NASEHATILAH DIRI ATAS APA YANG DIMILIKI

قَالَ رَبِّ اِنِّىۡ ظَلَمۡتُ نَفۡسِىۡ فَاغۡفِرۡ لِىۡ فَغَفَرَ لَهٗ‌ؕ اِنَّهٗ هُوَ الۡغَفُوۡرُ الرَّحِيۡمُ

Artinya, “Musa mendoa: "Ya Tuhanku, Sesungguhnya aku telah Menganiaya diriku sendiri karena itu ampunilah aku". Maka Allah mengampuninya, Sesungguhnya Allah Dialah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. Q. S. Al-Qashash/028: 16.

Ayat ini merupakan do’a yang dibaca oleh Nabi Musa as., meminta ampun kepada Tuhan oleh sebabnya mengakibatkan kematian bagi seseorang, dan dipahami oleh Nabi Musa as., sebagai tindakan kedhaliman, padahal Nabi Musa as., tidak sengaja melakukannya, walaupun tindakan tersebut tidak sengaja dilakukannya, namun tetap disadarinya sebagai bentuk perdayaan dari setan, maka Nabi Musa as., membaca do’a tersebut untuk meminta ampunan kepada Tuhannya.

Dikala diri tidak butuh untuk dinasehati lagi, maka disa’at itu pula hidupmu sudah selesai. Ketika nasehat tidak diperlukan, itu tandanya jiwamu sudah mati sebelum nyawamu dicabut.

Nasehat terbaik bukanlah menyerap petuah-petuah yang disampaikan oleh orang lain. Kelas nasehat yang paling utama adalah ketika mampu memahami setiap kita punya jalan hidup yang digariskan Tuhan untuk menjalani apa yang seharusnya diperankan, tanpa harus merasa sinis akan peran dan fungsinya.

Memahami kosmos yang beraneka ragam ini, manusia tidak akan pernah menemukan kebenaran atas dirinya. Kebenaran yang sebenarnya ada di singgasana ketuhanan.

Menimbang kebenaran dengan menggunakan standar di bumi, maka kita akan berhenti pada satu ide yang sempit melihat cakrawala kosmos yang tersebar dari seluruh penjuru alam. Di sinilah teori dialog diri perlu untuk dihidupkan. Bagaimana menghidupkan kesadaran bahwa, setiap manusia sudah ditempatkan pada ruang yang berbeda antara fungsi dan perannya, antara kedudukan dan kapasitasnya.

Manusia sering mengukur dirinya dengan kemampuan materi yang dimiliki, dan juga dengan kemampuan intelektual yang dikuasainya. Batas  nasehat dengan kepemilikan materi dan intelektual semata, tanpa mengukur sejauh mana materi dan  kemampuan intelektual yang digunakan, maka kematian atas diri sudah diambang batas.

Mengukur kosmos dengan materi, dan mengukur nasehat dengan kemampuan berfikir yang dimiliki, mempercepat manusia menemui ajalnya.

Kematian bagi pemilik materi adalah ketika apa yang dimilikinya disimpan di dalam hati. Begitulah ungkapan hikmah mengajarkan kepada manusia bahwa, kepemilikan atas materi jika disimpan di dalam hati, maka hati akan merasa hak kepemilikan penuh atas dirinya. Semestinya materi diletakkan di tangan bukan dihati.

Meletakkan materi di dalam hati menjadikan tangan enggan untuk berbagi. Dengan demikian, jiwa akan merasa takut kehilangan atas apa yang dimilikinya.

Kondisi seperti ini mengantarkan kepada manusia berat untuk berbagi. Jiwa orang yang menyimpan harta dihatinya menjadi bakhil, sangking bakhilnya jangankan berbagi materi, tenaga, bahkan berbagi dosapun kepada orang lain dia tidak mau. Ilmu yang disimpan di dalam otak susah untuk dikeluarkan. Susah di sini dapat dipahami pengetahuan akan dikomersilkan dengan harga tertentu, sehingga akses pengetahuan tidak dapat dinikmati oleh semua orang.  

Sementara kematian bagi pemilik intelektual, ketika pengetahuan di simpan di dalam otaknya dan bukan dimulutnya. Otak dengan segala keterbatasannya akan mudah lupa untuk mengingat apa yang diketahui sepanjang masa. Sangking lemahnya otak manusia ini, tersambar dengan asap yang dihasilkan dari bahan bernarkotika akan meredup kemampuan ingatnya.

Otak merupakan laboratorium di mana akal itu dicerna dengan baik. Serapan yang diolah oleh otak berasal dari ucapan lisan seseorang. Ucapan-ucapan yang terucap dari mulut-kemulut menjadi ilmu pengetahuan bagi manusia.

Seandainya saja setiap ilmu itu hanya disimpan diotak saja tanpa diletakkan pada lisan, maka dialog keilmuan tidak akan muncul dalam masyarakat kosmos sampai hari ini.

Kepemilikan atas kedua hal yang telah disebutkan di atas, antara materi dan intelektual tidak boleh dinikmati sendiri. Dengan materi manusia menata kehidupan sosialnya, dan dengan intelektual manusia menata kehidupan spritualnya. Mengekang hak kepemilikan atas keduanya sama dengan mematikan struktur sosial dan menghentikan peran spritual dalam kehidupan bermasyarakat.

Oleh karena demikian, materi dan kapasitas intelektual tidak boleh dikunci pada sebagian orang saja, dan juga tidak boleh dikekang pada sekelompok orang saja. Materi mesti diletakkan di tangan, sehingga mudah untuk diberikan, sementara intelektual/ilmu pengetahuan harus diletakkan pada lisan, sehingga mudah untuk diucapkan atau disampaikan kepada yang lain.

Mengukur nasehat materi dan intelektual hanya sebatas atas kepemilikan pribadi, akan mempercepat manusia mati sebelum waktunya. Dengan kepemilikan materi dan intelektual seharusnya manusia mansehati dirinya serta memperpanjang usianya.

Walaupun nyawa sudah berpisah dengan raga, namun jiwamu tetap hidup dalam jiwa-jiwa makhluk yang masih melanjutkan hidup dipermukaan bumi. Sebagaimana terpatrinya dalam ingatan kita orang-orang yang berjasa atas manusia dengan karya-karya terbaiknya, sampai hari ini masih dapat diambil manfa’atnya.

Menasehati diri dengan memahami fungsi dan peran masing-masing dapat menciptakan keseimbangan dalam masyarakat sosial. Di sini tidak akan adalagi kesenjangan antara yang punya dengan yang tidak memiliki apa-apa, antara yang memiliki pengetahuan dengan yang awam.

Si empunya materi dan si empunya pengetahuan merasa jika apa yang dimilikinya adalah sebuah nasehat bagi dirinya, sehingga atas pemahaman tersebut manusia akan bahu membahu dengan sesamanya dalam menata hidup yang jauh lebih baik, tanpa harus merendahkan satu sama lain. Manusia harus mampu menasehati dirinya atas apa yang telah dikaruniakan Tuhan, dengan menghidupkan sifat memahami, bukan membenci.

Ilmu pengetahuan dan harta (kekuasaan juga dimaknai harta yang dimiliki) harus dijadikan sebagai perisai dalam kehdupan. Harta tidak akan mampu dipikul oleh manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Untuk membantu beban bawaan tersebut maka harta harus dibagi kepada yang lainnya, seperti orang-orang miskin, anak yatim, janda-janda, orang-orang yang memulai usahanya dan butuh modal, serta kepada yang lainnya. Begitu juga ilmu pengetahuan harus dibagi kepada siapapun sesuai dengan ilmu yang dimiliki.

Memiliki ilmu pengetahuan agama, maka pengetahuan tersebut harus diajarkan kepada yang lain. Ahli dalam berdagang, maka ajarkan ilmu tersebut kepada yang suka berdagang.

Ahli dalam ilmu pengetahuan alam atau skil tertentu, maka skil tersebut harus diajarkan kepada yang lainnya. Ahli dalam bercocok tanam, maka keahlian pertaniannya harus diajarkan kepada yang suka bertani dan berkebun.

Begitu juga dengan ahli dalam bidang tata boga, tata niaga, dan tata-tata yang lainnya. Semua itu, baik harta, ilmu pengetahuan, dan skil tertentu harus menjadi amal jariah bagi manusia kelak disa’at tiba waktu mengahadap Tuhannya.

Nasehat dalam hidup memahami dengan baik fungsi dan peran manusia, sementara nasehat dengan kematian mengingatkan diri bahwa setiap yang bernyawa akan mengalami kematian.

Dengan demikian, apapun yang kita miliki dan yang kita hadapi harus menjadi nasehat bagi diri sendiri serta orang lain, dan sempurnalah wujud manusia sebagai makhluk yang berakal. Dengan tidak mengenyampingkan nasehat dalam bentuk teguran. Dengan itu, letakkanlah materi di tanganmu, sehingga mudah untuk diberikan, dan letakkanlah pengetahuan itu dimulutmu, sehingga lisan mudah untuk mengajarkannya.

Amfat Es Dot Fil, Cilegon, Povinsi Banten, 8 Februari 2021

 

 

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Meraih Gelar Doktor; Muchlinarwati Disabilitas yang Menginspirasi

Melihat Masalah dengan Masalah

SURAT TERBUKA: KEPADA YANG TERHORMAT BAPAK BUPATI ACEH BARAT DAYA