Hendra Fadhli: Aktivis Dimasa Aceh Berkecamuk Konflik
Politisi yang dulunya adalah aktivis pergerakan mahasiswa
dikala Aceh bergejolak konflik pemberontakan. Menjadi aktivis dalam situasi
yang tidak aman butuh keberanian dalam menyuarakan hak-hak atas rakyat, hilang
tanpa jejak adalah sebuah resiko dari pejuang aspirasi. Jiwa terancam dan nyawa tiada harga.
Bagi
seorang aktivis membaca dan menulis sudah menjadi bagian dari kehidupannya. Dia membaca apa yang sedang berlaku dan situasi
apa yang harus dihadapi, lalu bagaimana memberi jawaban dari situasi tersebut. Dijemput oleh pihak keamanan negara selalu
menghantui jiwanya.
Menulis bagi aktivis adalah sebuah upaya dokumentasi
informasi apa yang harus dikabari untuk masyarakat yang selalu menanti
gebrakan-gebrakan baru yang dilakukan oleh para aktifis di masa Aceh berkecamuk
konflik.
Peran
aktivis begitu kentara dan frontal dengan kebijakan penguasa di masanya. Dan
tidak sembarangan aktivis, mereka berhadapan dengan ancaman penjara bahkan ancaman nyawa
Hendra
Fadhli merupakan aktivis gerakan mahasiswa yang dulunya membangun pergerakan solidaritas
bersama gerakan SMUR
(Solidaritas Mahasiswa untuk Rakyat).
Bersama
rekannya aktivis fenomenal dikala Aceh berkecamuk perang. Siapa yang tidak tahu menahu sosok Kausar anak politisi senior Aceh Tgk. Muhammad Yus, atau lebih
dikenal dengan Abu Yus, politisi Partai Persatuan Pembangunan.
Kausar, aktivis yang menjadi target operasi militer
dikala itu, setelah Aceh damai merintis diri sebagai politisi dan berhasil menduduki
kantor Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) melalui Parta Aceh. Dan juga berjuang
bersama Thamrin Ananda, yang pernah menjadi Juru Bicara Partai Nasional Aceh (PNA)
dan kini menurut informasi telah menjadi Wakil Ketua DPW Nasdem Aceh. Bersama dengan sahabat-sahabat yang lain telah
memperjuangkan aspirasi melalui jalanan dan juga berjuang di parlemen.
Hendra Fadhli satu di antara aktivis SMUR yang kini menjadi politisi Partai Aceh, terpilih sebagai anggota DPRK Aceh Barat Daya periode 2019-2024 menduduki jabatan Wakil Ketua II adalah sosok politisi yang sering beropini melalui tulisannya yang disampaikan lewat angin media online.
Sosok
pria tampan, dengan kumis tipis menghiasi bibirnya bak semut jalan beriringan ini telah menjadi semangat baru bagi politisi muda di bumo
sigupai. Langkahnya tentu tidak sendiri, Aceh Barat Daya juga di dominasi oleh
politisi muda telah menjadi warna di gedung Dewan
Perwakilan Rakyat.
Bagi
seorang aktivis dan politisi
membangun literasi adalah sebuah keharusan, menjawab jargon Aceh Carong harus
dimulai dari sini. Saatnya frame berpikir dirubah, masyarakat Aceh harus di
didik menjadi argumentator yang memiliki literasi yang kuat, apalagi terkait
dengan perkembangan politik di Aceh dan dunia hari ini dan masa yang akan datang.
Buku
yang kini ada di tangan politisi Partai Aceh ini merupakan
sekelumit pemikiran fenomenal anak negeri yang patut diketahui. Menyambung asa damai
setelah Aceh sekian lama berperang yang tersisa hanyalah
debu.
Perang
memudarkan semangat literasi bagi generasi Aceh. Banyak
hal yang hampir tenggelam di bumo Serambi Mekah ini, tenggelam bak hanyut
dibawa gelombang tsunami.
Hilangnya
harta benda dapat dicari, namun dikala tersapunya literasi ke
mana akan ditemukan lagi. Hadirnya buku ini membangkitkan
kembali semangat literasi, mengungkap konsepsi dan praksis politik pendahulu
untuk menjawab persoalan hari ini. Dan buku ini telah menceritakan seperti apa
peran Aceh terhadap republik ini.
Untuk
itu layak dan patut kita kemukakan bahwa melalui A. Hasjmy Indonesia patut
berterimakasih pada Aceh. Dan melalui
A.
Hasjmy kita mengenal semangat perdamaian setelah perang berkecamuk tujuan dan
arahnya akan dibawa ke mana.
Ikrar
Lamteh telah mengajarkan pada kita bahwa tujuan perdamaian untuk mundur sejenak
dalam rangka membangun Aceh ke arah yang jauh lebih baik. Lalu bagaimana dengan
perdamaian MoU Helsingki akan dikemanakan
arah perdamaian ini diwujudkan. Apakah cukup hanya sekedar berdamai saja, tanpa memberi kejutan
untu Aceh bangkita lebih cepat.
Berakhirnya
perdamaian Lamteh, Aceh memasuki fase baru yakni membangun pola pendidikan
modern yang ditandai dengan berdirinya
dua lembaga pendidikan ternama Perguruan Tinggi Universitas Syiah Kuala (USK) dan Universitas Islam Negeri (UIN)
Ar-Raniry, dan ini tidak terlepas dari peran A. Hasjmy.
Dari sinilah lahirnya ribuan aktivis yang mana keberadaan mereka hari ini telah mengisi ruang publik yang menjadi eksekutor kebijakan di negeri yang sudah dua kali mengukir tinta damai di meja perundingan dengan Pemerintah Pusat.
Melalui semangat integrasi kebangsaan Indonesia patut berterimakasih pada Aceh. Untuk itu tuntaskan segera segala bentuk perjanjian damai antara RI dan GAM agar anak cucu kita tidak pernah lagi membaca sejarah bahwa para pendahulunya tertipu dua kali tanpa meninggalkan jejak yang berarti.
Jakarta, 29 November 2021.
Komentar
Posting Komentar