HIJRIAH DAN MASEHI TAHUN PERADABAN BAGI MANUSIA BUKAN AGAMA
Setiap tibanya awal tahun masehi, manusia memperingatinya
secara serentak di-seluruh dunia, tidak terkecuali di negara-negara Muslim. Namun
awal tahun peradaban masehi menjadi polemik bagi masyarakat Muslim. Munculnya polemik
ini akibat dari argumentasi yang dibangun bahwa, tahun baru masehi miliknya
agama di luar Islam. Hal ini, tentulah keliru, mengaitkan tahun dimulainya
kebudayaan manusia dengan tahun dimulainya pengembangan agama. Islam telah
lahir semenjak alam ini diciptkan Tuhan, sementara tahun penanggalan muncul
ketika manusia mulai membangun peradaban.
Ilmu
dan sains menjadi tolak ukur masyarakat modern hari ini
untuk memahami segala sesuatu. Pengetahuan hanya diukur melalu pembuktian
penelitian. Kelompok ini memahami segala sesuatu harus nyata adanya.
Positivistik keilmuan dipengaruhi oleh cara berfikir rasionalistik. Filsafat
rasionalis adalah produk berfikir Barat yang
memicu segala bentuk sekulerisasi dalam kehidupan modern.
Namun
sebaliknya, tidak semua yang terkait dengan proses rasionalisasi semata
menjadi sekuler. Islam memahami setiap fenomena berdasarkan gagasan yang
di bangun melalu dalil-dalil keagamaan. Alqur‘an mengutarakan gagasan terhadap
banyak hal, untuk menjadi tolak ukur dalam membangun pemikiraan atas apa yang
dihadapi oleh manusia dari masa ke masa. Termasuk masa modern yang sepintas
dipahami seolah-olah memisahkan antara keberadaan gagasan dalil keagamaan
dengan perkembangan sains modern.
Orang
yang memahami sesuatu yang terkait dengan pengetahuan umum maupun pengetahuan
agama dengan menggunakan kaca mata ilmu, pikirannya akan tertuju pada satu
penekanan saja, yaitu keputusan berfikir akan mengarah pada pikiran yang
brutal, sebab yang namanya ilmu itu menghukumi sifatnya. Ketika satu ilmu yang
dimiliki terbantahkan dengan penemuan ilmu yang baru, di sini akan terjadi
penolakan besar-besaran terhadap apa yang dihasilkan dari proses tersebut.
Seolah-olah perkembangan inovasi ilmu pengetahuan akan menghancurkan ketetapan
yang sebelumnya sudah ada dan mengakar dalam pikiran manusia.
Ilmu
dengan segala penguasaannya sering menjadikan manusia menjadi angkuh, sombong,
merasa paling tahu, menginginkan dihormati atas pengetahuannya, disanjung bak
juru penyelamat dunia dan akhirat, sehingga lupa jika dia sedang berpijak hidup didunia yang
menginginkan ribuan kepentingan atas hajad hidup makhluk dan
isi alam.
Alam
dunia adalah ruang dan waktu yang ditempati oleh manusia, di mana ruang-ruang
tersebut sangatlah sempit, melebihi sempitnya alam rahim, semasa
kita ada di dalam kandungan ibu. Di sa’at menyambung
awal hidup di alam rahim, setiap manusia bebas mau bagaimana dan melakukan apa,
tanpa ada yang harus diperhatikan, semua aktifitas bebas atas sekehendak
janin, makanpun disuapi oleh seorang ibu melalui proses yang sudah ditentukan
secara sunnatullah atasnya.
Ketika
lahir ke dunia
yang disangka sangat luas pada materinya, ternyata
begitu sempit pada hakikatnya. Sangking sempitnya dunia kita hampir tidak boleh
sembarangan melakukan sesuatu, tidak boleh mencari nafkah sembarangan, tidak
boleh berbicara sembarangan, tidak boleh melakukan dan berbuat sembarangan,
tidak boleh menulis sembarangan, tidak boleh menetapkan hukum sembarangan, dan
akan berterusan mendapatkan ketidak boleh melakukan sembarangan-sembarangan
yang lainnya.
Berbeda
dengan orang yang memahami pengetahuan, dengan menggunakan sorotan keislaman
(Islam yang harus dipahami di sini adalah Islam dalam pengertian agama yang
membawa rahmah keselamatan bagi setiap momen), akan menjadikan ilmu hannya
sebagai instrumen dasar saja, bahwa untuk memahami ranah
keislaman mesti menggunakan ilmu sebagai jalannya, sementara Islam
itu sebagai tujuannya. Dengan demikian jauhlah seseoarang dari kepicikan
berfikir oleh karena ilmu sebagai alat untuk menghukumi.
Islam mengajarkan kita bertabayyun atas setiap perkara atau cek dan ricek dalam segala hal peristiwa. Dalam cek and riceknya Islam terlebih dahulu menetapkan alat untuk bertabayyun itu dengan ilmu dan berbagai macam kaedahnya. Sehingga munculnya pemahaman yang beragam dari agama ini sebagai instrumen untuk bertabyyun, lalu kemudian setiap kita dan isi alam akan terselamatkan berdasarkan tabayyun keilmuan sebagai wujud aplikatif dari Islam itu sendiri dalam penjelasan term pengertian yang menyelamatkan.
ألَّا تَطْغَوْا فِي الْمِيزَانِ
Artinya,
“dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan)”.
وَأَقِيمُوا الْوَزْنَ بِالْقِسْطِ
وَلَا تُخْسِرُوا الْمِيزَانَ
Artinya,
“supaya kamu kamu tidak melampaui batas tentang neraca itu”.
Pada
surat Ar-Rahman ayat 7-8 diatas Allah swt., berfirman dengan wacana tentang
neraca keadilan. Keadilan dalam nuansa keseimbangan, imbang dalam menentukan
massa berat dan jenis. Bagaimana langit itu ditinggikan,
bumi didatarkan dalam hamparan yang melengkung menuju bulat yang
melonjong membentuk telur burung onta.
Bumi
adalah planet dimana hidupnya makhluk yang mempunyai berat massa dan jenis.
Antara makhluk hidup dengan alam saling mempengaruhi satu sama lain, kedua sisi
ini membutuhkan keseimbangan yang ditentukan Tuhan, Sunnatullah dalam bahasa
agama, kausa prima dalam tatanan pembahasan filsafat, sebab akibat dalam bahasa
keseharian kita.
Manusia
adalah salah satu makhluk yang mempunyai massa jenis yang berimbang, sebagai
makhluk tertinggi diciptakan Tuhan dibandingkan dengan makhluk yang lain, sebab
tingginya kedudukan manusia maka butuh syaithan untuk menjadi lawannya manusia.
Dalam diri manusia terdapat perwakilan sifat dari makhluk-makhluk yang lain,
ada sifat kebinatangan, ada sifat tumbuh-tumbuhan, ada sifat syaithan, ada
sifat malaikat dan ada nasfu yang slalu menghitung buruk dan baik dari
keinginan manusia itu sendiri.
Keseimbangan
pada diri manusia itu dikontrol dalam sebuah file yang disebut dengan cinta dan
kasih. Cinta dan kasih dalam diri manusia itu terbentuk melalui proses yang
berjilid-jilid. Bertemunya fisik, beradunya pandangan, bertemunya jiwa,
bersentuhan bathin, dan menyatulah raga dalam satu wujud yang disebut file
cinta, lalu dengan sendirinya rasa kasih dan sayang terlegend dalam diri
manusia masing-masing.
Begitu
juga dengan kebencian dalam diri manusia terbentuk dengan proses yang
berjilid-jiliid juga, mulai dari sifat, sifat direspon oleh jiwa, lalu mulut
mengucapkan kata, ketika kata diucapkan dengan rasa kebencian disitulah hati
tersayat dan kebencianpun melegend dalam diri manusia. Keseimbangan dalam
komunitas manusia mesti dipahami dengan neraca yang adil. Saling memahami
sebuah keadaan, hal tersebut yang akan menjadi proses yang berjilid-jilid dalam
membentuk keseimbangan. Jika keseimbangan sudah mulai diperankan oleh setiap
kita maka keadaan tidak lagi menjadi kacau, permusuhan sesama akan ditekan,
lalu kemudian yang muncul adalah rasa saling memahami akan keadaan yang
berjilid-jilid tersebut.
Allah
swt., meciptakan neraca keseimbangan dalam memenej alam semesta ini. Semestinya
manusia mengaplikasikan neraca keadilan dalam diri
masing-masing, sehingga saling mendahului tidak menjadi alat bagi
manusia untuk saling memusuhi dalam bentuk apapun kondisinya. Jika neraca
keseimbangan menjadi perhatian manusia untuk saling memahami dalam berbagai
kondisi akan menjadi tolak ukur bagi kita jika setiap jiwa
manusia adalah satu dalam tatanan tauhid kesatuan sebagai mana Allah
swt., firman dalam kalimat Qul Huwallahu Ahad.
Pada
tatanan hakikat absolut setiap manusia, apapun agama yang dianut hari ini
adalah sama. Sama-sama memahami jika Tuhan itu satu. Satu dalam pemahaman dan
satu dalam tujuan. Menyembah Tuhan pada dasarnya bentuk amal pengakuan bukan
substansial, sebab substansi tauhid adalah mengerjakan dengan seluruh anggota
badan baik tindakan yang sifatnya spritual maupun aksi yang bersifat sosial.
Sejarah
panjang yang terpisah-pisah antara turunnya wahyu dan Nabi mengakibatkan
pemahaman tauhid kema'rifahan menjadi kabur dan sengaja pula
dikaburkan oleh orang-orang yang punya kepentingan pribadi dan kelompok
terhadap agama. Memanfaatkan agama untuk mencari popularitas melahirkan
pemahaman agama yang keliru pada generasi berikutnya.
Banyak
agama di dunia saat ini menjadi bukti jika Tauhid Absolut itu telah kabur
dipahami. Ada agama Kristen, Budha, Hindu, Comfusyu, Koptik, Protestan dan lain
sebagainya, ini sebuah tanda jika tauhid yang satu dikaburkan oleh pemangku
agama masing-masing. Padahal setiap kitab suci mengajarkan kita jika
Tuhan itu adalah satu. Ayat ketuhanan telah mengajarkan kita tentang hubungan Tuhan
dengan manusia, ingat manusia bukan pemeluk agama. Di dalam surat An-Nas,
tidak disebutkan Tuhan sebagai penguasa agama, akan tetapi Tuhan ada sebagai
penguasa manusia, siapapun dia agama manapun yang menyesatkannya hari ini,
Tuhan pada surat An-Nas sedang menyentuh manusia dalam tataran
pemahaman teologis. Jangan caci mereka yang saat ini sedang tersesat dari Tuhan
yang satu itu, ketika kita melihat konsep kesatuan tersebut bagaimana Tuhan
dipahami menjadi tiga dalam dokrin agama Kristen, menjadi bergambar dalam agama
Hindu, menjadi patung dalam agama Budha dan menjadi-menjadi berikutnya pada
agama yang lain.
Islam
adalah di mana penganutnya masih berada pada tatanan tauhid absolut yang lurus
dari awal waktu sampai hari ini, penganutnya masih berada pada tauhid yang
satu, kecuali orang-orang yang disesatkan menjadikan tempat-tempat tertentu
untuk menyandarkan harapannya kepada Tuhan, apakah kekuburan, tempat-tempat
yang dianggap keramat ataupun tempat-tempat yang lainnya.
Sebagian
yang disesatkan pemahamannya ketika berdoa kepada Tuhan bertawassul dengan
media, dengan mengirim doa lewat media sosial dan sepadan dengannya, sambil
berharap pihak media sosial akan mengirimkan doanya kelangit. Tentu
tidak dapat dibayangkan jika doa yang sudah ditulis di facebook,
sementara pihak facebook sendiri lupa mengirimkan doa itu kelangit, dikuatirkan
Tuhan belum menerima doanya sebab tersangkut pada sistem jaringan informasi.
Inilah
salah satu kesesatan bertawassul dengan media. Melalui surat An-nas tersebut
kita ditegur Tuhan dengan narasi yang sama antar makhluk pemeluk agama, mari
pada setiap kesempatan kita saling memperingati mereka, menyadarkan pemahaman
tauhid yang sudah keliru dan tidak saling memusuhi diantara sesama manusia
hannya karena salah menghukumi atas kekeliruan yang terjadi. Disini kita mesti
mengacu pada sebuah pelajaran dari Nabi Muhammadsaw., jika
manusia itu dilahirkan dalam keadaan fitrah.
Berlebihan
dalam memahami nash sumber ajaran Islam merupakan sebuah kekeliruan
intepretasi dalam beragama. Ekstrem atau paham radikal mengakibatkan pola
pemikiran Islam menjadi sempit. Islam mesti dipahami sebagai esensi nilai bukan
formalitas simbolik.
Esensi
nilai ini adalah Islam bernarasi sunnatullah Tuhan sebagai ajaran yang
universal, berangkat dari awal mulanya diciptakan Nurnya Nabi Muhammad
saw., di mana belum diciptakan Tuhan sifat-sifat massa dan sifat materi
sebagai perangkat bagi manusia untuk menjalani Syariah Islam itu sendiri. Belum
diturunkannya Alqur‘an, belum adanya hadis, belum adanya pemikiran para ulama
dan belum ada perangkat-perangkat syariah sebagai atribut formalitas.
Formalitas
simbolik muncul disaat Nabi Muhammad saw., menjadi wujud
nyata dalam bentuk manusia biasa, yang mengandung unsur-unsur basyariah,
sampai di sini mulailah Islam hadir sebagai penyempurnaannya agama yang Allah
swt., jadikan sebagai petunjuk bagi manusia dari awal waktu sampai berakhirnya
hari di dunia dengan bertemu hari yang ditegakkan itu yaitu hari kiamat.
Memahami
Islam dalam konteks formalitas simbolik menjadikan rentan dalam menarik
kesimpulan, jika Islam adalah berpaham radikal, ekstremis, serta membenarkan
diri dan kelompoknya saja, menganggap kelompok yang berbeda bukan bagian dari
Islam itu senfiri merupakan pemikiran Islam tidak bernuansa sunnatullah.
Sebagai salah satu konteks yang nyata hari ini terjadi di dunia Islam, perang
yang melanda negara-negara di timur tengah saat ini bermula dari pemikiran
ekstremis dan radikal dengan alasan menegakkan khilafah dimuka bumi. Jutaan
orang mati, yang mati tidak tahu kenapa mereka dibunuh dan yang membunuhpun
tidak punya tujuan untuk apa mereka membunuh. Puluhan juta merenggang nyawa
sampai hari ini belum ada khalifah yang ditegakkan dan yang ada negara-negara
yang berkonflik tersebut dikuasai oleh negara asing dan perang sodara semakin
berlanjut.
Memahami
konteks di atas tentunya Indonesia harus menjadi negara Islam
moderat bernuansa nusantara. Islam yang membangun kebudayaan berdasarkan
bangunan Ilmu Pengetahuan, dengan berbagai macam penemuan-penemuan baru yang
menyangkut dengan sifat keduniaan, sebagaimana misi Nabi Muhammad saw.,
membangun Negara Madinah sebagai pondasi awal Islam kebudayaan dimulai. Untuk
mewujudkan peradaban Islam yang bernilai kemajuan, lalu menjadikan hitungan
waktu dengan menggunakan penanggalan bulan sebagai dasar dalam menentukan
waktu, lalu mucullah penanggalan yang dinamakan dengan tahun hijriyah sebagai
awal tanda peradaban Islam dimulai.
Di
pihak yang lain telah dimulai sebuah peradaban dalam menentukan waktu dengan
menggunakan penanggalan matahari sebagai alat untuk mengukur awal waktu dan
perjalannya hingga hari ini. Semua aktifitas manusia dalam menentukan
perjalanan waktu tidak akan bisa terlepas dari hitungan waktu dengan
menggunakan perhitungan perjalanan matahari yang disebut dengan tahun masehi.
Pertanyaan
yang mendasar pada setiap pergantian tahun, baik pergantian tahun hijriah
maupun pergantian tahun masehi. Benarkah awal tahun masehi dan hijriyah menjadi
bagian daripada agama, sehingga muncul pernyataan jika sistem penanggalan
tahun masehi menjadi tahunnya orang non muslim dengan satu januari
sebagai tanda awal tahun dimulai. Sementara sistem penanggalan hijriah menjadi
tahunnya orang Islam dengan satu muharram sebagai tanda awal tahun dimulai.
Untuk memecahkan dua persoalan ini Alqur‘an sudah memberi tanda-tanda kepada pengetahuan manusia. Jika Bulan dan Matahari diciptakan Tuhan untuk menjadi alat tolak ukur dalam menghitung waktu bagi manusia. Sebagaimana Allah swt., berfirman dalam surat Yunus-ayat 5 sebagai berikut:
هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ
ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ
وَالْحِسَابَ مَا خَلَقَ اللَّهُ ذَلِكَ إِلَّا بِالْحَقِّ يُفَصِّلُ الْآيَاتِ
لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
Artinya,
“Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan
ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya
kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan
yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda
(kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui”.
Ada
dua penanggalan tahun yang menjadi fokus kajian penulis. Kedua penanggalan
tahun ini sering menjadi kontra pemikiran ditengah-tengah Umat Islam, terutama
sekali pada awal tahun masehi, sebagian besar Umat Islam mengharamkan
menyambut satu januari sebagai awal tahun. Penanggalan awal tahun masehi dan
awal tahun hijriyah.
Kedua
sistem penanggalan ini merujuk pada sistem penanggalan solar dan lunar.
Sistem penanggalan dengan melihat perjalanan bulan dan perjalanan matahari.
Tahun masehi dengan bulan januari sebagai awal tahunnya merupakan
penanggalan tahun dalam menentukan waktu dengan menggunakan perjalanan
matahari. Sementara tahun hijriyah dengan bulan muharram sebagai awal
tahunnya menggunakan sistem hitungan perjalanan bulan.
Matahari
dan bulan telah Allah swt., jadikan bagi manusia sebagai media untuk menghitung
waktu. Umat Islam ketika berpuasa masuk satu ramadhan dihitung dengan melihat
bulan, berakhirnya puasa juga melihat bulan. Sementara dalam proses ibadah
puasa mulai dari saur sampai berbuka puasa hitungan waktunya tidak lagi
berpatokan kepada perjalanan bulan, akan tetapi merujuk pada hitungan
perjalanan matahari. Pada kenyataan ini menjadi berbeda setiap wilayah yang
berjauhan dalam menentukan waktu imsak dan berbuka. Ketika menghitung waktu
dalam menjalankan ibadah saja kita menggunakan bulan dan matahari untuk
menghitung waktunya. Lalu mengapa di sa’at menghitung awal tahun menjadi
masalah bagi umat beragama, terutama sekali bagi yang beragama Islam.
Pengaruh
peradaban dunia telah merubah sistem hitungan tahun. Oleh sebab pengaruh dunia
dipegang oleh kalangan non-Muslim hari ini
menyebabkan hitungan waktu hampir diseluruh dunia tidak terkecuali dunia Islam
itu sendiri terpaksa mengikuti kalender tahun masehi dengan hitungan hari
menggunakan perjalanan matahari. Dalam transaksi
internasional maupun nasional termasuk, indonesia dari setiap hajad hidup
manusia semua lininya menggunakan waktu dengan hitungan tahun masehi. Seperti
transaksi dagang, ekonomi, pendidikan, perkantoran, kesehatan, pembayaran jasa,
baik dilembaga pemerintah dan non pemerintah. Dalam hal perjanjian
internasional maupun nasional, pembayaran biaya pendidikan, tagihan listrik,
telfon, pdam dan berbagai macam transaksi lainnya. Mengenai persoalan ini Umat
Islam hari ini harus menggunakan hitungan waktu dengan menggunakan tahun
masehi. Begitulah kenyataannya.
Pada
ayat yang sudah penulis kutip di atas dalam surat yunus Allah swt.,
telah menjadikan Matahari dengan cahayanya dan Bulan dengan sinarnya untuk
digunakan oleh manusia. Di manfa‘atkan sepenuhnya sebagai alat pengukur waktu
bagi kehidupan manusia untuk proses transaksi yang sudah penulis bahas di atas
dalam menentukan takaran detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun dan
abad. Sehingga Umat Islam bisa menentukan dengan mudah kapan memulai ibadah,
baik ibadah mahdhah maupun ibadah ghairu mahdhah, dan kapan
pula mengakirinya dengan menggunakan hitungan lunar dan solar.
Berdasarkan
surat Yunus yang penulis kutip, maka tidak pantas ada sebuah kesimpulan jika
non muslim tahunnya masehi, sementara Islam tahunnya hijriyah, sebab
dalam menentukan kedua penanggalan tahun ini menggunakan sistem perjalanan
matahari dan bulan. Sementara matahari dan bulan adalah makhluk ciptaan Tuhan,
yang diciptakan-Nya untuk kepentingan manusia dalam berbagai hal, salah satunya
untuk menentukan waktu. Bukankah waktu dalam Islam merupakan hal yang harus
diperhatikan, karena Allah swt., telah bersumpah demi waktu, sungguh manusia
dalam keadaan rugi ketika dia melalaikan waktu.
Selamat
menyambut tahun baru masehi tahun 2020, yang diawali dengan satu
januari sebagai permulaannya, menggunakan hitungan waktu berdasarkan
perjalanan Matahari. Dan juga selamat menyambut tahun baru hijriyah yang
hitungan waktunya menggunakan penanggalan perjalanan Bulan. Semoga kedua tahun
ini, setiap pergantiannya menjadi batas introspeksi tahunan terhadap sikap
membangun peradaban yang jauh lebih baik dari sebelumnya, dan saling
mentransfer kebaikan antar sesama Umat Manusia.
Amfat Es Dot Fil, Jakarta, 31
Desember 2020
Komentar
Posting Komentar