MANUSIA MESTI ROMAN DI RUANG SOSIAL
Tidak hanya menyangkut ruang sosial politik, termasuk juga ruang
sosio-religius. Sejarah panjang umat Islam dalam berbagai pemikiran telah
melahirkan kelompok yang berbeda-berda. Dari perbedaan tersebut agama
menekankan agar bertemu pada ujung kedamain. Ujung kedamaian yang diajarkan
Islam adalah berakhir pada titik "rahmatal lil 'alamin. Manusia sebagai
makhluk yang aktif menempati ruang sosial dibekali akal sebagai alat untuk
menimbang dan mengukur setiap masalah.
Islam juga menuntut agar kita serius, namun dalam membangun
bangunan keseriusan, juga jangan lupa terhadap kaedah candaan. Sebagai manusia
yang harus dibekali dengan nilai-nilai agama, keseriusan sangatlah dituntut,
namun dalam menyerap pengetahuan tersebut tidak perlu seperti orang yang sedang
terjun dalam medan pertempuran, yang mana setiap kita bersiap siaga untuk
membunuh lawan.
Pengetahuan itu sesuatu yang sulit, dan agama itu sesuatu yang
berat untuk dipahami oleh manusia. Oleh karena demikian, jangan perkuat beban
kepada manusia untuk memahami ilmu, dan jangan memberatkan jiwa dalam memahami
agama. Toh ajaran Islam yang ditekan Tuhan kepada Nabi Muhammad saw., adalah
dengan memberikan kabar gembira kepada manusia, bukan menakutinya, apalagi
mengancam dengan dalil yang tidak berimbang.
Kita harus banyak bercanda. Dalam belajar dan mengajar, apapun itu,
baik belajar agama atau belajar ilmu umum lainnya, harus diisi ruang
pembelajaran dengan sisi roman dan candaan. "bek serius tat" (jangan
serius kali). Untuk apa segala kepemilikan dunia melekat padamu, sementara akalmu tidak dapat lagi bercanda dan romansa dengan manusia. Istana megah yang melekat dalam pikiranmu menjadikan akal itu menjadi sempat dan tidak memiliki ruang lagi untuk mengantarkan rasa serta canda. Bercandalah dengan manusia sebagaimana iblis bercanda dengan Adam, sehingga dengan candaan itu menjadi perasai mempercepat Adam dan Hawa turun ke bumi dan berkembang biak, lalu dengannya manusia membangun peradabannya di dunia.
Jangan apakalilah.................
Bek tapakek dalil poh gajah untuk poh jamok (jangan gunakan dalil
memukul gajah, hanya untuk memukul nyamuk). Belajar itu lebih kurang seperti
memperlakukanan seorang perempuan.
Lakukan dengan pelan-pelan, sambil dicandain, dengan menggunakan
kalimat personifikasi dan kalimat metafora, sebagaimana candaan pengantin baru
di malam pertama dan malam-malam seterusnya. Dengan menggunakan kalimat seperti
ini, ini gunung milik siapa ya...... kok lereng gunungnya tidak bertangga,
bagaimana ya cara menaikinya. Dan bla bla bla..dan gunakan kreatifitas
masing-masing.
Ini sawah cangkulnya di mana.
Bek gerebam gerubum aju (jangan main hantam aja), bak gaya model
preman sambu dan preman tanah abang, dengan berteriak-teriak sambil
cakar-cakaran, berkata dengan bentak-bentak.......buka bajumu, buka
celanamu...buka behamu..buka-buka-buka semau, cepat, kalo tidak kupijak pijak
kau nanti. Pane tema lagenyan (mana pula begitu). Gaya seperti ini membuat trauma sang wanita.
Sebagian orang, serius sekali dalam memahami dan merespon sesuatu,
pada apa yang dipahami dan apa yang direspon tidaklaj seperti apada adanya.
Akan tetapi respon kita sudah terlalu jauh dan berlebihan. Proteksi boleh tapi
emosi jangan, marah boleh tapi menyulut amarah jangan, benci dengan sifatnya
boleh tapi bermusuhan dengan orangnya jangan.
Sebagaimana halnya Gus Dur sambil bercanda dan ketawa ketika
berkata Alquran kitab porno. Sebab kenapa begitu, Gus Dur tahu, audiensnya suka
nonton film porno, jadi Gus Dur ingin menyampaikan, jangan khawatir mas brooo,
di Alquran juga ada porno pornonya.
Sebagai bukti agama mengatakan, wanita dan laki-laki itu adalah
pakaian bagi mereka berdua. Makna pakain sangat luas jika kita ingin
membahasnya, salah satu cara untuk mengetahui keduanya adalah pakaian harus
membaca "baca buku kama sutra".
Bercandalah, bersahabatlah, dan berikan informasi yang
menggembirakan bagi manusia. Jangan ciptakan agama dan pengetahuan itu menjadi
alat untuk mengancam dan menanam rasa traumatis bagi manusia, dalam menempati
ruang sosial.
Manusia sebagai subjek yang selalu menempati ruang sosial, mesti
dalam memahami dan merespon sesuatu dengan menghidupkan sisi roman dan candaan,
dengan tetap memperhatikan sisi seriusnya, agar pikiran dan pengetahuan yang
berkembang menuju pada satu titik "rahmatal lil 'alamin"
Komentar
Posting Komentar