EMPAT HAL YANG HARUS DIHINDARI MANUSIA SEBAGAI KHALIFAH
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ
عِلْمٍ لَا يَنْفَعُ وَعَمَلٍ لَا يُرْفَعُ وَقَلْبٍ لَا يَخْشَعُ وَقَوْلٍ لَا
يُسْمَعُ
Artinya, “Ya
Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat,
amal yang tidak diangkat, hati yang tidak khusyuk, dan ucapan yang tidak
didengar.
Selain manusia diperintahkan untuk berlindung dari rasa
malas, terjerat akan hutang,
serta rasa takut terhadap pengaruh dari keduanya. Ternyata, manusia
masih juga harus berlindung dari empat persoalan, sebagaimana disebut
dalam doa di atas.
Do'a yang diperintahkan kita membacanya menjawab empat perkara yang
selalu mengitari kehidupan manusia. Empat hal yang manusia harus berlindung dari
padanya adalah menyangkut dengan ilmu, ‘amal, hati,
dan perkataan.
Pertama, minal 'ilmin la yanfa’, manusia harus meminta
perlindungan dari ilmu yang tidak bermanfa'at. Berbicara tentang ilmu,
sebagaimana yang telah kita bicarakan pada momen yang lain bahwa, menuntut ilmu
hukumnya fardhu atau
wajib. Tidak ada dikotomi ilmu dalam Islam, yang ada hanyalah katagorisasi
terhadap ilmu.
Kedudukan ilmu mempelajarinya adalah wajib. Apapun ilmu tersebut.
Jika ilmu itu bersifat ketauhidan, maka
kewajibannya adalah fardhu 'ain, sementara ilmu yang bersifat
sosial kemasyarakatan hukumnya fardhu
kifayah. Keduanya, sama-sama dihukumi
wajib untuk dipelajari oleh manusia.
Ilmu yang dibicarakan di sini adalah ilmu yang mendatangkan
manfa'at bagi manusia. Baik manfa'at untuk diri sendiri, maupun bermanfa'at
untuk orang lain. Ilmu yang bermafa'at untuk diri sendiri, ketika dipelajari akan
mendatangkan perubahan dalam pikiran dan
tindakan.
Tidak hanya itu, ilmu juga mengantarkan perubahan prilaku dalam kehidupan
seseorang.
Berbicara ilmu adalah berbicara pertumbuhan akal dalam diri
manusia. Ilmu sebagaimana yang pernah disampaikan Tuhan kepada Nabi Adam as.,
ketika memberikan paham tentang alam semesta, sehingga Nabi Adam as., mampu
menyebutkan beberapa katagori terhadap nama-nama benda. Ilmu di sini terkait
dengan dimensi ketuhanan atau disebut wahyu, sementara akal merupakan wilayah kemanusian.
Telah dijelaskan panjang lebar terkait dengan hubungan keduanya,
antara akal dan wahyu memiliki keterpautan yang sangat interest.
Akal akan menyempurnakan dirinya sesuai
dengan pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang. Tidak mesti seseorang harus mengikuti pendidikan
berjenjang untuk menjadi baik dan berakhlak mulia, cukup tanamkan pengetahuan
yang bersifat ‘ain dan iman yang bernilai tauhid dalam diri
seseorang, maka pembentukan sikap baik akan terpatri dalam dirinya berdasarkan
cahaya keimanan.
Namun
sangatlah berbeda dengan akal dengan segala potensinya. Akal dalam konteks
penguatan ilmu pengetahuan harus ditempa di dunia pendidikan berjenjang.
Semakin tinggi strata pendidikan seseorang, maka semakin tinggi pula potensi
akal yang ada dalam dirinya.
Sebagai
argumentasi sederhana, akal dalam konteks ilmu pengetahuan dapat dibangun
potensinya berdasarkan pendidikan berjenjang. Dan ini juga dapat mempengaruhi
cara berfikir seseorang.
Tidaklah sama
potensi ilmu yang dimiliki oleh siswa yang masih menduduki tingkat pendidikan
Sekolah Dasar, sekolah lanjutan menengah dan atas, dengan seseorang yang
menempa pengetahuannya di tingkat perguruan tinggi.
Pada level
perguruan tinggi juga terdapat tingkatan pengetahuan yang berbeda sesuai dengan
jenjangnya. Tentunya tidak akan sama potensi keilmuan pada tingkatan strata
satu, dua, dan tiga.
Jenjang ini
akan terus mempengaruhi potensi berfikir akal dalam memahami sesuatu. tidak
berhenti di situ, ilmu akan terus berubah membentuk pola pikir manusia sampai
pada tahap seseorang yang secara terus menerus konsisten mengasah
pengetahuannya, baik dengan melakukan penelitian, mengajar, dan riset-riset
ilmiah yang melibatkan dirinya.
Begitu juga
dengan potensi ilmu yang terkait dengan pegetahuan agama. Tentunya, terdapat
perbedaan yang menohok antara para pelajar Islam di level dasar dengan tingkat
yang jauh lebih tinggi.
Tidaklah sama pengetahuannya antara pembelajar yang baru
menamatkan kitab fiqh dasar dengan para pembelajar kitab fiqh pada jenjang yang
jauh lebih tinggi. Dan ilmu ini, akan terus berkompetisi dalam membentuk
potensi akal, sesuai dengan jenjang dan perkembangan ilmu itu sendiri.
Oleh karena
ilmu merupakan potensi akal bagi manusia, maka Islam memerintahkan kita untuk
menghindari dari ilmu yang mengantarkan potensi buruk bagi akal dan tindakan.
Artinya, kita harus menuju pada pembentukan akal yang megarah pada pengetahuan
yang bermanfa’at bagi umat manusia.
Bukankah ilmu
juga dapat mengantarkan malapetaka bagi alam semesta. Dengan ilmunya sekelompok
orang akan menciptakan sistem politik yang buruk dalam kehidupan berbangsa.
Menciptakan virus yang merusak, sehingga menebarkan penyakit menular dan
mematikan. Dan dengannya rusaklah tatanan kehidupan manusia.
Membangun
sistem ekonomi yang dapat melemahkan hubungan dagang antar sesama pelakunya,
sehingga sistem ekonomi yang dibentuk mengarah pada pengekploitasian. Baik
mengeploitasi sumber daya manusia, maupun sumber daya alamnya. Lalu kemudiaan,
kemampuan akal dan sumber daya hanya berputar dan hanya bemanfa’at bagi satu
golongan saja.
Kedua, wal ‘amali la yurfa’, manusia diperintahkan
untuk meminta dihindari dari perbuatan atau ‘amal yang tidak
diterima. Amal dalam Islam dipahami sebagai tindakan dari apa yang dipikirkan
oleh akalnya. Dalam hal ini, Rene Descartes, telah menjelaskan tindakan manusia
dipahami berdasarkan apa yang dipikirkannya. Co gito ergo sum adalah
sebuah paradigma berfikir yang dibangun oleh Descartes, bahwa
manusia akan bertindak sesuai dengan pikirannya.
Lagi-lagi di
sini, akal merupakan elemen terpenting dari tindakan yang dilakukan oleh
manusia. Potensi akan mempengaruhi aksi. Sejauh mana manusia itu akan membangun
potensi akalnya dapat dilihat dari tindakan hidupnya.
Descartes mengungkapkan adagium “aku
berfikir sebab aku ada”, pikiran adalah esensi dasar dari keberadaan
manusia. Manusia menjadi mulya karena akalnya, dan ini juga menjadi hal yang
mencolok perbedaan antara manusia dan hewan dikarenakan sebab manusia termuat
akal dalam dirinya.
Aku berfikir
sebab aku ada. Berdasarkan
filosofib Descartes muncul sebuahbpertanyaan, apa yang pertama sekali muncul
ketika pikiran manusia berfikir tentang sesuatu. Yang pertama akan muncul
adalah tindakan. Tindakan yang dilakukan secara berulang-ulang akan menanamkan
prilaku rutinitas, atau dalam bahasa yang lain disebut dengan kebiasaan.
Apakah akan
berhenti di situ, tentu tidak, kebiasaan itu akan menjadi karakter, dan
karakter akan menjadi budaya dalam kehidupannya. Dalam konsep kebiasaan yang
dilakuakan berulang-ulang, sesuatu yang sudah diyakini sebagai kebudayaan, maka
akan sulit untuk dilepaskan dari kebiasaan tersebut.
Oleh karena
demikian, perbaikilah pikiran itu dengan akal potensial yang membentuk tindakan
dan karakter yang baik. Akal sebagaimana disebutkan di atas, yang dibentuk
berdasarkan proses pendidikan harus menjadi pondasi utama. Di sini perlu
dipertegas, ilmu yang dipelajari adalah benar dan membawa pada potensi akal
yang membentuk budaya serta dapat membangun peradaban yang semakin hari semakin
baik.
Tindakan atau
amal manusia dapat terjadi oleh individu atas individu yang lain, tindakan
kelompok pada kelompok yang lain, tindakan individu pada kelompok orang banyak.
Tindakan per-individu pada kelompok orang banyak ini adalah tindakan seorang
pemimpin kepada rakyatnya. Tindakan ini sesuai dengan ruang lingkup dan
kewenangan yang diberikan atas kekuasaan yang melekat padanya.
Meminta
perlindungan kepada Tuhan agar setiap amal yang kita lakukan dapat diterima,
baik diterima oleh Tuhan atas amal ibadah yang dilakukan oleh setiap individu,
dan juga diterima oleh manusia atas apa yang diprogramkan, dan yang manusia
lakukan sebagai makhluk sosial. Artinya, keberadaan kita menjadi sumber
kebahagiaan bagi orang lain, dan menjadi rahmat bagi alam.
‘Amal di sini, sebagaimana yang pernah disampaikan pada tulisan
yang lain, dipahami dua. ‘Amal perbuatan yang sifatnya ibadah
kepada Tuhan, dan juga ‘amal perbuatan yang sifatnya tindakan
sosial. ‘Amal ibadah yang dilakukan kepada Tuhan, tentunya
amal yang mendapat respon keridhaan dari-Nya, sebagai hamba yang ikhlas
beribadah kepada-Nya.
Berbeda dengan ‘amal dengan
konotasi perbuatan yang menyangkut dengan manusia. jika saja dalam konteks
personal, keberadaan kita dibutuhkan oleh orang lain, atau
keberadaan yang tidak mendatang sifat buruk bagi lingkungannya.
Mendatangkan
sifat buruk, peristiwa ini akan selalu berbeda-beda pola dan tindakannya setiap
zaman yang berlaku. Zaman sebelum masyarakat sosial mengenal teknologi, prilaku
buruk hanya berlaku dalam lingkup kecil, dan pengaruhnyapun sedikit.
Prilaku umat yang sering disebut dengan penyakit masyarakat ini,
seperti halnya berjudi, mabuk-mabukan, mistik angka, permainan yang mengarah
pada tindakan perjudian, ramal-meramal, pelacuran, dan lain sebagainya.
Tindakan ini, hanya berlaku pada lingkup yang kecil dan hanya berlaku pada
ruang yang sempit.
Namun, seiring
berjalannya waktu, prilaku sosial yang disebut penyakit masyarakat ini, dapat
terjadi dalam ruang lingkup yang lebih luas, dan dapat diakses dengan sangat
mudah.
Cukup dengan
android di tangan, maka apapun akan dengan sangat mudah dilakukan, baik
permainan judi, mistik, ramal-meramal, dan termasuk juga dengan pelacuran dapat
dilakukan secara online, dan transaksinyapun berada di tangan masing-masing
pelakunya. Bayangkan berjudi bisa dilakukan dari kamar rumah masing-masing.
Secara
personal ‘amal perbuatan terkait ibadah antara hamba dengan
Tuhannya, sementara secara komunal ‘amal ini tidak hanya
terkait antara personal dengan Tuhan, namun juga terkait dengan manusia, yang
dipahmi bahwa, ‘amal tersebut terkait dengan tanggung jawab
sosial.
Artinya, ‘amal tidak
hanya terbatas pada perbuatan pribadi semata, namun lebih dari itu. ‘Amal ini
menjadi tanggung jawab dalam berbagai level kehidupan, baik keluarga,
organisasi, politik, ormas, dan kenegaraan, serta berbagai level lainnya.
‘Amal dalam konteks tanggung jawab sosial, berupa program yang
dicanangkan oleh pimpinan dalam berbagai level kekuasaan. Apalagi program
tersebut berangkat dari janji politik, dan program yang berjangka panjang dalam
rencana membangun masyarakat, dari rencana daerah sampai perencanaan di tingkat
nasional.
Setiap ‘amal adalah
program, setiap program adalah janji, setiap janji harus ditunaikan.
Dalam konteks wal ‘amali la yurfa’, pemangku kekuasaan dari
berbagai level harus melakukan terobosan ‘amal atau program
yang tidak tertolak, baik tertolak menuju langit, dan tertolak di bumi.
Artinya,
program yang dilakukan menjawab kebutuhan publik dalam konteks kekinian, bukan
program “meubalot kaset” yang dapat membuat Tuhan murka, serta dapat
mengubah arah pembangunan yang berkepanjangan, sehingga lajunya terhenti oleh
kepentingan pribadi dan kelompok para elit.
‘Amal atau program dalam bentuk retribusi kekuasaan,
pertanggung jawabannya tidak hanya berdasarkan konstitusi yang berlaku dalam
sebuah negara. Amanah ini juga terikat dengan masyarakat sosial yang berada di
bawah kekuasaan yang meliputi atas dirinya.
Oleh karena
demikian, manusia sebagai Khalifah di muka bumi, di samping berusaha tegak
lurus sesuai amanah konstitusi, juga harus meminta perlindungan dari ‘amal yang
ditolak oleh langit, dan amal yang ditolak pertanggung jawabannya oleh bumi.
Dengan demikian, do’a yang yang diucapkan akan membentuk karakter berfikir dan
budaya kerja yang dapat membawa perubahan budaya yang semakin hari semakin
baik.
Ketiga, Waqalbi la yakhsya’, meminta untuk
dihindari dari hati yang tidak kusyu’. Berbicara hati adalah berbicara sesuatu
yang tersembunyi. Istilah hati wilayah kerjanya soft skill banget,
sehingga hati dipahami sebagai organ yang menangkap rasa, bukan melepaskan
logika.
Antara hati
dan logika sering tidak harmonis dalam bertindak. Namun, jika keduanya mampu berjalan
beriringan, maka kesimbangan antara rasa dan logika akan mudah mengantarkan
pesan sa’at melakukan sesuatu. Tindakan yang dilakukan tidak hanya kusyu’,
melainkan juga menumbuhkan kesadaran yang dibangun atas dasar hukum-hukum
logika.
Hati yang
ksyu’ dalam beribadah kepada Tuhan merupakan dambaan setiap hamba. Ibadah
shalat adalah ibadah yang paling berat dilakukan oleh seorang hamba. Dan ini
diakui oleh Tuhan sendiri. Artinya, beribadah kepada Tuhan bukanlah perkara
yang mudah dilakukan, dan ia adalah berat, kecuali bagi mereka-mereka yang
kusyu’ hatinya. Sesuai dengan firman-Nya.
وَاسْتَعِيْنُوْا
بِالصَّبْرِ وَالصَّلٰوةِ ۗ وَاِنَّهَا لَكَبِيْرَةٌ اِلَّا عَلَى الْخٰشِعِيْنَۙ
Artinya, “Dan mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar
dan salat. Dan (salat) itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk”.
Q. S. AL-Baqarah/002: 45.
Seseorang yang
dalam hatinya tertanam rasa kekusyukan, ia akan merasa senang dan bahagia dalam
ibadahnya. Ibadah baginya menjadi kebutuhan batin. Sementara sebaliknya, orang
yang tidak memiliki kekusyukan, maka ibadah baginya tidaklah menyenangkan.
Tergesa-gesa
dalam melakukan ibadah merupakan bagian dari ketidak kusyukan. Dalam hal ini,
setiap kita memiliki standar kusyu’ yang berbeda-beda, dan ini tidaklah menjadi
alasan bagi seseorang hamba mengingkari beribadah kepada Tuhan sebab belum
mampu menghadirkan rasa kusyu’ di dalam hati.
Kusyu’ dalam
sistem kerja akal pada sa’at menyelesaikan persoalan masyarakat sosial dipahami
dengan tindakan yang terkonsentrasi, fokus, tepat sasaran, berdasarkan analisa
yang kuat, berangkat dari akar persoalan yang mendasar, punya pandangan yang
jauh ke depan, memahami potensi bergerak terkoneksi dengan segala hal yang
mendukung.
Koneksitas ini
disebut juga dengan istilah concomitance, hal yang berjalan
seiring. Kusyu’ dalam shalat adalah terkoneksinya antara hati, pikiran, bacaan,
gerak dengan penyebab utama, yang dengan sebab tersebut, menghadirkan segala
kemungkinan di alam jagad raya ini.
Sistem kerja
yang tidak menghadirkan sifat kusyu’ dalam diri manusia sebagai Khalifah, akan
melahirkan kerja yang tidak terkonsntrasi, tidak fokus, plinplan, jauh dari
tujuan utama, tidak berjalan secara tegak lurus, sering menabrak aturan yang
sudah baku. Dan prilaku dari sifat yang jauh dari kekusyukan, tujuan utama
hanya pada memuaskan keinginan diri dan kelompoknya saja.
Pemimpin yang
tidak kusyu’ menjalankan pemerintahan, pikiran membangunnya terhenti pada
kepentingan pribadi, keluarga, dan kelompoknya saja. Cara berfikir pemimpin
yang seperti ini, tidak akan ada perubahan signifikan yang dirasakan oleh umat
dalam membangun masyarakat sosial, apalagi terciptanya kesejahteraan.
Setiap program
yang dijalankan tidak pernah berhasil, sebab tidak terkonsentrasi dan fokus
melihat peluang secara komunal. Yang hadir hanyalah program cet
langet saja. Program yang satu belum tuntas, pekerjaan yang lain sudah
dicanangkan.
Akhirnya pada
kondisi seperti ini, program-program yang disampaikan ke publik hanya sebatas
membranding saja. Branding seacara berlebihan, agar mendapat persetujuan
masyarakat sosial dalam proses penggunaan anggaran. Ketika setiap pekerjaan
tidak tuntas dan tidak selesai dikerjakan, program yang tidak kusyu’ ini akan
mudah mencari alasan, dan melempar tanggung jawab kepada pihak lain, atau
melempar tanggung jawab pada keadaan yang mengitarinya.
Kusyu’ dalam
shalat melahirkan ibadah yang tenang, tidak tergesa-gesa, serta benar-benar
hati dan pikirannya merasakan kehadiran Sang Maha Pencipta dalam jiwanya.
Dengan rasa yang menghadirkan kekusyukan ibadah, keberadaan manusia sebagai
hamba, benar-benar disadarinya.
Begitu juga
dengan rasa kusyu’ yang ada dalam diri pemimpin ketika menakhodai pemerintahan,
kehadirannya sebagai pemimpin masyarakat sosial akan membawa perubahan besar
dalam membangun potensi keumatan dalam berbagai bidang. Dengan demikian,
kesejahteraan umat akan terwujud, walaupun tidak membuat semua
menjadi kaya-raya, minimal masyarakat dapat merasakan kehadiran pemimpinnya.
Pemimpin yang kusyu’ adalah pemimpin yang menempati janji-janji politik pada
rakyatnya.
Keempat, waqauli la yusma’, manusia
diperintahkan untuk meminta agar terhindar dari perkataan yang tidak didengar.
Pada narasi sebelumnya kita diminta untuk menghindari ‘amal perbuatan
yang tidak diterima, dimaknai dengan kesia-siaan dalam beribadah, sebab ibadah
yang dilakukan tidak diterima oleh karena alasan-alasan tertentu.
Tidak diterima bisa jadi karena tata cara beribadah yang tidak
sesuai, dan juga dari makanan yang dimakan penuh dengan harta haram. Baik haram
zatnya, maupun haram dalam memperolehnya, Dan begitu ini juga begitu
berpengaruh dengan perkataan-perkataan yang dipanjatkan dalam bentuk doa.
Perkataan di
sini juga dapat dipahami sebagai dzikir. Zikir adalah aktifitas lisan yang
mengagung-agungkan kebesaran Tuhan. Zikir adalah aktifitas jiwa, maka dengan
itu berzikirlah kamu dalam jiwamu.
Memuji zat
Yang Maha Esa dapat dilakukan kapan saja, baik diwaktu pagi dan petang.
Sebagaimana Tuhan memerintahkan untuk berzikir yang artinya “dan
bertasbihlah kepada-Nya diwaktu pagi dan sore. Dialah yang memberi rahmat
kepadamu dan malaikat-Nya” (memohon ampun untukmu). Q. S. Al
Ahzab/033: 42-43.
Begitu banyak
manfa’at zikir dalam Alqur’an, salah satu manfa’at zikir adalah sebagai
pengobat jiwa dalam diri manusia. berzikirlah kamu, niscaya hatimu akan merasa
tenang dengannya. Ketenangan bathin inilah yang selalu dikejar oleh setiap
hamba. Dengan tenangnya hati, akan berpengaruh pada pikiran, dengan tenangnya
pikiran akan berpengaruh pula pada perkataannya, dan dengannya juga akan
berpengaruh pada tindakannya.
Banyak orang
mampu berucap dengan kata-kata, akan tetapi tidak semua orang dapat didengar
kata-katanya. Di sinilah fungsi do’a di atas, sebagai perintah kepada manusia
untuk selalu membacanya, dan meminta kepada Tuhan, agar supaya setiap perkataan
yang diucapkan dapat didengar, dipahami, dan diterima oleh orang lain.
Membuat orang
lain agar mendengar setiap perkataan kita, tentunya kata-kata yang
diucapkan berguna bagi manusia. Baik berguna, dapat menjadi pengetahuan baru
baginya, atau kata-kata tersebut dapat membangkitkan motivasi dari jiwa-jiwa yang
sedang lemah. Dengan hadirnya kata-kata tersebut menjadi petunjuk arah dalam
jiwanya. Kata-kata yang diucapkan bisa jadi dalam bentuk nasehat, kata-kata
bijak, hikmah, majaz, dan berbagai bentuk kata-kata lainnya.
Kata yang
dipahami sebagai zikir juga dapat dipahami sebagai aktivitas
berfikir. Dari kata zikir dapat dibangun menjadi tindakan berfikir.
Kata yang menghasilkan ilmu bagi orang lain terbangun dari proses perenungan
yang mendalam. Perenungan mendalam inilah menjadi rutinitas para failosof dalam
menemukan pikiran-pikiran baru, sehingga dengan pikiran tersebut manusia akan
membangun peradabannya.
Kata yang
telah menjadi ilmu tidaklah lahir sengan sendirinya, dan juga tidak datang
semudah membalikkan telapak tangan. Sebagaimana hari ini, kita memahami tentang
berbagai macam ilmu yang hadir dari proses berfikir telah duduk dan tercecer
dalam pikiran pemilik akal.
Ceceran-ceceran
inilah yang harus dikutip oleh manusia dari satu generasi pada generasi
berikutnya. Dan telah menjadi mudah, ceceran-ceran dari proses berfikir
tersebut kini telah tertuang dalam tulisan-tulisan, yang mana tulisan-tulisan
tersebut dipelajari secara metodelogis disetiap perguruan tinggi yang ada di
dunia.
Kata yang
diharapkan adalah kata yang membangun cakrawala intelektual, sehingga dengannya
manusia dapat membangun peradaban yang jauh lebih baik. Kata yang diucapkan
oleh orang-orang yang jujur akan mudah diterima dalam masyarakat sosial. Namun,
sangatlah berbanding terbalik dengan kata yang diucapkan oleh orang yang tidak
ada kejujuran dalam jiwanya.
Sulet ke
pangkai mepalet bak asai, inilah efek
dari kata yang diucapkan melepaskan kejujuran. Tidak akan ada yang dapat
diambil hikmah dari orang-orang yang suka berbohong, baik berbohong pada
dirinya sendiri, atau berbohong dengan orang lain. Sekali arang
tercoreng seumur hidup orang tidak akan mempercayainya.
Kata yang
digunakan oleh manusia sebagai Khalifah di muka bumi, adalah kata yang jujur
dan mewujudkan kesejahteraan. Dalam konteks pemerintahan, kata-kata menjelma
dalam bentuk peraturan.
Aturan atau
konsepsi yang lahir dari proses berfikir harus dijalankan sebaik mungkin oleh
pemangku kekuasaan. Di sini pelaku pemerintahan jangan pernah berbohong dengan
rakyatnya, apalagi suka berkelut kata, sehingga kata-kata yang mewujud dalam
program yang dicanangkan tidak dijalankan dengan baik.
Kejujuran
dimulai dari cara seseorang dalam mengucapkan kata, jika suka dengan mudah dan
sembarangan mengucapkan kata, dan kata yang diucapkan tidak hidup dalam
tindakannya, maka sebanyak apapun seseorang mengucapkan do’a wal qauli
la yusma’ tetap saja setiap perkataanmu, setiap perbuatanmu, setiap program
kerjamu, tidak akan mendapat kepercayaan dari masyarakat publik yang engkau
pimpin.
Apakah zikir
kepada Tuhan dapat ditolak, apakah pikiran tidak akan diterima. Jawaban dari
pertanyaan ini tergantung dari potensi zikir yang diucapkan, dan tergantung
dari pikiran yang dutarakan. Jika zikir yang diucapkan tidak hadir dari
ketulusan hati, maka ucapan-ucapan zikir tersebut tidak akan diterima oleh zat
Yang Maha Pencipta.
Begitu juga
pikiran-pikiran atau ide-ide yang diutarakan, jika saja pikiran dan ide-ide
mendapati dan dapat dibaca akan memunculkan efek buruk, maka pikiran-pikiran
tersebut juga tidak akan diterima, dan ditolak.
Memperoleh
perkataan dan pikiran yang diterima oleh orang lain sangatlah penting. Begitu
pentingnya terkait dengan kata dan pikiran ini, sampai-sampai manusia diajarkan
sebuah do’a Wal qauli la yurfa’. Dalam pengertian, agar supaya
setiap perkataan kita diterima di sisi Tuhan zat Yang
Maha Pencipta.
Dan begitu juga kata dan pikiran yang kita ucapkan dapat juga diterima dalam komunitas
masyarakat sosial. Di sisi Tuhan perkataan dan pikiran yang diucapkan dicatat
sebagai balasan kebaikan, dan di sisi manusia akan mendapatkan kemuliaan.
Telah tiba
masanya, perkataan tidak lagi menjadi sanggah dari prilaku menyimpang bagi
masyarakat sosial. Banyak yang diam ketika melihat sesuatu yang keliru
ditetapkan dalam kehidupan . Apalagi sesuatu yang menyimpang tersebut dilakukan
oleh kelompok-kelompok yang dapat menekan laju kepentingan dalam bentuk
komunal. Hari ini kepentingan personal dan kelompok telah melenyapkan
semangat kebersamaan yang
jauh lebih besar.
Kelompok terbesar dalam lingkaran sosiologis adalah komunitas
yang disebut dengan rakyat. Rakyat bawah dalam lingkup kekuasaan tidak memiliki
akses yang kuat untuk menampung hak-haknya sebagai warga negara. Hak-hak
masyarakat sosiologis ini hanya diberi peran disa'at suara masih memiliki
kedaulatan atas dirinya, dimasa
proses demokrasi berjalan.
Mari kita bicara apa adanya, dan jujur-jujur saja. Jika
kepentingan yang membuat kita dapat bergerak, alangkah baiknya yang perlu
diperhatikan adalah kepentingan komunal, bukan kepentingan personal.
Peran masing-masing kita akan menentukan arah masa depan yang
terus membawa perubahan pada setiap sektor kehidupan umat. Jujurlah
dan berkatalah apa adanya. Bukan bersilat lidah dan suka berkata ada apanya.
Akhirnya, kita
sampai pada sebuah kesimpulan, tidak ada gunanya ilmu yang disampaikan, jika
keberadaannya menyesatkan kehidupan manusia. Apalagi dengan ilmu yang kita
miliki dapat menciptakan kekacauan dalam masyarakat publik.
Tidak ada
gunanya ‘amal, program, rencana kerja, dan lain sebagainya, jika
perbuatan yang terakumulasi dari ‘amal tersebut tidak
mendatangkan kebaikan. Tidak akan kusyu’ rasa yang muncul dari hati, jika tidak
mendatangkan kedamaian, baik damai dalam diri sendiri, maupun kedamaian pada
orang lain.
Dan tidak
adanya gunanya perkataan dan ucapan, jika saja perkataan dan ucapan tersebut
hanya keluar untuk membohongi diri sendiri, dan membohongi orang lain. Meunyo
ged niet ngon kasat, laot ngon darat Tuhan pelara. Jika baik niat dan
tujuan, di laut dan di darat akan dipelihara oleh Tuhan.
Amfat Es Dot
Fil, Jakarta, 21 Maret 2021.........
Komentar
Posting Komentar