Sastra dan Agama: Melalui Kajian Nahj al-Burdah Membangun Politik Kuasa
Dr.
Rosalinda, SS., MA. Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Jambi adalah wanita
pertama penerima beasiswa Kemenag program 5000 doktor Scholarship for Islamic
Higher Education angkatan tahun 2018, dan lulus dengan pridicat cumlaude. Mahasiswa doktor Sekolah Pascasarjana (SPS) Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, telah menyelesaikan studi dengan
kajian disertasi yang mengkaji representasi hubungan sastra agama dan kuasa
sosial dalam Nahj al-Burdah karya ‘Abd al-Hamid bin Ahmad al-Khatib
al-Minangkabawi (1316-1381 H/1898-1961 M).
Disertasi ini telah diuji pada ujian promosi doktor tanggal 26 Agustus 2021 melalui Aplikasi Zoom Cloud Meetings oleh para profesor penguji yang terdiri dari Prof. Dr. Phil. Asep Saepudin, MA (merangkap ketua Sidang) Prof. Dr. Sukron Kamil, MA. Prof. Dr. Iik Arifin Mansurnoor, MA. (merangkap promotor). Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA. Prof. Dr. Achmad Syahid, M. Ag. Prof. Dr. Media Zainul Bahri, MA.
Penelitian ini menunjukkan bahwa, kasidah Nahj al-Burdah Karya ‘Abd al-Hamid bin Ahmad al-Khatib al-Minangkabawi memuat wacana puritanisme dalam madh al-Nabi dengan melegitimasi otoritas Tuhan dalam karyanya. Wacana puritanisme yang ditawarkannya terkait dengan ideologi Wahhabi . hal ini dibuktikan melalui strategi wacana yang digunakan penyair dengan menghadirkan refresentasi ideologi Wahhabi dalam teks sebagai basis kritik terhadap kasidah burdah al-Busiri.
Praksisi wacana yang dipengaruhi konteks sosial penyair dan penerbit Salafi kerajaan Arab Saudi sebagai mitranya. Wacana yang diangkat penyair dalam teks terkait erat dengan wacana puritanisme yang diusung elit penguasa Saudi saat itu. Seperti larangan ghuluw dan penggunaan laqab Sayyid. Kepentingan penyair mengangkat wacana ini untuk menghadirkan penulisan ulang Sirah Nabawiyah yang berorientasi Alquran dan Hadis, serta ajaran al-salaf al-salih terkait dengan agenda Wahhabi dan sebagai bentuk pembelaan terhadap tuduhan orientalis terhadap konsep Jabariah.
Syekh ‘Abd al-Hamid bin Ahmad al-Khatib
al-Minangkabawi” (lahir 13 Juli 1898 dan wafat 29 Agustus 1961 pada umur
63 tahun) adalah seorang diplomat yang menjadi duta besar pertama Kerajaan Arab
Saudi untuk Pakistan. Ia dikenal pula sebagai penulis tafsir Alquran dan
penyair.
‘Abd al-Hamid merupakan Anak dari Syaikh Ahmad Khathib
Al-Minangkabawi Rahimahullah (1860 - 1916) adalah seorang ulama Indonesia
asal Minangkabau. Meskipun Ahmad Khathib adalah seorang Muslim Sunni, dia masih berharap untuk mendamaikan sistem matrilineal di
Minangkabau dengan hukum warisan yang ditentukan dalam Alquran.
Melalui murid-muridnya di Minangkabau yang belajar di Mekkah dan juga yang diajar di Indonesia mendorong
budaya Minangkabau agar dimodifikasi berdasarkan Alquran dan Sunah.
‘Abd al-Hamid adalah ulama al-Masjid al-Haram, keturunan
ulama Nusantara, beberapa karyanya merupakan syair Arab di antaranya Naẓm al-shirah
al-Nabawiyah, Taiyah al-Khatib, Munajah Ilallah, fi Hubbillah wa Rasulihi, Qasidah al-Istighathah al-Kubra dan Nahj
al-Burdah. Mengkaji
karyanya sangat penting dilakukan untuk melihat wacana purnifikasi ajaran
tasawuf dalam puisi, terutama tentang persoalan eksesif atau ghuluw dalam madḥ
al-Nabi.
Karya madh al-Nabi yang layak diteliti dalam melihat representasi hubungan sastra, agama, dan politik yaitu karya yang ditulis pada awal abad ke-20 di Saudi Arabia oleh Syeikh ‘Abd al-Hamid bin Ahmad al-Khatib al-Minangkabawi (lahir 13 Juli 1898 dan wafat 29 Agustus 1961 pada umur 63 tahun), putra Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi (1276-1334/1860-1916). Syeikh ‘Abd al-Ḥamid adalah seorang diplomat yang menjadi duta besar pertama Kerajaan Arab Saudi untuk Pakistan. Ia dikenal pula sebagai sastrawan, politikus dan penulis tafsir Alquran.
Salah satu karya Syeikh ‘Abd al-Hamid yaitu Nahj al-Burdah diterbitkan di majalah Hijaz pada saat itu. Karya ini tampak mempresentasikan adanya relasi sastra dengan Islam dan politik, di mana pengarang selain seorang sastrawan tetapi juga ulama dan menjadi pelaku politik praktis sebagai anggota Parlemen Hijaz.
Meskipun secara historis terjadi gejolak politik pada diri pengarang yang dalam hidupnya, mengalami dua kondisi politik pemerintahan yang berbeda, kerajaan Hashimiyah dan kerajaan Ibn Sa’ud. Dalam perspektif sastra banding, kedua karya madh al-Nabi ‘Abd al-Hamid dan al-Busiri memuat ideologi yang berbeda. madḥ al-Nabi ‘Abd al-Hamid yang hadir dalam indoktrinisasi ajaran Wahhabi dan al-Busiri dengan ajaran tarekat Shadhiliyah yang dianutnya.
Diksi kuasa sosial yang dimaksud dalam tulisan ini adalah hegemoni atas karya sastra untuk kepentingan kuasa penulis. Kuasa sosial dijelaskan sebagai praktik pemakaian bahasa atau politik bahasa karena memuat ideologi tertentu, terutama konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Diksi kuasa sosial dalam disertasi ini tidak dimaksudkan dengan pengaruh kuasa yang luas karya Nahj al-Burdah ‘Abd al-Hamid terhadap masyarakat pembaca.
Diskursus relasi sastra, agama, dan politik merupakan persoalan yang selalu ramai didiskusikan. Salah satu persoalan krusial yang menjadi perbincangan dalam relasi sastra dan agama yaitu kebebasan berekspresi (Licentia Poetika) yang tidak mendapat ruang oleh sebagian masyarakat, sehingga acapkali karya sastra mendapatkan resepsi negatif dari para pembaca, padahal- hal tersebut suatu yang mutlak dalam sastra.
Hal
ini misalnya tampak pada karya sastra profan yang mendapat reaksi dan penolakan
keras karena dianggap penghujatan terhadap unsur-unsur yang sejatinya bersifat
sakral. Dalam konteks karya sastra Arab, karya sastra profan yang pernah
dianggap tabu dan kontroversial di Mesir misalnya novel Naib ‘Izrail Karya
Yūsuf Al-Siba’i (1335-1398 H/1917-1978 M) yang menggambarkan personifikasi
malaikat ‘Izrāil. (Naṣr Al-Din: 2019)
Di sisi lain, perbincangan relasi sastra dan politik juga merupakan hal yang tidak bisa diabaikan terutama
kaitannya dengan kekuasaan. Sastra dan kekuasaan, keduanya diumpamakan seperti
dua sisi mata uang, di mana permukaan yang satu terkait dengan permukaan yang lain.
Oleh
karena itu, politik sastra tidak bisa dihindari karena acapkali karya sastra
terkait politik dan kekuasaan. Dalam
konteks sastra Arab, para penyair istana (poet of court) pada masa
Dinasti Umayyah memiliki tugas utama untuk mengubah puisi yang menceritakan
tentang prestasi yang telah diraih oleh para pembesar kerajaan dan mengabdikan
nama mereka di dalamnya yang bertujuan melegitimasi kekuasaan sang raja.
Membaca Nahj al-Burdah sebagai sastra Arab, sastra
agama khususnya, tampaknya tidak hanya sebatas kepentingan politik namun lebih
khusus, ada kepentingan kuasa sosial yang lebih kuat seperti gerakan paham
keagamaan, meskipun saling terkait satu dengan yang lain.
Berangkat dari geneologi keilmuannya ‘Abd al-Hamid sebagai
anak dari Ahmad Khatib, tentu tidak bisa diabaikan dalam membentuk pilihan
sikapnya. Hal yang tidak kalah menarik perhatian juga adalah sikap moderat yang
ditunjukkannya ketika pulang ke Indonesia, sepertinya sebagai penghormatannya
terhadap ulama-ulama Minangkabau. Terlihat
adanya tarik-menarik wacana intelektual keberagamaan yang dibangun ‘Abd al-Ḥamid.
Dari sini, tampaknya akan menguatkan bahwa adanya relasi sosial yang turut
berpengaruh dalam konstruk berpikirnya, yang kemudian terefleksi dengan baik
dalam karya Nahj al-Burdah yang ditulisnya.
Syair kasidah burdah sangat tinggi kualitas sastra dan
pesan-pesan sufistik di dalamnya dan diakui sebagai penggagas yang melahirkan
kembali bentuk syair al-Madaih al-Nabawiyah, namun demikian syair burdah
dinilai sebagian ulama menyesatkan karena mengandung pujian yang berlebihan
sehingga ulama-ulama Arab Saudi menolaknya, hal ini tentu saja bertolak
belakang dengan Nahj al-Burdah yang ditulis oleh ‘Abd al-Hamid yang memiliki
posisi penting di Arab Saudi, lalu menulis kasidah berisi pujian kepada Nabi
yang terinspirasi dari karya Burdah al-Busiri dan diajarkan di Masjid al-Haram
Mekkah.
‘Abd al-Hamid, Nahj al-Burdah, sebagai sebuah
karya madh al-Nabi diasumsikan mengandung praktik diskursus keagamaan,
ada kepentingan tertentu dibalik teks, maka perlu dianalisis menggunakan
analisis wacana kritis. Karya ini, jika
diperhatikan dari aspek linguistik di dalamnya
tersembunyi ideologi dan kekuasaan.
Seperti tampak pada kekuatan teks yang dibangun oleh
penyair dalam kasidah Nahj al-Burdah-nya, yaitu kata-kata ideologis yang
diperjuangkan dan diperdebatkan. Melalui
kata-kata tersebut pengarang ingin menyampaikan ideologinya dan mengajak
pembaca untuk dapat memaknai kata-kata ideologis yang digunakannya dalam teks
kasidah. Misalnya beberapa kali pengarang menggunakan kosa kata yang
diperjuangkan dan diperdebatkan, yaitu kata larangan berlaku ghuluww (berlebih-lebihan).
Nahj al-Burdah, sebagai sebuah karya sastra tidak hanya dianggap sekedar gugusan naratif, puitis, atau dramatik yang memberikan keindahan, hiburan atau bahkan tangisan kepada para pembacanya. Lebih jauh, karya ini diposisikan sebagai dokumen tertulis yang ikut serta dalam proses sejarah di mana suatu formasi wacana dikonstruksi.
Dengan strategi dan teknik narativisasi-puitisasi, seorang pengarang mengkonstruksi wacana yang terhubung dengan wacana-wacana lain dalam masyarakat. Dalam membaca karya ini, tidak hanya dipahami dalam kerangka semiosis dalam gugusan kata, kalimat dan bait sebagaimana yang dipahami kaum positivisme-empiris tetapi membaca dalam pandangan poststruktural, khususnya puisi, sebagai praktik diskursus meyakini bahwa pengetahuan dalam puisi tidak datang begitu saja namun karena adanya sistem produk sosial atas puisi, karena puisi adalah produk ideologis pengarang sehingga menjadi diterima oleh masyarakat.
Nahj al-Burdah ‘Abd al-Hamid perlu dikaji lebih lanjut, karena bukan hanya sebagai karya sastra yang menjadi imitasi dari karya monumental kasidah Burdah, namun lebih dari itu dengan membaca kritis dapat menguak hubungan kuasa dan pengetahuan serta pengetahuan dan kekuasaan saling terkait. Perspektif inilah kemudian mengapa kajian analisis wacana kritis terhadap karya ini menjadi signifikan untuk diteliti lebih dalam.
Kajian tentang syair Arab terkait pemurnian sufistik merupakan bidang yang belum mendapatkan perhatian yang cukup, terutama terhadap karya penyair Arab modern. Selama ini didominasi oleh kajian syair Arab sufistik klasik seperti Ibn ‘Arabī (w. 638 H/1240 M), Jalal al-Din al-Rumi (w. 1273 H/1854 M), Ibn al-Fariḍ dan lainnya.
Kajian terhadap syair Arab dengan paradigma analisis wacana kritis masih tidak banyak dilakukan, dan kajian yang telah ada banyak berdiri di atas pemahaman strukturalisme. Dengan analisis kritis pada karya sastra, puisi dapat memahami bahwa wacana pengetahuan/kuasa tidak bisa dilepaskan dari sistem ekonomi, politik, dan ideologi yang berlangsung dalam masyarakat, di mana tetap ada saja kelompok yang merasakan keuntungan dari formasi dan praktik diskursif.
Keberadaan syair dalam menghadirkan sastra agama untuk memperkuat relasi sosial menjadi alasan penting bagi penyair untuk menghadirkan kembali catatan-catatan kenabian yang berorientasi Alquran, Hadis, dan salaf al-salih.
‘Abd al-Hamid bin Ahmad al-Khatib al-Minangkabawi meletakkan
otoritas Allah Swt., di atas otoritas Nabi. Dalam memuji Nabi hanya menyebutkan
kemuliaan Nabi sebagai utusan Allah Swt. Dalam menjelaskan peristiwa-peristiwa
dalam “Sirah Nabawiyyah” bersumber dari iqtibas atau kutipan yang
terdapat penjelasannya dalam ayat suci Al-Quran. Dalam menghadirkan karya madh
al-Nabī yang hanya meminta perlindungan, karunia, nikmat dan ampunan
langsung kepada Allah Swt., tanpa bertawassul kepada Nabi Muhammad Saw.
Selain
itu, Orientalis
telah melihat dari berbagai sisi titik kelemahan dalam membangun argumentasi
pemikiran Islam, termasuk konsep jihad yang dipahami oleh kaum Jabariyah.
Penelitian ini dapat dijadikan narasi counter terhadap kleim kaum
orientalis terhadap konsep Jabariyah terkait dengan jihad. Jabariah tidak
pernah menekankan pada kaum Muslimin untuk meninggalkan jihad. Di sini, melalui
syairnya ia menjelaskan bahwa tuduhan orientalis yang mengatakan paham jabariah
mengadung racun yang melenyapkan kekuasaan Islam tidak benar adanya.
Adapun pentingnya mengangkat Nahj al-Burdah dengan analisis wacana kritis secara praktis untuk menawarkan model analisis penelitian terhadap karya sastra Arab yang tidak hanya terbatas pada paradigma positivisme empiris dan konstruktivisme saja, tetapi juga pada analisis sosialnya pada penekanan post strukturalisme.
Analisis wacana kritis (AWK) sebagai metode kritik sastra post-strukturalisme dalam kajian sastra Arab yang melihat relasi sastra dan kekuasaan masih relatif baru dan belum mendapatkan perhatian para sarjana semestinya, termasuk di Indonesia.Genre madh al-Nabi tidak hanya dilihat sebagai bentuk ekspresi keagamaan seorang penyair semata, tetapi lebih jauh madḥ al-Nabi tidak bisa dilepaskan oleh konteks sosial dan kepentingan penyair.
Oleh karena itu, lahirnya karya madḥ al-Nabi dari penyair Saudi ini telah memberi warna tersendiri dari sikap sosial-keagamaan seseorang dalam menyampaikan bentuk cintanya kepada Nabi Muhammad Saw. Kajian ini juga akan memberikan alternatif pemahaman kapada masyarakat Muslim tentang pemikiran dan sikap kelompok Wahhabi terutama terhadap madḥ al-Nabi sehingga meminimalisir sikap anti pada kelompok tertentu.
Dalam kajian sejarah Hijaz, jika tidak berlebihan tulisan ini dapat meneruskan tulisan Prof. Azra tentang jaringan ulama Timur Tengah dan Nusantara pada abad ke-17 dan ke-18. Dan tulisan Prof. Badri Yatim tentang Sejarah Sosial Keagamaan Tanah Suci abad ke-19 dan awal abad 20. Maka disertasi ini turut menjelaskan sosial keagamaan Hijaz pada awal abad 20 terutama setelah penguasaan dinasti Saudi kedua di Hijaz. Disertasi ini juga dapat menjadi dokumentasi karya keturunan ulama Nusantara yang memiliki peran tidak hanya secara keilmuan tetapi memberi konstribusi secara politis dan diplomasi antara Indonesia dan Saudi.
Orientalis telah melihat dari berbagai sisi titik
kelemahan dalam membangun argumentasi pemikiran Islam, termasuk konsep jihad
yang dipahami oleh kaum Jabariyah. Penelitian ini dapat dijadikan narasi
counter terhadap kleim kaum orientalis terhadap konsep Jabariyah terkait dengan
jihad. Jabariah tidak pernah menekankan pada kaum Muslimin untuk meninggalkan
jihad. Di sini, melalui syairnya ia menjelaskan bahwa tuduhan orientalis yang
mengatakan paham jabariah mengandung racun yang melenyapkan kekuasaan Islam
tidak benar adanya.
Menutup uraian terkait penelitian ini, berdasarkan wacana
kritis Norman Fairclough berdasarkan tinjauan teks dari tiga dimensi.
Dengannya, penulis telah menguraikan beberapa kesimpulan bahwa ‘Abd al-Hamid
bin Ahmad al-Khatib al-Minangkabawi dalam karyanya telah memuat wacana
puritanisme madh al-Nabi di mana puritanismenya sangat dipengaruhi oleh
ideologi Wahhabi.
Pertama, karya ’Abd al-Ḥamid dilihat dari dimensi teks atau
linguistik, penyair menggunakan kosakata ideologis yang diperjuangkan dan
diperdebatkan sebagai strategi wacana yang digunakan dalam madh al-Nabi-nya.
Kosakata ideologis yang diperjuangkan dan diperdebatkan dalam teks adalah kata ghulat
ghuluw, shafa’ah, khuraf, tawhid dan shirk.
Kedua, Pada dimensi praksis wacana menelusuri aspek produksi teks Nahj
al-Burdah dan konsumsi teks. Pada bagian pertama, proses melahirkan
teks terkait pengetahuan, lingkungan sosial, kondisi dan keadaan yang dirasakan
oleh penyair. Ketiga, pada dimensi
praksis sosiokultural melihat konteks sosial yang berada di luar
teks mempengaruhi wacana yang muncul dalam teks. Pada aspek ini kasidah Nahj
al-Burdah dilihat dari di tiga tahap analisis yaitu situasional,
institusional dan sosial.
Jakarta, 26 Agustus 2021....
Komentar
Posting Komentar