MANUSIA HANYA MEMILIKI SUDUT PANDANG YANG TERBATAS
قُلْ كُلٌّ يَعْمَلُ عَلَىٰ شَاكِلَتِهِۦ فَرَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَنْ هُوَ أَهْدَىٰ سَبِيلً
Artinya, Katakanlah: "Tiap-tiap
orang berbuat menurut keadaannya, masing-masing". Maka Tuhanmu lebih
mengetahui siapa yang lebih benar jalanNya”. Q. S. al-Isra/017: 84.
Memahami
masalah hanya berdasarkan satu sisi sudut pandang, sering menjadikan pelakunya
sakit jiwa. Seseorang yang memahami konteks berdasarkan sudut pandang
komunikasi sering memahami komunikasi itu dibangun atas dasar satu pihak,
prilaku seperti ini menjadikan pelakunya sakitnya jiwa. Manusia diciptakan Tuhan
sebagai makhluk yang lemaha, sebagaimana dijelasakan dalam surat an-Nisak.
وَخُلِقَ الْإِنْسَانُ ضَعِيفًا
Artinya, “Dan manusia diciptakan dalam keadaan lemah”. Q. S. an-Nisak/004: 2
Perkembangan ilmu pengetahuan manusia telah membelah sudut pandang berdasarkan klasifikasinya. Hadirnya sebuah tatanan keilmuan menghasilkan konklusi yang berbeda dalam memetakan sebuah fenomena. Sebagaimana halnya, memahami sesuatu berdasarkan satu sisi sudut pandang psikologi, setiap masalah cuma dilihat dari konteks jiwanya saja, tanpa mencoba mencari tahu berdasarkan apa sesuatu itu berlaku, para psikolog sering sakit jiwa dalam hal ini, sebab melihat masalah dari sudut pandang gejala kejiwaan saja.
Begitu juga dengan sudut pandang yang lain. Memahami manusia hanya ditinjau dari sudut pandang ilmu ekonomi saja, maka manusia akan dilihat rendah. Sudut pandang ekonomi hanya melihat manusia dari apa yang dimilikinya. Kemampuan manusia hanya dilihat dari kemampuan ekonominya semata. Ketika kepemilikan itu dilihat dari apa yang dimiliki seseorang, maka kehidupan hanya dapat dijalani dengan konvergensi simbolik semata. Jika saja keuntungan hanya dilihat dari saling berhimpitan maka keseimbangan hidup akan terjadi kesenjangan di dalam strata sosial. Kaum ekonomis hanya melihat manusia dari apa yang dimilikinya, bukan dari hakikat manusia itu sendiri, jika manusia dijadikan Tuhan dalam bentuk yang beraneka ragam dan fungsi.
Sudut pandang filosofis juga sering menjadikan pikiran
manusia seolah-olah sangat detil dalam memahami masalah, para pemikir lupa
menyadari dari sudut mana pikiran itu timbul, kadang kala manusia mendapatkan
pemahaman berdasarkan latar belakang masalah, kadang tanpa latar muncul
masalah, yang lebih gawat ada masalah namun tidak ada latar yang membuat
masalah itu harus dipermasalahkan. Para
pemikir filosofis sering sakit dengan cara berfikirnya, sebab lupa jika pikiran
itu tidak selama baik, jika tidak dibangun atas dasar rumus kebenaran yang
kuat.
Ilmu pengetahuan tidak hanya digunakan untuk memahami
alam dan seisinya saja, namun juga digunakan untuk memahami agama. Memahami agama
hanya dengan sudut pandang satu ilmu saja, akan membawa agama itu menjadi musuh
bagi manusia. Agama jika hanya dipahami dengan menggunakan ilmu fiqh saja, maka
kesimpulan yang akan diambil atas ibadah orang lain menjadi salah semua, dan
kebenaran tata ibadah hanya dilihat berdasarkan kebenaran fiqh semata. Begitu juga
dengan ilmu tafsir, jika ilmu tafsir saja menjadi ukurannya, maka kebenaran
beragama hanya dilihat dari sudut pandang tafsir semata, begitu juga dengan
ilmu yang lainnya seperti tasawuf, tauhid, ketatabahasaan, dan ilmu yang
lainnya.
Para sosiolog hanya mengamati apa yang sedang dilakukan
oleh manusia, aktifitas masyarakat menjadi sumber pengetahuan baginya, tanpa
mau peduli mengapa aktifitas itu dilakukan secara turun temurun, dan tidak
pernah mau mencari tahu bagaimana menyelesaikan masalah yang sedang berlaku
dalam sebuah komunitas.
Menvonis gejala masyarakat merupakan pikiran yang sakit,
apalagi mencoba untuk mengukur tingkat kelas budaya berdasarkan fenomena
masyarakat tersebut, dengan membandingkan sebuah gejala masyarakat yang terjadi
pada suatu wilayah dengan wilayah yang lain, sehingga dengan perbandingan
tersebut terkatagori komunitas dengan tingkat budaya yang rendah dengan budaya
yang dianggap berkelas. Para sosiolog
adalah kelompok orang yang sakit jiwanya sa'at mengukur moral sebuah masyarakat
berdasarkan gejalanya.
Begitu
juga dengan pegiat ilmu kedokteran, sering melihat masalah berdasarkan ilmu kesehatan
yang dipelajarinya, tingkat kesehatan dan kebersihan diukur berdasarkan standar
yang dia pelajari, tanpa melihat standar ketahanan imunitas sebuah masyarakat.
Para pegiat ilmu kedokteran memandang masyarakat diperkampungan dengan tingkat
kesehatan yang rendah, sebab tidak menggunakan tata cara hidup modern dalam
mengelola kehidupannya.
Nah sampai di sini, mereka-mereka kaum medis sering
beranggapan penyakit selalu datang dari makanan yang di makan, padahal penyakit
itu selalu datang dari problem pikiran yang tidak sehat, yang diakibatkan oleh
ketidak adanya ketenangan jiwa dalam dirinya. Ketenangan
jiwalah yang membuat orang sehat, bukan sehat itu melulu soal makanan. Maka, dengan demikian makanan
bukanlah salah satu sumber untuk menjadi sehat.
Begitu
juga dengan sudut pandang yang lainnya. Jika, persoalan aktifitas yang berlaku
atas manusia cuma dilihat dari satu sisi saja, dan hanya dari satu sudut pandang ilmu semata, maka kesimpulan pikiran atas fenomena tersebut akan menjadi
brutal. Brutal sebab tidak bisa memadukan antara akal, pikiran, dan rasa yang
harus dibangun berdasarkan kata hati. Kata hati manusia akan memahami setiap
fenomena tersebut berdasarkan sudut pandang yang beraneka ragam, sehingga
kesimpulan yang diambil menjadi rahmat bagi seluruh isi alam.
Memahami sesuatu dengan tidak berpatokan pada dasar keterbatasan kemampuan manusia merupakan tindakan yang keliru, bahkan akan terjerumus pada kesombongan. Kesombongan yang tertanam dalam diri manusia akan berakibat pada tindakan yang akan merendahkan orang lain. Baik merendahkan dalam bentuk penguasaan ilmu dan kecerdasan serta merendahkan manusia atas kepemilikannya di dunia. Tuhan telah membatasi pengetahuan manusia dengan batasan tertentu, di sini Tuhan mengatakannya, bahwa kemampuan manusia secerdas apapun dan secanggih apapun tehnologi yang dimilikinya dengan batasan hanya sedikit saja.
وَيَسْـَٔلُونَكَ عَنِ ٱلرُّوحِ ۖ قُلِ ٱلرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّى
وَمَآ أُوتِيتُم مِّنَ ٱلْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا
Artinya,
“dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu
Termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan
sedikit". Q. S. al-Isra/017: 85.
Seorang sarjana psikolog tidak akan mampu memahami jiwa orang lain dengan baik, seorang sarjana sosiologi tidak akan mampu menangkap gejala kehidupan manusia dengan baik, seorang sarjana kedokteran tidak akan mampu mengukur kesehatan orang lain dengan baik, kaum ekonomis tidak akan mampu memuliakan manusia dengan sudut pandang apa yang dimilikinya, kaum filosofis tidak akan mampu memahami sesuatu objek walaupun kajian yang dilakukannya melewati batasa standar pengkajian dalam tata cara berfikir yang dibangun atas dasar logika yang benar, sedetail apapun bangunan berfikir yang dibangun tetap saja manusia dibatasi pengetahuannya dengan batasan “wama utitum minal ‘ilmi qalila” (tidak akan diberikan ilmu itu, kecuali sedikit saja).
Jadi, bagi siapa yang merasa memiliki ilmu dan harta, maka tinggalkan dia......
Komentar
Posting Komentar