Sang Orator Itu Bernama Prof. Dr. Farid Wajdi Ibrahim, MA.
Pria kelahiran 5 Maret 1961 di Gampong Rukoh, telah memberi inspirasi bagi generasi Aceh. Gayanya yang sederhana dan apa adanya sangat mudah untuk akrab dengan siapapun.
Satu-satunya “aso lhok” di lingkaran akademisi kampus Darussalam yang telah menduduki posisi tertinggi di Universitas Islam Negeri ar-raniry “jantong hate” masyarakat Aceh. Menjadi rektor terpilih dua periode sejak tahun 2009-2017 telah banyak berjasa dalam perkembangan dunia pendidikan Aceh.
Karir akademisnya dimulai sejak menjadi dosen tetap di Fakultas Tarbiyah IAIN ar-Raniry dalam bidang Pemikiran Modern Dalam Islam sejak tahun 1994. Menjabat sebagai Kepala Bidang Akademik BPMKDU IAIN ar-Raniry tahun 1999-2000. Kepala Pusat Penelitian IAIN ar-Raniry pada tahun 2001-2004. Ketua Bidang Akademik STKIP Al-Washliyah Banda Aceh sejak tahun 2001 hingga sekarang. Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN ar-Raniry sejak tahun 2004-2008. Dan berlanjut tahun 2008-2009.
Menamatkan kuliah doktor di Universitas Sains Malaysia tahun 1997-2000, menandakan ia adalah penuntut ilmu yang pantang menyerah dalam menyelesaikan studinya. Tidak hanya di situ ia juga sebagai peserta Post Doktoral Depag RI di al-Azhar Cairo Mesir pada tahun 2004. Menelusuri riwayat pendidikannya, kapasitas keilmuan beliau di bidang Pemikiran Modern Dalam Islam tidak diragukan lagi.
Prof. Dr. Farid Wajdi Ibrahim, MA., adalah satu-satunya guru besar yang ikut serta masuk mengisi mata kuliah pada strata satu, saat mengampu Mata Kuliah Metodelogi Studi Islam, ketika itu saya bersama sahabat yang lain adalah mahasiswa di Fakultas Ushuluddin jurusan Aqidah dan Filsafat.
Gaya orator beliau sudah familiar sejak kami menjadi mahasiswanya. Memberi materi kuliah bak orator ini, telah menggetarkan ruangan. Tidak hanya di kelas beliau mengajar, suaranya masuk ke ruangan yang lain.
Masih teringat pesan-pesan dari kuliah yang beliau sampaikan, sampai pada penenaman, kalian mahasiswa Islam jangan pernah malu menjadi pembelajar ilmu-ilmu ke-Islaman. Di pikiran kalianlah Islam harus menemukan jati dirinya kembali setelah Barat mendominasi pengetahuan modern.
Mendengar penjelasan ilmu Pengetahuan Islam Modern, sebagai mahasiswa strata satu masih belum paham apa tujuannya, dan apa maksudnya. Lalu bagaimana pula mendudukkan pengetahuan modern dalam pikiran, sebagaima yang telah beliau sampaikan. Tidak cukup menamatkan sarjana memahami ucapan beliau.
Pola islamisasi Ilmu Pengetahuan berlanjut ketika saya menjadi mahasiswa pada strata dua. Di sini mulai terlihat wacana tentang apa yang disampaikan oleh guru besar nyentrik apa adanya ini, bahwa dipikiran kalianlah jati diri pengetahuan Islam modern dikaji melalui kajian filosofis.
Memahami ilmu tidak akan selesai sampai usia berakhir. Dan ini telah menjadi konsep pendidikan modern, long life education. Pendidikan sebagaimana dulu disampaikan oleh peserta Workshop Bahasa Arab di Orientalis Institut, Leipzig Jerman Timur pada tahun 2005 ini, Prof. Farid Wajdi mengutarakan, ada dua hal yang harus kalian pelajari di sini.
Pertama, pendidikan harus memberi pemahaman terhadap ilmu (Transfer of Knowladge). Artinya, traformasi ilmu pengetahuan tidak hanya terkait dengan ilmu pengetahuan agama saja, juga terkait dengan ilmu pengetahuan umum. Paham terhadap ilmu pengetahuan agama dan juga mengerti terkait dengan ilmu pengetahuan umum, sehingga otak tidak picik melihat dunia.
Kedua, pengetahuan harus menanamkan nilai pada diri (Transfer of Value). Pintar namun tidak memiliki value yang baik pikiranmu akan rusak. Betapa pentingnya akhlak dalam proses pendidikan berkarakter. Lihat, di luar sana ilmu tanpa nilai telah membawa manusia kehilangan jati dirinya. Kesombongan muncul bukan karena manusia tidak memiliki ilmu pengetahuan, melainkan karena tidak memiliki nilai dalam dirinya. Akhlak inilah yang menjadi tolak ukur Nabi Muhammad saw., diutus ke muka bumi.
“Innama bu’istu li utammima makarimal akhlak”. Sesungguhnya aku (Nabi Muhammad saw.) diutus ke muka bumi untuk menyempurnakan akhlak. Maka tidak ada gunanya kalian berilmu tinggi, jika tidak memiliki akhlak. Kampus ini, ar-Raniry tidak akan bermanfaat bagi rakyat Aceh jika tidak mendidik manusia yang memiliki akhlak dalam menata hidupnya.
Aceh di era modern harus dilihat pada dua sisi pengembangan ilmu. Pertama, sebagai masyarakat yang telah sejak dulu dikenal sangat agamis, semangat keismalaman telah membentuk karakter pendidikan sejak dulu berbasis ilmu keislaman. Ini tidak salah, namun dunia telah berkembang menunjukkan kemajuannya.
Dengan itu, pendidikan berbasis ilmu keislaman hanya dilihat dari ilmu pengetahuan agama semata telah mengingkari Islam sebagai agama yang menganut asas sesuai dengan perkembangan zaman.
Kedua, masyarakat Aceh yang kini hidup pada zaman di mana teknologi telah menggantikan peran manusia dalam mengurus dunia. Artinya, manusia dalam menjalani hidupnya tidak hanya menggunakan patron agama semata, namun juga memerlukan teknologi dalam mengolah alam yang semakin hari semakin rumit untuk diselesaikan oleh manusia tanpa dibantu dengan teknologi mutaakhir.
Dehumanisme telah mengantarkan paham pada manusia dua sisi melihat agama. Satu sisi manusia menganggap bahwa untuk menyelesaikan masalah hidup tidak lagi berpegang pada ajaran agama. Pada sisi yang lain manusia menganggap bahwa agama masih harus digunakan dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh manusia.
Hadirnya berbagai ranah ilmu pengetahuan manusia telah kehilangan jati dirinya. Apapun ilmu yang dikuasai oleh manusia hari ini, tidaklah terlepas dari jabara-jabaran yang telah disampaikan oleh ajaran agama.
Pada tahap ini, ajaran agama tidak mungkin menjelaskan dirinya secara rinci, karena Alquran adalah Kitab Suci bukan Kitab Ilmu. Maksudnya, Alquran hanya memberi tanda-tanda, dan tanda-tanda itu baru akan menjadi ilmu ketika ia hadir dalam penjelasan-penjelasan yang rinci. Penjelasan yang rinci ini telah hadir dalam berbagai macam ilmu pengetahuan yang diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan.
Aceh hanya butuh satu langkah untuk maju, yakni ilmu pengetahuan modern. Ilmu pengetahuan modern adalah terbangunnya dialektika ilmu berdasarkan sistem lama yang baik dengan sistem baru yang bermanfaat. “Al-Jam’u bainal qadimishshalih wal Jadidinnafi”.
Dengan itu, langkah yang ditempuh dalam memajukan pendidikan di Aceh adalah merubah fungsi pendidikan dari Institusi menjadi Universitas. Maka dengannya, hari ini berdirilah Universitas Islam Negeri ar-Raniry di Aceh. Perguruan Tinggi yang akan membangun dialektika ilmu dalam pikiran generasinya.
Prof. Dr. Farid Wajdi Ibrahim, MA., adalah tokoh Aceh yang selalu haus akan ilmu dan juga pemimpin dalam berbagai organisasi. Kepemimpinan adalah seni, menjalaninya harus dengan seni kelola yang baik.
Sukses memimpin Perguruan Tinggi sebuah bukti jika beliau memiliki manajemen leader yang kuat. Mendalami seluk beluk manajemen kepemimpinan. Dan ini terlihat dari langkahnya mengikuti Workshop Leadership dan Manajemen di McGill University Montreal Canada pada tahun 2007. Tidak hanya berhenti di situ, sosoknya telah mempengaruhi poling pilgub Aceh yang dilakukan secara acak dengan random responden menduduki posisi teratas.
Sebagai Guru Besar pada Universitas Islam Negeri (UIN) ar-Raniry kiprahnya sangatlah berjasa terhadap pengembangan dunia pendidikan Islam modern di Aceh. Membawa semangat pendidikan bersama dirinya telah mewakili bahwa prototipe masyarakat Aceh melekat dalam dirinya. Membuang sifat elit ketika berhubungan dengan orang lain, sebagai tanda penanam sikap dan nilai berjalan beriringan dengan ilmu yang telah dipelajarinya.
Prof. Dr. Farid Wajdi Ibrahim, MA., tidak hanya sukses memimpin oraganisasi dan lembaga pendidikan, beliau juga telah meninggalkan karya yang dapat membangun pecerdasan terhadap intelektuan anak bangsa. Di antara karya tulis yang kini tinggal bersama kita adalah beberapa buku yang berjudul:
Negara-Negara
Syi’ah Dalam Lintasan Sejarah (Suatu Kajian Dari Perspektif
Sosio-Historis), (Banda Aceh: Yayasan PENA, 2005). Wacana Pemikiran
Islam, Refleksi Transendental dan Historikal Islam, (Banda Aceh: Ar-Raniry
Press, 2005). Orientalisme dan Sikap Umat Islam, ( Yogyakarta: Lanar Publisher, 2006). Aceh Bumi Srikandi, (Yogyakarta: Multi
Solusindo Press, 2008). Akar Konflik Manusia, (Banda Aceh: Ar-Raniry
Press, 2002). Politik dan Pencerahan Peradaban, (Banda Aceh: Ar-Raniry
Press, 2004). Gugatan Sistem Khilafah di Dunia Islam (Kajian
Pemikiran Ali bin Abdur Raziq), Dissertasi, 1999. Dinamika Pendidikan
Aceh, (Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2013).
Selain itu kita juga dapat melihat pidatonya di youtube chanel yang telah beredar di dunia maya. Gaya bicaranya terlihat begitu “Meu-Aceh”. Ketika beliau menyampaikan pidato pesan-pesan moral kepada masyarakatnya, keseriusan dalam menyampaikan materi begitu kental terlihat. Adak jet na, microfon madein Tiongkok ge mamoh-mamoh, begitu semangatnya beliau menyampaikan pesan-pesan tersebut. Apalagi menyangkut dengan bobroknya akhlak anak-anak bangsa akhir-akhir ini.
Prof. Dr. Farid Wajdi Ibrahim, MA., telah mengajarkan kesedrhanaan dalam bersikap, namun tegas dalam bekerja, dan melayani orang-orang yang berhajad padanya dengan baik.
Hal ini terlihat ketika saya pribadi hendak melanjutkan kuliah strata dua pada salah satu Universitas Islam di Negeri ini. Syarat menjadi calon mahasiswa harus memiliki surat “peunutoh” (rekomendasi) dari dua orang Guru Besar. Pada saat itu saya mendatangi ruang Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) ar-Raniry Banda Aceh.
Assalamu’alaikum Prof. Mengawali sapa....... wa’alaikum salam...jawabnya.
Long kenek lanjut kuliah Prof., meulake ijin bak roneh Prof., lake “peunetoh” (rekomendasi) syarat pendaftaran daftar kuliah. Jroh........ ci ba keno suratnyan....”dipat long teken”.??? Di sino Prof. Jawab saya.... “gedum aju ge teken”.....hana tanyongnyo tanyong jeh. Dan diminta beliau mencatat nomor Hp nya di halaman depan amplop pembungkus surat.
Di sini sangatlah terlihat gaya melayani beliau tidaklah rumit dan berbeli-belit. Berbicara dengan mahasiswa yang berhajad dengannya sangatlah unik dan terbuka celah komunikasi yang sangat lebar.
Inilah ketauladanan yang tidak pernah lupa dalam benak seorang murid ketika melihat cara gurunya melayani. Dan ini juga yang membuat diri ini berfikir ulang ketika orang-orang berhajad kebaikan pada diri yang dha’if ini. Kalimat “pat long teken” pertanda filosofi melayaninya sangatlah sederhana, cepat, dan responsif.
Pada tanggal 14 Agustus 2021 engkau telah berpulang menghadap-Nya. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un...... Selamat jalan wahai guru. Transfer of Knowladge and Transfer of Value, materi belajar kita di ruang kelas yang dulu bangkunya lusuh masih kuingat sampai saat ini. Semoga Tuhan mengampuni segala dosa-dosamu. Dan Syurga-Nya telah menyambutmu wahai jiwa-jiwa yang tenang.
Jakarta, 15 Agustus 2021.......
Komentar
Posting Komentar