MAKNA LITA'ARAFU MENGANTARKAN PAHAM KEPADA SESAMA
يٰۤاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقۡنٰكُمۡ مِّنۡ ذَكَرٍ وَّاُنۡثٰى وَجَعَلۡنٰكُمۡ شُعُوۡبًا وَّقَبَآٮِٕلَ لِتَعَارَفُوۡا ؕ اِنَّ اَكۡرَمَكُمۡ عِنۡدَ اللّٰهِ اَ تۡقٰٮكُمۡ ؕ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيۡمٌ خَبِيۡرٌ
Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah
ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal”. Q. S. Al-Hujarat/049: 13.
Jauh sebelum manusia mengenal perangkat komunikasi antar
sesama, Alqur’an telah menyebutnya dengan bahasa yang sangat familiar di
tengah-tengah masyarakat kita, di mana kata ta’aruf sering digunakan
dalam upaya mengenali orang lain. Lita’arafu yang tertera pada ayat di
atas merupakan kata yang menjadi inspirasi bagi dunia komunikasi hari ini.
Untuk saling mengenal kita butuh perangkat.
Berangkat dari kata lita’arafu, maka dengan
kreatifitas ilmu pengetahuan manusia, terciptalah alat komunikasi modern
seperti televisi, telepon, radio, koran, majalah, phonesel, facebook, line,
path, instagram, youtube, blog, dan lain sebagainya. Semua alat tersebut adalah
perangkat komunikasi bagi manusia untuk memperkenalkan dirinya, pemikirannya,
idenya, pengetahuannya, dan kreatifitasnya kepada dunia.
Menggunakan perangkat sosial yang telah disebutkan di
atas manusia memperkenalkan dirinya. Televisi, youtube dan instagram telah
mengantarkan pesan audio visual akan keberadaan manusia. Pesan-pesan terekam
dengan sangat baik, dan tersampaikan kepada publik. Dengan radio, koran,
majalah, facebook, twiter, path, line, blog, dan yang lainnya, telah mengurai
pesan dengan sangat cepat dan dapat disampaikan ke ranah publik dalam hitungan
detik, tanpa harus menunggu waktu lama. Perangkat-perangkat sosial yang
tercipta hari ini adalah ayat-ayat Tuhan yang tercipta, yang berfungsi untuk
menyampaikan ayat-ayat Tuhan yang tertulis.
Pepatah yang begitu populer dikalangan kita “tak kenal
makanya tak sayang”. Pertanyaannya!!! apakah setelah mengenal akan muncul
rasa sayang ????. Tentu tidak semua yang kita kenal harus disayang, dan tidak
juga yang kita sayang harus saling mengenal satu satu sama lain. Manusia tetap akan
saling menyayangi walaupun tidak saling mengenal, ketika sampai pada momen
tertentu, rasa sayang dalam bentuk empati akan muncul dengan sendirinya.
Bagaimana bisa, masyarakat dunia yang tidak pernah
mengenal masyarakat Aceh, namun dikala bencana dahsyat melanda bumi Serambi Mekah,
gempa bumi dengan kekuatan 8, 9 SR., yang disusul dengan gelombang tsunami, dan
merenggut korban jiwa hampir mencapai tiga ratus ribu jiwa, bersamaan dengan hancurnya
rumah, masjid, gedung-gedung pemerintahan dan
segala fasilitas publik. Dengannya pula, berbondong-bondong masyarakat
dunia yang tidak mengenal satu sama lain ikut membantu dan merasai sebagaimana
yang dirasakan oleh mmasyarakat yang terkena musibah bencana alam.
Peristiwa bencana gempa dan tsunami di Aceh sebuah bukti
nyata bahwa, manusia diikat dalam rasa kemanusiaan yang sama. Rasa ini melampau
batas teritorial, suku, agama, ras, sosial, politik, budaya, adat istiadat,
negara, dan antar golongan. Peristiwa di Aceh sebagai salah satu contoh, dan
begitu juga dengan peristiwa kemanusiaan apapun yang terjadi dibelahan dunia
manapun, rasa akan bangkit untuk memahami sesama dalam bentuk kemanusiaan,
walaupun pada kenyataannya tidak pernah saling mengenal antar satu dengan yang
lainnya. Akan tetapi dengan rasa semua itu melebur menjadi bak satu jiwa.
Pada dasarnya hakikat manusia itu satu dalam kemajemukan,
dan majemuk dalam satu kesatuan, yang berasal dari zat yang sama. Di sini, perlu
dipahami bahwa, asal mula penciptaan alam dan segala isinya berasal dari zat
yang satu, Tuhan Yang Maha Kuasa. Proses penciptaan ini akhirnya melebur dalam
satu keyakinan yang berbentuk esetoris dalam konteks tauhid, dan eksetoris
dalam konteks sosial kemanusiaan.
Mengembalikan tauhid yang benar dengan cara menghindari
penyerahan jiwa kepada selain Tuhan Yang Maha Esa. Kalimah tauhid yang sering
diucapkan oleh lisan seseorang merupakan ungkapan pengakuan diri agar tidak
terjerumus dalam pengingkaran terhadap fitrah kemanusiaan, di mana sejak berada
di alam rahim ketika ditiupkan ruh dalam raga, setiap manusia telah mengakui
tauhid yang benar. Laa ilaha illallah merupakan kalimat deklarasi
ketauhidan yang mengasingkan diri dari sekat animisme dan sekat dinamisme.
Sekat animisme dan sekat dinamisme
merupakan wilayah kerja berfikir esetoris. Dengan deklasrasi ketauhidan yang
bersifat esetoris menyelematkan prinsip teologi manusia dari objek-objek
yang menipu, seperti menanamkan kepercayaan kepada benda-benda berhala, ruh
halus, dewa-dewi, matahari, bulan, bintang, dan berbagai macam bentuk keyakinan
lainnya, yang dianggap mendatangkan kekuatan, sehingga dengannya peran Tuhan
dikesampingkan.
Berbeda dengan wilayah kerja esetoris, prinsip eksetoris
memahami manusia memiliki rencana kerja
yang mendatangkan paham, bahwa manusia adalah makhluk yang diciptakan Tuhan
atas prinsip persamaan. Prinsip persamaan inilah, manusia sebagai makhluk
sosial mesti memiliki manajemen dalam mengatur strategi kehidupan, sehingga
bergerak dalam satu keorganisasian.
Pada tahapan eksetoris manusia tidak dibenarkan
bergerak secara parsial. Hal inilah yang melatarbelakangi bahwa, kecendrungan
dalam sikap individualisme tidak dibenarkan dalam Islam. Walaupun Islam
menjunjung tinggi hak-hak personal atas manusia, ini hanya berlaku pada prinsip
yang sifatnya adalah privasi seperti keyakinan, sexualitas, cara beribadah, dan
yang sepadan dengannya.
Tindakan eksetoris mengajak manusia memahami
fitrah keorganisasian dalam kontek sistem sosial. Keanekargaman penciptaan
Tuhan menjadi pijakan dasar bahwa, manusia
diciptakan Tuhan menjadi objek yang terpisah-pisah dari komunitasnya sendiri, tidak
lain dan tidak bukan untuk saling mengenal antara satu dengan yang lainnya. Sesuai
dengan maksud dari firman-Nya “tidaklah kami ciptakan manusia bersuku-suku
dan berbangsa-bangsa, melainkan untuk saling mengenal antara satu dengan yang
lainnya”.
Tuhan menyebutkan manusia diciptkan dari kaum laki-laki
dan perempuan menjadi suku dan bangsa, bukan hanya sebatas pada saling mengenal
saja, melainkan pada tahap saling memahami. Oleh sebab bukan hanya saling
bertatap muka saja, maka makna kata lita’arafu dipahami lebih jauh,
dalam pengertian “memahami”.
Konteks memahami di sini tidak berhenti pada level
memahami sesama manusia saja, melainkan juga memahami makhluk yang lain, “lat
batat kaye bate” seluruh isi
alam yang mendiami langit dan bumi menjadi bagian yang diayomi oleh pengetahuan
manusia. Dengan demikian, manusia yang diberikan daya nalar berdasarkan akal
mesti mengenal dan paham terhadap makhluk-makhluk yang lain, yang diciptakan
Tuhan untuk menjadi penghuni alam jagad raya.
Keberagaman makhluk yang diciptakan Tuhan di muka bumi
juga berbeda-beda, tidak hanya beragam bentuknya dengan berbagai macam jenis,
juga berbagai macam sifat dan fungsinya. Keberagamaan ini tidak lain dan tidak
bukan untuk melahirkan keseimbangan dalam siklus kelihidupan. Ketika setiap
makhluk memerankan sifat dan fungsinya masing-masing, akan melahirkan adaptasi
tersendiri terhadap alam. Dari sinilah seleksi alam terbentuk, sehingga sesasama
makhluk akan mengisi ruang sirkulasi yang berbeda. Begitu juga dengan tumbuh-tubuhan,
proses reboisasinya mengontrol suhu di bumi.
Tuhan adalah pemilik kuasa atas alam ini, adapun
kekuasaan manusia di bumi hanya bersifat mandataris. Memperkenalkan diri-Nya
dalam beberapa sifat terkait dengan kekuasaan sebagai bukti bahwa, kekuasaan
Tuhan meliputi segala isi langit dan bumi. Di sini, Tuhan telah memperkenalkan
dirinya dengan kata al-malik, al-jabbal, al-‘adhim, al-‘aziz, al-muhaimin,
al-muhsiyu, serta beberapa sifat lainnya yang menyangkut dengan
konotasi kekuasaan. Dalam konteks li ta‘arafu, manusia memiliki akses
dalam mengenali Tuhannya, “berfikirlah tentang apa yang Aku ciptakan, dan
jangan pernah memikirkan atas zat-Ku”.
Di bumi, Tuhan telah menciptakan manusia sebagai
Khalifah. Dari wujud keberagaman ciptaan-Nya, Manusia telah diberi kesempatan
untuk menguasai sebagian yang lainnya. Manusia sebagai penguasa di bumi mesti
paham akan dirinya, dan juga mesti memperkenalkan dirinya kepada publik,
terutama sekali memperkenalkan keberadaannya sebagai perisai kekuasaan langit
di bumi. The shadow of God and the earth, bayang-bayang Tuhan di muka bumi.
Konsep lita’arafu politik kekuasaan di bumi dipahami dengan
meretribusikan nilai-nilai kekuasaan, serta menegakkan keadilan bagi manusia.
Memperkenalkan diri sebagai Khalifah dalam bentuk retribusi
kekuasaan bertujuan memperkuat masyarakatnya dari berbagai keterpurukan.
Retribusi ini dapat dipahami melalui penegakan keadilan, pengembangan ekonomi,
menelusuri ketimpangan sosial, memberantas kemiskinan, memperkuat asas moral
bangsa, memperjuangkan persamaan hak, pendidikan, kesehatan, membaangun akses
keterbukaan, dan lain sebagainya. Intinya, pemilik mandataris kekuasaan di bumi
harus memperkenalkan program membangun kesejahteraan bagi masyarakat, bukan
membangun dan memperkenalkan citra dirinya
saja.
Hakikat penciptaan manusia adalah untuk beribadah kepada-Nya.
Tuhan berfirman yang artinya, “Tidak Ku jadikan jin manusia kecuali untuk
beribadah kepad-Ku”. Q. S. Adz-Dzariyaat/051:
56.
Memahami kata ibadah, ada dua katagori ibadah dalam Islam,
yakni ibadah mahdhah dan ibadah ghairu mahdhah. Ibadah mahdhah adalah ibadah yang
menghubungkan jiwa ketauhidan manusia dengan Tuhannya, ini juga disebut dengan
ibadah dalam konteks hablum minallah (vertikal), sementara ibadah ghairu
mahdhah adalah menghubungkan jiwa manusia dengan alam semesta, baik kepada
sesama manusia, tumbuh-tumbuhan, hewan, dan segala makhluk yang mendiami
wilayah langit dan bumi, baik yang nampak secara bathin maupun dhahir. Dan ini
juga disebut dengan hablum minan nas (horizontal).
Ibadah mahdhah sangatlah singkat waktunya, proses
pelaksanaannyapun bersifat kondisioner, diawali dengan takbir dan diakhiri
dengan salam. Sementara ibadhah ghairu mahdhah berawal dari sejak
mengucapkan salam, dan diakhiri dengan takbir kembali ketika waktu yang
ditentukan itu tiba secara berulang-ulang. Dalam tradisi pendidikan ibadah yang
diajarkan oleh Nabi Muhammad saw., beribadahlah kamu seolah-olah engkau akan
mati besok, dan beraktifitaslah dengan duniamu, seolah-olah engkau akan hidup
selamanya. Berbeda dengan ibadah mahdhah, perjalanan waktu dalam
membangun ibadah ghairu mahdhah (hablum minan nas) sangatlah
panjang dan juga luwas cakupan maknanya.
Manusia diciptakan Tuhan sebagai Khalifah di muka bumi. Sesuai
dengan fitrah manusia sebagai Khalifah, dapat ditelusuri berdasakan peran
Khalifah itu sendiri. Dalam Alqur‘an sendiri terdapat dua bentuk jamak dari
kata Khalifah, yakni “khulafa”, Q. S. Al-A’raf/007: 74, dan dalam bentuk
“khalaif” Q. S. Al-An‘am/006: 165. Kata Khalifah pada surat al-Baqarah
ayat 30 dan surat Shad ayat 26, kedua kata Khalifah tersebut ditulis dalam
bentuk nakirah (umum), dalam pengertian konotasinya adalah komunitas manusia.
Jika dia sebagai pengusaha, maka pengusaha adalah Khalifah dalam pengertian
pengembanga ekonomi, jika dia sebagai petani, peran dan fungsinya sesuai dengan
peran komunitas petani, dan begitu juga pada konotasi komunitas manusia yang
lainnya.
Setiap manusia sudah dilahirkan dengan fungsi dan peran
yang berbeda-beda. Dan konotasi Khalifah yang bertanggung jawab secara
keseluruhan atas manusia adalah kedudukannya sebagai penguasa. Dalam membangun
relasi yang bersifat hablum minan nas, konotasi Khalifah yang bersifat hablum
minan nas dipahami berdasarkan konotasi komunitas kekuasaan politik. Dan
ini, sesuai dengan perintah Tuhan kepada Nabi Daod as., yang artinya, “Kami jadikan engkau Daod
untuk menjadi Khalifah di muka bumi, agar supaya engakau menetapkan keadilan
atas perkara manusia”........ Q. S. Shad/038: 26.
Menjadi Khalifah dalam konteks vertikal durasi waktunya
sangatlah singkat, sepanjang durasi pelaksanaan shalat. Sementara makna horizontal
Khalifah dalam komunitas manusia, durasi waktunya sesuai dengan masa amanah
kekuasaan dan jabatan yang melekat kepadanya. Jika dia sebagai penguasa, maka
durasi waktunya selama amanah kekuasaan melekat di pundaknya. Maka di sini,
penguasa sebagai Khalifah harus lebih tampil secara terbuka pada ruang publik,
dengan memperkenalkan dirinya sebagai penguasa, dan memahami rakyatnya dengan
segala problem kehidupan yang ada.
Berkembangnya mesin-mesin dengan teknologi canggih, mempercepat
arus informasi dunia hari ini. Komunikasi antar sesama manusia tidak lagi
memakan waktu lama, perubahan dunia sangatlah pesat, hampir saja dan tidak
jarang informasi menjadi mesin waktu yang dapat memotong umur manusia. al-waqtu
kashshaif, waktu bagaikan pedang. Adagium ini begitu melekat dalam
ingatan kita. Dengan teknologi informatika, manusia memperkenalkan dirinya
dengan cara yang sangat mudah dan cepat, personifikasi waktu ditebas dengan
pedang yang tajam.
Memahami suku dan bangsa tidak terlalu sulit untuk
mendapatkan informasinya, dengan perangkat teknologi kita dengan sangat mudah
mengetahui seperti apa yang dunia yang bergama bentuk yang telah diciptakan
Tuhan. Di era modern melihat dunia luar dapat diakses melalui tangan manusia,
sekali gesek di layar android masing-masing, akan terlihat banyak informasi
tentang rahasia dunia yang selama ini, dan oleh karena jauhnya akses jangakauan,
sehingga dengan arus informasi modern, informasi menjadi sangat nyata dan jelas
dapat dilihat dengan jangkauan mata melalui tampilan gambar bergerak dari jarak
dekat.
Namun ada yang hilang dari semua itu, kita kehilangan paham akan komunitas
yang lain. Melihat keanekaragaman berdasarkan informasi jarak jauh akan kehilangan
makna memahami, dan menyelam makna lita’arafu, sebagaiman firman
Tuhan menyiratkan kepada kita. Manusia dijadikan Tuhan bersuku-suku dan
berbangsa-bangsa bukan hanya untuk saling membaca dan saling menatap saja satu
dengan yang lainnya, namun lebih dari itu, perintah Tuhan untuk saling malihat,
mengenal, dan memahami dengan sebaik-baiknya.
Sangat mudah bagi manusia abad ini memperkenalkan dirinya
kepada dunia yang lain. Tanpa melakukan tatap muka, kita sudah dapat bertemu
dengan dimensi yang lain. Namun terdapat sisi kekurangan yang nyata bagi
komunikasi ta’aruf masyarakat modern, kita kehilangan rasa dalam
memahami sesama secara lebih dekat, komunikasi yang terbangun hanya menyuguhkan
informasi sepihak, tanpa terdapat ruang untuk memahami satu sama lainnya.
Bagiamana tidak, dengan sangat nyata kita dapat melihat,
seperti apakah komunikasi yang dibangun antara dua dimensi yang mengisi ruang publik. Arus informasi hari ini, dengan media-media
sosial yang tercipta telah mengantarkan kita pada komunikasi sepihak.
Seoarang da’i sangat mudah mengajarkan umat dengan
menggunakan perangkat media seperti youtube, facebook, twiter, instagram, path,
dan perangkat-perangkat yang lainnya. Semua perangkat yang menjadi alat
komunikasi sepihak telah mengantarkan pesan tanpa rasa memahami satu sama lain.
Dapatkah sesuatu yang terekam dalam gambar bergerak audio visual pihak
yang menyampaikannya akan terkoneksi dengan situasi dan budaya masyarakat yang
ikut menyerap informasi sepihak tersebut. jawaban klasiknya adalah tidak bisa.
Menggunakan alat komunikasi dalam menyerap informasi
terkait dengan ilmu pengetahuan, menyisakan masalah baru bagi yang terperangkap
dengan informasi sepihak. Apalagi informasi yang disampaikan terkait dengan
pengetahuan akan persoalan agama yang sifatnya krusial, dan tentunya penting
diperhatikan dalam memahami budaya pada suatu tempat. Informasi sepihak ini
tidak dapat dibendung penyerapannya oleh masyarakat, dan penyampainyapun akan
kehilangan makna yang mendalam dalam memahami.
Pada sa’at informasi sepihak menjadi trend dalam
berkomunikasi, maka manusia di era modern akan kehilangan paham pada sesamanya,
yang dengan fitrah kemanusian telah Tuhan ciptakan dalam komunitas dan budaya
yang beragam dan berbeda-beda.
Contoh yang sangat sederhana adalah ketika umat Islam
melihat budaya di Barat yang menjadikan pohon sebagai simbol perayaan hari
besar bagi pemeluknya. Informasi sepihak yang diterima, tanpa memahami budaya
masyarakatnya, maka semua yang terkait dengan perayaan keagamaan agama lain
menjadi hal yang dipersoalkan oleh umat Islam itu sendiri. Sejak kapan sebatang
pohon punya agama. Lalu apa yang harus dipahami oleh manusia, di sini perlu
unsur lita’arafu dicerna dengan baik, sehingga kita dapat memahami
bahwa, pohon yang dijadikan sebagai simbol perayaan hari besar keagamaan adalah
satu-satunya pohon yang bertahan hidup di Eropa ketika pergantian musim tiba.
Pada sa’at minim rasa untuk memahami mengemuka dalam
kehidupan manusia, maka akan menyempitkan cakrawala berfikir terbuka kepada
sesama. Dengan begitu, bukan hanya sekedar memusuhi keyakinan orang lain,
melainkan perangkat-perangkat yang digunakan juga akan dipahami sebagai hal dan
momen yang mengancam. Padahal, memahami di sini bukan hanya wilayah penciptaan
yang beraneka ragam saja, melainkan juga pada wilayah keyakinan masing-masing
antar pemeluk agama.
Islam telah mengatur sedemikian rupa, dari persoalan
ibadah sampai pada persolan mu’amalah. Segala sesuatu yang diciptakan Tuhan
tidak dijadikan untuk memusuhi satu satu sama lain, kecuali sudah terlihat
tanda-tanda mengancam bagi keharmonisan itu sendiri. Jika belum terdapat
perihal mengancam, manusia dituntut untuk menghidupakan rasa memahami antara
satu dengan yang lainnya.
Saling mengenal, saling mengerti, dan saling memahami
hanya diwujudkan pada manusia, sebab manusia adalah makhluk yang telah diciptakan
besertanya potensi akal dengan segala macam pengetahuan di dalamnya. Rasa
memahami ini tidak diperintahkan kepada binatang, tumbuh-tumbuhan, dan makhluk
yang lainnya.
Selain pada manusia, Tuhan menciptakan keharmonisan bagi
makhluk yang lainnya. Setiap makhluk yang telah diciptakan-Nya dengan potensi
dan fungsi masing-masing, tak terkecuali makhluk yang paling kecil sekalipin.
Bakteri yang tidak terlihat dengan mata telanjang Tuhan jadikan untuk
menciptakan keharmonisan dalam mengurai kehidupan pada alam.
Manusia telah melewati masa yang sangat panjang,
permusuhan antar sesamanya didorong oleh perebutan politik kekuasaan. Kekuasaan
telah mematikan rasa memahami antar sesama manusia. Ketika semangat ingin menguasai
hinggap dalam diri seseorang, ia lupa akan penciptaan Tuhan atasnya yang
beraneka ragam.
Kekuasaan telah mematikana rasa memahami dalam diri
manusia. Permusuhan yang terjadi akibat kekuasaan telah menumpahkan darah anak
Adam, dan telah menghancurkan bangunan sosial suatu kaum yang telah matang. Dan
inilah yang menjadi kekhawatiran malaikat Jibril ketika Tuhan hendak
menciptakan manusia di muka bumi.
Tuhan menciptakan manusia untuk menjadi Khalifah dimuka
bumi, bukan untuk menjadi pelaku pengrusakan. Agar sempurna dan memudahkan
manusia menjalani misi kekhalifahan di bumi, maka jalan utama yang harus
ditempuh adalah dengan menghidupkan rasa memahami yang dibangun atas konsep lita’arafu,
agar manusia saling mengenal, lalu kemudian saling memahami, dan pada akhirnya
saling bahu membahu menciptakan keharmonisan di bumi, sebagaimana Allah swt.,
telah ciptakan makhluk yang lain untuk menjalankan keharmonisasian alam.
Makhluk yang tidak berakal saja telah menciptakan
keharmonisan kepada alam, lalu kenapa manusia yang diberikan potensi berfikir
mengabaikan prinsip-prinsip dasar penciptaan manusia. Pengrusakan terjadi karena makhluk yang berakal hanya
memiliki kemampuan mengenal saja pada sesama, tanpa menghidupkan rasa memahami
dan mengerti akan keberadaan fungsi dan peran masing-masing. Baik dalam memahami
sesama manusia, dan juga memahami pada makhluk yang lain. Memahami adalah
wilayah kerjanya hati, maka bukalah hati seluas-luasnya, sehingga rasa dapat
menampung banyak aspirasi.
Manusia sebagai Khalifah di muka bumi, tentunya memiliki
peran dan kedudukan yang berbeda-beda. Atas nama kekuasaan manusia telah diberi
kesempatan untuk menguasai sebagian yang lainnya. Secara hukumiah masyarakat
sosial telah bergerak bersama organisasi politik. Oraganisasi politik terbesar
bagi masyarakat sosial adalah dengan terbentuknya sebuah negara. Melalui
organisasi kenegeraan manusia menerjemahkan pengelolaan masyarakat dalam rangka
mengatur dan mengantarkan kesejahteraan kepada masyarakatnya secara
bersama-sama
Konsep lita’arafu yang harus dipahami oleh
pemangku kekuasaan, bukan hanya memperlihatkan posisi secara materi saja, namun
harus lebih jauh itu, pemangku kekuasaan mesti menerjemahkan substansi dari
politik adalah retribusi kekuasaan yang menyentuh kebutuhan publik. Di sini
keberadaan pemimpin publik tidak berada pada singgasana semata, namun harus
jauh ditail pengetahuannya dalam mengenali, memahami, mencermati, dan merasakan
apa yang dirasakan oleh rakyatnya sendiri.
Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang berkomunikasi
dengan bahasa yang sesuai dengan bahasa rakyatnya sendiri. Artinya, pemimpin
yang paham kebutuhan masyarakatnya, bukan yang menyamar-nyamarkan
penampilannya, apalagi menampakkan kemewahan pada rakyat sendiri, sementara
pada kenyataannya masyarakat hidup dalam kesusahan.
Cara berpakaian adalah cerminan dari watak seseorang. Fasion
menjadi simbol komunikasi setiap individu terlihat necis, parlente, jet set,
dan mewah. Silakan saja berpakaian dengan baik, sesuai dengan kemampuan dalam
memperolehnya. Akan tetapi, yang menjadi persoalan adalah ketika cara
berpakaian elit kekuasaan pada sebuah negeri melampau batas kesejahteraan
masyarakatnya. Di sini akan terlihat kesenjangan dalam mengelola masyarakat
sosial. Silakan saja menciptakan organisasi yang berbeda-beda asalkan
mengantarkan pengetahuan dan paham pada hakikat kemanusian yang beragam.
Komunikasi politik para elit juga harus mengurai batas-batas
lita’arafu yang utuh, sehingga tidak melukai rasa yang berkembang secara
umum bagi masyarakat yang telah mempercayai pilihan politik padanya. Memahami
secara utuh retribusi kekuasaan dengan konsep lita’arafu akan terbentuk
pemerintahan yang bersih, bervisi dan berkemajuan, serta akan jauh dari sifat
korup. Lita’arafu fi assiyasah adalah sebuah upaya mengayomi dengan cara
yang baik, sehingga masyarakat yang menerima pengejewantahan politik kekuasaan
merasa terjaga atas segala kepentingan dan hajad hidupnya sebagai warga negara.
Akhirnya, mesti kita meyadari bahwa, konsep lita’arafu
yang dibangun di dalam Alqur’an adalah sebuah kepedulian yang mendalam
kepada sesama manusia. Keanekaragaman yang tercipta di alam kosmos ini
merupakan fitrah ketuhanan yang harus kita jaga dan kita hargai bersama. Lita’rafu
bukanlah untuk mengenal sepihak, namun jauh lebih dari itu, membangun upaya
mengenali, memahami, dan ikut merasai apa yang dirasakan oleh objek yang lain.
Lita’arafu adalah komunikasi yang dibangun atas dasar
simbiosis mutualisme, memahami secara timbal balik, lalu kemudian saling
menguatkan antara satu dengan yang lain, sesuai dengan peran dan fungsi
masing-masing. Lita’arafu bukanlah komunikasi yang dibangun
sepihak tanpa menghadirkan diri untuk menyelam lebih jauh menelusuri serta memahami pihak yang
lain, sehingga dari komunikasi tersebut dapat mengantarkan rasa, sebagaimana ia
merasakan dan memahami untuk dirinya sendiri. Lita’arafu adalah cara
Tuhan menciptakan keharmonisan antar golongan manusia dan alam.
Jakarta, 14 Maret 2021....... Amfat Es Dot Fil...
Komentar
Posting Komentar