MoU Helsinki dan Kemerdekaan Aceh Atas Kesepakatan Damai
Memperingati enam belas tahun damai Aceh. Sebagai rakyat Aceh yang telah menjadi bagian dari ekses konflik yang telah berlangsung selama 30 tahun, adanya perdamain berarti ada harapan menatap masa depan yang lebih baik. Konflik atas tuntutan kemerdekaan bagi Aceh dari Republik Indonesia, telah berakhir dengan perdamaian.
Lahirnya kesepakatan damai Aceh telah memutuskan rantai konflik
permusuhan antara GAM dan RI., namun bukan berarti menuntut hak kemerdekaan
bagi Aceh telah musnah bersama ditanda tanganinya perdamaian. Tuntutan Aceh dimasa
konflik adalah hak menuntut kemerdekaan dari negara Republik Indonesia,
sementara setelah masa perdamaian Aceh menuntut hak kemerdekaan dalam rangka merealisasikan
kesepakatan perdamaian.
Kemerdekaan atas hak damai adalah secepatnya setelah
penandatanganan MoU Helsinki ditetapkan, bersamaan dengannya pula hak
kemerdekaan bagi Aceh pasca damai melaksanakan klousul-klousul perdamaian yang
telah disepakati oleh RI dan GAM. Sebagaimana tertuang, bahwa undang-undang
baru tentang penyelenggaraan pemerintahan di Aceh akan diundangkan dan akan
mulai berlaku sesegera mungkin dan selambat-lambatnya tanggal 31 Maret 2006.
Berjalannya waktu perdamaian yang telah mencapai enam
belas tahun, poin-poin penting yang menjadi kekususan Aceh belum dapat
dilaksanakan, seperti struktur pemerintahan dan kewenangannya dalam berbagai
sektor kehidupan. Dan ini sepenuhnya dilimpahkan kepada elit politik Aceh yang
menempati posisi politik legislatif dan eksekutis untuk dilanjutkan kepada
Pemerintah Republik Indonesia.
Kekususan ini adalah hak kemerderkaan bagi rakyat Aceh
atas perdamaian yang telah disepakati bersama, sehingga konflik dihentikan. Namun,
bukan berarti hak-hak itu terabaikan pasca perdamaian. Jika saja tanggal 17
Agustus Indonesia meraih kemerdekaan atas penjajahan Belanda, maka 15 Agustus
adalah kemerdekaan Aceh atas perdamaian yang telah disepakati bersama, sehingga
dengannya setiap butir perdamaian harus diberlakukan.
Kewenangan dalam melaksanakan berbagai sektor publik dan
akan diselenggarakan bersama dengan administrasi sipil dan peradilan,
terkecuali terkait dengan hubungan luar negeri, pertahanan, keamanan nasional,
hal ihwal moneter dan fiskal, kekuasaan kehakiman dan kebebasan beragama, atas
kebijakan tersebut menjadi kewenangan Pemerintah Republik Indonesia dengan
konstitusi.
Melalui kewenangan pasca damai, setiap persetujuan-persetujuan internasional
yang diberlakukan oleh Pemerintah Indonesia yang terkait dengan hal ihwal
kepentingan khusus Aceh akan berlaku dengan konsultasi dan persetujuan
legislatif Aceh. Dan Keputusan-keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia yang terkait dengan Aceh akan dilakukan dengan konsultasi dan
persetujuan legislatif Aceh. Serta Kebijakan-kebijakan administratif yang diambil
oleh Pemerintah Indonesia berkaitan dengan Aceh akan dilaksanakan dengan
konsultasi dan persetujuan Kepala Pemerintah Aceh. Sebagaimana tertuang dalam klousul
perdamaian yang telah disepakati.
Hak kemerdekaan atas perdamaian, Aceh memiliki hirarki dalam pelaksanaan kepemimpinan politik. Berpayung
di bawah kekuasaan tertinggi yang dipimpin oleh Wali Nanggroe Aceh, dan
pelaksanaan pemerintahan dilaksanakan oleh Kepala Pemerintah Aceh, dan segala
sektor kekuasaan dipimpin sesuai dengan perangkat yang telah disepakati atas
perdamaian.
Elit politik Aceh, baik eksekutif maupun legislatif
apapun partainya dalam menjalankan roda kepemimpinan pasca damai, dengan
lahirnya MoU Helsinki tugas utama kepemimpinan yang harus dijalankan adalah
meluruskan butir-butir perdamaian Aceh dengan Pemerintah Republik Indonesia.
Adapun menyangkut dengan kesejahteraan ekonomi dan
pendidikan Aceh merupakan hal yang tidak perlu dipikirkan lagi, sebab program-program
semacam itu sudah memiliki patron umum yang sudah tersedia anggarannya melalui
dana otsus, tinggal dilaksanakan saja dengan program-program yang menjawab
kebutuhan. Artinya, atas kegiatan-kegiatan tersebut telah melalui mekanisme
program pembangunan sebagaimana yang telah dijanjikan semasa kampanye, dan
sesuai kebutuhan kekinian.
Seandainya saja Pemerintah Aceh telah membangun
terowongan Gurute, jembatan panjang yang melintas laut Aceh dan pulau-pulau
lainnya, memotong jalan lintas antar provinsi, memperkaya seluruh rakyat Aceh
dengan dana otsus, namun tetap saja keberadaan mereka dianggap gagal
melaksanakan proses politik jika klousul perjanjian MoU Helsinki tidak berhasil
dimasukkan dalam lembaran negara setiap pasal per pasalnya.
Perjanjian MoU Helsinki adalah naskah politik, untuk
menjalankannya harus menjadi naskah hukum terlebih dahulu. Dan di sinilah
fungsi legislatif dan eksekutif untuk mempertajam naskah politik tersebut
menjadi naskah hukum, lalu masuk dalam lembaran negara dan kemudian menjadi
dasar pelaksanaannya setiap kegiatan-kegiatan bagi Pemerintah Aceh.
Sudah
mencapai enam belas tahun tahun
perdamaian, sudah tiga periode pergantian eksekutif dan legislatif, dalam perjalanan politik setelah penandatangan MoU Helsinki belum
terlihat point penting dari perdamaian tersebut yang sudah
berjalan di Aceh.
Mengingat Aceh mulai mengahdapi musim kampanye pilkada
yang keempat pasca damai Aceh, seharusnya kampanye politik tidak lagi memilih
gubernur Aceh, melainkan yang dipilih adalah Kepala Pemerintah Aceh sebagai pemimpin
tertinggi di bidang pemerintahan sesuai dengan klousul MoU Helsinki.
Begitu juga dengan pemilihan legislatif Aceh,
kampanye-kampanye politik ke depan apapun partainya, berkampanye secara lebih
masif terkait dengan klousul perdamaian Aceh dengan Pemerintah Republik
Indonesia.
Kemerdekaan bagi rakyat Aceh pasca perjanjian MoU
Helsinki adalah terlaksananya butir-butir perdamaian dari berbagai sektor
kehidupan. Jika ini belum terlaksan Aceh belum meraih kemerdekaan dengan
perdamaiannya. Kelompok yang bertanggung jawab atas persoalan ini adalah elit politik
Aceh yang menduduki posisi legislatif dan eksekutif dengan Pemerintah Republik
Indonesia. Melalui pikiran dan perjuangan merekalah Aceh akan mencapai
kemerdekaan atas perdamaian yang telah dicapai, sebagaimana merdeka Indonesia
dari penjajahan Belanda.
Enam belas tahun perdamaian dan fakta yang telah berlaku, kesejahteraan di bidang ekonomi terpuruk. Bersama dana otsus Aceh meraung kemiskinan. Dan enam belas tahun perdamaian, fakta yang telah berlaku pelaksanaan hukum-hukum otonom yang telah disepakati belum bisa dilaksanakan.
Padahal
pelaksanaan klousul-klousul perdamaian dalam perjanjian dilaksanakan sesegera
mungkin selambat-lambatnya akan diberlakukan sejak tanggal 31 Maret 2006. Yang berjalan
hanyalah perguliran politik saja, di mana perguliran politik melalui Partai Lokal
bukan memperkuat rekonsiliasi sipil, malah terpecah belah dengan pilihan
politik yang bernuansa sesaat.
Sekali lagi, kemerdekaan bagi Aceh pasca ditanda tangani
perdamaian Helsinki adalah hak melaksanakan setiap klousul perdamaian. Elit Aceh,
bersatulah...raih klousul perdamaian itu sebagai bukti keberadaanmu ada bagi
bangsa Aceh.
Perlawanan bersenjata sudah bertahan selama tiga puluh tahun lamanya, dan banyak memakan korban harta, benda, nyawa, melahirkan janda-janda konflik dan anak yatim, serta terputusnya masa depan anak-anak bangsa. Namun sangat berbanding terbalik dengan enam belas tahun perdamaian, belum menyisakan perubahan signifikan atas keputusan damai yang tidak mudah untuk diwujudkan.
Menjadi pemimpin di Aceh pasca MoU Helsinki itu berat, amanahnya bukan hanya terkait dengan pengelola anggaran semata, tapi juga menjalankan klousul-klousul perdamaian. Jika klousul itu tidak berjalan, maka kehadiran mereka-mereka itu hanya sebagai penipu saja, penipu politik dengan dalih semangat perdamaian. Jika saja elit Aceh masih berfikir keberadaannya sebagai eksekutor pembangunan semata tanpa melihat sisi-sisi membangun Aceh dengan meraih hak politik kemandirian atas dirinya, maka keberadaan elit politk di Aceh apapun partainya tidak mewakili semangat kemerdekaan rakyat Aceh atas perdamaian yang telah dicapai.
Jakarta, 19 Agustus 2021.....
Komentar
Posting Komentar