BERFIKIR OBAT BAGI JIWA YANG SAKIT

 اِنَّ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلَافِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَاٰيٰتٍ لِّاُولِى الْاَلْبَابِۙ

Artinya, “sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal”. Q. S. Ali-Imran/003: 190.

Berfikir filosofis adalah obat bagi yang sehat, sementara agama adalah obat bagi yang sakit. Dalam sejarah perkembangannya, dunia filsafat selalu mengajari tentang berfikir bagaimana mengolah dunia dengan berbagai levelnya, sementara agama selalu  mengatur, mengelola, mengarahkan, memberi panduan dengan gagasan kitab sucinya untuk mencapai kebahagiaan manusia di akhirat.

Logika mengurus tentang pikiran manusia, dengan azas rasionalitas manusia mengurus keseimbangan dunia. Berbeda dengan agama, hadirnya membentuk batin yang kuat untuk menerima kenyataan yang ada. Keduanya bersinergi, filsafat selalu mencari titik kebijaksanaan dalam sebuah pandangan, sementara agama selalu mengarahkan manusia untuk berdamai diri dengan puncak spritual keilahian.

Dalil keagamaan membangun gagasan, bagaimana manusia ini harus menggunakan akalnya dalam hal mengurus dunia. Negara adalah sebuah entitas terbesar, sebagai organisasi yang menawarkan berbagai kepentingan bagi manusia, Sehingga organisasi kenegaraan dalam tujuan berdirinya semata untuk menyampaikan dan menyalurkan setiap kepentingan hajat hidup manusia.

Negara punya amanah undang-undang berdasarkan konstitusi. Keberadaan negara mempunyai terobosan untuk menjadikan warganya mencapai kesejahteraan hidup. Kesejahteraan ini tidak akan berdamai jika kepengurusan negara tidak dipegang oleh sekelompok orang yang mencintai kebijaksanaan, dan penganut agama yang baik. Di sinilah fungsi filsafat dengan segala logika dan pemikirannya, dan kegunaan agama selalu hadir dalam memberi segala gagasan melalui pedomannya.

Pemimpin itu harus hadir dari kalangan para pemikir. Daya pikirnya digunakan untuk kemashlatan, kesejahteraan, dan kemakmuran bersama-sama, agar setiap pikiran dan tindakannya bersinergi dengan kepentingan orang banyak. Dengan demikian, maka pemimpin itu harus muncul dari pribadi yang mempunyai sifat-sifat kegamaan yang kuat dalam dirinya. 

Sifat keagamaan inilah yang akan mengontrol cara berfikirnya, sehingga dia terhindar dari sifat arogan, tamak, rakus, ketidak pedulian, mau menang sendiri, suka memelihara konflik, mementingkan diri sendiri, dan lain sebagainya.

Berfikirlah agar supaya fikiranmu terobati, dan beragamalah agar supaya batinmu tidak sakit, sehingga kamu tidak picik dan bermusuhan dengan dunia. Dan kembangkanla metode berfikir yang menghadirkan harmonisasi antara pikiran, hati, dan tindakan yang benar, sehingga keberadaan manusia sebagai Khalifah di muka bumi dirindukan oleh seluruh makhluk yang mendiami alam ini.

Jakarta, 9 April 2021.....

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Meraih Gelar Doktor; Muchlinarwati Disabilitas yang Menginspirasi

Melihat Masalah dengan Masalah

SURAT TERBUKA: KEPADA YANG TERHORMAT BAPAK BUPATI ACEH BARAT DAYA