hasil transaksi kekuasaan diwarisi kepada anak cucunya
Perkara yang merusak menyangkut
dengan anomali kekuasaan di negeri ini adalah ketika para pemimpim tidak mampu
memahami makna Surah Yasin ayat 21 yang berbunyi:
اتَّبِعُوا Ù…َÙ†ْ Ù„َا ÙŠَسْØ£َÙ„ُÙƒُÙ…ْ Ø£َجْرًا ÙˆَÙ‡ُÙ…ْ
Ù…ُÙ‡ْتَدُونَ
Artinya, “ikutilah olehmu
orang yang tidak meminta balasan kepadamu, dan mereka itulah orang yang
".mendapatkan petunjuk
Pada Surah Yasin ayat 21, Allah swt.,
menegaskan tentang sesuatu hal yang menyangkut dengan balasan diluar hak-hak,
yang seharusnya tidak boleh dituntut kepada pihak yang lain. Apalagi persoalan
yang menyangkut antara hak dan kewajiban penguasa terhadap rakyatnya.
Meminta minta itu adalah perbuatan yang
dilarang oleh Nabi Muhammad saw., karena meminta-minta
adalah perbuatan yang tidak melahirkan kemandirian. Berbeda dengan meminta
utang kepada seseorang yang pernah meminta pinjaman. Meminta pada katagori ini
merupakan usaha untuk mengingatkan seseorang bila sudah tiba waktu temponya utang
harus dibayar.
Meminta meminjamkan sesuatu kepada orang lain
dalam bentuk tertentu tidaklah dilarang oleh agama, dan malah dipahami sebagai
perbuatan yang disukai oleh baginda Nabi Muhammad saw., sebab utang itu
sifatnya meminta bantuan tanpa imbalan untuk memenuhi hajat atau program kerja
seseorang yang terkendala dengan uang, di mana seseorang tersebut tidak
mempunyai kemampuan untuk menunaikannya, oleh karena terkendala dengan
kekurangan bahan untuk melakukannya, terkendala dengan ketiadaan uang misalnya.
Maka dengan itu, dibolehkan meminta utang
kepada orang lain. D,an yang memberikan utang sudah melakukan kemualiaan sebab
telah membantu seseorang menunaikan sesuatu keinginan yang sudah di rencanakan
sebelumnya.
Membantu seseorang untuk melakukan hal-hal
yang sudah diprogramnya ini merupakan perbuatan mulia. Meminta-minta dalam
konteks anomali kekuasaan adalah meminta pada porsi yang lain dan sifatnya
mencederai pihak-pihak tertentu.
Meminta yang harus kita pahami di sini adalah
meminta imbalan, yang mana imbalan tersebut tidak berhak untuk kita bebankan
kepada orang lain secara berlebihan dan diluar ranah hak dan kewajibannya. Ada
beberapa permintaan permintaan yang harus kita pahami dalam ranah konvergensi
simbolik
Pertama,
Meminta fee proyek, dan ini adalah ranah diluar hak dan
kewajiban. Kedua, Meminta ingin dipanggil dengan nama yang mulia
atau ingin mencitrakan diri untuk digolongkan menjadi kelompok terhormat.
Ketiga,
Meminta disanjung-sanjung dengan tujuan ingin ditempatkan pada posisi yang berbeda
dengan orang lain, sehingga dengan posisi tersebut bisa dengan mudah
memerintahkan orang lain sesuai dengan keinginan dirinya.
Keempat,
Meminta untuk di-imejkan menjadi orang baik, sehingga apapun yang keluar dari
mulutnya bak sabda kenabian. Kelima, Meminta dipanggil dengan
sebutan pemuka agama. Keenam, Meminta pengakuan kebenaran.
Ketujuh, Meminta
ingin diluluskan ditempat-tempat tertentu, baik menjadi kepala dinas, pegawai,
staf, dan lain sebagainya yang menyangkut dengan permintaan dengan konsekuensi
tertentu. Dan juga dalam bentuk permintaan-permintaan yang lainnya.
Sudah menjadi sebuah kelaziman orang yang
suka meminta-minta itu ingin melebihkan hitungan untuk dirinya, sementara untuk
orang lain dikurangi jumlahnya.
Prilaku seperti ini diancam oleh Tuhan
sebagai kelompok orang yang celaka. Intinya adalah celakalah orang-orang yang
menghitung-hitung itu, ketika dia menghitung untuk dirinya dia
melebih-lebihkan, dan ketika dia menghitung untuk orang lain, dia akan
semena-mena mengurangi takarannyanya.
Tanpa disadari dengan kebodohan itu
terciptalah pos-pos tempat meminta disetiap level transaksi pada tiap tahunnya,
apakah lewat dinas, lewat utusannya, lewat timnya, lewat programnya jika
program itu menguntungkan dirinya dan kelompoknya, maka program itu bakal
dilanjutkan, dan jika program tersebut tidak menguntungkan diri dan
kelompoknya, maka program tersebut bakal dibatalkan dengan tanpa jelas
alasannya, sebab sudah tidak tersedia pos meminta untuk dirinya. Tentunya
meminta-minta dengan menentukan fee disetiap proyek, meminta
lewat tanda tangannya, dan meminta dengan cara-cara yang lainnya.
Berbicara masalah fee, akan
berakibat pada proyek pihak yang sangat dirugikan itu adalah para rekanan,
para kontraktor ini, mereka telah membayar pajak pada negara untuk mendapatkan
perusahaan yang sah dan legal, agar supaya mendapatkan legitimasi ketika
perusahaannya ikut berkompetisi untuk mendapatkan pekerjaan pada pemerintah.
Meminta dengan tidak terdapat pos anggaran
yang ditentukan secara sah di dalamnya, merupakan bentuk tindakan pembangkangan
terhadap negara dan agama. Negara melarang dengan segenap aturannya, sementara
agama mengatagorikan dosa, sebab sudah menghilangkan keterlibatan Tuhan di
dalamnya.
Ketika Tuhan tidak terlibat dalam perbuatan
manusia, maka aktivitasnya kehilangn misiTuhan dalam tindakannya. Dengan
demikian, dikala itulah seseorang telah menganut prilaku ateistik dalam
dirinya. Ketika perbuatannya melangkahi aturan agama, sementara ia masih
percaya kepada Tuhan, maka dirinya telah memasuki dalam ruang ateisme agama.
Ateisme agama adalah prilaku yang tidak
melibatkan Tuhan pada saat seseorang beraktifitas untuk dunianya. Bagaimana
para pelaksana pemerintahan meniadakan Tuhannya pada saat menanda tangani
sebuah proyek dengan memenangkan seseorang, bukan karena layak untuk
dimenangkan, akan tetapi karena telah menyerahkan sejumlah uang, atau karena
menjalankan kepentingan diri, keluarga, dan kelompoknya saja.
Surah Yasin yang penulis cantumkan di atas,
pada dasarnya memerintahkan kepada manusia untuk mengikuti orang-orang yang
tidak meminta balasan kepadamu, sebab mereka itulah golongan orang-orang yang
tidak mendapatkan pentunjuk dari Tuhan.
Meminta sesuatu beragam maknanya, bisa jadi
meminta disanjung-sanjung, dipuji, dipuja, dihargai, meminta untuk dipanggil
ulama, kiai, guru, ustadh, teungku, dipandang sebagai orang terhormat, dan
meminta-minta bentuk yang lainnya, sebagaimana yang telah disebutkan di atas.
Pada kesempatan ini mari kita geser sedikit
pemahaman kita tentang makna meminta dalam kontek kepemimpinan dan kekuasaan.
Meminta di sini adalah meminta fee proyek. permintaan fee adalah
sebuah kebiadaban yang semestinya kita kutuk bersama pelakunya, sebab hukum
tidak bisa diandalkan untuk menghapuskan praktek meminta fee oleh
seorang pemimpin yang sedang berkuasa.
Kepala pemerintah baik presiden gubernur,
Wali Kota, bupati, Kepala Dinas yang menetapkan fee atas
anggaran APBA dan APBK. Sesungguhnya keberadaan mereka yang demikian itu,
bukanlah seorang pemimpin yang mengayomi masyarakat dengan kekuasaannya, akan
tetapi dia sedang melakukan penjajahan terhadap rakyat atas nama kekuasaan yang
melekat pada dirinya.
Keberadaan mereka yang menetapkan fee itu
lebih buruk dari penjajahan belanda dan jepang. Pemimpin itu harus hadir
sebagai pengelola bukan malah membuka lapak untuk jualan produk barang yang
akan mendatangkan laba besar bagi penguasa selama porses kepemimpinan berlanjut
di tanganya.
Sudah sepatutnya prilaku penguasa yang
demikian mendapatkan doa dari rakyatnya agar pemimpin yang menetapkan fee atas
dana APBN, APBA, dan APBK supaya ditimpa kepanikan berfikir dalam dirinya.
Perhatikan dengan sebaik-baik mungkin apa
program yang sedang dipraktekkan, apakah mensejahterakan rakyat atau malah
merampok hak-hak masyarakat.
Pahamilah dengan jeli jika politik kekuasaan
dalam Islam itu filosofinya adalah Tanfidhu Syukni Bima Yushlihul Ummah (sebuah
usaha yang dialakukan untuk kemashlahatn ummat) bukan kesejahteraan pribadi,
kelompok atau orang-orang tertentu saja, sehingga kekayaan itu hanya menumpuk
pada individu atau sebagian orang saja.
Ingatlah kepada anak cucu yang akan
meneruskan hidup dikemudian hari nantinya, sesuatu yang harus diwanti-wanti
sejak ini adalah jangan sempat generasi berikutnya menjadi buruh (tung upah)
pada mantan pemimpin yang saat ini sedang berkuasa.
Generasi bangsa dikemudian hari terpaksa
menjadi buruh pada mantan pemimpinnya sendiri atau pada orang-orang tertentu
yang ikut menikmati proses kepemimpinan saat ini, oleh karena sudah sulit
mendapatkan boinah alam atau boinah kekayaan dalam
bentuk yang lain.
Bisikkan cerita ini kepada tetangga kita
masing-masing wahai anak bangsa. Jangan sempat generasi bangsa ini hannya bisa
menjadi buruh dikemudian hari pada pemimpin yang saat ini berkuasa.
Wahai pemegang kekuasaan berhati-hatilah engkau dalam menghisap
anggaran yang sudah ada, agar tidak ada penyelewengan admistrasi, tepat
sasaran, tidak ada penggelambungan, atau mark up anggaran,
kemudiaan terhindar dari temuan.
Pada saat tibanya hari perhitungan untukmu di
dunia, ketika engkau di audit oleh badan pemeriksa keuangan negara atau lembaga
anti korupsi dan lembaga pemeriksa keuangan, sehingga engkau tidak ditetapkan
sebagai tersangka di dunia dan perhitungan Tuhan yang berakhir dengan sangsi
azab di akhirat.
Semestinya inilah jawaban anomali kekuasaan
yang menjadi kegamangan dalam memahami, siapakah pemimpin itu?. Pemimpin yang
bisa memadukan dua pengetahuan, Tauhid dan Tasawuf dalam
dirinya, sehingga proses kekuasaan dalam prakteknya tidak mengabaikan prinsip
moralitas.
Kekuasaan dan Moral dalam pandangan politik
sudah dibahas jauh-jauh hari oleh tokoh politik klasik bernama Niccolo
Machiavelli. Pemimpin itu nakhoda yang berdiri di depan untuk mensejahterakan
orang banyak. Sebagaimana pemahaman Islam politik dengan konsep "Tanfidhu
Syukni Bima Yuslihul Ummah" sebuah usaha, upaya, program, taktik,
sistem dan sebagainya untuk membangun kemaslahatan ummat.
Bukan kesejahteraan pribadi atau kelompoknya
saja. Maka dengan ini, kita butuh sosok pemimpin yang tahu makna kepemimpinan
berdasarakan asas intelektualisa yang mampu melihat prediksi-prediksi dimasa
yang akan datang.
Pemimpin intelektual adalah pemimpin yang
mampu menerjemahkan bahasa langit ke bumi dengan bahasa yang dimengerti oleh
masyarakatnya, dan bersama-sama masyarakatnya membangun kesejahteraan yang
bersifat universal eksistensial moral etic profetik. Kita butuh pemimpin
intelektual.
Pemimpin yang tidak hannya melihat masa depan tapi juga mampu
memenej masa yang lampau untuk diambil
pelajarannya.
Bukan memanfa’atkan masa depan dengan menggelapkan masa lalu,
sehingga suasana menjadi gaduh lalu rasa saling menghargai terabaikan.
Biarkan kesalahan masa lalu itu diselesaikan
dengan aturan yang ada. Ketika seseorang siap menjadi pemimpin, maka sudah
pasti siap menanggung resikonya. Penyelesaian hukum diselesaikan dengan
undang-undang yang berlaku, bukan dengan ocehan di kaki lima, warong kopi,
medsos dan tempat-tempat umum lainnya yang bisa menimbulkan tafsir syak
wasangka sehingga kegaduhan muncul, apalagi yang melakukan pelemparan isu
tersebut keluar dari mulutnya seorang tokoh kepemimpinan.
Belajarlah dari pemimpin-pemimpin di negara-negara
maju, mereka tidak pernah saling menjelekkan antara pemimpin baru dengan yang
lama, tidak pernah menjelek-jelekkan antar sesama tokoh, apalagi tokoh politik,
mereka saling melengkapi satu sama lain. Jika ada masalah maka hukumlah yang
menyelesaikannya, bukan dengan ocehan-ocehan yang dapat memperkeruh dan
memperburuk citra sesama anak bangsa.
Sekali lagi kita butuh pemimpin intelektual,
pemimpin yang mampu menerjemahkan bahasa langit ke bumi dengan pemahaman yang
dimengerti, menyampaikan suara kebenaran untuk kemaslahatan orang banyak.
Ungkapan hadih maja dalam bahasa Aceh di saat mengaungkapkan sebuah prilaku
menyimpang sering diungkapkan dengan kalimat “Lok lingkong kuala ligan Lok
nagan kuala pasi Gadoh lok diteka padang Gadoh sayang diteka benci”.
Kebencian itu hannya muncul dan hannya
dipelihara oleh orang-orang yang hatinya busuk. Yang demikian itu akan terus
dipelihara sebab ego sentries bakal berkembang dalam jiwa-jiwa
yang memelihara sifat keiblisan. Syaithan seumur hidupnya hannya sekali saja
mengingkari perintah Tuhan, hanya karena tidak mau sujud kepada adam dan inilah
yang menyebabkan syaithan disebut kafir oleh Tuhan.
Ingat satu hal syaithan tidak pernah
menduakan Tuhan. Syaithan hannya ingkar pada satu perintah saja, tetapi satu
hal kesalahan iblis selamanya iblis dilabel sebagai kafir. Salah satu sifat
manusia yang dirindukan syaithan adalah Thama' alias sep
hansep. Serta suka memutar balikkan suasana, suka memplintirkan kata kata,
suka menerjemahkan kata orang lain dipoles hingga menimbulkan kekacauan pikiran
publik, sehingga dari kesemua itu mengikis rasa sayang lalu muncul kebencian.
Wahai para pemimpin saat ini dan calon
pemimpin di masa yang akan datang. Jika kamu belum mampu menjadi pemuka agama,
maka kelolalah para generasi ulama (ilmuan) dengan baik dan didiklah generasi
ulama (ilmuan) berikutnya dengan memberi kelapangan penuh bagi mereka, sehingga
pesan-pesan ilmu mereka mewakili pesan pesanmu juga.
Wahai pemimpin saat ini dan pemimpin yang
akan datang. Jika kamu belum mampu menjadi imam shalat disetiap waktu bersama
rakyatmu, maka kelolah para imam dengan baik, dan didiklah generasi imam
berikutnya dengan memberi kemudahan bagi mereka. Sehingga posisi imam itu
adalah tugasmu yang mewakili.
Wahai pemimpin saat ini dan pemimpin dimasa
yang akan datang. Jika kamu belum mampu menjadi khatib disetiap mimbar jum‘at,
maka kelolah para khatib-khatib tersebut, serta didiklah para calon-calon
khatib berikutnya dengan memberi segala kemudahan bagi mereka. Sehingga khatib
yang menjalankan tugasnya adalah tugasmu yang mewakili.
Wahai pemimpin saat ini dan pemimpin di masa
yang akan datang. Jika kamu tidak mampu menjadi muazzin disetiap waktu shalat,
maka kelolalah para muazzin disetiap penjuru kekuasaanmu dengan baik, dan
berikan kemudahan kepada mereka, sehingga setiap azan berkumandang itu adalah
azanmu.
Wahai pemimpin saat ini dan pemimpin di masa yang akan datang. Jika kamu tidak mampu mejadi guru disetiap sekolah-sekolah dan balai pengajian, maka kelolalah dengan baik para guru dengan baik, sehingga penyampaian ilmu kepada murid- murid yang disampaikan oleh para guru disetiap lembaga pendidikan adalah pesan ilmu mu yang sedang ditransfer kepada umat dan generasi berikutnya. Lalu kemudian pesan-pesan yang lainnya juga harus dikelola dengan baik, sehingga jika-jika berikutnya adalah pesan pesanmu yang hidup ditengah-tengah umat.
Jakarta, 09 Agustus 2020.
Komentar
Posting Komentar