Intoleransi di Lembaga Pendidikan Mengikis Semangat Persatuan
Dr.
Ahmad Faozan, S. Ag., M. Pd., adalah penerima beasiswa Kementerian Agama
program 5000 doktor telah menyelesaikan studinya dalam jangka waktu tiga tahun
adalah guru pengajar Pendidikan Agama Islam. Sebagai seorang penulis dan
peneliti ia telah menulis enam belas judul buku dan tujuh jurnal yang terkait
dengan Pendidikan Agama Islam. Informasi lain terkait dengan dirinya adalah
penerima penghargaan di tingkat nasional.
Persoalan
pendidikan adalah perkara penting dalam sejarah perkembangan anak manusia, dan melalui
pendidikan potensi diri dibentuk. Apalagi terkait dengan Pendidikan Agama
Islam.
Masyarakat
Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah Islam, filosofi masyarakat yang
dibangun berdasarkan ideologi negara membangun bangunan sosialnya bersama-sama
dengan masyarakat yang lain, masyarakat kemajemukan baik suku, rasa, golongan
dan agama.
Merasa
perlu membangun intoleransi sesama anak bangsa harus dimulai dari kurikulum
dasarnya. Pendidikan Agama tidak hanya dibangun atas dasar kepercayaan semata
tanpa memperhatikan kemajemukan budaya masyarakatnya.
Pakar pendidikan asal Indramayu Jawa Barat ini seorang pendidik yang telah bergelut paham dengan sistem pendidikan di negeri ini. Menjawab kegelisahan terhadap pola pendidikan di sekolah menengah, wacana intoleransi akhir-akhir ini mengemuka ke berbagai bidang, termasuk dunia pendidikan. Berkembang isu radikalisme sangat dipengaruhi dari karakter pendidikan itu sendiri. Untuk itu, dirasa perlu meluruskannya melalui karya ilmiah.
Dengan
ini, telah selesai sebuah pengkajian terkait dengan pola pendidikan
inkosistensi terhadap penyajian wacana penyajian dalam teks buku Pendidikan
Agama Islam dapat disinyalir bermuatan toleransi pada satu sisi dan terdapat
intoleransi pada bagian yang lain. Disinyalir adanya eklusifitas pandangan
beragama yang tidak mengakomodir keragamanan etnis.
Menjawab
kegelisahan terhadap persoalan ini Dr. Ahmad Fauzan, telah menyelesaikan
penulisan disertasinya dengan judul “Wacana Intoleransi dalam Buku Teks
Pendidikan Agama Islam”.
Disertasi ini telah diuji pada sidang ujian promosi doktor pada tanggal 31 Agustus 2021 melalui Aplikasi Zoom Cloud Meetings, pada Sekolah Pascasarjana (SPS) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta oleh para profesor penguji bapak Prof. Dr. Phil. Asep Saepudin Jahar, MA., yang telah memberikan kesempatan untuk mempresentasikan hasil penelitian disertasi dalam sidang ujian promosi doctor oleh para professor penguji bapak Prof. Dr. Phil. Asep Saepudin Jahar, MA., (sebagai ketua sidang dan direktur SPS), Prof. Dr. Husni Rahim., Prof. Dr. Abuddin Nata, MA., Prof. Dr. M. Suparta, MA., Prof. Dr. Dede Rosyada, MA., dan Prof. Dr. Armai Arief, M.Ag., (merangkap promotor), dan lulus dengan predikat Cum Laude.
Terdapat
kesenjangan antara kondisi ideal pendidikan agama Islam untuk masyarakat
Indonesia yang multi-kultur dengan realitas layanan pendidikan agama Islam.
Fungsi
pendidikan agama Islam agar peserta didik memahami dan mengamalkan ajaran
agama, serta mengimplementasikan nilai-nilai ajaran agama sebagai instrumen
perekat sosial, mendapatkan tantangan berupa layanan pendidikan agama bagi
peserta didik seagama, terutama bagi kelompok minoritas, kurikulum dan buku
teks yang kurang kuat menekankan penghargaan kepada perbedaan, keadilan,
dialog, dan hidup rukun dalam perbedaan, kecenderungan guru PAI yang
berpandangan monolitik, dan penggunaan metode pembelajaran yang tidak
mengembangkan kemampuan berpikir kritis peserta didik.
Pemahaman
dalam bentuk tulisan, gambar atau simbol yang dapat menimbulkan ketiadaan
tenggang rasa, sikap tidak sabar, tidak menghargai dan tidak mengakui realitas
keragaman dan kemajemukan yang ada di sekeliling khususnya dalam hal agama, etnis,
dan budaya.
Wacana
intoleransi yang akan dijelaskan dan dielaborasi yaitu wacana intoleransi
intern umat beragama, wacana intoleransi antar umat beragama, wacana
intoleransi dan ketidakadilan gender serta wacana intoleransi dalam etnis dan
budaya. Selanjutnya, yang dimaksud wacana radikalisme adalah tulisan, gambar
dan simbol bermuatan radikalisme/kekerasan, termasuk radikalisme agama.
Buku
teks PAI terbitan pemerintah selayaknya menyajikan keragaman pandangan atas
teks keagamaan atau permasalahan fikih yang masih dalam perdebatan, paradigma
inklusif terhadap perbedaan agama, inklusif gender, toleran terhadap perbedaan
etnis dan budaya, serta tidak menyajikan wacana bermuatan
radikalisme/kekerasan.
Konteks
kehadiran buku PAI di sekolah dan madrasah mendiskusikan dua permasalahan yaitu
munculnya kontroversi buku teks PAI pada sekolah dan jihad dan khilafah yang
disalahpahami; perlukah dihapus dari kurikulum PAI? Buku teks PAI pada sekolah
yang diterbitkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berdasarkan
kurikulum 2013 sejak awal sudah menuai kontroversi karena dianggap bermuatan
kekerasan
Makna
jihad dalam pengertian secara komprehensif, tidak terbatas pada makna
berperang, tetap perlu disajikan dalam buku teks. Cara memasukkan makna jihad
dalam buku teks ketika konsideran KMA Nomor 183 Tahun 2019 tidak mengakomodir jihad, dapat dilakukan
dengan menginsersi dalam kompetensi dasar atau konten tentang haji, memperdalam
ilmu pengetahuan dan mencari nafkah untuk keluarga sebagai contoh bentuk jihad seperti
yang telah disajikan buku teks PAI SMA.
Insersi
makna jihad yang komprehensif ini dapat dikembangkan pada kompetensi dasar atau
konten lain, misalnya tentang berbakti kepada orang tua, membantu fakir miskin,
menyampaikan kebenaran kepada penguasa yang zalim, atau puasa sebagai jihad
akbar. Insersi makna jihad secara komprehensif ini dapat dikembangkan pada buku
teks PAI di sekolah maupun madrasah.
Insersi
jihad dalam buku teks ini tetap dengan memperhatikan maknanya yang komprehensif
sehingga tidak terjadi simplifikasi makna jihad, misalnya jihad hanya bermakna
berperang dan menuntut ilmu, seperti disajikan dalam buku teks PAI kelas 10
SMA.
Sementara
wacana khilafah dalam mata pelajaran Fikih merupakan bagian dari produk ijtihad
masa lalu sehingga pemerintah dalam hal ini Kemenag sudah tepat menghapus
wacana ini dari kurikulum PAI mata pelajaran Fikih. Namun fakta sejarah
kekhalifahan sejak khulafa al-rasyidin hingga Turki Usmani masih tetap
dipertahankan dalam kurikulum PAI mata pelajaran SKI.
Secara praktis, model rekonstruksi wacana bermuatan intoleransi dan radikalisme dalam buku teks PAI dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pengembang kurikulum, penulis buku teks PAI maupun guru PAI dan orang tua peserta didik.
Penulis buku teks dapat menyusun kembali buku teks PAI baik di
sekolah maupun di madrasah yang memfasilitasi peserta didik untuk memahami dan
mengamalkan ajaran agama, serta mengimplementasikan nilai-nilai ajaran agama
sebagai instrumen perekat sosial.
Bagi guru PAI baik di sekolah maupun madrasah dan orang tua peserta
didik, model rekonstruksi dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam
menyeleksi, menggunakan, dan menyebarkan buku teks PAI kepada peserta didik
atau anak-anaknya dengan dua fungsi utama PAI di Indonesia di atas, yaitu
peserta didik mampu memahami dan mengamalkan ajaran agama serta
mengimplementasikan nilai-nilai ajaran agama sebagai instrumen perekat sosial.
Penyajian metode pendidikan yang dikaji melalui karya ilmiah, menjadi materi dari jawaban keresahan terkait dengan wacana intoleransi di sekolah. Serta diharapkan menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah secara serius untuk meluruskan pola-pola pendidikan pada sekolah-sekolah menengah.
Wacana moderasi yang telah
digaungkan menjadi semangat dasar dalam membangun kurikulum berbasis toleransi
dengan tidak meninggalkan sistem kerja kebudayan yang telah berkembang di
tengah-tengah masyarakat yang beraneka ragam. Intinya, agama tidak perlu dipisahkan
dengan kebudayaan yang melekat dalam satu komunitas.
Jakarta,
31 Agustus 2021....
Komentar
Posting Komentar