PEMIMPIN ITU MERDEKA JIWANYA


Artinya, “Wahai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan rasa puas, dengan segala nikmat yang diberikan, lagi diridhai-Nya. Masuklah ke dalam jama'ah hamba-hambaKu. Masuklah ke dalam syurgaKu”. (Q. S. al-Fajr/89: 27-30)

Perlu diperhatikan dengan seksama dalam memilih seseorang untuk mengurus urusan publik. Mengingat kehidupan manusia sudah menjadi fitrahnya hidup secara berkelompok, maka kehadiran seorang nakhoda menjadi keharusan. Jauh-jauh hari Nabi Muhammad saw., telah menyampaikan pesan kepada sahabatnya, lebih kurangnya berbunyi “jika ada dua atau lebih di antara kalian, maka tunjukkan satu orang untuk menjadi pemimpinnya dalam urusan tertentu”.

Perkara kepemimpinan merupakan perkara yang sangat urgen dibahas dalam sejarah politik Islam. Dimulai semenjak perkara di mana pengganti Nabi Muhammad saw., setelah baginda wafat menjadi perhatian kusus bagi sahabat sa’at itu, sampai-sampai prosesi penguburan jenazah Nabipun ditunda pelaksanaannya, sebelum ada penggantinya sebagai khalifah ditentukan. Akhirnya, terpilihlah Abu Bakar ash-Shiddiq sebagai pengganti khalifah yang meneruskan misi Ulil Amri.

Memilih Abu Bakar ash-Shiddiq sebagai pengganti Nabi bukanlah dilihat dari sosok Abu Bakar sebagai mertuanya Nabi, namun juga keberadaan Abu Bakar ash-Shiddiq menjadi khalifah atas pertimbangan beberapa hal. Pertama, Abu Bakar ash-Shiddiq adalah orang yang sangat jujur, bukti kejujurannya dengan diberi gelar kepadanya nama Ash-Shiddiq (jujur, benar, dan tepat). Kedua, Abu Bakar ash-Shiddiq adalah salah seorang sahabat yang termasuk generasi pertama masuk Islam. Ketiga, Abu Bakar ash-Shiddiq adalah orang di tuakan. Keeempat, Abu Bakar ash-Shiddiq orang yang pertama mengimani (mempercayai) Nabi Muhammad saw., telah melakukan perjalan Isra’ Mi’raj. Kelima, Abu Bakar ash-Shiddiq berasal dari suku Qurays. Dan tentunya masih terdapat perkara-perkara yang lain,

Persoalan kepemimpinan harus berasal dari Suku Qurays juga menjadi syarat utama dalam beberapa dekade politik, menjadi pembahasan utama bagi intelektual dalam sejarah peradaban politik Islam,  termasuk di dalamnya Imam al-Mawardi yang membahas tuntas dalam bukunya yang berjudul  al-ahkamus sulthaniyyah”. Beberapa dekade dalam sejarah politik Islam, hampir disetiap wilayah kerajaan Islam dipimpin oleh Suku Qurays. Setelah munculnya era baru dalam sejarh politik, keberadaan Suku Qurays sebagai pemimpin tidak relevan lagi untuk dipertahankan, tentunya atas perkembangan zaman dan momen politik yang harus berjalan.

Abu Bakar ash-Shiddiq, sebagai pemimpin pertama dalam sejarah politik Islam digelari dengan Kalifah. Kemudian dilanjutkan oleh Umar bin Khattab. Berbeda dengan keberadaan Umar sebagai khalifah, Umar tidak mau digelari sebagai khalifah oleh karena tidak ingin menyamai Abu Bakar. Tidak ingin menyamiai di sini adalah karena kelebihan dan keutamakan Abu Bakar ash-Shiddiq sebagai sahabat Nabi yang mendapat gelar ash-Shiddiq. Umar akhirnya lebih memilihi disebut dengan nama julukan amirul mukmini (pemimpin orang-orang beriman). Begitu juga pada kempemimpinan berikutnya, Usman bin ‘Affan dan Ali bi Abi Thalib kembali digelari dengan khlaifah sampai pada khalifah Mu’awiyah dan seterusnya.

Terjadi pasang surut dalam proses kepemimpinan menjadi lumrah saja terjadi dalam sebuah negara atau kerajaan. Tidak semuanya proses dan suksesi kepemimpinan berjalan dengan lancar. Kericuhan, kekacauan, keributan, tarik menarik kekuasaan, bahkan pertumpahan darahpun tidak bisa dihindarkan, baik dengan sesama anak bangsa maupun dengan kerajaan-kerajaan lainnya. Pertemanan dan permusuhan dalam konpetisi hidup antar kekuasaan dan kepentingan menjadi bagian dari proses politik yang selalu berulang kali terjadi hingga sampai sa’at ini.

Filosofi kepemimpinan yang dipahami dalam ajaran Islam bertujuan untuk mengantarkan kesejahteraan bagi umat manusia.  Dr. Muhammad Iqbal menulisa dalam bukunya “Fiqh Siyasah bahwa kepemimpinan itu mewujud sebagai sebuah usaha yang dilakukan untuk sebuah kemashlahatan umat, atau disebut juga dengan tanfidhu syu’ni bima yushlihul ummah. Apapun bentuk pemerintahan, dan bagaimanapun sistem negara yang dibangun, serta siapapun pemimpinnya, tujuan utama berdirinya sebuah negara dengan kekuasaan yang melekat padanya hanya satu tujuan yakni mengantarkan kesejahteraan kepada umat dalam berbagai bentuk.

Berbicara tentang kesejahteraan, tentunya berbicara kepentingan. Kepentingan yang dimaksud di sini adalah kepentingan bersama, sebagaimana diatur dalam perundangan negara bahwa, setiap warga negara berhak mendapatkan pelayanan yang adil dan sesuai dengan kebutuhannya.

Membahas persoalan kesejahteraan dan kepentingan adalah berbicara tentang kemerdekaan hidup. Hidup merdeka tentunya terbebas dari segala bentuk tekanan dari luar. Kemerdekaan yang kita pahami dalam konteks hidup bernegara adalah terbebasnya pikiran-pikiran disetiap kita dari upaya-upaya mempertahankan kepentingan pribadi dan kelompok. Membebaskan diri dari cengkraman hawa nafsu inilah modal utama bagi manusia untuk mencapai kesejahteraan bersama dalam hidup bernegara.

Oleh karena demikian, sebagai pemimpin yang mengantarkan kesejahteraan dan kemerdekaan hidup bagi orang banyak harus diduduki oleh orang-orang yang merdeka jiwanya. Jiwa yang terbebas dari kepentingan diri, keluarga, dan kelompoknya. Pemimpin yang merdeka dari kepentingannya adalah pemimpin yang tidak lagi memperturutkan hawa nafsunya. Hawa nafsu yang ada dalam diri manusia pada dasarnya tidaklah membawa kebaikan pada manusia itu sendiri, keruskan-kerusakan akan terjadi jika saja hawa nafsu serakah dimiliki oleh seorang penguasa disuatu wilayah.

Bagaimana seorang pemimpin dapat diharapkan untuk mengantarkn kemerdekaan hidup bagi masyarakatnya dalam segala hal, jika dirinya saja belum merdeka. Jiwanya masih dipengaruhi oleh hawa nafsu serakah dengan kepentingan dunia. Ketika suatu negeri dan wilayah dipimpin oleh manusia yang masih belum merdeka dirinya (jiwa yang masih terikat dengan nafsu serakahnya), maka kesejahteraan hidup orang banyak tidak akan terwujud. Bahkan bukan hanya tidak terwujud, malah akan mencelakakan masyarakat dalam bebrbagai hal. Apalagi keserakahan itu menjadi alur pikiran yang diterjemahkannya sebagai kesempatan bagi dirinya untuk mengolah sedemikian rupa harta milik negara yang menjadi kewenangan dirinya semasa jabatan kepemimpinan itu ada di tangannya.

Kepala pemerintahan yang menerjemahkan kepemimpinan sebagai kesempatan untuk memperkaya dirinya, maka dia tidak layak disebut sebagai pemimpin, namun disebut sebagai penguasa. Penguasa akan berlaku seperti bos. Sifat bos itu dilayani, bukan melayani. Ketika pelayanan-pelayanan bawahan tidak hadir untuk dirinya, maka keputusan yang diambilpun sangat arogan. Semua level kekuasaan yang berada di bawah penguasaannya harus melayani sesuai dengan keinginan sang penguasa. Kerakusan demi kerasukan akan terus dipraktekkannya oleh mental penguasa dilayani.

Pemimpin adalah orang yang merdeka jiwa dan raganya, sebagaimana merdekanya jiwa khalifah ar-rasydun dalam meneruskan misi kenabian untuk mengemban amanah kekuasaan yang telah diberikan kepada mereka. Kemerdekaan sahabat Nabi terlihat dari pengaruh kekuasaan yang melekat dalam dirinya. Tidak ada keinginan bagi sahabat rasyidin memanfa’atkan kekuasaan untuk memperkaya diri, keluarga, dan kelompoknya. Sangking merdekanya jiwa kepemimpinan sahabat ini, semangat berkorban tertancap dalam kepemimpinannya. Jangankan untuk memperkaya diri, malah mengorbankan dirinya, baik pengorbanan waktu, pikiran, harta, bahkan jiwanya untuk kepentingan politik yang membawa kesejahteraan bagi umat manusia, sehingga kekuasaan khalifah ar-rasydun menjadi rule model kepemimpinan sampai hari ini.

Kepemimpinan yang terus berlangsung sampai hari ini, haruslah diemban oleh orang-orang yang merdeka jiwanya, merdeka dari pengaruh hawa nafsunya. Kemerdekaan ini akan membawa kesejahteraan bagi masyarakat yang dipimpinnya. Sehingga, jangankan orang dari kelompok yang mendukung dirinya, kelompok yang menjadi lawan politiknyapun ikut merasakan bagaimana sikap melayani yang disuguhkan oleh kepemimpinan yang merdeka jiwanya.  

Pemimpin tidak boleh diemban oleh orang yang belum merdeka jiwa dan raganya. Bagaima pemimpin itu akan menyelesaikan persoalan orang banyak sementara jiwa dan raganya sendiri belum merdeka, dari pengaruh-pengaruh keserakahan. Di sini, kita butuh pemimpin yang diri, jiwa, dan raganya sudah selesai dengan dirinya sendiri. Ketika seseorang telah selesai dengan dirinya sendiri, maka di sinilah jiwa kepemimpinan akan mewujudkan kesejahteraan bagi rakyatnya.

Bukankah Kepemimpinan itu mengurus perkara orang banyak. Jika saja seseorang yang belum selesai dengan dirinya sendiri, bagaimana pemimpin dapat diharapkan untuk menyelesaikan persoalan orang lain. Orang yang sudah selesai dengan dirinya sendiri, maka keberadaannya tidak lagi berfikir tentang persoalan pribadinya.

Sudah menjadi kewajiban bagi negara, setelah seseorang yang terpilih dilantik menjadi pemimpin diberbagai level kepemimpinan, maka negara menyediakan anggaran akomodasi kehidupan baginya, mulai dari kebutuhan keluarga, sampai pada kebutuhan yang tak terduga. Menyangkut dengan hal yang demikian biasanya masuk dalam wilayah anggaran Rumah Tangga. Pada tahapan ini, tidak perlu lagi seorang pemimpin itu memikirkan persoalan kebutuhan Rumah Tangganya. Negara sudah menyediakan segalanya, selama dia mengurus urusan publik.

Oleh karena negara telah menyediakan segala kebutuhannya, lalu hak kemerdekaan penuh seharusnya sudah dirasakan oleh pemimpin, tanpa harus mencari kemerdekaan yang lain. Sebab pemimpin itu tugasnya adalah memerdekakan orang lain dalam berbagai bentuk, baik merdeka dalam hal ekonomi, kesehatan, pendidikan, fasilitas, dan berbgai macam bentuk kemerdekaan yang lainnya, tentunya kemerdekaan yang menyangkut dengan hajat hidup orang banyak. Sebagaimana filosofinya bahwa kepemimpinan itu adalah “sebuah usaha yang dilakukan untuk mengantarkan  kemashlahatan umat”.

Amfat Es Dot Fil, Banda Aceh, 12 Agustus 2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Meraih Gelar Doktor; Muchlinarwati Disabilitas yang Menginspirasi

Melihat Masalah dengan Masalah

SURAT TERBUKA: KEPADA YANG TERHORMAT BAPAK BUPATI ACEH BARAT DAYA