PEMIMPIN ITU MERDEKA JIWANYA
Perlu diperhatikan dengan seksama dalam memilih seseorang
untuk mengurus urusan publik. Mengingat kehidupan manusia sudah menjadi
fitrahnya hidup secara berkelompok, maka kehadiran seorang nakhoda menjadi
keharusan. Jauh-jauh hari Nabi Muhammad saw., telah menyampaikan pesan kepada
sahabatnya, lebih kurangnya berbunyi “jika ada dua atau lebih di antara
kalian, maka tunjukkan satu orang untuk menjadi pemimpinnya dalam urusan tertentu”.
Perkara kepemimpinan merupakan perkara yang sangat urgen
dibahas dalam sejarah politik Islam. Dimulai semenjak perkara di mana pengganti
Nabi Muhammad saw., setelah baginda wafat menjadi perhatian kusus bagi sahabat
sa’at itu, sampai-sampai prosesi penguburan jenazah Nabipun ditunda pelaksanaannya,
sebelum ada penggantinya sebagai khalifah ditentukan. Akhirnya, terpilihlah Abu
Bakar ash-Shiddiq sebagai pengganti khalifah yang meneruskan misi Ulil Amri.
Memilih Abu Bakar ash-Shiddiq sebagai pengganti Nabi
bukanlah dilihat dari sosok Abu Bakar sebagai mertuanya Nabi, namun juga
keberadaan Abu Bakar ash-Shiddiq menjadi khalifah atas pertimbangan beberapa
hal. Pertama, Abu Bakar ash-Shiddiq adalah orang yang sangat jujur,
bukti kejujurannya dengan diberi gelar kepadanya nama Ash-Shiddiq (jujur,
benar, dan tepat). Kedua, Abu Bakar ash-Shiddiq adalah salah seorang
sahabat yang termasuk generasi pertama masuk Islam. Ketiga, Abu Bakar
ash-Shiddiq adalah orang di tuakan. Keeempat, Abu Bakar ash-Shiddiq
orang yang pertama mengimani (mempercayai) Nabi Muhammad saw., telah melakukan
perjalan Isra’ Mi’raj. Kelima, Abu Bakar ash-Shiddiq berasal dari
suku Qurays. Dan tentunya masih terdapat perkara-perkara yang lain,
Persoalan kepemimpinan harus berasal dari Suku Qurays
juga menjadi syarat utama dalam beberapa dekade politik, menjadi pembahasan
utama bagi intelektual dalam sejarah peradaban politik Islam, termasuk di dalamnya Imam al-Mawardi yang membahas
tuntas dalam bukunya yang berjudul “al-ahkamus
sulthaniyyah”. Beberapa dekade dalam sejarah politik Islam, hampir disetiap
wilayah kerajaan Islam dipimpin oleh Suku Qurays. Setelah munculnya era baru
dalam sejarh politik, keberadaan Suku Qurays sebagai pemimpin tidak relevan
lagi untuk dipertahankan, tentunya atas perkembangan zaman dan momen politik
yang harus berjalan.
Abu Bakar ash-Shiddiq, sebagai pemimpin pertama dalam
sejarah politik Islam digelari dengan Kalifah. Kemudian dilanjutkan oleh Umar
bin Khattab. Berbeda dengan keberadaan Umar sebagai khalifah, Umar tidak mau
digelari sebagai khalifah oleh karena tidak ingin menyamai Abu Bakar. Tidak ingin
menyamiai di sini adalah karena kelebihan dan keutamakan Abu Bakar ash-Shiddiq
sebagai sahabat Nabi yang mendapat gelar ash-Shiddiq. Umar akhirnya
lebih memilihi disebut dengan nama julukan amirul mukmini (pemimpin
orang-orang beriman). Begitu juga pada kempemimpinan berikutnya, Usman bin ‘Affan
dan Ali bi Abi Thalib kembali digelari dengan khlaifah sampai pada khalifah Mu’awiyah
dan seterusnya.
Terjadi pasang surut dalam proses kepemimpinan menjadi
lumrah saja terjadi dalam sebuah negara atau kerajaan. Tidak semuanya proses
dan suksesi kepemimpinan berjalan dengan lancar. Kericuhan, kekacauan,
keributan, tarik menarik kekuasaan, bahkan pertumpahan darahpun tidak bisa
dihindarkan, baik dengan sesama anak bangsa maupun dengan kerajaan-kerajaan
lainnya. Pertemanan dan permusuhan dalam konpetisi hidup antar kekuasaan dan
kepentingan menjadi bagian dari proses politik yang selalu berulang kali
terjadi hingga sampai sa’at ini.
Filosofi kepemimpinan yang dipahami dalam ajaran Islam bertujuan
untuk mengantarkan kesejahteraan bagi umat manusia. Dr. Muhammad Iqbal menulisa dalam bukunya “Fiqh
Siyasah” bahwa kepemimpinan itu mewujud sebagai sebuah usaha yang
dilakukan untuk sebuah kemashlahatan umat, atau disebut juga dengan tanfidhu
syu’ni bima yushlihul ummah. Apapun bentuk pemerintahan, dan bagaimanapun
sistem negara yang dibangun, serta siapapun pemimpinnya, tujuan utama
berdirinya sebuah negara dengan kekuasaan yang melekat padanya hanya satu
tujuan yakni mengantarkan kesejahteraan kepada umat dalam berbagai bentuk.
Berbicara tentang kesejahteraan, tentunya berbicara
kepentingan. Kepentingan yang dimaksud di sini adalah kepentingan bersama,
sebagaimana diatur dalam perundangan negara bahwa, setiap warga negara berhak
mendapatkan pelayanan yang adil dan sesuai dengan kebutuhannya.
Membahas persoalan kesejahteraan dan kepentingan adalah
berbicara tentang kemerdekaan hidup. Hidup merdeka tentunya terbebas dari
segala bentuk tekanan dari luar. Kemerdekaan yang kita pahami dalam konteks
hidup bernegara adalah terbebasnya pikiran-pikiran disetiap kita dari upaya-upaya
mempertahankan kepentingan pribadi dan kelompok. Membebaskan diri dari
cengkraman hawa nafsu inilah modal utama bagi manusia untuk mencapai
kesejahteraan bersama dalam hidup bernegara.
Oleh karena demikian, sebagai pemimpin yang mengantarkan
kesejahteraan dan kemerdekaan hidup bagi orang banyak harus diduduki oleh orang-orang
yang merdeka jiwanya. Jiwa yang terbebas dari kepentingan diri, keluarga, dan
kelompoknya. Pemimpin yang merdeka dari kepentingannya adalah pemimpin yang
tidak lagi memperturutkan hawa nafsunya. Hawa nafsu yang ada dalam diri manusia
pada dasarnya tidaklah membawa kebaikan pada manusia itu sendiri,
keruskan-kerusakan akan terjadi jika saja hawa nafsu serakah dimiliki oleh
seorang penguasa disuatu wilayah.
Bagaimana seorang pemimpin dapat diharapkan untuk
mengantarkn kemerdekaan hidup bagi masyarakatnya dalam segala hal, jika
dirinya saja belum merdeka. Jiwanya masih dipengaruhi oleh hawa nafsu serakah
dengan kepentingan dunia. Ketika suatu negeri dan wilayah dipimpin oleh manusia
yang masih belum merdeka dirinya (jiwa yang masih terikat dengan nafsu
serakahnya), maka kesejahteraan hidup orang banyak tidak akan terwujud. Bahkan bukan
hanya tidak terwujud, malah akan mencelakakan masyarakat dalam bebrbagai hal. Apalagi
keserakahan itu menjadi alur pikiran yang diterjemahkannya sebagai kesempatan
bagi dirinya untuk mengolah sedemikian rupa harta milik negara yang menjadi
kewenangan dirinya semasa jabatan kepemimpinan itu ada di tangannya.
Kepala pemerintahan yang menerjemahkan kepemimpinan
sebagai kesempatan untuk memperkaya dirinya, maka dia tidak layak disebut
sebagai pemimpin, namun disebut sebagai penguasa. Penguasa akan berlaku
seperti bos. Sifat bos itu dilayani, bukan melayani. Ketika pelayanan-pelayanan
bawahan tidak hadir untuk dirinya, maka keputusan yang diambilpun sangat arogan.
Semua level kekuasaan yang berada di bawah penguasaannya harus melayani sesuai
dengan keinginan sang penguasa. Kerakusan demi kerasukan akan terus
dipraktekkannya oleh mental penguasa dilayani.
Pemimpin adalah orang yang merdeka jiwa dan raganya,
sebagaimana merdekanya jiwa khalifah ar-rasydun dalam meneruskan misi
kenabian untuk mengemban amanah kekuasaan yang telah diberikan kepada mereka. Kemerdekaan
sahabat Nabi terlihat dari pengaruh kekuasaan yang melekat dalam dirinya. Tidak
ada keinginan bagi sahabat rasyidin memanfa’atkan kekuasaan untuk
memperkaya diri, keluarga, dan kelompoknya. Sangking merdekanya jiwa
kepemimpinan sahabat ini, semangat berkorban tertancap dalam kepemimpinannya. Jangankan
untuk memperkaya diri, malah mengorbankan dirinya, baik pengorbanan waktu,
pikiran, harta, bahkan jiwanya untuk kepentingan politik yang membawa
kesejahteraan bagi umat manusia, sehingga kekuasaan khalifah ar-rasydun
menjadi rule model kepemimpinan sampai hari ini.
Kepemimpinan yang terus berlangsung sampai hari ini,
haruslah diemban oleh orang-orang yang merdeka jiwanya, merdeka dari pengaruh
hawa nafsunya. Kemerdekaan ini akan membawa kesejahteraan bagi masyarakat yang
dipimpinnya. Sehingga, jangankan orang dari kelompok yang mendukung dirinya,
kelompok yang menjadi lawan politiknyapun ikut merasakan bagaimana sikap
melayani yang disuguhkan oleh kepemimpinan yang merdeka jiwanya.
Pemimpin tidak boleh diemban oleh orang yang belum
merdeka jiwa dan raganya. Bagaima pemimpin itu akan menyelesaikan persoalan
orang banyak sementara jiwa dan raganya sendiri belum merdeka, dari
pengaruh-pengaruh keserakahan. Di sini, kita butuh pemimpin yang diri, jiwa,
dan raganya sudah selesai dengan dirinya sendiri. Ketika seseorang telah
selesai dengan dirinya sendiri, maka di sinilah jiwa kepemimpinan akan
mewujudkan kesejahteraan bagi rakyatnya.
Bukankah Kepemimpinan itu mengurus perkara orang banyak.
Jika saja seseorang yang belum selesai dengan dirinya sendiri, bagaimana
pemimpin dapat diharapkan untuk menyelesaikan persoalan orang lain. Orang yang sudah selesai dengan dirinya sendiri, maka keberadaannya
tidak lagi berfikir tentang persoalan pribadinya.
Sudah menjadi kewajiban bagi negara, setelah seseorang
yang terpilih dilantik menjadi pemimpin diberbagai level kepemimpinan, maka
negara menyediakan anggaran akomodasi kehidupan baginya, mulai dari kebutuhan
keluarga, sampai pada kebutuhan yang tak terduga. Menyangkut dengan hal yang demikian biasanya masuk dalam wilayah
anggaran Rumah Tangga. Pada tahapan ini, tidak
perlu lagi seorang pemimpin itu memikirkan persoalan kebutuhan Rumah Tangganya.
Negara sudah menyediakan segalanya, selama dia mengurus urusan publik.
Oleh karena negara telah menyediakan segala kebutuhannya,
lalu hak kemerdekaan penuh seharusnya sudah dirasakan oleh pemimpin, tanpa
harus mencari kemerdekaan yang lain. Sebab pemimpin itu tugasnya adalah
memerdekakan orang lain dalam berbagai bentuk, baik merdeka dalam hal ekonomi,
kesehatan, pendidikan, fasilitas, dan berbgai macam bentuk kemerdekaan yang
lainnya, tentunya kemerdekaan yang menyangkut dengan hajat hidup orang banyak. Sebagaimana
filosofinya bahwa kepemimpinan itu adalah “sebuah usaha yang dilakukan untuk
mengantarkan kemashlahatan umat”.
Amfat Es Dot Fil, Banda Aceh, 12 Agustus 2020
Komentar
Posting Komentar