FILOSOFI MASJID: ANTARA HATI, ILMU, DAN KESALEHAN SOSIAL
Diawal dakwah Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw., ketika ajaran Islam belum dikenal oleh masyarakat Arab, dakwah secara diam-diam mulai merubah pola fikir per-individu masyarakatnya, terutama pribadi-pribadi yang terdekat dengan Nabi. Orang-orang yang pertama memahami Islam belum begitu leluasa mengamalkan ajarannya, apatah lagi mengajarkan Islam kepada yang lain. Begitu juga dengan ibadah, bagaimana melakukan shalat dengan segala syarat dan rukunnya sangatlah terbatas, baik terbatas pemahamanya maupun keluesan dalam melakukannya.
Hadirnya Islam di tengah-tengah masyarakat Jahiliah, bukan sebuah upaya untuk menyelenyapkan sebuah peradaban yang sudah cukup mapan pada sa’at itu, melainkan untuk meluruskan suatu kebiasaan yang menyimpang dilakukan oleh umat manusia dipermukaan bumi.
Kebudayaan Arab Jahiliah dikala itu tidaklah semuanya buruk, namun juga tidak seluruhnya benar. Akan tetapi Jahiliah adalah fakta dari sebuah masyarakat yang kehilangan petunjuk wahyu, yang mana sudah barang tentu pengetahuan akal membatasi kemampuan berfikir dalam menentukan antara hukum, adat, budaya, dan nilai-nilai keagamaan.
Oleh karena demikian, agama harus hadir dan Nabi harus diutus, sehingga apa yang menjadi pesan dari sebuah ajaran tersampaikan kepada manusia. Peran dan tugas kenabian tidaklah mudah, semudah masyarakat Muslim hari ini berdakwah, kepada masyarakat yang sudah terlebih dahulu menerima Islam.
Dimasa awal kenabian masjid berfungsi sebagai pusat peribadatan dan central ilmu pengetahuan, di mana ilmu disampaikan. Dalam pengertian yang lain masjid tidak hanya berfungsi sebagai tempat prosesi spritual, namun juga berfungsi sebagai madrasah.
Ilmu-ilmu yang terkait dengan ibadah disampaikan di pojok-pojok masjid atau disebut dengan Zawiyah, terutama sekali ilmu yang terkait dengan pewahyuan, baik al-Qur'an maupun hadis sebagai syarahnya, yang meliputi di dalamnya ilmu tauhid, syari'ah, akhlak, dan lain sebagainya.
Kata Zawiyah pada perkembangan berikutnya menjadi dayah. Dayah inilah yang telah mencetak kader-kader ulama di Aceh, bahkan ulama di nusantara.
Pojok masjid yang digunakan untuk menyampaikan ilmu keislaman dimasa awal kenabian hari ini dikenal dengan nama zawiah. Sebutan ini juga diadopsi menjadi salah satu nama dari institusi pendidikan di Aceh, lembaga perguruan tinggi az-zawiyah. Dari pojok inilah ilmu pengetahuan agama disampaikan oleh generasi awal Islam. Dalam penjelasan sejarah, generasi ini disebut dengan generasi era klasik. Klasik bermakna berkelas. Artinya, generasi ini atau juga generasi sahabat merupakan komunitas Islam yang memiliki kapasitas iman yang kuat.
Hadirnya generasi sahabat sekelas Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin 'Affan, Ali bin AbibThalib, dan yang lainnya, menyebakan Islam hadir ke berbagai penjuru dunia. Keberadaan ajaran Islam tidak hanya diterima, namun juga dianut menjadi agama baru masyarakat jahiliah.
Semangat masjid sudah mengantarkan iman kepada mereka yang sa'at itu masih sangat terikat dengan ajaran nenek monyang. Animisme kepercayaan masih sangat kental dalam pemahaman teologi masyarakatnya, sehingga apa saja yang dianggap dapat mengantarkan pesan diluar logika, mereka akan memahaminya sebagai sesuatu yang luar biasa. Dan tidak hanya sampai disitu, objek-objek yang mengandung mistis mempengaruhi cara pandang mereka terhadap Tuhannya. Dengan adanya pembelajaran dari masjid mampu mengubah pola pikir kedhulumatan menuju pengcahayaan.
Sejarah masjid tidaklah sedikit kupasannya, baik penjelasan dari bentuk, arsitekturnya, seni pahatnya, dan lain sebagainya, serta sentimen budaya juga mempengaruhi bentuk masjid dari masa ke-masa.
Keberadaan masjid sudah ada sejak Nabi Muhammad saw., melakukan hijrah. Masjid yang pertama didirikan oleh Nabi Muhammad saw., bernama Quba. Nama ini diambil dari sebuah tempat yang dilalui oleh Nabi bersma Abu Bakar dalam peristiwa hijrah pada awal kenabian.
Masjid Quba ini diabadikan dalam Alqur'an sebagai berikut: artinya,“Janganlah kamu bersembahyang dalam masjid itu selama-lamanya. Sesungguh- nya masjid yang didirikan atas dasar taqwa” (masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya. Di dalam masjid terdapat orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih”. Q.S. At-Taubah/009: 108.
Keberadaan masjid sangat terkait dengan ketaqwaan, taqwa bagi anak Adam merupakan urusan hati "at-taqwa ha huna" begitulah Nabi Muhammad saw., menunjukkan tangannya kebagian dada disa’at menjelaskan tentang takwa kepada sahabat-sahabatnya.
Taqwa adalah kesadaran hati yang membentuk keyakinan dalam diri manusia. Keyakinan ini membentuk kesalehan spritual, yang mana dari kesalehan spritual tersebut membentuk kesalehan sosial. Hati yang terpaut dengan masjid menandakan gerak awal responsif memahami gejala sosial dalam memahami masyarakat manusia.
Masjid sebagai sumber inspirasi dengan panggilan azan sebagai tanda ibadah spritual dilaksanakan. Panggilan azan hanya dikumandangkan dari dalam masjid, dan tidak dikumandangkan pada tempat yang lain. Tiba waktu yang ditentukan untuk melaksanakan ibadah spritual, maka bergegaslah orang-orang yang hatinya terpaut dan terikat dengan masjid, akan bersegera menuju panggilan azan.
Kadar keimanan seseorang berawal dari sini. Bagi siapa yang
bergetar hatinya ketika mendengar nama Tuhan disebutkan, dan bertambah imannya
ketika ayat-ayat Tuhan dibacakan, inilah ciri-ciri orang yang beriman.
Di dunia ini, tidak terdapat panggilan, yang mana ketika diucapkan tidak disebutkan nama yang lain, kecuali pada awalnya langsung nama Tuhan disebutkan "Allahu Akbar-Allahu Akbar". Dan juga tidak kecil kemungkinan pada momen-momen tertentu nama Tuhan disebutkan, seperti dalam zikir, puji-pujian, dan lain sebagainya. Akan tetapi, sebutan nama Tuhan pada momen yang lain tidak dibarengi dengan pelaksanaan ibadah spiritual (ibadah mahdhah). Sebagaimana lazimnya azan dikumandangkan untuk memberi tanda kepada manusia bahwa, waktu yang ditentukan itu telah tiba, dan bersegerah melaksanakan shalat tepat pada waktunya. Pada waktu yang ditentukan dan tempatnya adalah masjid.
Bergegas dalam menentukan ibadah spritual, akan berpengaruh pada tindakan sosial. Jika hati sudah terpaut dengan masjid, maka batin juga akan bergegas memahami persoalan sosial, yang mana wilayahnya berada di luar masjid. Antara spritual masjid dan kesalehan sosial tidaklah berbeda, keduanya adalah tempat ibadah. Masjid sebagai tempat pelaksanaan ibadah mahdhah, maka di luar masjid sebagai tempat melaksanakan ibadah ghairu mahdhah, di manapun dan dalam momen apapun, selain berada di dalam masjid, maka di situlah ibadah sosial ditegakkan. Baik di kantor, pasar, mol, pusat pembelajaan, dan di manapun tempatnya, baik di darat maupun di laut.
Dua katagori ibadah dalam Islam nilainya sama, tidak akan berguna kesalehan sosial yang dilakukan anak Adam jika tidak dibarengi dengan ibadah spritual. Begitu juga sebaliknya, tidak akan berguna ibadah spritual seseorang jika tidak dibarengi dengan tindakan sosial.
Salah satunya akan pincang jika keduanya tidak bisa berjalan dengan baik. Di sini beriman menjadi penting, dan humanisme sosial dibutuhkan. Bangsa ini butuh orang-orang yang kuat dan teguh keimanannya serta hidup dan kukuh pendirian sosialnya.
Di era kenabian masjid menjadi central segala aktivitas, baik ibadah dan juga mu'amalah. Beriringan majunya kehidupan manusia, dan berubah zaman, lalu setiap sendi kehidupan memiliki kiprah dan tempatnya masing-masing. Setelah organisasi sosial berhasil dibangun dan manusia hidup dalam sebuah struktur sosial yang dibentuk dalam sistem kenegaraan, segala aturan diberlakukan untuk manusia, tentunya aturan dalam mengawal segala bentuk kehidupan, baik terkait dengan keagamaan maupun terkait dengan wilayah sosial.
Manusia adalah makhluk sosial, dan kehadiran negara menjadi penting untuk mengelola kehidupan antar sesama. Berbagai macam bentuk negara yang ada di dunia ini. Apapun bentuknya, tujuan dasar di dirikan sebuah negara adalah untuk mengantarkan kesejahteraan bersama bagi manusia. Bersama-sama bergerak untuk kesejahteraan, baik kesejahteraan ekonomi, sosial, politik, keadilan, budaya, dan lain sebagainya.
Bukan bentuk negara yang harus diperhatikan, akan tetapi tujuannyalah yang harus diperjelas. Prinsip dasar dalam bernegara adalah keadilan, persamaan derajat manusia, dan ukhuwah Islamiah. Sementara, terkait dengan ketauhidan, ini tergantung dengan warga negaranya. Jika mayoritas dari warga negara tersebut Muslim, maka nilai-nilai Islam menjadi dasar utamanya, dan tauhid keislaman tidak dapat dipisahkan dari masyarakatnya. Namun jika mayoritas dari masyarakatnya non-Muslim, maka ideologi dasar negara sesuai dengan kesepakatan masyarakatnya, namun apapun bentuk negara yang dibuat manusia kesejahteraan rakyat menjadi tujuan dasar di mana negara itu dibangun.
Islam adalah agama dengan ajarannya sangat menjunjung tinggi nilai-nilai humanisme. Sementara bagi sebagian pemikiran yang berkembang, mulai menggiring humanisme menjadi kepercayaan baru baginya, entahkah itu menjadi agama atau kepercayaan yang lainnya. Jika istilah humanisme dijadikan sebagai agama, maka beberapa pertanyan mendasar harus diajukan, dari mana asal kepercayaan tersebut, siapa nama Tuhannya, siapa nama Nabinya, apa nama kitab sucinya, lalu bagaimana proses pewahyuan ajaran agama tersebut, dan seperti apa agama tersebut membangun sejarahnya. Berdasarkan beberapa pertanyaan tersebut, maka humanisme bukanlah agama. Humanisme hanyalah nilai dari sebuah ajaran agama.
Islam telah mengajarkan umatnya tentang humanisme. Nabi Muhammad saw., adalah Nabi yang telah menghidupkan ajaran-ajaran humanisme. Humnaisme yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw., adalah humanisme yang dibangun atas dasar ketauhidan. Alquran menjadi rujukannya. Dalam diri Nabi Muhammad saw., tidak hanya memahami dengan akhlak ketika membangun manusia, namun juga menghidupkan rasa dalam jiwanya.
Bagaimana tidak, seorang Nabi yang diutus oleh Allah swt., telah menggemparkan mata dunia dengan contoh tauladan yang melekat dalam dirinya. Kaana khuluqul quran "dalam diri Nabi terdapat Alquran". Artinya, prilaku kehidupan Nabi Muhammad saw., adalah apa yang diperintahkan dalam al-Qur'an.
Humanisme yang dibangun oleh Nabi Muhammad saw., adalah akhlak yang diajarkan oleh al-Qur'an. Berdasarkan ajaran al-Qur'an maka masjid menjadi simbol kekuatan dari humanisme tersebut. Masjid telah mampu menggerakkan hati manusia, dari masjidlah peradaban Islam dibangun. Artinya, peradaban Islam dilandasi atas dasar tauhid.
Berdasarkan tauhid ini, di manapun masyarakat Muslim tidak akan menerima sebuah paham dari ideologi kebangsaan yang betentangan dengan ajaran dasar Islam. Di sinilah paham seperti komunisme, yang membangun pemikirannya mengenyampingkan asas ketuhanan ditolak oleh masyarakat Muslim. Maka dengan demikian, ateisme sangatlah dimusuhi sebab telah mengenyampingkan esensi dan peran Tuhan dalam kehidupan manusia.
Pada zaman di mana strukturalisasi sosial sudah diatur berdasarkan profesionalitas, maka masing-masing urusan yang menyangkut dengan pranata sosial berjalan menurut bidang dan keahliannya masing-masing. Pada tahapan ini fungsi ilmu pengetahuan dikerahkan untuk lebih mendalam dalam memahami manusia dan alam. Dalam hal ini, semangat memperdalam ilmu pengetahuan bukan hanya sekedar untuk mengetahui saja lalu cukup dengan memperoleh tempat pada pencapaian penghargaan semata, namun lebih dari itu ilmu menjadi alat utama dalam menyelesaikan masalah kemanusiaan.
وَمَا كَانَ
الۡمُؤۡمِنُوۡنَ لِيَنۡفِرُوۡا كَآفَّةً ؕ فَلَوۡلَا نَفَرَ مِنۡ كُلِّ فِرۡقَةٍ
مِّنۡهُمۡ طَآٮِٕفَةٌ لِّيَـتَفَقَّهُوۡا فِى الدِّيۡنِ وَ لِيُنۡذِرُوۡا
قَوۡمَهُمۡ
اِذَا رَجَعُوۡۤا
اِلَيۡهِمۡ لَعَلَّهُمۡ يَحۡذَرُوۡنَ
Ayat ini menjelaskan sebuah pemetaan terhadap konsentrasi keilmuan dalam membangun profesionalitas kerja. Konsentrasi keilmuan hari ini telah mengantarkan manusia pada medan perang yang berbeda. Jika jihad bagi tentara di medan pertempuran, maka jihad bagi pemuda terpelajar adalah di lembaga-lembaga pendidikan dengan konsentrasi yang berbeda-beda, sesuai dengan kebutuhan zamannya.
Membangun peradaban Muslim yang baru adalah menuntaskan pekerjaan rumah (pr) para ilmuan-ilmuan ternama di dunia Islam untuk melanjutkan kembangkan dari apa yang telah dipetakan sebelumnya.
Konsentrasi keilmuan yang berbeda-beda tersebut menjadi jalan keluar akan persoalan manusia, di mana semakin hari semakin rumit untuk diselesaikan. Ilmu menjadi tonggak utama untuk membangun peradaban, sementara skil dalam memahami ilmu adalah kecerdasan akal untuk meletakkan tujuannya.
Dunia hari ini, ilmu tidak lagi dipahami sebagai tujuan, tapi menjadi jalan untuk menciptakan keahlian. Bagaimana sistem kerja mesin menggantikan tenaga manusia, itu semua muncul oleh karena dialektika ilmu yang kemudian menghasilkan alat-alat modern dan canggih yang dikelola oleh skil dan kreativitas kaum terpelajar.
Ilmu yang terkonsentrasi sebagaimana telah ter-narasikan melalui surat at-taubah ayat 122 di atas, tidak hanya sekedar dipelajari, namun juga harus dipahami dengan baik. Walaupun ayat tersebut hanya menekankan pada pendalaman ilmu yang terkait dengan agama saja, akan tetapi juga tidak tertutup kemungkinan bahwa, ad-diin yang dimaksud adalah segala ilmu yang hari ini hadir dalam kehidupan manusia.
Mengingat diturunkan agama untuk menuntun jalan lurus bagi manusia, lurus dalam segala hal, yang juga terkait dengan kemajuan peradaban manusia. setelah ilmu itu selesai dipelajari, maka kaum jihadis kelimuan (penuntut ilmu) harus kembali ke wilayah kerja di mana ilmu itu dipraktekkan. Ketika konsentrasi keilmuan dipraktekkan pada wilayah kerja masing-masing, maka keberadaannya harus menjadi penjaga bagi masyarakat yang berhajat terhadap ilmunya.
Sebagaimana berhajatnya orang yang sakit kepada dokter spesialis yang telah selesai belajar dan paham dengan ilmunya. Dan juga sebagaimana berhajatnya masyarakat kepada pemimpinnya dalam hal retribusi kekuasaan setelah kuasa mengelola anggaran ada di tangannya.
Terkait dengan ilmu yang terkonstrasi, sebagaimana disampaikan oleh KH. Muhammad Mahrussilah zarkasyi, Kiai muda asal Banten ini menjelaskan bahwa, Ilmu pengetahuan lintas bidang harus betul-betul diakses agar menghasilkan kehebatan dan kekayaan duniawi. Namun hal itu jangan sampai membuat kita tertipu dan terlena dengannya.
Di dunia ini, Islam menyerukan kita agar tidak melupakan nasib selama hidup, untuk mencari kecukupan dan kebahagian duniawi. Karena manusia diciptakan sebagai makhluk memiliki raga kasar yang mudah rusak dan tidak bisa hidup tanpa ada hal-hal yang bersifat duniawi. Namun, dari setiap tindak langkah, semangat duniawi harus menjadi pijakan menuju kemaslahatan akhirat. Untuk mengakses kemaslahatan akhirat menurut Gus Mahrus dengan menggunakan konsepsi al-naql (tuntunan agama), dan kemaslahatan dunia menggunakan konsepsi al-‘aql (olah sentra pikiran). An-naql dan al-‘aql harus menjadi mesin penggerak yang seimbang menuju kebahagiaan hakiki.
Zaman di mana nilai pragmatisme sangat mendominasi dalam pikiran manusia. Hidup tidak lagi dilihat dari apa yang dikontribusikan, namun kepemilikan atas materi dilihat menjadi hal utama atas eksistensi manusia itu sendiri. Akal tidak lagi berfungsi sebagai laboratorium untuk mengukur hakikat keberadaan manusia itu sendiri. Pragmatisme telah membawa manusia kehilangan kesimbangan dalam dirinya, maka dengan ini pantas saja penyakit hati yang sudah sejak lama diwanti-wanti oleh Nabi Muhammad saw., telah membawa manusia cendrung cinta terhadap dunia dan begitu takut dengan resiko-resikonya, hubbun dunya wakarahiyatul maut.
Menyikapi hal
ini, ustadh muda asal Makasar KH. Danial Idrus, Lc., M. Th. I, mengaitkan
korelasi antara masjid, hati, dan respon sosial menyimpan segala penyelesaian. Masjid
menjadi solusi atas perkara-perkara yang hinggap dalam hati anak manusia di
akhir zaman, menjauhi masjid sama dengan mengabaikan potensi umat untuk
membangun kembali peradaban manusia sebagaimana telah dicita-citakan oleh Rasulullah
bersama-sama sahabatnya.
Jauh-jauh hari Nabi Muhammad saw., telah mengajarkan kepada manusia, bahwa tonggak tersbesar atas peradaban manusia di mulai dari masjid. Sebagaimana tercatat dalam sejarah ketika awal hijrah, pembangunan peradaban manusia masjid Quba menjadi simbol penggeraknya. Dari sinilah gerakan sosial berdasarkan konsep keimanan dibangun. Dan pada akhirnya organisasi tertinggi dalam kelompok sosial dikembangkan melalui isntitusi kenegaraan.
Negara Madinah telah melanjutkan pengembangan misi Islam untuk maju secara bersama-sama dan berkelompok dengan melepaskan ego kesukuan, ras, agama, dan antar golongan.
Syaab nasya a fi ‘ibadati rabbih, “pemuda yang tumbuh dalam keadaan ta’at kepada Rabbnya”. Dalam sejarah perjuangan bangsa ini, tidak terlepas dari peran pemuda, dan ini juga berlaku di zamannya Rasulullah. Dengan pemudalah Presiden Soekarno begitu gagah dan sangat percaya diri berkata “berikan aku sepuluh pemuda, akan kugoncang dunia”.
Pemuda menurut Kia Danial telah menjadi perhatian Allah dan Rasul-Nya, di mana dengan sangat jelas disebutkan bahwa, salah satu yang akan mendapatkan perhatian Allah swt., di akhirat nanti adalah pemuda yang mana hatinya selalu terpaut dengan masjid. Ar-rijalu mu’al laqu qalbuhu bil masajid. Tutup Kiai Muda asal Makassar ini, ketika memberikan tausyiah di masjid ar-Raudhah Sorong Papua Barat.
Amfat Es Dot Fil, Jambi, 28 Januari 2021
Komentar
Posting Komentar