Miskin dan Sakinah: Di Antara Kebahagiaan Yang Hilang
Artinya,
“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara
mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan
sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian
mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik
dari apa yang mereka kumpulkan”. Q. S. Az- Zukhruf/043: 32.
Istilah kemiskinan dalam Bahasa Indonesia merupakan kata
yang terserap dari kata Arab. Miskin berasal dari akar kata sin-ka-nun,
yang dimaknai dengan dengan kekurangan materi. Dengan akar kata yang sama membentuk kata sakinah.
Kata sakinah bermakna tentram, damai, dan harmoni. Dalam al-Qur’an kata sakinah
diselaraskan dengan kata mawaddah dan warahmah.
Miskin serumpun akar katanya dengan sakinah, sikkin, masaakin. Dalam pengertian heurmenetika, ketika memahami sebuah kata dikenali berdasarkan makna yang hidup dalam masyarakat yang mengitarinya.
Kata
tidak hanya dapat dipahami sebagai epistimologi semata, melainkan
kata tersebut mesti dipahami dengan akar budaya yang kuat. Makanya, dalam
pengertian budaya kata miskin dan sakinah beradu makna dan juga
berlawanan maksudnya.
Memahami kata sakinah harus melewati makna epistimologi yang berakar budaya. Miskin merupakan level terendah dari sebuah kebahagiaan, maka sakinah merupakan level tertinggi dari ketenangan jiwa.
Seseorang disebut miskin sebab tidak memiliki perangkat kemewahan materi
pada dirinya. Dan sakinah bukan karena dia memiliki segalanya dalam bentuk
materi, tapi sakinah adalah sebab ia memiliki kemampuan dalam megelola
segala kebutuhan dirinya.
Penganut filsafat stoikisme dan juga disebut dengan stoa, aliran filsafat yang mengajarkan tentang kebahagiaan yang tidak memandang keluar terhadap keadaan dirinya. Kebahagiaan muncul dari dalam, dan tidak dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa yang menghubungkan antara jiwanya dengan lingkungan yang ada.
Melihat kebahagiaan berdasarkan apa yang dipersepsikan
orang terhadap dirinya merupakan ciri seseorang yang sangat rendah rasa sakinah dalam dirinya.
Ketentraman jiwa bagi penganut stoisisme tergantung bagaimana tingkat seseorang mengelola keinginan dan kebutuhannya. Keinginan dan kebutuhannya tidak dipengaruhi oleh apa yang dilihat orang lain atas dirinya. Dalam bahasa agama kemampuan ini dapat dirasakan pada maqam sifat qana’ahi.
Merasa
cukup dengan apa yang sudah ada bukan berarti mengabaikan sesuatu yang lain,
namun keadaan ini dapat menahan atas tindakan yang mengarah pada unsur tamak. Dalam
bahasa Aceh sering disebut sep han sep. Kelas manusia sep han sep disebabkan
karena perutnya bocor. Maka dengan itu, dia terus merasa miskin sepanjang
hidupnya.
Miskin
dan sakinah sama-sama menjadi maqam utama manusia berpijak. Sakinah ada pada maqam
miskin, namun miskin penghalang untuk meraih kesakinahan. Di sini dibutuhkan media “kopi pahit” untuk memahaminya. Sebab pahitlah yang mengajari otak manusia
bagaimana merasakan kehadiran gula untuk
pemanis rasa. Gula bukanlah pahlawan dalam menghadirkan rasa manis, namun gula hanya berperan sebagai fungsinya, bukan sebagai
zatnya.
Alur
pikir para penikmat kopi pahit itu tidak bisa ditebak. Kadang buruk dipahami
orang lain, namun tersimpan jutaan makna dibalik itu, kadang baik disangkanya,
namun terselip ribuan halaman buruk di dalamnya.
Penikmat
kopi pahit alur pikirnya terpenetrasi sesuai dengan firman Tuhan. “Jangan
engkau mengira apa yang nampak itu sebagai gejala biasa saja, namun semua itu
ada sunnatullahnya”. Alur pikir penikmat kopi pahit adalah ekstrem,
namun akomodatif. Artinya memahami setiap gejala alam sebagai ruang gerak yang
berkesinambungan.
Akomodasi alur berfikir rasa yang mengantarkan pahit peka
terhadap sesamanya. Janganlah engkau biarkan simiskin itu sibuk dengan
kemiskinannya, shingga dia jauh dari Tuhannya. Dan janganlah engkau larut
dengan kekayaanmu sehingga kamu juga lupa akan Tuhanmu. Sapalah simiskin itu
dengan ni'mat materi yang telah diberikan padamu, sehingga setiap karunia yang
tercurahkan di bumi selalu ada dalam pelukan mahabbah-Nya.
Bukankah pendusta agama itu adalah orang yang lalai
dengan ni'mat yang telah didapatinya, maka sebutlah ni'mat itu seseringkan mungkin
dengan mengingat sifakir dan si miskin agar mereka tidak jauh dari Tuhannya. Dan
kemiskinan yang menghinakan manusia adalah sebab ketiadaan pengetahuan tentang
Tuhan dalam dirinya.
Janganlah engkau lupa dengan kebodohanmu, lalu engkau
tidak ingat bagaimana keluar dari kebodohan itu, dengan tidak mau tahu akan
majelis ilmu yang selalu menghampirimu disetiap tempat dan waktu. Dan jangan
pula engkau larut dengan kepandaianmu, wahai orang yang berilmu, sehingga
engkau melupakan akan kebodohan orang-orang disekitarmu.
Bersikaplah arif wahai yang empunya kekayaan, sehingga
kamu terlihat kaya bagi orang miskin. dan ilmu jangan eklusifkan dirimu wahai
yang empunya ilmu, sehingga orang-orang sulit berharap kepandaian darimu. Entahkah ilmu itu engkau jual entahkah engkau sembunyikan,
bersikaplah terbuka wahai yang empunya ilmu supaya kebodohan disekitarmu
mendapatkan perlindungan dari keberadaanmu.
Miskin adalah nasib dan keberadaannya bukanlah aib,
sementara kaya adalah takdir dan keberadaannya bukanlah musuh bagi nasib,
sehingga si miskin harus menakut-nakuti atas kekayaan orang lain dengan ancaman
dan teror.
Bodoh adalah aib sehingga keberadaannya harus diberantas,
sementara ilmu adalah rahmah, sehingga keberadaannya harus dilestarikan. Manusia
dapat saja melepaskan dirinya dari kemiskinan dengan kemampuan menguasai materi
yang banyak, akan tetapi manusia tidak akan pernah mencapai kebahagiaan, damai,
dan tentram (sakinah), jika tidak memiliki pengetahuan tentang Tuhannya.
Man aradad dun-nya fa ‘alaihi bil ‘ilmi, wa man
aradatal akhirah fa ‘alaihi bil ‘ilmi, wa man aradahuma fa ‘alaihi bil ‘ilmi. Bagi siapa yang ingin mencapai kebahagiaan
di dunia maka ia harus memiliki ilmu, dan bagi siapa yang ingin mencapai
kebahagiaan diakhirat maka ia harus memiliki ilmu, dan bagi siapa yang ingin
mencapai kebahagiaan keduanya, maka ia harus memiliki ilmu.
Ilmu dunia mengantarkan manusia mudah mencapai materi
kebutuhan hidup dengan segala skilnya, sehingga terhindar dari kekurangan
materi (miskin), sementara ilmu akhirat (ilmu agama) akan mengantarkan manusia
pada pencapaian kebahagiaan yang tentram, damai, dan sejahtera (sakinah).
Jakarta, 10 April 2021......
Komentar
Posting Komentar