Wujud Kedamaian Berfikir: Sunni Syi’ah Dalam Frame Tasawuf Filosofis
Dr. Miswari Banta Leman, S. Pd. I., M. Ud., adalah
intelektual Aceh yang telah menghasilkan puluhan karya dalam bentuk buku,
jurnal, opini, cerpen, dan novel. Sebagai intelektual, ia telah menjadi aicon
baru bagi generasi muda Aceh. Aceh yang dikenal dengan negeri seribu masjid dan
seribu warong kopi, keberadaan keduanya berimbang pada jumlah penghuni yang
sama namun output yang berbeda. Masjid dijadikan tempat ibadah dan juga
sebagai tempat pengembangan ilmu-ilmu agama.
Mayoritas masyarakat Aceh menggunakan warung kopi sebagai tempat bercengkrama dengan sahabat, kolega, dan bahkan berkenalan dengan orang-orang baru, tidak jarang juga membahas perkembangan politik. Dan apapun kegiatan di sana telah membangun efek melalaikan, sehingga peristiwa ini memancing kritikan mantan Rektor UIN ar-Raniry almarhum Prof. Dr. Farid Wajdi Ibrahim, MA. Bahkan penikmat warung kopi rela menghabiskan waktu berjam-jam lamanya, hanya untuk duduk dan nongkrong saja.
Hal ini berbeda dengan Miswari yang merubah
warung kopi dari paradigma be o (bermalas-malasan) menjadi tempat
yang dapat mengahasilkan karya imajinasi, yang kemudian dituangkan dalam sebuah
karya ilmiah. Dan dengan itu, setiap meja kopi yang diduduki selalu terlihat
leptop di depannya untuk menuangkan ide-ide aktual. Penulis buku “Filsafat
Terakhir” ini telah membangun semangat berfikir filosofis bagi masyarakat Aceh
dan Indonesia.
Intelektual Aceh yang pemikirannya tumbuh bersama
organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) adalah dosen filsafat di Institut
Agama Islam Negeri (IAIN) Langsa sangat dikenal nyentrik di
lingkungannya. Seorang pemikir muda, disela-sela kekosongan bertugas sebagai
dosen mengisi ruang kelas juga sebagai pedagang asongan keliling. Sebagai pedagang
penjual pakaian dalam pria ini telah menampakkan kesederhanaan dan tidak
memilih-milih pekerjaan untuk melanjut kembangkan pendapatannya.
Telah menyelesaikan studi doktoral dalam waktu yang
singkat, selama tiga tahun. Mahasiswa doktor binaan Kemenag ini, melalui
beasiswa MORA telah menunjukkan komitmen kepada negara, dan menyelesaikan masa
studinya selama tiga tahun, sebagaimana yang telah ditentukan oleh pihak
pengelola beasiswa dari Kementerian Agama Republik Indonesia.
Menyelesaikan studinya, Miswari telah berhasil
mempertahankan studi dengan penelitaian disertasi yang berjudul “Kajian
Perbandingan Wujudiah Hamzah Fansuri dan Filsafat Mulla Sadra”. Dan mampu
dipertahankan melalui ujian zoom meeting pada ujian promosi doktor yang diselenggarakan pada tanggal 20 Agustus
2021 di Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penelitian ini telah diuji oleh Prof. Dr. Phil. Asep Saepudin
Jahar, MA., (merangkap sebagai ketua sidang). Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan.
Prof. Dr. Abdul Hadi WM. (merangkap promotor). Prof. Dr. Amsal Bahtiar , MA.
Prof. Dr. Ahmad Syahid, M. Ag. Dan Prof. Dr. Iik Arifin Mansurnoor, MA.
Merujuk pada revivalisasi wujudiah sebagai basis pembangunan kembali paradigma
keagamaan inklusif, toleran, dan genuine, untuk menyambut kembali
kosmopolitanisme Nusantara-Indonesia.
Filsafat
Mulla Sadra sebagai solusi krisis intelektalisme dan ujudiah Hamzah Fansuri
sebagai solusi krisis spiritualitas masyarakat modern. Sistem
kajian kritis dan sintesis ajaran rumit Hamzah Fansuri sebagai inspirasi
kontekstualisasi teori dan sistem pendidikan, teknologi, dan ilmu pengatahuan. Sistem analisis sintesis kritis Mulla Sadra adalah inspirasi
akomodasi budaya, ilmu pengetahuan, untuk penguatan identitas bangsa.
Persamaan-persamaan
pemikiran Hamzah Fansuri dan Mulla Sadra menunjukkan menunjukkan universalitas
ketuhanan, kealaman, dan esensi manusia untuk membangun harmonisme sosial dan
agama. Kajian
Hamzah Fansuri dan Mulla Menunjukkan signifikansi menggali masa lalu untuk mencari masa depan.
Analisis perbanndingan terhadap pemikiran keduanya meghasilkan
lima persamaan dan tiga perbedaan. Persamaan pemikiran keduanya. Pertama,
sama-sama meyakini bahwa wujud
adalah univokal dan merupakan dasar bagi realitas. Kedua,
sama-sama menekankan pengenalan diri sebagai langkah menuju pengetahuan sejati.
Ketiga, mereka sama-sama menegaskan bahwa ilmu hudhuri adalah
pengetahuan sejati. Keempat, sama-sama meyakini bahwa eksistensi alam potensial
yang menjadi sumber bagi aktualitas alam materia. Kelima, keduanya
meyakini bahwa makhluk-makhluk itu semuanya fakir wujud.
Sementara yang menjadi perbedaan dari pemikiran keduanya: pertama,
konteks budaya. Hamzah Fansuri hidup dalam lingkungan budaya masyarakat Melayu,
sekita abad ke enam belas. Potensi masyarakatnya
hidup dalam kesibukan pertanan, perdagangan, dan perpolitikan. Sementar Mulla Sadra
hidup dengan konteks budaya Persia, di mana pada abad ke tujuh belas lingkungan
intelektual masyarakatnya sedang berusaha melakukan sintesis berbagai varian pemikiran.
Kedua, Hamzah Fansuri tidak memiliki realitas eksternal. Hamzah
Fansuri memahami wujud adalah tunggal, keberadaan yang lainnya dipahami sebagai
bayangan. Sementara Mulla Sadra menerima
kesatuan sekaligus keberagaman wujud yang disebut dengan taskik
al-wujud.
Ketiga, keberadaan pemikiran Hamzah Fansuri mendapat
tempat dan diapresiasi, namun pada perkembangan berikutnya di tolak, bahkan
bukan hanya ditolak tapi ditenggelamkan, sehingga ajarannya tidak berkembang
sampai hari ini. Sementara pemikiran Mulla Sadra hanya mengalami penolakan
sesaat, yang kemudian pemikirannya mendapat tempat di negerinya. Dua perspektif
terhadap pemikiran Mulla Sadra yakni “tasawuf
filosofis” dan “filsafat sistematis bercorak Aristotelian, sehingga dengan
kedua perspektif tersebut pemikirannya terus mendapatkan apresiasi dari
masyarakatnya.
Hamzah Fansuri dan Mulla Sadra mengakui bahwa wujud
itu adalah sebuah kata yang hanya memiliki acuan tunggal. Keidentikan ini
membuat kajian wujudiah dan Filsafat Mulla Sadra memiliki keunikan untuk sebuah
pembingkaian sebagai bagian dari syarat dilakukan kajian perbandingan. Wujudiah
Hamzah Fansuri menjadi sangat berbeda secara prinsip dengan al-Hikmah
al-Muta’aliyah meskipun mengaku wujud sebagai dasar realitas eksternal.
Kajian terkait dengan konsep wujudiah merupakan
keilmuan khas “tasawuf falsafi” (‘irfan). Dapat dipahami bahwa, “tasawuf
falsafi” merupakan tasawuf akhlak atau tasawuf amal. Namun dalam perjalanannya
kedudukan ilmu ini sering berseberangan, dan bahkan sering menentang wujudiah
serta itikad-itikad yang lainnya dari “tasawuf falsafi”, dikarenakan prinsipnya
sangat berseberangan. “Tasawuf akhlak” atau “tasawuf amal” mengusung
prinsip-prinsip wujud sebagai ekuivokal, sementara wujudiah
mengusung prinsip wujud sebagai univokal.
Mulla Sadra dengan filsafatnya ia mengusung prinsip wujud
sebagai univokal. Secara umum filsafat Mulla Sadra digolongkan sebagai
bagian dari ajaran filsafat. Namun, tidak sedikit pemikir yang menggologkannya
sebagai varian tasawuf, dikarenakan keidentikan prinsip ontologinya dengan wujudiah.
Keidentikan landasan teologis antara Hamzah Fansuri dan
Mulla Sadra dapat dilacak pada pertemuannya dalam penyeraan yang mendalam atas
skema filsafat neoplatonisme. Dalam wujudiah sendiri, neoplatonisme
memang telah menjadi skema dasar paradigma pemikirannya. Sistem-sistem hubungan
ketunggalan dan kemajemukan dalam wujudiah seperti tajalli yang
dirumuskan ibnu ‘Arabi maupun ta‘ayyun yang dirumuskan Hamzah Fansuri
tidak dapat dipisahkan dari skema emanasi dalam neoplatonisme.
Keidentikan ontologi wujudiah Hamzah Fansuri dan filsafat Mulla Sadra dapat saja dikatakan bermuara pada ibn ‘Arabi. Keidentikan pemikiran ajaran Hamzah Fansuri dengan ibn ‘Arabi mudah saja dipahami karena Hamzah Fansuri dengan ibn ‘Arabi mudah saja dipahami karena Hamzah Fansuri dengan setia mengikuti prinsip wahdat al-wujud ibn ‘Arabi. Sementara Mulla Sadra sendiri meskipun sebagai pemikir filsafat juga sangat banyak menyerap pemikiran ibn ‘Arabi.
Meskipun demikian, Hamzah fansuri tidak mudah diterima dibandingkan ibn ‘Arabi.
Sementara Mulla Sadra sebagai seorang filsuf masih sangat setia dengan prinsip
penyusunan argumentasi dalam sistem filsafat. Hal inilah yang membuat kajian
perbandingan antara wujudiah Hamzah Fansuri dan Filsafat Mulla Sadra
menjadi menarik untuk dianalisis.
Perlunya mengangkat kembali kajian tasawuf filosofis
tidak hanya untuk membangun spritualitas personal semata, namun dengan
pengembangan ilmu tasawuf kita memperkokoh persatuan umat Islam, negara dan
bangsa. Tidak hanya untuk masyarakat Nusantara, bahkan untuk milyaran penduduk
dunia yang membutuhkan pendalaman akal melalui rasa “filosofi tasawuf”,
sehingga kedamaian berfikir tumbuh berdasarkan semangat spiritualitas, bukan
berdasarkan politik kuasa yang hanya menimbang akal semata tanpa rasa.
Hamzah Fansuri dan Mulla Sadra, pemikirannya telah menjadi objek penting dalam kajian
disertasi ini. Dan Dr. Miswari Banta Leman, S. Pd. I., M. Ud., telah memadukan
pemikiran keduanya dengan sangat baik dan sistematis. Sehingga dengan kajian ini bertemunya pemikiran di mana Aceh yang notabene penganut aliran Ahlussunnah wal-Jama’ah
dengan Persia yang notabene masyarakatnya menganut aliran Syi’ah, maka
dengan adanya upaya membandingkan pemikiran keduanya, konflik internal umat
Islam terkait dengan politik aliran dapat dikompromikan dengan kajian “tasawuf
filosofis”.
Jakarta, 20 Agustus 2021...
Komentar
Posting Komentar