'IBADURRAHMAN: HAMBA YANG MELEBURKAN DIRI DALAM SIFAT KETUHANAN
وَعِبَادُ الرَّحۡمٰنِ الَّذِيۡنَ يَمۡشُوۡنَ عَلَى
الۡاَرۡضِ هَوۡنًا وَّاِذَا خَاطَبَهُمُ الۡجٰهِلُوۡنَ قَالُوۡا سَلٰمًا
Artinya,
"Adapun hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih itu adalah orang-orang
yang berjalan di bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang bodoh menyapa
mereka (dengan kata-kata yang menghina), mereka mengucapkan "salam". Q.
S. Al-Furqan/25: 63.
Seseorang yang merasa dirinya sebagai hamba, dan tidak pula diciptakan manusia
di muka bumi,
kecuali hanya untuk menyembah kepada-Nya.
Puncak dari pada ibadah adalah meletakkan delegasi anatomi tubuh
manusia pada pada posisi
terendah.
Anggota tujuh pada diri manusia terdiri dari dua lutut, dua tangan, dua kaki, dan satu kepala
bersama-sama yang lainnya. Tujuh anggota ini merupakan refresentatif dari organ
tubuh manusia. Disa'at puncak ibadah semuanya harus berada pada titik terendah,
maka semua organ tubuh berada pada posisi yang sama, kepala dengan ujung kaki
sama rendahnya.
Dikalangan masyarakat sosial anggota tujuh ini mengelilingi hidup
manusia. Ada yang berada pada posisi di atas, seperti kepala. Kepala di sini
bisa jadi sebagai pengatur/pemimpin dalam konteks politik, baik pemimpin dalam
pengertian sepenuhnya, maupun pemimpin dalam pengertian sub-bordinasinya. Dan juga berada pada posisi di bawah, atau juga
masyarakat biasa yang tidak memiliki otoritas atas kekuasaan politik, juga
tidak memiliki otoritas atas agama dan kebudayaan.
Kepala, atau posisi di atas juga harus dipahami sebagai
sesuatu yang dikuasainya, baik penguasaan atas jabatan, harta, ilmu
pengetahuan, koneksi, jaringan, dan sebagainya.
Berdasarkan filosofi sujud sebagai puncak ibadah, maka sujud dipahami sebagai wujud
kerendahan. Artinya, setiap apa yang dikuasai baik pangkat, jabatan, posisi,
ilmu pengetahuan, koneksi, serta yang lainnya, dipahami sebagai titik
kulminat dalam melayani.
Membangun relasi dalam bentuk personal akan meningkatkan
kepercayaan (trust), sementara membangun relasi dalam bentuk intelektual
akan menjelaskan kemampuan memahami dalam bentuk komunikasi verbal (soft
skill).
Sujud sebagai puncak ibadah, intelektualitas sebagai puncak
personalitas. Dalam membangun relasi harus dipahami humanis, kesetaraan dalam
memahami manusia adalah modal utama
untuk meraih posisi kerendahan hati.
Memahami tanpa menggunakan instrumen hati, maka sifat memuliakan
personal yang lain akan sangat sulit untuk dijalankan.
Kata hamba pada ayat di atas adalah sebuah narasi kerendahan, di
mana manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, tidak akan dapat berdiri
sendiri tanpa adanya struktur sosial yang saling mempengaruhi.
Struktur ini menjadi media bagi manusia untuk saling memahami diri
masing-masing dengan fungsi yang telah ditentukan. Di sini tidak boleh manusia
merasa lebih di antara satu dengan yang lainnya, sesuai dengan posisi dan
fungsi masing-masing. Pada pelaksanaannya membangun relasi kesetaraan, dengan
tidak pernah merasa lebih baik kepada sesama, baik sa’at berada pada posisi di atas, maupun posisi di
bawah.
Membangun relasi ini tidak terlepas dari sikap personalitas yang
mampu memaknai dengan baik akan sifat dan moralitas yang dimiliki oleh
seseorang. Moral etik menjadi pembeda antara manusia dengan makhluk yang
lainnya.
Memahami prinsip moral, dalam peribahasa Inggris dijelaskan dengan
“Moral is not tought but cought". Pendidikan karakter sering
kali diintroduksikan ke dalam kelas dan kehidupan publik lewat contoh-contoh
keteladanan dan kepahlawanan. Siswa dan masyarakat berbicara dengan
karakter yang menjelma di dalam diri teladan dan kepahlawanan itu.
Nilai-nilai keteladanan dan kephlawanan itu tidaklah diajarkan (tought)
secara koknitif lewat hafalan dan "pilihan ganda", melainkan
ditangkap (cought) lewat penghayatan emotif. Dalam hal ini,
kisah-kisah rekaan (fiksi) dalam kesusastraan dan kisah-kisah nyata dalam
kesejarahan merupakan medium yang efektif sebagai wahana pendidikan karakter.
Memahami sujud sebagi puncak ibadah mahdhah, maka kerendahan hati adalah puncak dari ibadah
sosial. Tidak semua orang mampu menjalin korelasi antara keduanya. Sujud
sebagai kesadaran di mana akal tidak berhak untuk mendikotomi atas manusia,
sebab posisinya sama dengan kaki di sa’at ibadah sampai pada puncaknya.
Begitu juga dengan kerendahan hati, tidak ada yang mampu
melaksanakannya kecuali bagi orang-orang yang sudah sempurna sujudnya.
Merendah atas apa yang dimiliki bukanlah perkara yang gampang, dan
bersyukur atas nikmat yang Tuhan berikan juga bukan perkara yang mudah untuk dikerjakan, kecuali bagi orang-orang yang
sudah selesai dengan moral kognitifnya, dan mampu menerapkan cought
aplikatifnya dengan
baik.
Bagi kaum filosofis ajaran tentang moral tidak hanya dilihat dari
sikap kognisinya, melainkan lebih
melihat pada sisi tindakan yang bernilai. Di sini, nilai moral lebih utama bagi
manusia dibandingkan dengan pengetetahuan tentang moral.
Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa moral bukan
dipelajari, melainkan ditanam pada sikap dan prilaku. Hal ini, tidaklah
terwujud tanpa adanya sosok tauladan, atau dalam bahasa William Glesser
tauladan yang baik itu adalah tindakan yang penuh inspirasi, Glesser
menyebutnya dengan istilah the superior teacher inspire.
‘Ibadurrahman, merupakan hamba yang mana dalam
dirinya tidak adalagi sesuatu yang lain kecuali rasa kasih dan sayang.
Kata rahman berulang kali disebutkan di dalam Alqur’an. Kata ini juga menjadi ayat kedua dalam surat
al-Fatihah, dan juga menjadi kata yang wajib diucapkan oleh manusia ketika
hendak memulai sesuatu pekerjaan, yang terangkum dalam ucapan basmalah.
Artinya apa? Setiap tindakan manusia harus bermuara pada nilai
kasih kepada sesama. Untuk mewujudkan nilai kasih dan sayang kepada manusia tidak akan
terlaksana jika antar sesama yang telah ditakdirkan beragam ini saling menyombongkan diri.
Dalam hal ini, distribusi dari kasih sayang adalah meletakkan ego pada titik
paling rendah.
Ego sosial dan ego sektoral jika tidak dileburkan, akan memicu
tindakan yang mengarah pada al-harb al-khashisan (pemecah
belahan/pemerangan yang akan menghancurkan).
Kata, jika ditinjau dari segi komunikasi publik memilik kekuatan
yang luar biasa, the word is power. Kata dapat mempengaruhi opini,
baik opini yang menyangkut dengan diri sendiri, maupun opini orang lain. Bagi
siapa yang mampu memainkan kata, maka dia akan menguasai opini publik atau
publik opinion. Jangankan dunia ‘arsy dapat berguncang hanya
dengan satu kata yakni kata thalak.
Jika kata telah mempengaruhi relasi komunikasi bagi kebanyakan
orang, maka angka akan mengguncang jiwa bagi
wajib pajak. Bagaimana tidak angka milyaran rupiah dari nominal pajak wajib harus dikeluarkan
kepada negara. Begitu penjelasan ketua Asosiasi Konsultan Pajak Publik
Indonesia (AKP2I) Dr. Suherman Saleh. Menangkap fenomena bahayanya angka bagi
wajib pajak.
Kata memiliki kekuatan yang luar biasa, dapat mempengaruhi pola
pikir manusia, word have the power to break relation.
Ungkapan
ini menggambarkan begitu besar pengaruh negatif dari kekuatan kata. Kata dapat menghancurkan sebuah
relasi yang sudah dibangun dengan baik. Betapa hubungan antar manusia dari
berbagai level bubar hanya karena ucapan kata yang salah, baik salah karena
makna kata tersebut, maupun salah karena penempatan kata yang tidak pada
tempatnya.
Oleh karena pentingnya menjaga kata, Alqur’an sendiri dalam hal
ini menekankan tentang kata yang berkaitan dengan vokal atau suara. “waqshid fi
masyyik wakhdhuk min sautik, inna ankaral ashwatu la sautul hamir”.
Artinya, “dan
sederhanakanlah kamu dalam berjalan, dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya
seburuk-buruk suara ialah suara keledai”. Q. S. Luqman/031: 19.
Suara keledai
tidak hanya buruk, namun memekik telinga sa’at mendengarnya. Bahkan dalam.surat
Ali ‘imran ayat 159 Allah swt., berfirman bahwa, kelembutan yang ada dalam diri
seseorang hanya didapati oleh karena adanya rahmat dari
Tuhan.
Artinya, kelembutan yang tewujud dalam diri seseorang tidaklah
terbentuk dengan sendirinya, namun semua itu tertanam hanya karena adanya
rahmat dari Tuhan.
Berdasarkan
ini, tidak ada satu celahpun bagi manusia, oleh karena kelembutan hatinya,
manusia mampu memahami yang lain, lalu kemudian dia berbangga diri atas
kemurahan hati tersebut.
Berbicara
suara dengan nada yang memekik telinga, dan menyakiti dapat terjadi atas dua
hal.
Pertama, kata yang diucapkan mengandung unsur menyakiti,
melecehkan, menghina, merendahkan, dan yang lainnya.
Kedua, kata yang diucapkan mengeluarkan nada atau mimik yang
dapat mengantarkan pesan yang mengandung unsur menyatir, atau menceme‘eh. Dapat
kita pahami, kata yang baik harus juga diucapkan dengan nada yang baik pula. Di
sini, jenis “katanya” dan“vokalnya”, sangat mempengaruhi opini sifat komunikan.
‘Ibadurrahman adalah seseorang yang telah mendapatkan rahmat dari
Tuhan, atas segala ucapan dan tindakannya. Hamba yang telah tertanam rasa kasih
dan sayang dalam jiwanya, tidak akan melihat keburukan atas prilaku orang lain,
terkecuali sudah nampak nyata keburukan atas dirinya.
Positve
thinking adalah pakaian
jiwa bagi hati yang telah mendapatkan payung kasih dari Tuhannya. Tidak adalagi
keburukan yang dilihatnya atas orang lain. Jika Tuhan saja maha pengasih dan
penyayang, lalu kenapa manusia yang telah mengakui hamba, tidak mengenal sifat
kasih dalam jiwanya.
Dominasi kasih
dalam hati seseorang merupakan ciprakan cahaya Tuhan dalam jiwanya, sehingga
dengan itu, mampu melihat kegelapan dalam diri seseorang.
Oleh karena
demikian, terhapuslah segala keburukan dalam pikiran ketika memahami orang
lain. Sifat ini akan mengantarkan manusia pada level memahami orang lain
seperti dia memahami dirinya sendiri.
Jiwa telah
menggelorakan semangat, sebagaimana al-Ghazali menulis tentang manusia dari
segi an-nafs.
Substansi jiwa
yang sebenarnya adalah kelembutan dan halus, atau dalam bahasa Alqur’an disebut
dengan “lathifah”, dan juga bagian dari substansi ketuhanan (Rabbaniyah), serta
keruhaniaan (ruhaniah), sementara kajian tentang akhlak merupakan kondisi jiwa
yang menyangkut dengan kebathinan.
Al-Ghazali
membagi-bagikan jiwa manusia kepada beberapa kelompok. Pertama, an-nafs
al-muthmainnah, ini adalah jiwa yang mendapatkan ketenangan dan
ketentraman.
Kedua, an-nafs al-lawwamah, dalam konteks
kebahasaan lawwamah mengandung arti ketercelaan, atau mencela dirinya sendiri,
jiwa ini merupakan proses kesadaran untuk kembali kepada Tuhan dengan berusaha
menghindari keburukan-keburukan atas dirinya.
Ketiga, an-nafs al-amarah, pada tingkatan ini
adalah jiwa yang sangat rendah. Artinya, jiwa pada level ini belum dimurnikan,
atau belum dibersihkan dari segala keburukan, kemurkaan (ghadhab), dan
keinginan (syahwat) yang menguasai dirinya.
Jiwa pada
level yang terakhir ini, jika melakukan sesuatu keuntungan materi pada dirinya
terlebih dahulu yang dilihat, jika saja keuntungan atau keinginan dirinya tidak
mungkin didapat dari objek tertentu, maka tidak ada yang dapat diharapkan oleh
orang lain atas dirinya.
Menyadari
manusia sebagai makhluk yang memiliki jutaan keinginan tentu marah menjadi
lumrah, akan tetapi yang menjadi tercela adalah ketika membiarkan “amarah”
menguasai jiwanya.
Menutup
persoalan ini, hamba yang pada jiwanya terapatri nilai-nilai transendetal, akan
memahami hidup ini adalah sebuah penyatuan jiwa antara manusia dengan
alam.
Zeno dengan
filsafat stoikisme-nya semenjak tahun ketiga sebelum masehi telah
membangun sebuah aliran filsafat. Stoik berasal dari bahasa Yunani stoiks yang
berarti “stoa: beranda atau serambi”. Dan juga mengacu pada Stoa Poikile, atau
“beranda berlukis”.
Stoikisme dipahami sebagai “menderita dalam kesunyian”. Hamba
yang memiliki tingkat kesadaran tinggi akan alam ini selalu menjadi korban atas
buruknya prilaku manusia. Karena dalam pemahaman filsafat Stoikisme keberadaan
Tuhan selalu menyertai dan menguasai alam semesta. Maka, menerima kenyataan
ini, ‘ibadurrahman sangatlah realistis dalam menempatkan
dirinya, sebagai hamba yang meleburkan jiwa dengan semesta.
Ajaran stoikisme keputusan
yang salah dalam bersikap muncul karena emosi negatif yang selalu dipelihara.
Kesempurnaan moral dan intelektual hanya dimiliki oleh kelompok sophis.
Kelompok ini
tidak pernah menjadikan emosi sebagai penggerak yang dapat merusak kebahagiaan
jiwanya, seperti marah berlebihan, panik berlebihan, sedih berlebihan, bahagia
berlebihan, menderita berlebihan, menyuka berlebihan, membenci berlebihan,
mencemburui berlebihhan, dan yang lainnya.
Stoikisme memahami, ada dua hal yang dapat berlaku atas alam
ini. Pertama, tindakan yang dapat dikendalikan, seperti halnya
sebuah rencana, visi, misi, langkah-langkah dalam menentukan sikap, dan opini
diri terhadap orang lain.
Kedua, tindakan yang tidak dapat dikendalikan, seperti kaya,
sehat, sakit, sedih, dan opini orang lain terhadap kita. Di sinilah, jiwa
manusia dengan segala rasanya harus menceburkan diri dalam konsep‘ibadurrahman,
yang senantiasa menyikapi dengan baik atas peristiwa, baik yang dapat
dikendalikan, dan peritiwa yang tidak dapat dikendalikan, sehingga mampu
memahami segala hal dengan mengedepankan rasa baik sangka kepada setiap makhluk
yang ada dengan segala fenomenanya.
Dengan
demikian, hamba yang meleburkan jiwanya dalam sifat ketuhanan akan menjaga jiwa
yang lain baik dengan tindakan, dan juga dari sinisme akan kata-katanya.
Amfat Es Dot Fil..........Jakarta, 29 Desember 2020
Komentar
Posting Komentar