HILANGNYA PERAN ULAMA: SISTEM NUMERASI POLITIK KITA ABAL-ABAL
Ulama dipemada ngon hafai kitab,
Di pesapat bak bale tuha
Akademisi dipelalo ngon diktat
Rakyat melarat hana so kira
Sejarah pendidikan Aceh tempo dulu telah tercatat dalam sejarah, bahwa dayah merupakan salah satu lembaga pendidikan yang tersebar dari berbagai penjuru wilayah Aceh. Di dayahlah ilmu-ilmu itu disampaikan lewat sentuhan kreatifitas ulama. Ulama dayah telah mempengaruhi pemikiran masyarakat Aceh dari masa ke-masa, hingga sa’at ini.
Munculnya penjajahan Belanda telah memporak-porandakan sistem transformasi ilmu di Aceh, akibat peperangan yang terjadi tidak sedikit lembaga pendidikan dayah harus terhenti geraknya. Sebab Belanda sa’at itu mencurigai dayah-dayah sebagai simbol perlawanan masyarakat terhadap penajajahan.
Singkat cerita pengaruh ideologi perjuangan yang ditanamkan oleh ulama-ulama dayah mampu membangkitkan semangat juang Bangsa Aceh, sehingga dengan semangat juang tersebut lahirlah sebuah gerakan perlawanan dengan semboyan “udep mulia mate syahid”.
Semangat juang
yang dikobarkan melalui hikayat “Perang Sabi” telah membakar semangat juang
masyarakat Aceh sa’at itu, dan Belanda terpaksa harus angkat kaki dengan
bayaran yang sangat mahal. Johan Harmen Rudolf Kohler, seorang jendral dan
panglima perang Belanda harus menghembuskan nafas terakhir di tangan pejuang
Aceh. Tepatnya di bawah sebuah pohon di depan Mesjid Raya Baiturrahman, pada
tanggal 14 April 1873 di Banda Aceh pada usia 54 tahun.
Awal kemerdekaan Aceh dan pada akhirnya bersama-sama negara modern baru yang disebut dengan “Indonesia” Aceh mulai membangun peradaban pendidikan baru. Dengan semangat modern, pendidikan Aceh berevolusi dari dayah menuju perguruan tinggai. Pada akhirnya, dengan usaha para tokoh Aceh sa’at itu, bergotong royong membangun dua kampus ternama, yakni Unsyiah (Universitas Syiah Kuala) dan IAIN Ar-Raniry, yang kini sudah berubah nama menjadi UIN (Universitas Islam Ar-Raniry), dengan bangganya masyarakat Aceh menyebutnya sebagai “jantong hate”. Lewat lembaga pendidikan ini, reformasi pendidikan Aceh dimulai. Melalui transformasi lembaga pendidikan di era modern banyak melahirkan para cerdik pandai.
Jika saja dayah dalam perjalanannya sudah banyak melahirkan para ulama terkemuka di Aceh, sementara lewat “jantong hate” masyarakat Aceh telah banyak melahirkan cendikiawan dan akademisi yang berkompeten di bidangnya masing-masing. Keberadaan mereka menjadi pelekat tranformasi ilmu di tengah-tengah masyarakat.
Namun sesuatu yang miris, para cerdik pandai ini seperti tidak mempunyai kesempatan dalam ruang politik praktis di Aceh. Semenjak polarisasi pendidikan membangun ranah koknitif, ternyata tidak mampu mengantarkannya pada posisi puncak kekuasaan. keberadaan cerdik pandai hanya dibiarkan pada dapur pendidikan saja. Walaupun dapat peran tidak lebih sebagai pelengkap demokrasi saja, dan tidak menjadi bagian dari fron terdepan ketika arah pembangunan pada level eksekusi anggaran.
Konflik yang melanda Aceh, perang pemberontakan antara Gerakan Aceh Merdeka dengan Pemerintah Indonesia, sempat mempengaruhi proses pendidikan di Aceh sedikit banyak terganggu. Dan ini sangat mempengaruhi perkembangan pemikiran masyarakat Aceh menuju kegemilangan berfikir yang berkemajuan. Puncak dari perang tersebut melahirkan poin damai. Perdamaian antara GAM dan RI berlangsung ditengah kesedihan masyaraka Aceh ketika bencana alam yang memporak-porandakan seluruh yang ada, dan memakan korban, baik harta, benda, dan ratusan ribu nyawa masyarakat Aceh melayang ditelan gempa dan tsunami.
Melewati masa sulit, meredamnya konflik, hadirnya masyarakat dunia ikut membantu masyarakat yang terkena musibah. Setelah perdamaian berlangsung, kembali masyaraka Aceh bergerak dengan sangat cepat. Peta perpolitikan mulai berubah. Pertarungan politik berubah seratus persen, di mana dari hasil perdamian MOU HELSINKY Aceh mendapat kado terindah dalam dunia politik, hadirnya parta lokal.
Proses politik berlangsung dengan cepat, Partai lokal menguasai parlemen, baik eksekutif maupun legislatif. Beberapa dekade kekuasaan lokal ini mempengaruhi arah pembangunan Aceh. Namun apa yang hendak dikata. Semangat memperjuangkan kemerdekaan sebagai negara berdaulat harus berakhir dengan kekuasaan di parlemen lokal. Proses politik pasca damai dengan dana yang dikucurkan begitu banyak, Aceh sebagai daerah yang menerima konsekuensi dari akhir peperangan dengan bonus daerah yang berhak menyandang wilayah Otonomi kusus. Dengan dana puluhan triliun, ternyata tidak membawa perbaikan ekonomi masyarakatnya, dan bahkan Aceh malah menjadi wilayah dengan status termiskin di Sumatra.
Kenapa ini terjadi, tentunya harus ditelusuri dengan seksama. Semangat ulama, semangat cendikiawan, dan semangat akademisi yang diabaikan menjadi salah satu faktor perkembangan politik dan kesejahteraan ekonomi merosot di Aceh. Kemegahan “jantong hate” masyarakat Aceh tidak mewarnai dialektika politik di parlemen kita. Realitas yang menjadi kenyataan di depan mata, hadirnya penghuni-penghuni parlemen, bukan hanya berpatokan pada ijazah, namun pada kenyataannya juga tidak membawa semangat pendidikan “Darussalam” sebagaimana yang dicita-citakan oleh para pendahulu. Yang dipertontonkan malah semangat menguasai dengan kekuasaan gengsi-gengsian.
Sekira ini sudah berlaku dalam sebuah wilayah kekuasaan,
maka hadirlah kelompok-kelompok yang hanya berfikir bagaimana menjadikan
kekuasaan ini sekedar ajang untuk gengsi-gengsian. Pada tahapan ini, amanah
kekuasaan akan dipahami sebagai prestasi, dan kekayaan negara akan dianggap hak
paten di tangannya, sehingga dia menentukan harga jual melalui transaksi
dibawah meja.
Ajang
ini, akan memusatkan kekuasaan hanya pada ranah pencitraan semata. Tanggung
jawab akan terabaikan. Setiap keputusan politik hanya untuk memelihara situasi
politik berikutnya yang berjangka pendek. Artinya, gaya pencitraan ini hanya
melahirkan tokoh semu, yang tidak paham pada substansi dari gerakan membangun
dalam berbagai ranah dan berjangka panjang.
Dalam
kondisi seperti ini, yang hadir hanyalah kelompok kekuasaan. Kelompok yang
masing-masing mengkleim diri bagian dari gerakan perubahan. Kelompok seperti
ini, sering muncul dari ideologi politik partaisme. Setiap kelompok politik
hanya mampu menangkap fenomena emik semata dalam memahami sebuah keputusan.
Emik
politik telah mencederai sistem politik demokrasi di negeri ini. Bagaimana
tidak, sebuah perspektif kebenaran kebijakan hanya dilihat berdasarkan
kepentingan wilayah kekuasaan masing-masing, dan tujuannya hanya tertuju pada
pencitraan kelompoknya saja. Pergulatan politik anggaran sering tidak menjawab
keinginan publik secara keseluruhan. Kelompok politik seperti ini, menciptakan
kegaduhan dalam bentuk pleassure, hanya bertujuan pencitraan. Pencitraan untuk
menghadirkan sosok hero politik.
Sebuah kekeliruan bagi bangsa ini, jika politik kegaduhan
yang diciptakan hanya untuk meraih pamor pada tokoh yang sebenarnya tidak layak
menjadi pemimpin publik. Bayangkan saja, pemimpin umat dimunculkan berdasarkan
hitung-hitungan numeris politik kegaduhan. Gaduh yang diciptakan, lalu muncul
tokoh yang mendamaikannya, seketika itu tokoh tersebut dianggap layak untuk
memimpin berikutnya. Dalam kondisi seperti ini, profesionalitas kekuasaan akan
kehilangan wibawanya, sebab umat dipimpin oleh kelompok yang tidak kompoten
dengan dirinya sendiri.
Seharusnya,
diumur Indonesia yang sudah mencapai angka 75 tahun, memahami politik emik ini
sudah tidak boleh lagi dimunculkan. Sa'atnya pemahaman etik politik sebagai
wacana berfikir universal dari luar diri, menjadi barometer layak atau tidaknya
seseorang dihadirkan ke publik sebagai pemimpin umat yang kompoten. Bukan
pemimpin sektoral parterian, yang hanya berfikir untuk kepentingan kelompok dan
partainya saja.
Cheosity sosial politik yang berlaku sa'at ini, mesti
harus digerakkan menuju perubahan mental, sebagaimana yang dicita-citakan oleh
masyarakat Madani, bukan egoisitas masyarakat Gemilang, yang jangankan untuk
melakukan perubahan besar terhadap umat ini, mengurus pasar baru saja tidak
becus. Artinya, ada yang hilang dari sisi numeris politik kita.
Perubahan
ini akan menuju titik kulminatnya, jika saja sinergisitas ulama, cendikiawan,
dan akedemisi tidak hanya berkutat pada bacaan teks dan diktat semata. Ketiga
kelompok ini, mesti turun secara literasi untuk memberi petunjuk kepada umat,
pemimpin seperti apa yang mestinya menuju parlemen kekuasaan dalam rangka
mewujudkan kesejahteraan atas umat ini. Kususnya Aceh.
Sa'at
ini mesti hadir generasi anti kegaduhan, anti pencitraan, anti tokoh abal-abal,
anti ketidakpeduliaan, anti persetigangan, anti permusuhan, anti kepentingan
kelompok dan wilayah, anti antagonisme politik, dan anti-anti yang lainnya.
Kita rindu keselarasan dan keseimbangan kekuasaan dalam melihat arah pembangunan berjangka panjang, sebagaimana manusia yang berbudaya untuk menuju peradaban baru di masa yang akan datang, dalam rangka mencapai kemajuan pada berbagai arah.
Dan
tidak ada alasan yang bisa kita utarakan untuk menjauhkan misi pembangunan dari
tiga elemen sosial yang telah disebutkan di atas. Menolak kehadiran mereka
dalam mengitervensi kebijakan publik sama dengan menjauhkan misi membangun yang
bermuara pada sebuah tujuan misi keadilan sosial bagi seluruh manusia.
Kehadiran
ulama, cendikiawan, dan akademisi dalam lingkaran kekuasaan, menjadi kunci
central dalam mengontrol arah kebijakan publik. Tidak ada alasan apapun untuk
mengaburkan peran mereka dalam pusaran politik. Mengenyampingkan ide mereka
merupakan langkah yang sangat bodoh. Sebab ulama, cendikiawan, dan akademisi
adalah guru bagi kita semua.
Komentar
Posting Komentar