Penelitian ini mengkaji pemikiran tokoh Aceh yang mana perjalanan hidupnya telah melewati masa pelik. A. Hasjmy adalah nama yang disematkan padanya sejak ia dilahirkan. Dalam kiprahnya di ranah publik A. Hasjmy digelari dengan beberapa nama, di antaranya disebut dengan nama al-Hariry, Asmara Hakiki, dan Aria Hadiningsun.
Tokoh asal Aceh yang hidup pada era
empat zaman ini telah menoreh tinta emas. Pandangan politik A. Hasjmy tidak
hanya terkonsepsi dalam pikiran, namun juga hadir dalam bentuk praksisnya.
Pemikiran dan kiprahnya telah
menghiasi empat zaman dalam sejarah berdiri dan bergilirnya proses politik di
negara ini (Indonesia). Empat era zaman telah dilaluinya, yakni era
penjajahan dan gerakan kemerdekaan, pasca kemerdekaan/revolusi, orde lama, dan
orde baru.
A. Hasjmy lahir di Kecamatan
Montasik, Aceh Besar pada tanggal 28 Maret 1914 dan wafat pada tanggal 18
Januari 1998. Hadir dalam berbagai dimensi baik sebagai aktivis kemerdekaan,
organisatoris, birokrat, politisi, negosiator, ulama, cendikiawan, akademisi,
tokoh pendidikan, sastrawan, dan juga sebagai wartawan. Hal ini menandakan
sosok A. Hasjmy memiliki multi-talenta.Sebagai intelektual Aceh yang
telah mewariskan berbagai macam karyanya. Pemikirannya telah
dituangkan dalam bentuk tulisan lebih kurang mencapai enam puluh judul buku
yang terdiri atas tema sejarah, dakwah, pendidikan, politik, budaya, dan juga
menulis puisi-puisi yang membangun semangat juang dalam jiwa. Setumpuk khazanah
pemikirannya tersimpan dengan baik di Perpustakan dan Mesium Yayasan Pendidikan
A. Hasjmy.
Tokoh yang ikut andil dalam
merumuskan pendidikan modern di Aceh ini telah berhasil secara bergotong royong
bersama masyarakat Aceh membangun lembaga Perguruan Tinggi IAIN Ar-raniry (UIN
Ar-Raniry saat ini) dan Universitas Syiah Kuala (UNSYIAH).
Mahaputra, pemegang Bintang Legiun
Veteran Republik Indonesia, Medali Angkatan 45, Bintang Iqra, dan juga pemegang
bintang Internasional Bintang Istimewa Kelas I dari Presiden Republik Arab
Mesir Husni Mubarak, karena keberhasilannya sebagai salah seorang ulama,
pemikir, pemimpin Islam dari seluruh dunia.
Salah satu karya terbesar A. Hasjmy
dalam konteks pemikiran politik berhasil membangun konvergensi pemikiran
politik Islam global dalam wacana Islam dan politik dalam konteks
ke-Indonesiaan.
Tema Islam dan politik di Indonesia
dalam sejarah perkembangan sosial seakan-akan tidak pernah habis untuk dibahas.
Agama sebagai sumber moral dan negara adalah seperangkat aturan yang
menggiring pengelolaan kehidupan masayarat, serta memiliki kewenangan memaksa
dengan segala aturan yang melekat padanya.
Merujuk pada latar
persoalan, A. Hasjmy merupakan pemikir politik kontemporer yang
hidup di mana Aceh dalam keadaan bergejolak, baik gejolak perang
melawan penjajah Belanda, maupun perang melawan gerakan pemberontakan pasca
kemerdekaan yang ingin mendirikan negara Islam dari kelompok DI/TII Aceh yang
dipimpin oleh Teungku Muhammad Daud Beureueh.
Semenjak awal kemerdekaan kekuasaan
selalu dibangun berdasarkan narasi dari atas ke bawah. Di mana kekuasaan
dipaksakan dari pusat ke daerah. Hal ini berbeda dengan A. Hasjmy yang
melihat kekuasaan dari daerah.
Memahami nasionalisme kebangsaan
dari luar lingkup kekuasaan. Politik dalam pandangan A. Hasjmy, adalah sebuah
upaya rekonsiliasi pikiran dalam memahami antara idealitas dan
realitas kebangsaan.
Terkait dengan tema Islam dan negara
dalam sejarah politik Indonesia dari awal kemerdekaan hingga masa kontemporer
bukan hanya belum tuntas, namun konflik pemikiran antara Islam dan politik
bahkan semakin mengemuka dan problematis di era pemerintahan Presiden Jokowi.
Perdebatan tersebut pada tataran
konseptual bukan hanya menunjukkan beragamnya paradigma dan kerangka pemikiran,
tetapi menunjukkan pula seolah-olah tak ada konvergensi antara idealitas dengan
realitas.
Berdasarkan realitas tersebut,
konsep pemikiran politik A. Hasjmy dengan basis kultural kebangsaan yang kuat
diharapkan mampu mendamaikan antara idealitas dengan realitas budaya politik
ke-Indonesiaan dimasa kini dan masa yang akan datang.
A. Hasjmy merupakan pemikir Politik
Islam modern yang cendrung moderat (symbiotik) dalam merekonstruksikan
bangunan pemikiran politik.
Paradigma ini menguatkan wacana
tentang hubungan timbal balik antara agama dan negara. Islam sebagai dasar
negara tidak menjadi mutlak bagi A. Hasjmy, substansi nilai Islam dengan dasar
tauhid dan ukhuwah Islamiyah menjadi alasan utama baginya, bahwa negara Islam
dapat dipraktekkan di manapun, tanpa harus menjadikan Islam sebagai ideologi
negara.
Bagi A. Hasjmy, Islam
bukanlah ideologi negara. Dalam konteks ini, A. Hasjmy lebih melihat
Islam sebagai sumber ideologi negara. Keberadaan agama dan negara
dalam konteks fungsi timbal balik, negara akan tegak dan agama
sebagai penunjangnya.
Pentingnya memahami Urgenisitas
Pemikiran Politik A. Hasjmy Dalam Konteks kekinian. A. Hasjmy dalam konteks
politik telah mempengaruhi pada dua sisi, sisi konseptual dan sisi praksis
politik.
Sisi konseptual politik,
pemikirannya berhasil dituangkan dalam sebuah buku yang berjudul Di Mana
Letaknya Negara Islam. Sementara pada sisi praksisnya pemikiran A. Hasjmy mampu
hadir dalam sebuah upaya konvergensi pemikiran antara idealiatas dengan
realitas politik ke-Indonesiaan.
Dengannya A. Hasjmy mampu
mendamaikan pemberontakan Darul Islam di Aceh yang dipimpin oleh Teungku
Muhammad Daud Beureueh, yang kemudian menerima Indonesia sebagai bentuk negara
Islam modern. Dan memberikan kesempatan bagi warganya, kususnya Aceh untuk
menerapkan syariat Islam dengan Pancasila menjadi dasar negara.
Adapun pentingnya mengangkat kembali
pemikiran politik A. Hasjmy, dalam rangka menyegarkan catatan sejarah
kebangsaan, bahwa peran Aceh dalam upaya berdirinya negara Republik Indonesia
telah tercatat dalam sejarah sangatlah heroik, bahkan Aceh adalah satu-satunya
wilayah yang diakui sebagai daerah modal berdirinya negara Indonesia.Adanya upaya membeli pesawat yang diberi nama “Seulawah” yang dikumpulkan melalui tangan-tangan kedermawanan
masyarakat Aceh dari seluruh pelosok negeri menjadi sebuah bukti nyata, dalam
upaya membantu perjuangan bangsa Indonesia merintis dan melanjutkan misi
kebangsaan dalam membangun seluruh pelosok negeri. Terutama sekali dalam
memperkenalkan Indonesia kepada dunia luar.
Radikalisme berfikir di kalangan
kelompok Islam konservatif telah memicu adanya sentimen politik dari
tokoh-tokoh Muslim terhadap pemerintah yang menginginkan berdirinya Negara
Islam Indonesia atau NII. Bagi kelompok Islamis diawal kemerdekaan memahami
bahwa dasar negara Pancasila tidak mewakili Indonesia disebut sebagai Negara
Islam.Penelitian ini juga dapat dijadikan
sebagai bukti bagi pemerintah pusat bahwa, Aceh bukan hanya daerah modal bagi
berdirinya Republik Indonesia, namun juga berperan penting dalam
memperkuat mosi integrasi kebangsaan yang dipelopori oleh Mohammad Natsir, dan
peran A. Hasjmy di daerah menjadikan proses integrasi ini dapat terlaksana
sesuai dengan yang diharapkan oleh Pemerintah Pusat.Sepanjang pemberontakan yang terjadi
di Aceh telah berakhir dengan perdamaian. Pemberontakan Darul Islam yang
digelorakan oleh Teungku Daud Beureueh telah berakhir dengan Ikrar
Lamteh pada tanggal 7 April 1957, yang mengaungkan ikrar bahwa Aceh akan
berjuang menjunjung tinggi kehormatan agama Islam, dan menjunjung tinggi
kehormatan dan kepentingan rakyat Aceh.Sementara pemberontakan yang
berakhir dengan perjanjian Mou-Helsingki yang berlangsung pada tanggal 15
Agustus 2005, antara Pemerintah Pusat Gerakan Aceh Merdeka (GAM), yang dimotori
oleh Dr. Teungku Hasan Muhammad Di Tiro merupakan bagian dari perdamaian
internasional.Perdamain ini melahirkan beberapa
kesepakatan besar, di antaranya penyelenggaraan Pemerintah Aceh, partisipasi
politik, ekonomi, peraturan perundang-undangan, hak asasi manusia, amnesti,
re-integrasi ke dalam masyarakat, pengaturan keamanan, pembentukan misi
monitoring Aceh, dan penyelesaian perselisihan.Setiap penyelesaian konflik atas
kesepakatan bersama yang telah disepakati, pemerintah pusat mesti menyelesaikan
dengan memberikan hak-hak yang telah ditentukan dalam kesepakatan tersebut.
Melalui A. Hasjmy Indonesia wajib berterima kasih pada Aceh. Jika tidak, maka
durhakalah Indonesia dengan sejarahnya sendiri.Atas rasa terimakasih tersebut
wujudkan segera poin poin Mou-Helsingki sebagai lanjutan dari dua perdamaian
yang telah terjadi dalam kurun waktu sejarah Aceh bergabung dengan Republik
Indonesia.
Sampai di mana sudah rasa
terimakasih pemerintah pusat kepada Aceh dalam merealisasikan Mou-Helsingky.
Akankah perdamian kedua ini akan bernasib sama sebagaimana Ikrar
Lamtehi, di mana Aceh telah merasa tertipu dengan pemerintah pusat dalam
merealisasikan butir-butir perjanjian tersebut, sehingga bangkit kembali
pemberontakan GAM.
Jika butir-butir perjanjian tersebut
tidak segera direalisasikan, tidak kecil kemungkinan perlawanan Aceh terhadap
pemerintah pusat akan kembali terjadi. Dan narasi negara Islam akan kembali
digunakan untuk memobilisasi semangat pemberontakan terhadap negara Republik
Indonesia.
Memahami sejarah bahwa konflik Islam
dan politik telah merong-rong integrasi kebangsaan. Dengan demikian perlu
menghubungkan kembali pemikiran masa lalu untuk mendamaikan pikiran masa kini.
Maka dengan itu mengkaji ulang pemikiran A. Hasjmy dapat melerai konflik
internal bangsa ini.
Semangat ke-Islaman masyarakat
Indonesia telah menjadi mudah terbangunnya benturan antara Islam dan politik.
Jika tidak dipahami dengan baik, maka negara akan menjadi
korbannya. Kehadiran A. Hasjmy sebagai ulama, cendikiawan, dan juga
sebagai seorang politisi, sejak awal kemerdekaan telah membangun pemikiran yang
moderat dalam memahami konsep kebangsaan dengan basis kultural yang kuat.
Keberadaannya sebagai negosiator
integrasi kebangsaan telah diterima oleh Teungku Muhammad Daud Beureueh sebagai
penengah dalam mendamaikan konflik politik antara Aceh dan Jakarta.
Buku ini ditunggu sebagai
narasi penjelasan ilmiah kepada jutaan rakyat Aceh yang masih terpatri semangat
separatisme dalam pikirannya yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia, pasca berlangsungnya perdamaian antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
dan Pemerintah Republik Indonesia yang tertuang dalam MoU-Helsinki di
Finlandia.
Dan juga menjadi pencerdasan politik
bagi jutaan rakyat Indonesia yang sampai saat ini masih saja memperdebatkan
antara idealitas dengan realitas politik dalam kontek ke-Indonesiaan.
Mengemukanya politik identitas di
negeri ini disebabkan oleh karena kita miskin narasi dalam memodifikasikan
pemikiran dan ide politik masa lalu untuk menyelesaikan konflik masa kini.
Diharapkan dengan hadirnya
penelitian ini, semangat integrasi kebangsaan terus digelorakan dari
masing-masing daerah tanpa harus membangun konflik relasi antara Islam dan
politik.
Berdasarkan pemikiran dan kiprahnya
yang melewati empat zaman tidak pernah mengenal post power syndrom dalam
diri A. Hasjmy setelah jabatan politik tidak lagi tersemat padanya.
Tentu tanda jasa saja tidak cukup
untuk mengenang sosok A. Hasjmy yang telah membangun semangat intelektual bagi
masyarakat Aceh dan Indonesia. Menghabiskan sisa hidupnya dalam upaya membangun
pendidikan yang modern di Aceh. UIN Ar-Raniry dan UNSYIAH menjadi saksi atas
upayanya membangun manusia yang berilmu pengetahuan dan bertakwa.
A. Hasjmy telah mempertaruhkan
hidupnya dengan peranannya yang sangat signifikan dalam membangun semangat
kemerdekaan. Dan A. Hasjmy melalui konsep berfikir moderat mampu
memperkuat integrasi kebangsaan terhadap Negara Kesatuan Republik Indoneisa
Oleh karena demikian, mengenang
kembali dan sebagai bentuk rasa terima kasih negara Republik Indonesia kepada
A. Hasjmy, tentunya bukan sesuatu yang berlebihan agar A. Hasjmy disematkan
pada dirinya sebagai pahlawan nasional dikemudian hari.
Jakarta, 4 Desember 2021.
Komentar
Posting Komentar