Isra’ Mi‘raj: Membangun Rasa Syukur dengan Cinta

Mengupas tentang Isra’ Mi’raj tentunya berbicara tentang perintah shalat. Pertanyaannya sampai di mana sudah potensi shalat yang dilkukan. Alquran menunjukkan lima level pelaksanaan shalat.  

Pertama, shalat sekedar menggugurkan kewajiban. Bisa memenuhi kewajiban sudah bagus, ibarat orang dagang sekedar mengembalikan modal. Jika hanya untuk menargetkan shalatnya pedagang, itu adalah shalatnya pada level terndah. Sebaiknya, dalam melaksanakan shalat berpegang pada prinsip sekali dayung dua tiga pulau terlampaui.

Kedua, shalat yang ditegakkan untuk berdzikir (menyebut, mengingat) Allah. Dengan syarat setidak-tidaknya kesadaran shalatnya dimulai sejak takbir, tentunya takbir yang tidak terburu-buru diucapkan.

Ketiga, shalat untuk meminta pertolongan kepada Allah. Prinsip dalam meminta mesti dilakukan dengan tidak terburu-buru. Tergesa-gesa dalam berharap sesuatu, maka berkemungkinan kita akan kehilangan apa yang diminta atau apa yang diharapkan.

Shalat mesti dilakukan dengan sepenuh sabar. Sabar dalam bacaan, sabar dalam gerakan, sabar dalam mengikuti bacaan dan gerakan imam, tanpa menambah bacaan dan tanpa menambah gerakan.

Salah satu contoh kesabaran dalam shalat tidak hadir dalam pelaksanaannya, sering muncul dalam pelaksanaan shalat ketika ucapan “aamiin didahului oleh jamaah sementara imam belum selesai mengakiri surat al-fatihah.

Kata aamiiin bukanlah bagian dari surat al-fatihah. Keberadaannya terpisah, bacaannyapun dipisahkan dengan menempatkan jeda, atau menunggu imam selesai mengucapkan kata "waladhdhalliiin" lalu disambut dengan bacaan aamiiin oleh jamaah. Supaya kata “aamiin tidak terkesan menjadi bagian dari surat al-fatihah.

Keempat, shalat pada tahab muraqabah. Shalat pada tahap ini melatih kesadaran rohani untuk memahami kehadiran ilahi. Tahap inilah shalat memasuki fase khusyu'. Orang yang ketika shalat dalam hatinya memiliki kesadaran penuh memahami bahwa ia sedang dalam perjalanan kembali kepada Allah.

Kelima, “ash-shalat tanha 'anil fahsya i wal munkar shalat mencegah perbuatan keji dan munkar. Problem yang sering muncul dalam kehidupan sosial disebabkan oleh karena tidak hadirnya muraqabah dalam diri masing dari kita.

Shalat sebagai bentuk relasi keterhubungan antara manusia dengan Tuhan , di mana perintah dalam pelaksanaannya harus disyukuri. Allah Tuhan yang memiliki keagungan dengan segala rahmatnya atas manusia tidak pernah meminta balasan atas apa yang telah diberikan, kecuali meminta kepada hambanya untuk bersyukur.

Bersyukur kepada Allah merupakan satu amal yang akan mendapatkan pahala istimewa. Bagi siapa yang bersyukur pada Tuhan seperti ia bersyukur kepada dirinya. Bersyukur dengan menyebut kata  "alhamdulillah".

Syukur adalah cara kita mendapat ridha Allah. Allah akan meridhai orang-orang yang bersyukur, dan mendapat jalur keiistimewaan "alhammadun" adalah orang yang pertama masuk syurga.

Rasa syukur muncul disebabkan karena adanya rasa cinta, bersyukur kepada Tuhan pertanda mencintai apa yang telah diberikan atas ni‘mat yang telah diberikan kepadanya. Bersyukur kepada manusia dengan meghidupkan rasa cinta kepada sesama.

Cinta tidak dipahami sederhana, berbagai penjelasan telah dibukukan tentang cinta. Ayat-ayat cinta menunjukkan alamat tanda bahwa cinta itu memiliki kaedah tersendiri. Melalui kaedah cinta terwujudlah relasi keterhubungan rasa antara yang dicintai dengan yang mencintainya. Dengan itulah Islam mengkatagorikan kaedah-kaedah tentang cinta.

Pertama, “man ahabballah katsira dzikruhu”, siapa yang mencintai Allah, maka ia akan banyak-banyak berzikir pada-Nya. Zikir dalam pengertian ingat, menyebut, dan merasakan kehadiran-Nya.

Kedua, bagi siapa yang mencintai Allah, maka ia senang berjumpa dengan-Nya. Perjumpaan dengan Allah bersifat majazi, dan hakiki. Majazi bermakna berjumpa ketika melaksankan ibadah shalat, dan berjumpa hakikat bermakna ketika tiba ajalnya. Jika hati sudah mencintai, ia akan senang berjumpa dengan objek yang dicintainya. Mencintai Allah artinya ia senang berjumpa dengan-Nya baik perjumpaan dalam bentuk majazi maupun hakiki.

Berjumpa dengan Allah dalam bentuk majazi dapat dipahami dua, yaitu: jumpa dalam bentuk ibadah mahdhah dan jumpa dalam bentuk ibadah ghairu mahdhah. Ibadah mahdhah seperti melakukan shalat dan puasa, sementara ibadah ghairu mahdhah dalam bentuk berbagai muamalat.

Orang yang mencintai Allah merasa bahagia hatinya ketika melakukan shalat dan puasa, dan juga bahagia hatinya ketika melakukan transaksi muamalat dengan manusia. Jika dalam melakukan shalat manusia merendah diri di hadapan Tuhan, ketika bertransaks ia juga tidak meninggikan dirinya di hadapan manusia.

Ketiga, “man ahabballaha ahabba ma'ahu”: bagi siapa yang cinta kepada Allah ia tidak hanya senang berjumpa dengan-Nya melainkan ia juga ingin berlama-lama dalam perjumpaannya. Betah dan mampu berlama-lama hanya dimiliki oleh orang-orang yang sabar dalam shalatnya. Bagi siapa yang sabar dengan shalatnya, maka ia pasti berlama-lama melakukannya.

Kesabaran ini tidak hanya ditujukan kepada Tuhan, melainkan juga kepada sesama manusia dan makhluk yang lainnya. Terutama sekali sabar dengan diri sendiri dalam berbagai hal. Sabar untuk tidak marah yang bukan pada tempatnya, sabar untuk tidak mengurai keburukan atas orang lain, sabar untuk tidak curang, sabar untuk tidak berlaku semena-mena, dan sabar untuk tidak merendahkan sesama makhluk, serta sabar dalam berbagai bentuk lainnya.

Menanamkan rasa sabar dalam diri merupakan perbuatan yang sangat berat. Allah menyandingkan kata sabar dengan kata shalat secara beriringan, sebagai tanda bahwa sabar dan shalat mudah untuk diucapkan dan berat ketika dilakukan, kecuali oleh orang-orang yang kusyu‘.  

Ketiga,  bagi siapa yang cinta pada Allah ia akan mendahukan hak-hak yang dicintainya. Mendahului hak ini mampu membedakan hak Allah dengan hak makhluknya, tentu di sini hak Allah harus diutamakan dibandingkan hak manusia.

Mendahului hak Allah tidak hanya ketika melakukan ibadah kepada-Nya semata, melainkan juga dilakukan ketika melakukan transaksi dengan manusia. Hak Allah ketika bertransaksi dengan manusia dengan mendahulukan “keihklasan”. Ikhlas dapat dipahami dengan meniadakan unsur yang lain, sebagaimana kita meniadakan sesuatu yang lain dalam meng-Esakan tuhan.

Begitu juga dengan manusia, meniadakan sesuatu yang lain dikala transaksi muamalat dilakukan dengan mengedepankan sifat “ikhlas”. Menghidupkan sifat ikhlas ini bukan berarti manusia tidak boleh mengambil manfaat dari muamalah tersebut, diperbolehkan asalkan sesuai dengan hak-hak yang telah ditentukan. Hidupkan sifat ikhlas tanpa ada sesuatu yang jahil di dalamnya (tanpa ada udang dibalik batu).  

Keempat, barang siapa yang cinta kepada Allah, maka ia akan menyintai apa-apa yang Allah cintai. Sebagaimana Allah mencintai Rasul-Nya, mencintai kitab suci-Nya.

Maka, di sini dipahami mencintai Rasul sama dengan mncintai Allah. Tanda orang mencintai Alquran banyak-banyak membaca, memahami, dan mengamalkannya. Begitu juga dengan mencintai Rasul dengan memperbanyak shalawat kepadanya. Memperingati Isra’ Mi’raj sama dengan mencintai Rasul-Nya.

Mencintai hanya dapat dirasakan oleh orang-orang yang hatinya maraji‘ pada Tuhannya. Hati yang kembali kepada Tuhan hanya dimiliki oleh orang-orang yang selalu bertaubat. Orang-orang yang bertaubat dengan sebenar-benar taubat. Taba-tawb atau taubat menjadikan seseorang memiliki kedudukan yang tinggi di sisi Tuhan, keberadaannya seperti tanpa dosa. Orang yang bertaubat juga termasuk golongan orang-orang yang baik (thaiyyib).

Kata taba-tawb-tawbat dan thayyib diungkapkan oleh orang Eropa  dengan kata “top”. Ungkapan “top” menandakan seseorang tersebut memiliki kelebihan tersendiri yang tidak dimiliki oleh orang lain, atau seseorang yang memiliki kedudukan yang tinggi.   

Bicara peristiwa Rajab adalah peristiwa israk mi'raj Rasulullah. Mencintai Rasul, maka ia harus mencintai apa-apa yang dicintai olehnya. Peristiwa Isra’ Mi’raj adalah peristiwa yang dicintai oleh Rasul.

Memperingati Isra’ Mi’raj sama dengan mencintai apa yang dicintai oleh Rasulullah. Dengan begitu, memperingati hari Isra’ Mi’raj sama dengan menyenangi peristiwa yang disenangi oleh Nabi Muhammad saw. Tutup KH. Yusuf Muhammad dalam memperingati peristiwa Isra’ Mi’raj pada tanggal 27 Rajab di masjid al-Jihad Kec. Wanayasa, Kab. Purwakarta, Propinsi Jawa Barat.

Wanayasa, 26 Februari 2022.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Meraih Gelar Doktor; Muchlinarwati Disabilitas yang Menginspirasi

Melihat Masalah dengan Masalah

SURAT TERBUKA: KEPADA YANG TERHORMAT BAPAK BUPATI ACEH BARAT DAYA