Aceh dan Kemerdekaan: Sejarah Air Mata Janda yang Berkhianat
Kemerdekaan
Indonesia tidak terlepas dari kemerdekaan berfikir masyarakatnya. Di awal-awal
kemerdekaan bangsa ini sudah terbiasa dengan konflik internal yang muncul dari
persoalan bangsa yang tidak selesai dengan dirinya sendiri.
Tidak mudah memang
membebaskan diri dari kemelut berfikir kemerdekaan, sebab manusia adalah
makhluk yang memiliki kepentingan atas dirinya sendiri. Merdekapun dimaknai
sebagai sebuah kepentingan, yakni kepentingan menata diri pasca berkecamuknya
perang melawan penjajah.
Aceh
sebagaimana daerah lain telah menaruh kepentingan atas merdekanya bangsa ini.
Menata diri pasca kemerdekaan adalah hak kesepakatan atas apa yang telah
diperjuangkan. Bangga dengan kemerdekaan eforia para pejuang dan rakyat bahwa
bangsa ini telah tercabut dari akar cengkraman para penjajah asing, yang telah
lama mencabut hak-hak berdaulat atas bangsa yang telah ditakdirkan kuat sebelum
negara-negara Eropa hari ini congkak dengan peradabannya.
Aceh
adalah daerah modal atas kemerdekaan negara Indonesia. Dan ini bukanlah pengakuan sepihak, namun telah tercatat dalam
sejarah, bahwa pendiri bangsa ini Ir. Soekarno telah mengemis hak kemerdekaan bersama kepada bangsa Aceh,
dengan uraian air mata sang proklamator mengiba "kanda" apalah
artinya semua ini, jika kita tidak merdeka secara bersama-sama.
Indonesia
pada saat itu bak seorang janda yang ingin di nikahkan oleh seorang pemuda
lajang yang gagah perkasa. Pemuda yang dilihat memiliki semangat juang tangguh,
sehingga dengannya masa depan membina keluarga sangatlah menjanjikan. Bak air
mata janda, yang meluluh lantakkan nurani pejuang tangguh, Teungku Muhammad
Daud Beureueh menerima ajakan seorang janda yang datang dari negeri seberang
nun jauh di sana.
Dinda,
hapus air matamu. Hari ini kukabarkan kepadamu kita akan membina keluarga besar
sebagamana engkau harapkan. Indonesia akan kita jadikan rumah untuk kita
berteduh. Maka dengan semangat itu germo-germo politik yang telah merampas
hak-hal kebahagiaan atas bangsa ini akan kita usir, dan kita paroh (kejar)
pulang negeri ke asalnya.
Bangsa
kulit putih idong panyang (hidung panjang) yang telah ratusan tahun
menjadikan bangsa ini bak gadis simpanan, dihisap madunya, dijarah
kebebasannya, dirampas masa depannya, dihinakan kehormatannya, dikeruk hasil
kekayaannya. Semua kebahagian, semua kehormatan, semua cita-cita indah anak
bangsanya, semua hasil bumi bangsanya telah dirampas dan dibawa pulang ke
negerinya. Mereka adalah bangsa penjajah di muka bumi, dari dulu hingga saat
ini.
Mendengar
ucapan sang pemuda tangguh dari negeri paling ujong bagian Barat negeri ini
telah merubah kegelisahan batin sang janda. Satu harapan telah ada, masa untuk mengakiri status
jandanya akan berakhir. Dan saatnya menyongsong hidup baru dengan pemuda tangguh nan baik hati Teungku Muhammad Daud
Beuereueh namanya. Dengan Aceh Indonesia telah terbuka pintu kemerdekaan.
Sebelum
engkau pulang ke negerimu, ingatlah wahai dinda. Dengan tegas pemuda tangguh
ini menegaskan, setelah bangsa ini merdeka kupinta satu hal, maukah engkau
berikan aku ruang seluas-luasnya untuk melaksanakan syariat Islam secara kaffah di negeri kakimu sedang berpijak,
jika engkau mau tegaskan dalam sebuah surat janji, agar saudara-saudara
sebangsa denganku tahu, bahwa sang janda itu telah berjanji dalam sepujuk surat, yang bernada hukum.
Mendengar
permintaan sang pemuda tangguh, berurailah air mata janda yang begitu takut
pemuda tangguh dari negeri Serambi Mekah ini berbalik pikiran. Kanda ujar sang
janda, tidak cukupkah
kehadiranku mendatangimu menjadi sebuah bukti jika aku sepenuh hati percaya
padamu.
Perlukah
kuserahkan seluruh raga ini, hanya untuk mendapati kepercayaanmu padaku. Jika
itu untuk kemajuan agama dan bangsa asalmu silakan kanda, apapun akan kuberikan
kepadamu. Tapi ingat kanda, aku merasa terhina dihadapanmu, hanya untuk
memenuhi keinginanmu harus kubuktikan dengan sepucuk surat kuasa.
Sang Janda lupa dengan penglihatan mata batin laki-laki
tangguh itu, jika dia adalah janda yang sudah lama menjadi simpanan bangsa
asing. Tidak hanya raga yang telah tercabik darinya, bahkan jiwanyapun telah
terpengaruh dengan pikiran asing, pikiran penjarah atas kemerdekaan penduduk
bumi yang berhak berdaulat atas pijakannya sendiri.
Sesuatu yang patut dicurigai, jika suatu saat nanti engkau
akan menjarah bangsaku, sebagaimana engkau telah terbiasa dengan semua itu. Namun
dengan air mata itu sang janda merasa telah berhasil mempedaya sebuah negeri
yang tangguh mempertahankan kehormatannya.
Bagitulah cara sang wanita, menyadari laki-laki
dihadapannya adalah pemuda baik hati, jutaan deraian air mata cukup menjadi
senjata pamungkas untuk menundukkan hatinya. Tanpa sepucuk
surat kuasa Soekarno telah berhasil membujuk Aceh menjadi unjung tombak dalam memerdekakan
bangsa Indonesia. Dari pulau Sumatra paling ujung gelora kemerdekaan dikobarkan.
Melalui radio Rimba Raya Aceh telah mengirim pesan kepada dunia jika Indonesia
masih ada. Dari sinilah kemerdekaan itu ditegaskan.
Pamit
pulang, setelah berhasil melobi pemuda baik hati untuk menjadi suaminya, proses
daur ulang politikpun berlanjut. Kanda, ada satu permintaanku setelah kita
menikah nantinya. Apa itu? tanya Teungku Daud. Belikan aku sebuah pesawat
terbang, agar mudah aku menyapamu di negeri nan penuh dengan kekayaan hati
masyarakatnya.
Terpedayalah
sang pemuda tangguh ini, dengan bujuk rayu janda paruh baya. Menikah dibawah
tangan tanpa surat pengakuan yang dikeluarkan oleh pemilik otoritas yang
mengurus urusan politik kebangsaan.
Pulanglah
sang janda ini dengan dua buah pesawat yang diberi nama "seulawah Agam dan
Seulawah Dara", dengan status istri di bawah tangan. Sampai di negerinya, bersama keluarga
besarnya mengurus tanggal dan waktu pernikahan tanpa memberi kompromi, pertanda
awal arogansi politik sang janda mulai dipaksakan.
Seiring perjalanan waktu, pemuda tangguh itu mulai mengarung
pikiran, merasai-rasai akan membangun bahtera rumah tangga dengan wanita yang
sebelumnya adalah seorang janda tawanan bangsa penjajah. Bergulirnya
proses politik dalam negeri, tarik ulur kepentingan, alasan nasionalisme
kebangsaan, sang janda ini harus berkhianat kepada janjinya.
Disela-sela kunjungannya ke Kalimantan Selatan, kota
Amuntai menjadi saksi Ir. Soekarno Presiden Republik Indonesia pertama lewat podium
politik ia menegaskan "tidak ada satu wilayahpun di negeri ini
melaksanakan hukum di luar apa yang telah dirumuskan dalam Pancasila dan
Undang-undang dasar 1945, dan tidak juga dengan pelaksanaan syariat Islam",
termasuk Aceh.
Tidak
hanya sampai di situ, melalui beslit yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat,
Aceh digabungkan menjadi bagian dari provinsi Sumatra Utara. Melalui upaya ini,
Aceh yang sebelumnya adalah negara berdaulat yang masyur keseluruh penjuru
dunia dan masuk dalam katagori empat kerajaan besar di dunia. Mendengar
keputusan pemerintah menggabungkan Aceh
dengan provinsi Sumatra Utara sang pemuda tangguh menangkap sinyal jika
janda yang dulu mengemis cinta padanya sudah berkhianat.
Terlalu
besar rumah tangga ini untuk dipertahankan. Menyadari seisi rumah adalah
kumpulan dari janda-janda berkhianat. Melalui semangat ke Acehan Daud Beureueh
yang notabene adalah pejuang kemerdekaan memimpin perang sudah menjadi potensi
dirinya. Perang bagi bangsa Aceh atas penjajahan dan pengkhiatan adalah jawaban
yang sangat jantan.
Sebagai panglima perang yang memiliki pasukan tempur
tangguh, jangankan melawan tentara Indonesia yang saat itu baru seumur jagung,
melawan penjajahan Belanda yang memiliki kemampuan militer di atas apa yang
dimiliki oleh bangsa pribumi harus tunggang lunggang ketika berhadapan dengan
pemuda-pemuda tangguh dari negeri Aceh. Bukti
sejarah telah menulisnya, terpancanglah sepucuk rencong di dada Jendral Kohler
tepatnya di depan Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh.
Peristiwa
penggabungan Aceh menjadi bagian dari provinsi Sumatra Utara yang membuat
Teungku Muhammad Daud Beureueh kembali mengangkat senjata. Dan ini dikenal
dengan pemberontakan Darul Islam (DI) Aceh, yang menuntut Aceh harus kembali me
jadi negara Islam. Rumah tangga yang sebelumnya telah terbina telah berakhir
dengan pengkhianatan dari seorang janda yang tidak tahu berterimakasih pada
tuannya.
Peristiwa pemberontakan Darul Islam Aceh telah mempengaruhi kebijakan nasional.
Mengingat,bukan hanya Aceh yang ingin mendirikan negara Islam. Beberapa wilayah yang lain juga berkeinginan yang sama, seperti Jawa Barat, Sulawesi, dan juga diiringi dengan Kekacauan yang lain.
Memahami gejolak politik disaat Indonesia masih seumur jagung, melahirkan upaya integrasi kebangsaan dari parlemen. Mosi integrasi kebangsaan digelorakan lewat gedung Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, yang dipelopori oleh Mohammad Natsir.
Sejarah disentegrasi kebangsaan di negeri ini, Aceh telah
melewati dua fase pemberontakan dan dua momen perdamaian. Pemberontakan pertama
adalah gerakan Darul Islam yang dimotori oleh Teungku Muhammad Daud Beureueh. Pemberontakan
ini mampu didamaikan sepihak oleh pemerintah Indonesia atas nama "Ikrar Lamteh", dan A. Hasjmy sebagai
tokoh perdamaian bersama tokoh-tokoh yang lainnya. Dari perdamain ini, melahirkan
keistimewaan bagi Aceh terkait dengan penerapan syariat Islam, pendidikan, dan
ekonomi.
Pemberontakan kedua adalah Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Pemberontakan
Gerakan Aceh Merdeka dipimpin oleh Teungku Hasan Muhammad di Tiro. Proses perdamaian
perang antara RI dan GAM melibatkan bangsa asing. Gerakan Aceh Merdeka
menjadikan Swedia menjadi markas mengontrol pemberontakan. Melalui negara
tersebut semangat kemerdekaan Aceh digelorakan.
Keterlibatan bangsa asing dalam proses perdamaian ini berhasil memadamkan api komflik antara GAM dengan RI. Perdamaian Darul Islam dengan Pemerintah Pusat peran RI lebih dominan, namun tidak memberi pengaruh besar terhadap kemajuan Aceh saat itu. dengan kekecewaan tersebut, maka lahirlah pemberontakan kedua, yaitu Gerakan Aceh Merdeka.
Perdamain antara RI
dan GAM dominannya keterlibatan pihak asing, namun juga tidak memberi pengaruh
yang signifinakan terhadap perkembangan Aceh itu sendiri. Walaupun dari hasil
perdamaian tersebut melahirkan hak otonomi kusu bagi Aceh, dengan anggaran yang
melimpah, akan tetapi juga tidak menjadikan Aceh lebih baik, bahkan dalam
kontek perekonomian Aceh tetap saja menjadi daerah termiskin di Sumatra.
Lalu apa makna dari sebuah kemerdekaan dan apa pula makna
dari sebuah perdamaian. Jika masyarakatnya
tidak bergerak secara signifikan, baik di bidang agama, pendidikan, ekonomi, politik,
dan budaya.
Enam belas tahun masa perdamaian, bukanlah waktu yag
singkat. Banyak janji yang telah disepakati dalam perdamaian tersebut. Naskah
politik yang tertuang dalam MoU Helsinki apakah hanya menjadi catatab saja
bahwa dengan catatan-catatan tersebut konflik sudah diakhiri, tanpa harus
menghitungnya kembali apa yang sudah hilang, dan apa yang masih ada. Lalu untuk
apa semua janji-janji yang telah disepakati saat konflik berujung damai
disepakati.
Dua peristiwa pemberontakan telah berakhir, keduanya
menjadikan Indonesia semakin berdaulat atas bangsanya. Namun kedaulatan dalam
artian memberi kemerdekaan penuh atas hak perdamaian terhadap bangsa Aceh belum
dipenuhi oleh Pemerintah Pusat sesuai dengan janji pembuka damai. Catatan itu
masih tertulis dengan baik, dan saksi-saksinya masih hidup. Ke manakah
perdamaian itu akan kita bawa.
Mana janjimu wahai sang janda, setelah beberapa dekade bahtera rumah tangga kita berkecamuk konflik. Dan dua talak sudah terucap dari pemuda tangguh itu, namun masih juga berulang rujuk dengannmu.
Rujuk yang kedua
engkau telah berjanji di depan penduduk dunia (Uni Eropa) dengan ratusan pasal
yang telah disepakati, yang sampai hari ini tidak hadir secara nyata naskah
politik itu menjadi naskah hukum yang tertuang dalam lembaran negara, sehingga
anak cucu kita nanti benar-benar melihat, ayahku adalah pemuda tangguh yang
telah menerima cinta janda. Janda yang peduli dan menempati janji terhadap
keluarga besarnya.
Apa makna kemerdekaan bagi Aceh, tidak lain dan tak bukan
menuai kemerdekaan atas perdamaian yang telah disepakati dengan memiliki hak
penuh menjalankan sebagaimana telah tertuang dalam Undang-Undang Pemerintahan
Aceh.
Duhai sang janda, ingatkah kamu, 76 tahun yang lalu, ketika engkau datang mengiba kepadaku, selamatkan hidupku wahai pemuda tangguh dari negeri yang mana di dalamnya terkubur jasad para aulia.
Dikala engkau berucap, kanda nikahi aku sebagai
wanita yang baik, sucikanlah diriku dari beringas laki-laki yang telah memiliki
keluarga di negerinya Belanda. Jangan engkau biarkan aku terus dikuasai oleh
germo politik yang hanya menginginkan rempah-rempah yang dikumpulkan untuk
membangun negaranya.
Hai jandaku.....tepatilah janjimu, tunaikan
hak-hak rujuk itu (perdamaian MoU Helsinki) agar anak cucuku nanti tidak
berfikir untuk memberontak lagi.
Jakarta, 17 Agustus 2021...
Komentar
Posting Komentar