LEMAHNYA DAYA ZIKIR MEROSOTNYA KUALITAS BERFIKIR
Artinya,
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam
dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. Orang-orang yang
mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan
mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya
Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau,
maka peliharalah kami dari siksa neraka”. Q. S. Ali-‘Imran/003: 190-191.
Adagium yang
sangat populer dalam kajian filsafat modern adalah terdapat pada ungkapan Rene
Descartes “cogito ergo sum” artinya, adanya saya makanya saya berfikir,
atau saya berfikir karena saya ada. Ungkapan ini melahirkan beberapa ulasan
yang terkait dengannya. Ketika seseorang mulai berfikir maka akan muncul beberapa
hal yang dilakukan seseorang.
Pertama, ketika seseorang mulai berfikir maka yang seterusnya
akan dilakukan dari pikiran itu adalah sebuah tindakan. Ilusi yang terbentuk
dalam fikiran berhasrat untuk diwujudkan di alam kenyataan. Kenyataan inilah menjadi
eksistensi akan fikirannya, lalu kemudian objek yang lain akan memahaminya isi
dari fikiran seseorang tersebut. berefek positifkah atau berefek negatif, jika
baik ilusi fikirannya, maka baik juga tindakannya.
Kedua, tindakan sebagai wujud dari fikiran seseorang akan
dilakukannya secara berulang-ulang. Sudah menjadi hal yang lumrah bagi
seseorang akan terus melakukan secara berulang-ulang apa yang sebelumnya
dilakukan. Apalagi tindakan tersebut merupakan suatu aktivitas yang
direncanakan sebelumnya. Untuk melakukan hal yang telah direncanakan tersebut
biasanya sudah dilengkapi dengan faktor-faktor pendukung lainnya. Tindakan yang
berulang-ulang dalam bahasa sederhananya sering disebut dengan kebiasaan.
Ketiga, kebiasaan yang dilakukan secara berulang-rulang
tersebut akan membentuk karakter dalam diri seseorang. Menurut Muchlas Samani
“karakter dapat dimaknai sebagai nilai dasar yang membangun pribadi seseorang,
terbentuk baik karena pengaruh hereditas maupun pengaruh
lingkungan, yang membedakannya dengan orang lain, serta diwujudkan dalam sikap
dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari”. Karakter ini tidak akan berdiri
sendiri tanpa adanya faktor pendorongan, faktor yang dihasilkan dari fikiran
dan tindakan.
Keempat, karakter yang sudah melekat dalam diri seseorang akan
berubah tekanannya menjadi “budaya”. Budaya sebagaimana kita pahami merupakan
dari hasil karya karsa manusia dalam merespon fenomena berdasarkan perkembangan
ilmu pengetahuan. Ilusi adalah awal munculnya sebuah pikiran, yang kemudian akan
mengahsilkan tindakan, tindakan ketika dilakukan secara berulang-ulang akan
menjadi kebiasaan, kebiasaan akan membentuk karakter, dan karakter dari ilusi
tersebut akan membentuk nilai budaya dalam diri seseorang. Ketika sesuatu
tindakan telah membudaya, maka sulitlah untuk di robah kembali. Jika ilusi yang
dihasilkan dari pikiran itu baik, maka baiklah budayanya, jika buruk maka
buruklah budayanya.
Islam melalui
Alqur’an terdapat dua perintah yang saling mempengaruhi akan sebuah tindakan
bagi jiwa dan pikiran manusia. perintah sebagaimana terdapat dalam surat
Ali-Imran ayat 190-191. Ayat ini telah memerintahkan manusia untuk berfikir dan
berzikir.
Ayat ini
merupakan perintah kepada manusia untuk “berfikir” terhadap apa yang telah
diciptakan Tuhan di alam ini. Berfikir dengan metode keilmuan agar manusia
dapat membuktikannya bahwa, apa yang diciptakan Tuhan tidaklah sia-sia. Dan
pada ayat berikutnya Allah swt., memerintahkan kepada manusia untuk “berzikir”
atau “menyebut” diri-Nya. Perlu dicatat bahwa, Tuhan mengatagorikan manusia
untuk “berzikir” dalam beberapa kondisi. Manusia yang “berzikir” atau
“mengingat” sambil berdiri, sambil duduk, dan sambil berbaring.
Katagori tempat yang disebutkan Tuhan untuk “berzikir” atau “mengingat” adalah sebuah isyarat, bahwa untuk “berzikir” atau “mengingat” tidak terikat dengan tempat dan waktu, serta menggunakan metode tertentu, kapanpun boleh dilakukan, asalkan bukan pada tempat yang dilarang untuk “berzikir” atau “mengingat” seperti tempat yang penuh dengan najis.
Artinya, tiga tempat dan tiga posisi
untuk berzikir merupakan rutinitas manusia dalam kesehariannya. Aktivitas
manusia jika tidak sedang berdiri (berdiri karena sedang melakukan suatu
pekerjaan maupun berdiri sebab sedang berjalan) pasti dalam keadaan duduk, atau
dalam keadaan berbaring, baik berbaring karena sakit maupun berbaring karena
ingin beristirahat.
Makna
sederhana dalam berzikir adalah “menyebut” atau“mengingat”, sementara makna
“berfikir” disebut juga dengan “fahmusy syaik” yang berarti mencoba untuk
memahami sesuatu. Sekilas terlihat di sini terdapat perbedaan makna antara
zikir dan makna berfikir. Namun pada hakikatnya, kedua kata tersebut terdapat
keterpautan kata yang saling mempengaruhi.
Tuhan telah
memperkenalkan diri-Nya kepada manusia dengan beberapa sifat. Sifat ini melekat
dalam zat-Nya, dan zat meleburkan dalam sifatn-Nya. Sebagaimana kita ketahui
terdapat jumlah mencapai 99 sifat yang melekat dalam diri-Nya. Dari 99 sifat
ini menjadi nama besar yaitu yaitu “ALLAH”. Dan sebutan “Allahu Akbar” menjadi
nama besar yang ketika disebutkan nama tersebut pikiran kita langsung tertuju
kepada zat yang memiliki 99 sifat.
Berbeda ketika
kita menyebut sifatnya saja, dalam penuturan bahasa tertentu, dan belum tentu
sifat tersebut akan tertuju kepada-Nya. Sebagai contoh ketika kita menyebut
nama “malik”, bisa jadi kata “malik” ini akan tertuju pada seorang raja
penguasa disuatu negara, “Malik Salman” Raja Salman misalnya. Dan begitu juga
dengan sifat yang lainya.
Allahu Akbar
ini menjadi zikir bagi umat Islam. Untuk apa kita menyebut-nyebut “Allahu
Akbar” tersebut. sebagaimana yang telah penulis sebutkan di atas, menurut
adagium cogito ergo sum sebutan yang disebut secara
berulang-ulang yang hadir sebagi wujud pikirannya, akan menjadi kebiasaan
baginya, kebiasaan tersebut akan membentuk dalam dirinya, dan karakter tersebut
akan menjadi budaya dalam kehidupannya.
Budaya berzikir dengan segenap kuantitasnya, tanpa dibarengi dengan budaya berfikir dengan segenap kualitasnya, tidak akan mempengaruhi rasa dan sifat “berzikir” atau “mengingat” dalam bentuk ingatan ke dalam “fikir” dalam bentuk kerja nyata sosial.
Menyebut Allahu Akbar secara berulang-ulang
adalah untuk membentuk karakter pikiran kita, bahwa tidak ada yang jauh lebih
besar dari segala apapun selain daripada Allah swt., sendiri. Dengan demikian
menjadi sebuah kebudayaan bagi kita, tidak ada yang patut di sadari atas dunia
ini, selain dari kebesaran Allah swt. Ketika di hati manusia sudah
membesarkan Tuhannya, maka tidak adalagi kebesaran atas dirinya dan kelompoknya
dalam berbagai momen.
Mengingat
sesuatu atau menyebut sesuatu dengan mulut dan ingatan manusia belum tentu kita
akan berfikir tentangnya. Dan tidak mungkin kita akan berfikir terhadap sesuatu
jika tidak didasari atas rasa ingat dan menyebut sesuatu hal yang muncul dalam
ingatan kita.
Ilustrasi yang
dengan mudah untuk kita pahami adalah, setiap kita pasti dapat mengingat adanya
sekelompok keluarga non-Muslim yang datang meminta untuk difasilitasi tempat,
waktu, dan seperangkat alat untuk menuntun keluarga ini untuk masuk dalam
aqidah Islam. Setelah prosesi pensyahadatan selesai, sahlah sekeluarga ini
menjadi Muslim berstatus Muallaf.
Setiap kita
pasti akan dapat mengingat orang atau sekelompok keluarga yang sudah memilih
tempat di daerah tertentu untuk menuntun mereka menjadi Muslim. Ada beberapa
media yang telah mengekspos berita dengan prosesi penuntunan non-Muslim menjadi
muallaf, sehingga dengan berita tersebut memudahkan bagi kita untuk
mengingatnya peristiwa tersebut.
Perintah dalam
Islam ketika ada seseorang atau sekelompok orang yang menjadi muallaf, maka
menjadi kewajiban bagi Muslim untuk membinanya. Membina di sini dalam berbagai
hal, mulai dari pembinaan pengetahuannya tentang tauhid, syari‘ah dan yang
lainnya, termasuk membina kematangan ekonomi, jika saja Muallaf tersebut pada
sebelum dan sesudah menjadi Muslim tergolong orang yang berkemampuan ekonomi
lemah.
Jika saja
kuantitas zikir (ingat dan menyebut) saja yang kita andalkan terhadap Muallaf
ini, tanpa kita tingkatkan dengan kualitas berfikir terhadapnya, maka
keberadaan Muslim disekitarnya tidak akan membantu lebih banyak bagaimana sang
non-Muslim ini menata kehidupannya jauh lebih baik ketika sekelompok dari
mereka menjadi Muallaf.
Begitu juga
dengan fenomena kehidupan yang lainnya. Begitu mudah bagi kita untuk mengingat
dan menyebut-nyebut jumlah orang-orang miskin di lingkungan kita, jumlah
anak-anak yang terlantar sekolahnya sebab tidak ada biaya, jumlah orang-orang
yang belum menjalankan ajaran agama seperti shalat dan yang setara dengannya,
jumlah masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan, jumlah orang-orang yang
masih bermaksiat dengan diri dan Tuhannya, dan fenomena-fenomena yang menyayat
hati lainnya.
Keberadaan mereka di samping hidup dilingkungan bersama dengan kita, dan juga tercatat dalam sensus kependudukan di negara ini. Walaupun sebanyak apapun kuantitas ingat kita kepada mereka yang disebutkan di atas, jika tidak dibarengi dengan kualitas berfikir yang baik, maka tidak akan terjadi perubahan ke-arah yang jauh lebih baik terhadap hidup mereka.
Sebagaiman telah diperintahkan dalam agama
kita, menjaga sekelompok orang dari kemiskinannya sama dengan telah
menyelematkan orang tersebut dari kekufuran. Begitulah Nabi Muhammad saw.,
telah menyampaikan kepada kita dengan sbadanya “kemiskinan mendekatkan pada
kekufuran”.
Pada level tertentu dan kenyataannya, semangat dalam “berzikir” atau “mengingat” tidak hanya melemahkan kualitas fikir kita, namun pada sebagian orang “berzikir” atau “mengingat” malah menjadi sumber konflik dalam masyarakatnya.
Padahal jika
ditarik pada substansi masalah “berzikir” atau “mengingat” bukanlah termasuk
ibadah pokok yang harus dilakukan dengan cara-cara tertentu, melainkan
“berzikir” atau “mengingat” hanyalah ibadah pilihan.
Jika kita
melihat ke belakang di sa’at Rasulullah saw., mengajak sahabat-sahabatnya untuk
berfikir tentang kemajuan Islam dengan hartanya sahabat-sahabat yang kaya sa’at
itu. Dengan harta mereka Tuhan akan mengahadiahkan syurga baginya.
Ketika itu pula sekelompok sahabat yang miskin mempertanyakan kepada Nabi, bagaimana
nasib kami yang tidak memiliki harta, apakah kami tidak akan mendapat kemuliaan
sebagaimana orang kaya-kaya itu. mereka juga shalat sama sepert kami juga, tapi
kami tidak mampu memberikan harta untuk kemajuan Islam ini, sebagaiman yang
mereka berikan.
Pada sa’at itu
jua Nabi Muhammad saw., memberi kabar gembira kepada umatnya yang tidak
memiliki kemampuan harta untuk diberikan kepada agama ini dalam rangka
keperluan dakwah. Sahabat-sahabat yang miskin ini cukup melakukan zikir saja
setelah shalatnya sebanyak 99 kali, maka pahalanya sama seperti orang kaya yang
mengorbankan hartanya untuk perkembangan agama ini.
Artinya, jika
kita memahami secara literleknya, “berzikir” atau “mengingat” itu ibadahnya
orang miskin, sebab mereka tidak punya kemampuan harta. Sementara ibadahnya
orang kaya yang memiliki kemampuan harta adalah dia “berfikir” dengan hartanya
untuk membantu orang yang susah, dan ibadahnya orang-orang yang berilmu, dia
“berfikir” dengan ilmunya untuk mengajarkan orang awam, tanpa meninggalkan
aktivitas “berzikir” atau “mengingat”.
Berzikirlah
dengan hati, dan berfikirlah dengan fikiran, Sehingga keduanya dapat
meningkatkan kemampuan teologi manusia dalam mempengaruhi sifat sosial etos
kerja nyata.
Amfat
Es Dot Fil, 24 September 2020.
Komentar
Posting Komentar