MEMAHAMI TADABBUR ALQUR'AN BERSAMA KIAI KANJENG
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ ۚ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا
Artinya, “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” Q. S. An-Nisa’/004: 82.
Alqur’an itu diturunkan untuk menjadi petunjuk bagi manusia. Alqur’an tidak diturunkan untuk ulama, tidak diturunkan kepada orang beriman, tidak diturunkan kepada penganut agama, tidak diturunkan kepada satu golongan saja, tidak diturunkan untuk satu bangsa saja, tidak diturunkan untuk satu keturunan saja. Akan tetapi Alqur’an itu hanya diturunkan kepada manusia. Manusia yang memiliki syarat tertentu, yaitu akhlak di dalam dirinya.
Literasi sejarah telah mencatat dalam berbagai bentuk
narasi, sejak dekade pertama hijriah dalam memahami Alqura’an, tafsir sudah sangat mendominasi dalam
menjelaskan setiap makna dalam Alqur’an. Ma’ana maqsuda akan Alqur’an
selalu didominasi oleh ilmuan yang menguasai ilmu tafsir dalam berbagai macam metodenya.
Para penafsir telah menjelaskan makna yang terkandung di dalam Alqur’an sudah
melewati batas zaman, sampai hari ini, memahami Alqur’an tafsir masih
mendominasi.
Tradisi tafsir ini seharusnya hanya sebatas komplementer
saja dalam pengetahuan manusia. Bagaimana Alqur’an diolah sedemikian rupa untuk
dipahami, dan dimengerti agar supaya manusia memiliki perangkat bagaimana menanamkan nilai dalam dirinya, berdasarkan petunjuk Alqur’an.
Tadabbur kata yang terdiri atas lima huruf ini, pada
akar katanya berasal dari kata “dabbara” terdiri atas tiga huruf, yang
berarti “belakang”. Tradisi perputaran kata dalam Bahasa Arab dapat berubah
dari akar kata tiga huruf (tsulatsa), menjadi empat huruf (ruba’i), dan menjadi
enam huruf (khumastsi). Dan dalam Bahasa Arab juga terdapat kata yang akar katanya
empat huruf, ditambah satu menjadi lima, dan ditambah dua menjadi enam. Setiap
kata yang memiliki lima huruf, asal katanya berakar tiga. Putakaran kata ini,
paling banyak bertambah enam huruf. Setiap putaran kata dalam Bahasa Arab
memiliki faidah (fungsinya) masing-masing. Kata itu tidak hanya sekedar
bertambah hurufnya, kecuali memiliki makna yang yang berbeda. Tentunya makna
yang tidak keluar dari arti dasarnya, melainkan menjadi makna yang lebih spesifik
ketika hendak mengungkapkan sesuatu.
Atas wazan tafa‘ala, kata “dabbara” berubah
narasinya menjadi tadabbur, maka arti dasarnya dari “belakang”
menjadi bagian “terdalam”. Artinya, intensitas makna tadabbur menjadi
lebih dalam, sehingga, tidak hanya sekedar menjadi pengetahuan semata, namun
lebih dari itu membentuk pemahaman rasa dalam diri manusia. Rasa inilah yang
merubah tindakan dari “tahu” menjadi sikap “berprilaku” baik. Dabbara-yadburu
menurut Cak Nun adalah mengeluakan sesuatu. Kapasitas yang dikeluarkan menjadi
alamat tanda akan apa yang tersedia di dalamnya.
Di sinilah Kiai Kanjeng bersama Ma’iyah dalam
menyampaikan pesan yang terkandung dari Alqur’an lebih memperhatikan nilai tadabbur
dibandingkan dengan pemahaman tafsir semata. Walaupun tidak dapat
dipungkiri, bahwa tafsir merupakan komplementer dari rangkaian pengetahuan
untuk selanjutnya di tadabburi dan menjadi tindakan yang bernilai. Kecendrungan
tadabbur ini agar supaya pemahaman Alqur’an yang telah di dalami
berdasarkan ilmu tafsir membentuk prilaku yang berakhlak.
Sementara kata “tafsir” menurut Kiai Muzammil berasal
dari suku kata fassara-yafsaru-fasran yang berarti “terang” atau sering
juga dipahami sebagai “bayan” yang berarti penjelas, atau juga dipahami dengan
makna “membuka tutup”, jadi sesuatu yang tertutup dibuka. Maka ketika katanya
berubah menjadi fassara-yufassiru-tafsiran itu artinya menjelaskan keluar,
jadi fungsinya tafsir adalah menjelaskan keluar, bukan ke dalam. Berbeda dengan
tafassara-yatafassaru-tafassuran akan bermakna memperjelas ke dalam.
Sementara kata yang digunakan dalam ilmu ini adalah “tafsir” yang berasal dari
akar kata fassara yang berarti memperjelaskan ke luar bukan ke dalam.
Berdasarkan fungsi dan aplikasi Alqur’an selama ini, Caknun
dalam hal ini lebih cendrun pemahaman tentang Alquran memahaminya berdasarakan
fenomena tadabbur, dan fenomena ini menurut Cak Nun baru muncul di
Ma’iyah. Selama ini pemahaman Alqur’an menurut Cak Nun selama sekian belas abad
lebih pada makna tafsir semata, sehingga dengan ilmu ini melahirkan berbagai
macam ranah ilmu dalam memahami khazanah keilmuan dalam Islam. Lahirnya ilmu
fiqih dengan berbagai aliran mazhabnya. Ilmu ini cendrung memahami bukan
menanamkan nilai.
Memahami konteks
ini, Kiai Muzammil menjelaskan bahwa, ilmu tafsir dalam pencapaiannya lebih
cendrung mengungkapkan kebenaran ilmiah semata, maka orang yang memahaminyanya
disebut dengan ‘alim. Sedangkan tadabbur adalah sebuah usaha dalam
memahami Alqur’an untuk mencapai serta mendapatkan kebaikan akhlak dalam diri
manusia. Di dalam tadabbur menurut Cak Nun juga mengandung unsur
“tafsir” Cuma fungsi tafsir itu seharusnya bermuara pada kehendak tadabbur,
dengan makna bukan tafsir untuk pemahaman keluar, namun dipahami ke dalam diri
manusia. Ini sebagai fungsi aplikatif dari perintah dalam Alqur’an yang
menekankan pada pemahaman tadabbur “afala tatadabbarun”.
Alqur’an sendiri menurut Kiai Muzammil jelas-jelas
menekankan kepada manusia untuk mentadabburinya, bukan sekedar menafsiri
semata. Dan ini menurut Kiai Muzammil terdapat dua narasi menekan atau
mengenak, dan bukan dalam bentuk narasi perintah, di antaranya dengan
mempertanyakan “afala tatadabbarunal Qur’an” (apakah kalian tidak
mentadabburi Alqur’an). Dan pada narasi yang lain Kiai Muzammil menyebutkan “am
‘ala qulubihim akfaluha” (apakah hati mereka itu sudah tertut: ada kuncinya).
Ababun nuzul ayat ini menurut Kiai Muzammil, akibat banyaknya fenomena
orang-orang munafik, dan mereka juga mepertentangkan Alquran. Bagi orang-orang
yang ragu ini, seandainya Alqur’an tidak berasal dari Allah swt., niscaya
mereka akan menemukan pertentanga-pertentangan, sebab turunnya memakan waktu
relatif lama.
Cak Nun mencoba untuk meluruskan, bahwa penekanan tadabbur
dalam memahami Alqur’an tidak bertujuan untuk menyalahkan tafsir, melainkan
setiap Muslim itu harus mentadabburkan dirinya masing-masing, sebab kedua ilmu
ini berposisi akan menjelaskan dirinya masing-masing. Sekarang menurut Cak Nun
semesta nilainya berbeda, karena tafsir sebagaimana dijelaskan oleh Kia
Muzammil menjelaskan keluar, berarti “tafsir” dipahami sebagai ilmu, sementara tadabbur
dipahami sebagai akhlak, jika tadabbur dianalogikan sebagai dubur,
maka apa yang keluar darinya menjadi sebuah alamat tanda isi dalam perutnya.
Jadi, output tadabbur adalah akhlak sementara outputnya “tafsir” adalah
ilmu. Ini, menjadi penjelas bahwa kehadiran Nabi Muhammad saw., menggunakan
narasi “innama bu’itstu li utammima makarimal akhlak” (sesungguhnya kami
utus Nabi untuk memperbaiki akhlak) bukan menggunakan narasi “li utammima makarimal
‘ilmu” (diutusnya Nabi bukan untuk memperbaiki ilmu).
Akhlak menurut Cak Nun terdapat porsinya sendiri. Akhlak
memiliki akar kata yang sama dengan makhluk. Pemahaman akhlak tentang prilaku
sedemikian rupa yang berlaku untuk makhluk, namun berdasarkan dari suku kata
yang sama. Maka akhlak menurut Kiai Muzammil, memahami kata akhlak dalam Bahasa
Arab terbentuk dari kata khalq dan khuluqun, kedua-duanya
sama-sama ciptaan Allah swt., Allah tidak hanya menciptakan manusia dalam
bentuk fisik, namun juga menciptakan dalam bentuk non fisik atau jiwa. Khalqun
lebih pada ciptaan fisik manusia, sementara khuluqun lebih pada
penciptaan kejiwaan manusia. penciptaan khuluqun dipahami lebih lembut
dari khalqun. Dan kata khuluq ini diungkapkan dalam bentuk kata
jamak, menjadi akhlak. Artinya, sifat yang harus mendominsi dari manusia
itu adalah akhlak, jika saja dominasi akhlak ini tidak ada, maka
menurut Cak Nun cacatlah dia menjadi manusia. atau dalam bahasa estetika, jika
tidak berakhlak maka tidak disebutkan sebagai makhluk.
Oleh karena kata akhlak bersuku kata yang sama
dengan khalik, ketika manusia tidak memiliki akhlak dalam
dirinya, maka dia bukanlah ciptaan Tuhan. Jika manusia memiliki kesadaran
sebagai makhluk ciptaan Tuhan, maka semestinya harus memiliki akhlak. Jadi Khalaqa,
khuluqun, akhlaqun, makhluk berakar suku kata yang sama. Sesuatu yang
diciptakan oleh-Nya. Allah sendiri al-Khalik. Allah bukan hanya Maha Pencipta, tetapi Allah juga
yang maha berakhlak, akhlak dengan konotasi “karimah”.
Memahami tafsir dalam konotasi ilmu, jika saja ditarik
dalam ranah kehidupan sosial, maka akan didapati manusia di dunia ini dengan
beragam keinginan. Manusia ingin kaya, berkuasa, ingin terkenal, ingin memiliki
segalanya, dan sangat sedikit dari manusia itu ingin menjadi baik atau
berakhlak. Jika saja kita mengaitkan dengan fungsi tadabbur silakan akan
anda menjadi pintar, namun harus diikat dengan kebaikan, kaya boleh tapi harus
diikat dengan kebaikan, berkuasa boleh tapi harus terikat dengan kebaikan,
mendapatkan popularitas boleh tapi harus terikat dengan kebaikan, memiliki
segalanya silakan saja tapi harus terikat dengan kebaikan. Artinya, semua itu
harus menjadi alat agar supaya manusia menjadi lebih baik.
Tafsir menurut Cak Nun tidak berurusan dengan akhlak,
tujuannya adalah untuk mengungkapkan sisi-sisi ilmiah dari Alqur’an itu
sendiri. Namun tafsir atau yang mendapatkan informasi tentang tafsir itu tidak
mengikat untuk menjadi berakhlak, sementara dalam ranah tadabbur outputnya
adala akhlaqul karimah, dan ini sangat mengikat. Inputnya boleh dengan
ilmu, kekayaan, kekuasaan, popularitas asalkan semua mengantarkan manusia untuk
mempertegas kebaikannya.
Kebaikan menurut Cak Nun, dalam sosial budaya bisa kita
lebarkan dengan rasa sayang kepada makhluk Allah yang lain, saling
menyelamatkan satu sama lain, tidak menyakiti, tidak membunuh, tidak merusak
kesimbangan, dan berbagai macam kebaikan lainnya. Tradisi tadabbur ini
apakah lebih diperlukan oleh umat Islam, atau malah dianggap menentang tafsir.
Menjawab persoalan ini, Kiai Muzammil menerangkan bahwa, proses tadabbur itu
harus dilakukan, sebab itu adalah perintah dari Allah swt., dan “tafsir”
pastinya juga dilakukan dalam rangka memperkaya tadabbur, agar supaya
setiap orang dalam mentadabbur Alqur’an itu mempunyai kekayaan ilmu, maka ilmu
tafsir sangatlah dibutuhkan.
Untuk menafsirkan Alqur’an menurut Cak Nun mesti
dilakukan oleh ilmuan, tapi dengan catatan setiap Muslim harus bertadabbur,
termasuk dengan cara mengambil wacana-wacana dari “tafsir”, berdasarkan logika
ini tafsir bukanlah lawan dari tadabbur. Di sinilah tafsir dipahami
sebagai bagian dari komplementer saling melengkapi dan bermanfa’at, dan saling
memperkuat satu sama lain, semestinya dipahami seperti itu.
Apakah tadabbur itu memang merupakan prinsip atau
akhlak ataukah dia juga terminologi yang mengarah kepada metodelogi tertentu di
dalam memahami ayat-ayat Alqur’an, mungkin dibandingkan dengan tafsir. Menjawab
persoalan ini Kiai Muzammil menerangkan jika dilihat dari perkembangan sejarah,
proses tadabbur ini, hampir saja dilupakan, sehingga pada akhirnya yang
berkembang adalah “tafsir”, dan tafsir inilah yang terus menjadi medan
pertarungan umat Islam, bukan medan untuk memperbaiki akhlak, melainkan yang
muncul adalah pertarungan, ketika umat Islam punya kepentingan-kepentingan,
maka yang diambil adalah ayat-ayat Alqur’an dengan tafsirnya, maka terjadilah
versi-versi tafsir yang saling mempertegas kebenarannya berdasarkan Alquran.
Dan tidak dipertegas dengan satu tujuan yang sama, yaitu akhlakul karimah,
sebagai yang ditekankan dalam proses tadabbur.
Menurut Cak Nun, boleh hebat atau tidak tafsirnya dan
boleh ditail apa tidak, sanadnyapun boleh nyambung atau tidak, asalkan hasilnya
adalah menanamkan unsur akhlakul kharimah. Kepada apa saja, ber-akhlakul
karimah kepada Allah, Malaikat, Nabi, alam, binatang, tumbuh-tubuhan,
manusia, dan kepada apa saja harus terikata pada ikatan tadabbur. Jadi
“tafsir” itu tidak menimbulkan aliran-aliran atau mazhab-mazhab yang arogan
satu sama lain dan saling menista satu sama lainnya, andaikan mereka bersepakat
bahwa outputnya, mau Syi’ah, Sunni, Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali outputnya
haruslah bermuara pada akhlakul kharimah, inilah yang disebut dengan
pengejewantahan dari konsep “innama bu’itstu makarimal akhlak”. Dalam
hal ini, kita bukan dituntut untuk pinter-pinteran namun dituntuk untuk
baik-baikan, makanya narasai yang selalu dibangun dalam menunjang kebaikan ini
adalah ”fashtabiqul khairat”.
Proses semangat dalam mentadabburkan Alqur’an dapat
juga dimaknai dengan adab dalam menafsirkan Alqur’an, dan semestinya memang
mengarah seperti itu. At-tafsiru biadabi tadabburi (menafsirkan dengan
adab atau etika). Sebenarnya tidak terjadi perpecahan-perpecahan itu. Menurut
Kiai Muzammil, terjadinya perpecahan melebar, tidak hanya pada perpecahan
berfikir saja, melainkan megarah pada perwujudan perpecahan politik dan yang
lainnya. Dan ini sulit untuk disatukan, telah menjadi kenyataan dalam dunia
islam terjadinya saling serang antara “tafsir” Sunni dengan Syi’ah. Ini baru
pertenangan antar Sunni dan Syi’ah, belum lagi jika ditarik pada konflik
dukungan antara Saidina Ali dan Muawiyah, keduanya sama-sama menggunakan ayat
Alqur’an dan tafsirnya masing-masing. Akhirnya terpecahlah umat ini dengan
berbagai macam coraknya, dengan perpecahan yang saling mempertentangkan ayat
Alqur’an sebagai sumber yang sama. Perpecahan inipun sampai pada kini, adanya
tafsir versi Salafi, Wahabi, NU, Muhammadiyah, MTA, dan yang lainnya. Dan ini
semua terjadi akibat sejak awal kita tidak menyepakati untuk menuju pada satu
tujuan akhir, yaitu semangat berlomba-lomba dalam kebaikan.
Berdasarkan telah terjadi perpecahan inilah, Ma’iyah
bersama Kia Kanjengnya menekankan, apapun tafsirmu itu terletak di dapur, namun
warungnya harus sehat dan bersih, sehingga menawarkan mashlahat untuk siapapun
yang datang. Menurut Cak Nun proses tadabbur ini bisa dipahami sebagai
sistem etika dan adab. Jadi silakan menafsirkan, silakan pinter, silakan kaya,
silakan hebat asalkan tidak melupakan etika dan adab. Ini menjadi poin penting
bagi kita, sehingga boleh saja apapun penafsirannya dengan beragam Kitab Tafsir
yang ada. Dan boleh saja dipahami dengan berbagai pemahaman terhadap ayat
Alqur’an itu, asalakn mengarah pada unsur etika dan adab.
Hal ini, menurut Kiai Muzammil, mengambil satu contoh
kata “hasanah”. Menurutnya, hasanah boleh dipahami sebagai
kekuasaan, kepintaran, kekayaan, pangkat, jabatan, relasi, dan yang lainnya.
Asalkan pemahaman tersebut bermuara pada kebaikan atas diri kita, dan kebaikan
atas orang lain. Jika saja penafsiran yang dilakukan tanpa mengarah pada tujuan
akhlaqul karimah, menurut Cak Nun, maka manusia itu akan selalu dalam
pertengkaran secara terus menerus. Itu semua terjadi akibat kita tidak
menyepakati pada tujuan yang sama.
Aspek lain yang terkait dengan tadabbur Alqur’an
ini, adanya anggapan para penafsir modern tentang kepamanan tafsir klasik, di
mana para mufassir modern ini merasa kemapanan atau kebakuan tafsir-tafsir
klasik itu sedemikian rupa canggihnya (dalam tanda petik) itu membuat tidak
semua orang rasanya punya pintu untuk lebih dekat pada Alqur’an, maka para
mufassir modern seperti Ahmad Khan dan yang lainnya, ingin mendobrak, bahwa
sesungguhnya kita punya kesempatan yang sama untuk mengakses Alqur’an dengan
berbagai macam perkembangan-perkembangan metodelogi maupupun paradigmanya dan
tentunya terkait dengan situasi dunia semakin berubah dan berkembang, tampaknya
persoalan ini menjadi hal yang laten.
Menjawab persoalan ini Kiai Muzammil mengutarakan, pada
Rasulullah ada Alqur’an ada mufassir (Rasulullah sendiri). Oleh karena Alqur’an
diturunkan dalam bahasa Arab, oleh karena demikian relatif sedikit yang
disampaikan oleh Rasullullah kepada Bangsa Arab sa’at itu. Meskipun para
sahabat pernah salah dalam memahami Alqur’an, dan ini langsung diluruskan oleh
Rasulullah sendiri. Ketika Rasulullah wafat, lalu Islam berkembang dimasa
sahabat, dan masih berada disekitara Mekkah dan Madinah, tidak menimbulkan
banyak masalah, tetapi timbul masalah ketika Islam masuk ke berbagai wilayah,
terutama di Jazirah Arab, dengan itu juga terdapat persoalan-persoalan.
Pada persoalan berikutnya kondisi menjadi agak rumit, apalagi
terkait dengan perkembangan politik, harta benda, dan akses-akses dan
sebagainya. Artinya, yang inti dari kasus tadabbur dan “tafsir” menurut
Cak Nun tidak tercover, tapi efeknya jauh lebih besar, dan itu lebih besar
pasak daripada tiang. Maka kondisi seperti ini, menurut Kiai Muzammil, jika
tidak ada dialektika memang berbahaya.
Alqur’an yang hadir pada masyarakat modern sudah melewati
beberapa tahap. Dimullai dari Allah swt., melalui Jibril kepada nabi, sahabat,
para Imam, ahli tafsir, dan ulama. Memahami perjalanan panjang ini, dalam
tradisi Ma’iyah menurut Cak Nun, setiap kita itu tidak mesti harus pinter, tidak
harus hebad, asalkan outputnya baik. Syukur-syukur bisa keduanya, memiliki
kepintaran dan mempunyai akses terhadap kebaikan. Melakukan sesuatu harus
melalui proses tadabbur, tujian utamanya bukan pada apa yang dimiliki,
namun terletak pada apa yang dikeluarkan dari apa yang sudah dimiliki tersebut.
Karena semua itu berangkat pada landasan utamanya diturunkan Alqur’an bukan
untuk menjadi petunjuk bagi ulama, umara, pejabat, rakyat jelata, dan yang
lainnya, namun tujuan diturunkan Alqur’an adalah untuk menjadi petunjuk bagi
manusia (hudal lin nas).
Dengan pemahaman ini, maka kita hari ini tidak boleh
merasa terhalangi untuk mendapatkan akses langsung kepada Alqur’an, sebab
keberadaannya adalah untuk menjadi petunjuk bagi manusia. tentunya akses ini
harus diterima dari kelompok yang mencukupi syarat dalam memahaminya. Dengan
resiko yang harus dipahami, bahwa ada variabel-variabel negatif, tapi tetap
harus memastikan dan berani untuk mengatakan bahwa, Alqur’an itu untuk manusia.
Dan manusia boleh mengakses langsung, bergaul langsung dengan Allah,
bersilaturrahim langsung dengan Allah, asalkan apa yang dipahami itu
mengantarkan output kebaikan, sehingga manusia tidak saling membenci lagi,
tidak saling membunuh, menganiyaya, dan lain sebagainya.
Pemahaman seperti dipahami lumrah oleh Cak Nun. Sesuatu yang
sangat riskan menurut Cak Nun, jika saja Alqur’an itu di monopoli oleh orang
pintar, dengan melarang orang lain memahaminya sesuai dengan pemahamannya.
Monopoli ini dengan menggunakan standar pemahaman Alquran dengan mengatakan
tidak tahu maknanya, tidak tahu bahasanya, tidak tahu asbab nuzulnya, tidak
tahu kaedahnya, tidak tahu seluk beluknya, bukan alumni pendidikan ini dan itu,
dan juga melakukan penekanan pada persyaratan ilmiah. Monopoli seperti ini
tidak boleh dilakukan, sebab Alquran itu diturunkan untuk menjadi petunjuk bagi
manusia, bukan untuk ulama, habaib, dan yang lainnya. Tentu dalam mengakses
Alqur’an mengguankan kaca mata ilmu pengetahuan dengan kapasitas internal
manusia.
Amfat Es Dot Fil......Banda Aceh, 11 September
2020.....................
Komentar
Posting Komentar