HARAPAN KONTRAKTOR MUDA, AKHIRNYA KAMIPUN BERMIMPI
Bak taingat ke lempo, tekejot aso ‘oh bungoh teka, meharap ke lempo mangat, be telumpat lam aso kaya.
Beujroh hai anek nanggro, beumeso neupileh keraja, bek neupileh yang panyang iku, beunetupu nyan lahuda.
Cerita kami pada suatu malam. Cerita jeritan hati yang tak berdarah, kisah
para rakyat yang mengiba kerja pada pemerintah. Duduk bersama seorang
kontraktor berkelas di kota ini. Mengenai profesinya sebagai kontraktor saya
paham keluh kesahnya dalam melobi proyek pada pengelola di kantor pemerintahan.
Pembicaraan menyasar pada sistem pelelangan proyek negara dengan menetapkan
fi sudah menjadi peristiwa yang sangat lumrah terjadi di negeri ini,
dari berbagai level kekuasaan. Tawaran ego penguasa berkisar antara 10-15% dari total anggaran per
paket proyek. Bayangkan, jika saja per paket proyek 10 M., Coba dibayangkan
berapa pihak swasta harus mengeluarkan uang cuma-cuma kepada pemegang amanah
kekuasaan, haanya untuk mendapatkan satu paket
pekerjaan saja.
Memahami
keluhan sang kontraktor, saya mengajak dia sejenak untuk berhayal !!!!!!!
Periode ini,
saya hendak mencalonkan diri menjadi pimpinan di sebuah daerah. Mendengar
ucapan saya ini, dia kaget, dengan berkata, yang benar saja katanya. Dia melanjutkan jika saja mencalonkan diri, modalnya dari mana, tanya
sang kontraktor muda ini dengan mimik kaget. Sekejap saya menyadari bahwa dia
belum tahu jika saya sedang menghayal.
Nyo hayalan
bos, kon kenyataan, kata saya......tetiba saja dia tertawa...hahahhahaaa
katanya. Dengan menganggukkan kepala dia mulai
menyadari, jika malam ini kami harus menghabiskan malam dengan cerita mimpi.
Sampailah cerita, di sa'at saya terpilih jadi penguasa nanti, sa'at pidato pelantikan,
saya akan menyampaikan kepada rakyatku semuanya.
Wahai rakyatku
semuanya, ada tiga unsur yang harus bersinergi ketika kita hendak membangun
sebuah daerah. Pertama, unsur pemerintahan. Kedua, pihak swasta. Ketiga,
masyarakat madani. Bagi siapa saja yang pernah belajar mata
kuliah “Civic Education” pasti mereka paham tentang tiga persoalan
sosial yang saling terkait ini.
Pidato ini saya sampaikan dengan sangat berapi-rapi. Sekilas seperti orasi
Teungku Alawu Ma E, ketika pada suatu ketika dulu pada tahun 2007 bersama
teman-teman yang lainnya, berkeliling diseluruh pelosok negeri, sa'at
mengkampanyekan terlaksananya pilkada damai jurdil (jujur dan adil), pada
periode pertama pemilukada memilih pimpinan defenitif pertama kabupaten Aceh
Barat Daya.
Tiga unsur ini
harus bersinergi, saling menjaga, dan saling memahami kiprah masing-masing.
Pihak pemerintah harus menjalankan amanah kekuasaannya dengan
baik sesuai dengan prosedur yang ada, dan mengarah pada program kampanye yang
telah dijanjikan sa’at proses politik berlangsung di panggung politik
demokrasi. Dalam menjalankan kekuasaannya pemimpin tidak boleh menakuti pihak
swasta, walaupun hanya mengutip satu sen saja fi dari setiap proyek yang
ada. Saya
sebagai pemimpin akan mengatakan pada pihak swasta, satu sen pun tidak akan
saya kutip fi dari kalian, atas setiap proyek yang ada. Karena pengutipan fi adalah
kerjanya pengkianat bangsa ini. Maka mulai hari ini, babak baru
kepemimpinan yang bersih, adil, dan bermartabat akan dimulai.
Saya tidak
ingin menganiyaya kalian pejuang swasta. Kontraktor adalah front terdepan dalam
barisan yang membangun negeri ini. Lewat tangan kontraktor jalan dibangun, lewat tangan kontraktor
gedung-gedung berbagai keperluan didirikan, dan lewat
tangan kontraktor berbagai macam fasilitas masyarakat dibangun. Jika saja saya
sebagai pimpinan mengutip fi dari kalian, maka mulai sa’at itu, saya sudah berkhianat terhadap amanah jabatan yang telah dipundakkan atas diri saya, yang hari ini dilantik.
Mendengar
pidato saya sa'at pelantikan jadi penguasa, sang kontraktor ini terkagum-kagum,
dengan mengucapkan, orasi pidato pelantikannya sangatlah menggelegar
“bumi akan tegak, langit akan kokoh, dan alampun bersuka ria”. nyo mangat tat
kamo kontraktor, menyo lage drokeh penguasa (betapa enaknya kami kontraktor, kalau begini saja berfikir penguasa). Dengan begini, sudah jelas proyek akan dikerjakan dengan sangat baik, sesuai dengan program yang ada. Laba
untuk kamipun memuaskan, pembangunan
juga ikut bermutu, dan masyarakat madanipun terbangun dengan baik.
Ternyata, hal yang seperti ini cuma bisaa dinikmati dalam sebuah mimpi. Persoalan
di negeri ini tentang pemerintahan yang bersih, amanah, dan profesional hanya
ada dalam hayalan anak-anak negeri semata. Pemilu dan pemilukada hanya melahirkan pengkhianat terhadap pihak
swasta dan masyarakat madani. Rasa untuk sa’at ini, melihat sosok yang layak
menjadi pemimpin, cukup tidak mengutip fi saja, calon pemimpin itu, sudah mencukupi syarat menjadi pemimpin yang baik di akhir zaman
ini.
Setengah dari lamunan, sayapun menyadari, ternyata kini benar Belanda sudah
pergi, jepang sudah minggat, yang tinggal hanyalah para
pengkhianat yang bermuka dua dan sering juling matanya melihat kekuasaan dan uang. Memahami persoalan ini, jauh-jauh hari seorang pemikir
filsafat politik Barat telah menulis tentang “Moral dan kekuasaan”.
Machiavelli telah menguraikan, kekuasaan dalam masyarakat yang sudah tidak
tertata dengan nilai-nilai yang baik tidak menjadi azasnya lagi. Moral dengan
sendirinya sudah terpisah dengan kekuasaan, tinggallah sifat beringas dari
seorang penguasa, yang berpijak atas kekuasaannya tanpa moral. Politik Machiavelian
menjadi mazhab bagi pemangku keuasaan yang rakus akan dunia.
Bagi penguasa hampir tidak mungkin untuk mengutip fi dari setiap
proyek yang ada, mengingat kos yang harus dikeluarkan sa’at kekuasaan di tangan
sangatlah besar. Sudah menjadi budaya masyarakat kita, meminta sesuatu secara
percuma pada pemimpinnya, termasuk menjaga kolega politik yang sudah berjuang
bersama-sama dalam meraih kekuasaan.
Persoalan gaji bagi pemimpin yang disediakan negara sangatlah renada. Berkisar
pada takaran angka puluhan juta saja. Ini mengganggu stabilitas kerja, menyangkut
dengan kos politik komunikasi yang harus dibangun oleh penguasa. Gaji itu
memang puluhan juta cuman, tapi biaya hidup ples transportasi bagi penguasa
disediakan negara mencapai pada angka milyaran. Apakah kita lupa dengan itu.
Saya pikir, itu tinggal pada persoalan hati saja.
Makanya, saya
menghayal jadi penguasa, sebab rasa-rasanya dengan biayaya rumah tangga ples
kenderaan saja, saya sudah sangat merasa kaya. Bahkan, kekuasaan di tangan
saja, saya sudah merasa memiliki seluruh dunia dan isinya. Semua orang bisa
saya perintah, sesuai dengan keinginan dan wilayah kekuasaan yang saya kuasai.
Mengedepankan prinsip kesedrhanaan yang yang disuguhkan oleh pemimpin, bekerja
dengan sangat merakyat, dengan sendirinya para kontraktor dan yang lainnya
bakal merasa, saya adalah ayah yang mengayomi bagi mereka. Tugas ayah adalah
membuat anak-anaknya bahagia, jika anaknya sudah bahagia, bukankah seorang ayah
akan mendapatkan kekayaan yang melebihi dari angka puluhan juta
tersebut. Sebagai anak yang mendapatkan perhatian dari orang tua, pasti tahu
bagaimana bahagianya seorang anak jika diayomi dengan baik oleh orang tuanya. Ayah di sini adalah pemimpin yang mengayomi dengan
bijaksana.
Bukankah ketika pihak swasta (kontraktor) dan yang lainnya bahagia, maka
seluruh kekayaan yang dimilikinya akan menjadi milik saya juga. Kapanpun
pimpinan butuh uang akan dengan segera para pengusaha memberikannya.
Bayangkan
ketika penguasa turun ke wilayah masyarakatnya dalam kunjungan sosial, apakah
kenduri udep, kenduri mate, kenduri keagamaan seperti maulid, israk mi’raj, kenuri blang, rapat ini, rapat itu, kontraktor yang sudah
dibahagiakan oleh pemimpinnya tidak akan tinggal diam, dan akan memberikan apa yang mereka punya, yang didapatkan dari bagi hasil
mengelola kekayaan negara dalam bentuk proyek. Apalagi
sang penguasa turun dalam bentuk kunjungan social. Minimal kos sosial akan diberikan 2-5 juta sebagai bunga tangan yang harus diserahkan kepada rakyatnya dalam bentuk uang kasih sayang. Dan persoalan kecil ini pasti akan
ditanggung oleh pengusaha yang mendapatkan proyek dari pemimpinnya tanpa
memungut fi sepersenpun. Pemimpin yang mengutip fi prilakunya sama seperti toke
mawah.
Menaruh perhatian duluan ibarat menanam bibit unggul, hasil tanaman
tersebut akan dipetik oleh kita sendiri. Coba saja, pemimpin itu dengan tegas
berkata, setiap proyek dikutip fi 10-15 persen, maka para pengusaha akan
berkata dalam hatinya "pap ma" pimpinan, lage nanggro ayah jih
dipegot, bebagah keh kenong darah mameh, dan be trep mate, jet jra (kalimat ini
sengaja tidak saya terjemahkan, sebab ini ungkapan kritis masyarakat Aceh,
ketika berhadapan dengan sesuatu yang dianggap keliru). Ucapan yang begini akan
keluar dari seluk bari hatinya, sebab kita sudah menganiaya. Jika caci maki
yang keluar dari rakyatnya sendiri, maka nikmat kekuasaan sudah tidak adalagi
baginya.
Ketika periode
berikutnya, sang pimpinan tinggal memberi pengumuman. Nyo uke keban, long pu na
rencana pe ek ke calon lom, nyona rencana so tem jok modal kampanye (pada pemilukada yang akan datang apakah saya harus
mencalonkan lagi, jika ada rencana mencalonkan saya lagi, siapa yang akan
memberi modal kampanyenya), saya tidak punya modal, sebab saya tidak pernah mengumpulkan harta
selama kepemimpinan berlangsung, kecuali gaji yang puluhan juta yang diberikan negara dan biayaya rumah tangga saja, itupun sudah habis saya bagi-bagikan
untuk rakyat saya, ketika dalam kondisi tertentu saya harus
mengeluarkan uang pribadi untuk membantu rakyat saya dalam keadaan tertentu. Dan ini, tidak perlu dijelaskan di sini hal apa saja.
Sebelum ucapan saya selesai, pihak swasta akan berubat angkat tangan dan
bersuar. Kami sudah merasakan pelayanan dari bapak, dan kami serta rakyat
seluruhnya menginginkan bapak maju lagi mencalonkan diri sebagai pemimpin kami
di masa yang akan datang. Soal biaya kampanye itu sepnuhnya urusan kami. Kami yang
sudah memiliki kemampuan finansial selama program membangun negeri tanpa fi yang
bapak canangkan. Pada kondisi seperti ini, loyalitasnya sebagai kolega pemerintah akan terbangun dengan sendirinya, tanpa membuat kelompok di antara mereka.
Pihak swasta senang, masyarakat madani bahagia, oleh sebab unsur
pemerintahan adil, maka kedepannya sa’at pencalonan berikutanya, calon penguasa
cuma satu orang saja, lawan kotak kosong, sebab semua orang tahu, akan menang
kembali periode berikutanya, sebab masyarakat madani sangat bahagia di
tangannya. Mulai dari pejabat, pegawai, pelaut, petani, pengusaha, dan yang
lainnya sudah bahagia. Akhirnya kos demokrasi itu sedikit saja belanjanya.
Ini hanya ada
dalam hayalan.........
Sedikit
menyinggung, siapa yang pertama sekali mengajarkan
masyarakat kita mengenai money politik, coba diingat-ingat. Dari awal, mereka itu memang tidak layak dan tidak pede
mencalonkan diri. Sebab tidak pede makanya politik uang dimainkan. Setelahnya
membudayalah politik uang itu pada pemilukada berikutnya.
Sudah menjadi
teori dalam ilmu budaya, tindakan yang diulang-ulang akan membentuk kebiasaan,
kebiasaan yang diulang-ulang akan membentuk karakter, karakter yang sudah
melekat dalam pikiran dan tindakan akan membudaya
dalam komunitasnya. Kalo sudah membudaya, maka sangat sulit untuk dirobah
kembali pada ajaran dasarnya.
Kemal at-Taturk
telah merubah ideologi islamis negara Turki
menjadi sekuler, sehingga membudaya kehidupan sekuler di Turki. Indonesia non
sekuler dan non agama, namun negara yang mengakui asas nasionalisme, namun
dalam pelaksanaannya kok tega tega menetapkan fi kepada
rakyatnya sendiri. Dengan demikian hadir perampok yang dilegalkan, di negeri ini.
Influiditas
budaya akan melenturkan prilaku asal dari setiap komunitas yang ada. Tinggallah
si dungu yang setia bersama pemimpinnya dan mempertahankan kekuasaan haram sambil menikmati nikmatnya
lingkaran kekuasaan.
Prilaku penguasa dengan fi di pikirannya sangat membudaya di negeri ini, dan masyarakatpun menyambut kehadirannya dengan sangat baik dan terhormat padanya. Dengan sikap lemah
lembut,
tersenyum, sumringah, dan sangat bersahaja ketika berada di depannya, namun
dibelakang malah mencaci makinya dengan sebutan perampok. Akhirnya yang hanya bisa dilakukan hanyalah berprilaku
munafik. Pada sifat kemunafikan tersebut lahirlah masyarakat penakut dalam
dirinya, takut hilang jabatan, takut hilang akses dengan kekuasaan, takut
dipindah tugaskan, dan takut-takut yang lainnya, sampai takut tidak mendapatkan
pekerjaan dari penguasa. Inilah yang berlaku, pemimpin hadir seperti gentet dan hantu kojek (Gendorowo), kerjanya cuma
bisa menakuti orang-orang, bukan membahagiakan orang banyak dengan program programnya.
Seandainya saja, jika ini tema yang disampaikan oleh setiap khatib jumat,
dimulai sejak satu tahun menjelang pemilu dan pemilukada di masing-masing
daerah, kira-kira cikal bakal masyarakat madani akan terbentuk tidak pemahaman
politik yang akan membawa kesejahteraan bagi pihak swasta dan masyarakat seutuhnya.
Amfat Es Dot Fil, 9 September 2020.............
Komentar
Posting Komentar